Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah di dalam kitab Lum'atul I'tiqad berkata,
فَصۡلٌ فِي كَلَامِ أَئِمَّةِ السَّلَفِ فِي الصِّفَاتِ
Pasal tentang Ucapan para Imam Salaf tentang Sifat Allah
٦ - قَالَ الۡإِمَامُ أَبُو عَبۡدِ اللهِ أَحۡمَدُ بۡنُ مُحَمَّدِ بۡنِ
حَنۡبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ فِي قَوۡلِ النَّبِيِّ ﷺ: (إِنَّ اللهَ يَنۡزِلُ
إِلَى سَمَاءِ الدُّنۡيَا) وَ (إِنَّ اللهَ يُرَى فِي الۡقِيَامَةِ) وَمَا
أَشۡبَهَ هٰذِهِ الۡأَحَادِيثِ: نُؤۡمِنُ بِهَا وَنُصَدِّقُ بِهَا لَا كَيۡفَ
وَلَا مَعۡنَى وَلَا نَرُدُّ شَيۡئًا مِنۡهَا، وَنَعۡلَمُ أَنَّ مَا جَاءَ بِهِ
الرَّسُولُ حَقٌّ، وَلَا نَرُدُّ عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ وَلَا نَصِفُ اللهَ
بِأَكۡثَرَ مِمَّا وَصَفَ بِهِ نَفۡسَهُ، بِلَا حَدٍّ وَلَا غَايَةٍ ﴿لَيۡسَ
كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ﴾ [الشورى: ١١] وَنَقُولُ
كَمَا قَالَ، وَنَصِفُهُ بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفۡسَهُ، لَا نَتَعَدَّى ذٰلِكَ،
وَلَا يَبۡلُغُهُ وَصۡفُ الۡوَاصِفِينَ، نُؤۡمِنُ بِالۡقُرۡآنِ كُلِّهِ
مُحۡكَمِهِ وَمُتَشَابِهِهِ وَلَا نُزِيلُ عَنۡهُ صِفَةً مِنۡ صِفَاتِهِ
لِشَنَاعَةٍ شَنُعَتۡ، وَلَا نَتَعَدَّى الۡقُرۡآنَ وَالۡحَدِيثَ، وَلَا
نَعۡلَمُ كَيۡفَ كُنۡهُ ذٰلِكَ إِلَّا بِتَصۡدِيقِ الرَّسُولِ ﷺ وَتَثۡبِيتِ
الۡقُرۡآنِ.
6. Imam Abu ‘Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal—semoga Allah
meridainya—berkata tentang sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—,
“Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia” dan “Sesungguhnya Allah dilihat
pada hari kiamat” dan hadis lain semisal ini,
Kita mengimaninya, membenarkannya, tidak menggambarkannya, tidak memaknai
lain, tidak membantah sedikit saja, dan kita mengetahui bahwa yang Rasul bawa
merupakan kebenaran. Kita tidak membantah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—dan kita tidak menyifati Allah lebih daripada yang Dia sifati dirinya
tanpa ada batasan. “Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11).
Kita mengatakan seperti yang Allah katakan. Kita menyifati-Nya dengan yang Dia
sifati Diri-Nya. Kita tidak melampaui batasan itu. Sifat di luar itu yang
digambarkan oleh orang-orang tidak akan bisa mencapainya. Kita mengimani
seluruh Alquran baik yang muhkamat maupun yang mutasyabihat. Kita tidak
menghilangkan salah satu saja dari sifat Allah karena anggapan jelek kita.
Kita tidak melampaui Alquran dan hadis. Kita tidak mengetahui bagaimana
keadaan-Nya kecuali dengan membenarkan Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—dan menetapkan Alquran.[1]
٧ - قَالَ الۡإِمَامُ أَبُو عَبۡدِ اللهِ مُحَمَّدُ بۡنُ إِدۡرِيسَ
الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ: آمَنۡتُ بِاللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ
عَلَى مُرَادِ اللهِ، وَآمَنۡتُ بِرَسُولِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنۡ رَسُولِ
اللهِ عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللهِ.
