Cari Blog Ini

Pembatal Keislaman - 3. Tidak Mengafirkan Orang Musyrik

Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab--rahimahullah--di dalam Nawaqidh Al-Islam berkata:
الثَّالِثُ: مَنۡ لَمۡ يُكَفِّرِ الۡمُشۡرِكِينَ، أَوۡ شَكَّ فِي كُفۡرِهِمۡ، أَوۡ صَحَّحَ مَذۡهَبَهُمۡ؛ کَفَرَ.
Ketiga: Barang siapa tidak mengafirkan orang-orang musyrik, atau ragu terhadap kekafiran mereka, atau menilai benar keyakinan mereka, maka dia kafir.[1]


Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan--hafizhahullah--di dalam syarahnya berkata:

[1] وَهَٰذِهِ الۡمَسۡأَلَةُ خَطِيرَةٌ جِدًّا، يَقَعُ فِيهَا كَثِيرٌ مِنَ الۡمُنۡتَسِبِينَ لِلۡإِسۡلَامِ، مَنۡ لَمۡ يُكَفِّرِ الۡمُشۡرِكِينَ، يَقُولُ: أَنَا وَالۡحَمۡدُ لِلهِ مَا عِنۡدِي شِرۡكٌ، وَلَا أَشۡرَكۡتُ بِاللهِ، وَلَٰكِنَّ النَّاسَ لَا أُكَفِّرُهُمۡ. 

Ini adalah masalah yang amat serius. Banyak orang yang menisbahkan diri kepada Islam terjatuh pada masalah ini. Ada yang tidak mau mengafirkan orang-orang musyrikin. Dia berkata, “Aku—alhamdulillah—tidak melakukan kesyirikan. Aku tidak mempersekutukan Allah. Akan tetapi aku tidak mengafirkan orang-orang (yang berbuat syirik akbar).” 

نَقُولُ لَهُ: أَنۡتَ مَا عَرَفۡتَ الدِّينَ، يَجِبُ أَنۡ تُكَفِّرَ مَنۡ كَفَّرَهُ اللهُ، وَمَنۡ أَشۡرَكَ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَتَتَبَرَّأَ مِنۡهُ كَمَا تَبَرَّأَ إِبۡرَاهِيمُ مِنۡ أَبِيهِ وَقَوۡمِهِ وَقَالَ: ﴿إِنَّنِى بَرَآءٌ مِّمَّا تَعۡبُدُونَ ۝٢٦ إِلَّا ٱلَّذِى فَطَرَنِى فَإِنَّهُۥ سَيَهۡدِينِ﴾ [الزخرف: ٢٦-٢٧]. 

Kita katakan kepadanya: Engkau tidak mengerti agama ini. Engkau wajib untuk mengafirkan orang yang dikafirkan oleh Allah dan mengafirkan orang yang berbuat syirik kepada Allah—‘azza wa jalla—. Engkau juga wajib berlepas diri dari orang tersebut sebagaimana Nabi Ibrahim berlepas diri dari ayahnya dan kaumnya. Nabi Ibrahim mengatakan, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadahi, kecuali yang telah menciptakanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” (QS. Az-Zukhruf: 26-27). 

(أَوۡ صَحَّحَ مَذۡهَبَهُمۡ) وَهَٰذِهِ أَشَدُّ، إِذَا صَحَّحَ مَذۡهَبَهُمۡ، أَوۡ قَالَ فِي الَّذِي يَعۡمَلُونَهُ نظر، هَٰذَا إِنَّمَا هُوَ اتِّخَاذُ وَسَائِلَ، أَوۡ يَقُولُ: هَٰؤُلَاءِ، جُهَّالٌ وَقَعُوا فِي هَٰذَا الۡأَمۡرِ عَنۡ جَهۡلٍ وَيُدَافِعُ عَنۡهُمۡ، فَهَٰذَا أَشَدُّ كُفۡرًا مِنۡهُمۡ؛ لِأَنَّهُ صَحَّحَ الۡكُفۡرَ، وَصَحَّحَ الشِّرۡكَ، أَوۡ شَكَّ. 

“Atau menilai benar keyakinan mereka” ini lebih berbahaya. Apabila dia menilai keyakinan mereka benar atau dia mengatakan bahwa yang mereka lakukan hanyalah menjadikan perantara, atau dia berkata bahwa mereka itu orang-orang jahil yang terjatuh dalam perkara ini karena kebodohan, kemudian dia membela mereka; maka ini lebih besar kekufurannya daripada mereka (yang tidak mau mengafirkan orang kafir). Hal ini karena dia menilai kekufuran dan kesyirikan itu benar, atau dia ragu akan kebatilannya. 

فَنَقُولُ لَهُ: کَوۡنُكَ مُسۡلِمًا وَتَابِعًا لِلرَّسُولِ ﷺ، وَالرَّسُولُ جَاءَ بِتَكۡفِيرِ الۡمُشۡرِكِينَ وَقِتَالِهِمۡ وَاسۡتِبَاحَةِ أَمۡوَالِهِمۡ وَدِمَائِهِمۡ، وَقَالَ: (أُمِرۡتُ أَنۡ أُقَاتِلَ النَّاسَ لِيَقُولُوا: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ)، (بُعِثۡتُ بِالسَّيۡفِ حَتَّى يَعۡبُدَ اللهَ)، ﴿وَقَـٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٌ﴾ فِتۡنَةٌ: يَعۡنِي: شِرۡكٌ، ﴿وَيَكُونَ ٱلدِّينُ كُلُّهُۥ لِلَّهِ ۚ﴾ [الأنفال: ٣٩]. 

Kita katakan kepadanya: Engkau adalah seorang muslim dan pengikut Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Sedangkan Rasulullah datang membawa syariat yang mengafirkan orang-orang musyrik, memerangi mereka, dan menghalalkan harta dan darah mereka. Beliau bersabda, “Aku diperintah untuk memerangi manusia, hingga mereka berkata: laa ilaaha illallaah.” (HR. Al-Bukhari nomor 2946, Muslim nomor 20, Abu Dawud nomor 1556, At-Tirmidzi nomor 2607, dan An-Nasa`i dari hadis Abu Hurairah). 

Beliau juga bersabda, “Aku diutus dengan pedang sampai Allah disembah.” (HR. Ahmad nomor 5115, Ibnu Abu Syaibah 5/313, Al-Baihaqi di dalam Syu’ab Al-Iman nomor 1199, Ibnu Hajar di dalam Taghliq At-Ta’liq 3/445). 

Allah berfirman, “Perangilah mereka sampai tidak ada fitnah!” Fitnah adalah kesyirikan. “dan sampai agama ini seluruhnya untuk Allah.” (QS. Al-Anfal: 39).