4. Imam Abu ‘Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i—semoga Allah
meridainya—berkata, “Aku beriman kepada Allah dan mengimani wahyu dari Allah
sesuai yang Allah ingini. Aku beriman kepada Rasulullah dan kepada sunah yang
dibawa Rasulullah sesuai yang Rasulullah maukan.”[2]
٨ - وَعَلَى هَذاَ دَرَجَ السَّلَفُ وَأَئِمَّةُ الۡخَلَفِ رَضِيَ اللهُ
عَنۡهُمۡ، كُلُّهُمۡ مُتَّفَقُونَ عَلَى الۡإِقۡرَارِ، وَالۡإِمۡرَارِ
وَالۡإِثۡبَاتِ لِمَا وَرَدَ مِنَ الصِّفَاتِ فِي كِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ
رَسُولِهِ، مِنۡ غَيۡرِ تَعَرُّضٍ لِتَأۡوِيلِهِ.
Di atas metode inilah, para salaf dan imam khalaf—radhiyallahu ‘anhum—menempuh
agama ini. Mereka semua bersepakat mengakui, membiarkan, dan menetapkan sifat
yang disebutkan dalam Alquran dan sunah Rasulullah tanpa mempertentangkan
takwilnya.[3]
Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah di dalam syarahnya
berkata,
[1]
مَا تَضَمَّنَهُ كَلَامُ الۡإِمَامِ أَحۡمَدَ فِي أَحَادِيثِ النُّزُولِ
وَشِبۡهِهَا:
Kandungan ucapan Imam Ahmad tentang hadis-hadis turunnya Allah dan yang
semisalnya:
تَضَمَّنَ كَلَامُ الۡإِمَامِ أَحۡمَدَ - رَحِمَهُ اللهُ - الَّذِي نَقَلَهُ
عَنۡهُ الۡمُؤَلِّفُ مَا يَأۡتِي:
Ucapan Imam Ahmad—rahimahullah—yang dinukil oleh mualif mengandung makna
berikut:
١ - وُجُوبُ الۡإِيمَانِ وَالتَّصۡدِيقِ بِمَا جَاءَ عَنۡ رَسُولِ اللهِ ﷺ
مِنۡ أَحَادِيثِ الصِّفَاتِ مِنۡ غَيۡرِ زِيَادَةٍ وَلَا نَقۡصٍ وَلَا حَدٍّ
وَلَا غَايَةٍ.
1. Wajib mengimani dan membenarkan hadis Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—tentang sifat Allah tanpa ditambahi, tanpa dikurangi, dan tanpa
dibatasi.
٢ - أَنَّهُ لَا كَيۡفَ وَلَا مَعۡنَى أَيۡ: لَا نُكَيِّفُ هٰذِهِ الصِّفَاتِ؛
لِأَنَّ تَكۡيِيفَهَا مُمۡتَنِعٌ لِمَا سَبَقَ، وَلَيۡسَ مُرَادُهُ أَنَّهُ لَا
كَيۡفِيَةَ لِصِفَاتِهِ؛ لِأَنَّ صِفَاتِهِ ثَابِتَةٌ حَقًّا وَكُلَّ شَيۡءٍ
ثَابِتٌ فَلَا بُدَّ لَهُ مِنۡ كَيۡفِيَةٍ، لَكِنۡ كَيۡفِيَةُ صِفَاتِ اللهِ
غَيۡرُ مَعۡلُومَةٍ لَنَا.
وَقَوۡلُهُ: وَلَا مَعۡنَى أَيۡ: لَا نُثۡبِتُ لَهَا مَعۡنًى يُخَالِفُ
ظَاهِرَهَا كَمَا فَعَلَهُ أَهۡلُ التَّأۡوِيلِ وَلَيۡسَ مُرَادُهُ نَفۡيَ
الۡمَعۡنَى الصَّحِيحِ الۡمُوَافِقِ لِظَاهِرِهَا الَّذِي فَسَّرَهَا بِهِ
السَّلَفُ فَإِنَّ هٰذَا ثَابِتٌ وَيَدُلُّ عَلَى هٰذَا قَوۡلُهُ: وَلَا
نَرُدُّ شَيۡئًا مِنۡهَا وَنَصِفُهُ بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفۡسَهُ وَلَا نُزِيلُ
عَنۡهُ صِفَةً مِنۡ صِفَاتِهِ لِشَنَاعَةٍ شَنُعَتۡ وَلَا نَعۡلَمُ كَيۡفَ
كُنۡهُ ذٰلِكَ، فَإِنَّ نَفۡيَهُ لِرَدِّ شَيۡءٍ مِنۡهَا وَنَفۡيَهُ لِعِلۡمِ
كَيۡفِيَتِهَا دَلِيلٌ عَلَى إِثۡبَاتِ الۡمَعۡنَى الۡمُرَادِ مِنۡهَا.
Tanpa menggambarkan dan tanpa memaknakan lain. Maksudnya kita tidak
menggambarkan sifat Allah karena hal itu terlarang dengan alasan yang telah
disebutkan. Bukanlah yang dimaukan di sini bahwa sifat Allah tidak memiliki
kaifiat, karena sifat Allah adalah suatu yang pasti lagi benar. Segala sesuatu
yang sudah pasti, tentu memiliki kaifiat. Akan tetapi kaifiat sifat Allah
tidak kita ketahui.
Ucapan beliau “wa la ma’na” artinya kita tidak menetapkan suatu makna yang
menyelisihi makna lahir untuk sifat tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh
ahli takwil. Bukan maksudnya meniadakan makna yang benar yang sesuai dengan
makna lahir yang ditafsirkan oleh ulama salaf karena makna yang benar ini
adalah sesuatu yang pasti kebenarannya.
Yang menunjukkan ini adalah ucapan beliau: Kita tidak menolak sedikit saja
darinya. Kita menyifati Allah dengan sifat yang Dia sifati dirinya dengannya.
Kita tidak menghilangkan salah satu saja dari sifat Allah karena anggapan
jelek kita. Kita tidak mengetahui bagaimana keadaan sifat itu. Sesungguhnya
penafian beliau atas penolakan sedikit saja dari sifat Allah atau penolakan
beliau atas pengetahuan kaifiatnya merupakan dalil penetapan makna yang
dimaukan darinya.
٣ - وُجُوبُ الۡإِيمَانِ بِالۡقُرۡآنِ كُلِّهِ مُحۡكَمِهِ: وَهُوَ مَا
اتَّضَحَ مَعۡنَاهُ، وَمُتَشَابِهِهِ: وَهُوَ مَا أَشۡكَلَ مَعۡنَاهُ،
فَنَرُدُّ الۡمُتَشَابِهَ إِلَى الۡمُحۡكَمِ لِيَتَّضِحَ مَعۡنَاهُ، فَإِنۡ
لَمۡ يَتَّضِحۡ وَجَبَ الۡإِيمَانُ بِهِ لَفۡظًا وَتَفۡوِيضُ مَعۡنَاهُ إِلَى
اللهِ تَعَالَى.
3. Kewajiban mengimani Alquran, baik yang muhkamat—yaitu yang maknanya
jelas—maupun yang mutasyabihat—yaitu yang maknanya sulit—. Kita mengembalikan
ayat mutasyabihat kepada ayat yang muhkamat agar maknanya menjadi jelas. Jika
masih belum jelas, wajib mengimani lafaznya dan menyerahkan maknanya kepada
Allah taala.
[2]
مَا تَضَمَّنَهُ كَلَامُ الۡإِمَامِ الشَّافِعِيِّ:
Kandungan ucapan Imam Asy-Syafi’i
تَضَمَّنَ كَلَامُ الۡإِمَامِ الشَّافِعِيِّ مَا يَأۡتِي:
Ucapan Imam Asy-Syafi'i mengandung faedah berikut:
١ - الۡإِيمَانُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الۡمُبِينِ
عَلَى مَا أَرَادَهُ اللهُ مِنۡ غَيۡرِ زِيَادَةٍ وَلَا نَقۡصٍ وَلَا
تَحۡرِيفٍ.
1. Mengimani wahyu yang datang dari Allah taala di dalam kitab-Nya yang terang
sesuai yang Allah maukan tanpa penambahan, pengurangan, dan pengubahan.
٢ - الۡإِيمَانُ بِمَا جَاءَ بِهِ عَنۡ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِي سُنَّةِ رَسُولِ
اللهِ ﷺ عَلَى مَا أَرَادَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ مِنۡ غَيۡرِ زِيَادَةٍ وَلَا
نَقۡصٍ وَلَا تَحۡرِيفٍ.
2. Mengimani segala yang datang dari Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—di dalam sunah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—sesuai yang
Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—maukan tanpa penambahan, pengurangan,
dan pengubahan.
وَفِي هٰذَا الۡكَلَامِ رَدٌّ عَلَى أَهۡلِ التَّأۡوِيلِ وَأَهۡلِ
التَّمۡثِيلِ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنۡهُمۡ لَمۡ يُؤۡمِنۡ بِمَا جَاءَ عَنِ
اللهِ وَرَسُولِهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَرَسُولِهِ، فَإِنَّ أَهۡلَ
التَّأۡوِيلِ نَقَصُوا وَأَهۡلَ التَّمۡثِيلِ زَادُوا.
Di dalam ucapan ini ada bantahan terhadap ahli takwil dan orang yang
menyerupakan sifat Allah karena setiap satu golongan dari mereka tidak
mengimani apa saja yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sesuai yang dimaukan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebabnya karena ahli takwil melakukan pengurangan
sedangkan ahli tamtsil melakukan penambahan.
[3]
طَرِيقُ السَّلَفِ الَّذِي دَرَجُوا عَلَيۡهِ فِي الصِّفَاتِ:
Jalan salaf yang mereka tempuh dalam masalah sifat Allah:
الَّذِي دَرَجَ عَلَيۡهِ السَّلَفُ فِي الصِّفَاتِ هُوَ الۡإِقۡرَارُ
وَالۡإِثۡبَاتُ لِمَا وَرَدَ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ تَعَالَى فِي كِتَابِ اللهِ
وَسُنَّةِ رَسُولِهِ ﷺ، مِنۡ غَيۡرِ تَعَرُّضٍ لِتَأۡوِيلِهِ بِمَا لَا
يَتَّفِقُ مَعَ مُرَادِ اللهِ وَرَسُولِهِ. وَالۡاِقۡتِدَاءُ بِهِمۡ فِي ذٰلِكَ
وَاجِبٌ لِقَوۡلِهِ ﷺ: (عَلَيۡكُمۡ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الۡخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ الۡمَهۡدِيِّينَ مِنۡ بَعۡدِي، عَضُّوا عَلَيۡهَا
بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمۡ وَمُحۡدَثَاتِ الۡأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ
مُحۡدَثَةٍ بِدۡعَةٌ وَكُلَّ بِدۡعَةٍ ضَلَالَةٌ). رَوَاهُ أَحۡمَدُ وَأَبُو
دَاوُدَ وَالتِّرۡمِذِيُّ وَقَالَ: حَسَنٌ صَحِيحٌ وَصَحَّحَهُ الۡأَلۡبَانِيُّ
وَجَمَاعَةٌ.
Jalan yang ditempuh oleh salaf dalam permasalahan sifat Allah adalah mengakui
dan menetapkan sifat Allah taala yang disebutkan dalam Alquran dan sunah
Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tanpa mengalihkan takwilnya dengan
takwilan yang tidak sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Meneladani mereka dalam hal itu adalah suatu kewajiban, berdasarkan sabda
Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Kalian wajib berpegang dengan sunahku
dan sunah khulafaurasyidin yang terbimbing sepeninggalku. Gigitlah ia dengan
gigi-gigi geraham. Waspadalah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan
karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bidah dan setiap bidah adalah
kesesatan.” (HR.
Ahmad nomor 17274,
Abu Dawud nomor 4607, dan
At-Tirmidzi nomor 2676; beliau berkata: hasan sahih). Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dan
sekelompok ulama.