Beliau adalah shahabat mulia yang memiliki banyak keutamaan. Para ulama berselisih tentang namanya. Adapun yang masyhur adalah Abdurrahman bin Shakhr. Namun beliau lebih terkenal dengan kunyahnya -Abu Hurairah- radhiyallahu ‘anhu. Di masa jahiliyyah nama beliau Abdussyams dan kunyahnya Abul Aswad. Abul Qasim Ath Thabari rahimahullah menyebutkan bahwa ibunya bernama Maimunah. Beliau masuk Islam pada saat Perang Khaibar tahun ke tujuh dari hijrah nabi.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bercerita, “Dahulu aku menggembala kambing milik keluargaku dan waktu itu aku memiliki kucing kecil. Aku selalu menempatkannya di pohon bila malam tiba. Apabila matahari menyingsing aku pergi bersamanya dan bermain dengannya. Maka mereka memberikan kunyah kepadaku Abu Hurairah.” (dikisahkan oleh Abdullah bin Rafi’). Al Imam Adz Dzahabi pun memyebutkan, “Yang masyhur bahwasanya beliau diberi kunyah karena anak kucing. Diriwayatkan bahwa beliau pernah berkata, “Aku menemukan anak kucing kemudian aku mengambilnya. Aku masukkan ke dalam lengan bajuku, maka aku diberi kunyah seperti itu (Abu Hurairah).”
KESABARAN DI ATAS KEFAKIRAN DALAM MENUNTUT ILMU
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada ilah (sesembahan) selain Dia, sungguh aku pernah tergeletak di tanah karena lapar, dan juga aku pernah mengganjal perutku dengan batu karena lapar.”
Pada suatu hari aku sengaja duduk di jalan yang biasa para shahabat keluar melewatinya. Maka lewatlah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Aku bertanya kepadanya tentang satu ayat dari Al Quran. Tidaklah aku bertanya kecuali dia (memahami keadaanku) dan memberiku makanan. Namun beliau pergi dan tidak melakukan yang aku harapkan. Kemudian lewat Umar radhiyallahu ‘anhu maka aku pun bertanya kepadanya pula tentang satu ayat dari Al Quran. Tidaklah aku bertanya kecuali berharap dia (memahamiku) dan memberiku makanan. Namun beliau juga pergi dan tidak melakukan yang aku harapkan.”
“Kemudian lewatlah Abul Qasim (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun tersenyum ketika melihatku dan mengetahui apa yang aku inginkan dari raut wajahku. Beliau berkata, “Wahai Abu Hirr!” Aku berkata, “Labbaik (kusambut panggilanmu) ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Ayo ikut.” Maka beliau berjalan dan aku mengikutinya, kemudian beliau meminta izin untuk masuk (rumah) dan aku pun meminta izin masuk, maka kami mendapati susu di dalam bejana. Nabi berkata, “Dari mana susu ini?” Keluarga beliau berkata, “Telah memberikan hadiah kepadamu fulan atau fulanah.”
Beliau memanggilku, “Wahai Abu Hirr!” Aku menjawab, “Labbaik, ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Kembalilah ke (temanmu) ahlu shuffah dan sampaikan undanganku kepada mereka (untuk minum susu).” Ahlu shuffah adalah tamu-tamu Allah yang tinggal di serambi masjid belajar menuntut ilmu di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada yang menanggung kehidupan mereka dan tidak pula mereka memiliki harta. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat shadaqah, beliau mengirimnya kepada mereka dan tidak memakannya sedikitpun. Adapun apabila mendapat hadiah beliau mengirimnya kepada mereka dan memakannya bersama-sama.
Aku berkata (dalam hati), “Apa faedahnya susu ini untuk ahlu shuffah (karena sedikitnya susu itu)? Aku lebih berhak meminumnya untuk menguatkan badanku. Tapi Rasulullah telah memerintahkanku, maka tidak ada pilihan lain selain taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mudah-mudahan aku masih bisa menikmati susu ini. Maka aku mendatangi mereka (ahlu shuffah) dan mereka pun datang dan meminta izin masuk kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian mereka duduk di dalam rumah.
Beliau berkata, “Wahai Abu Hirr!” Aku berkata, “Labbaik ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Ambil (bejana susu itu) dan berikan kepada mereka. Akupun mengambil bejana tersebut dan memberikan kepada salah satu dari mereka sampai dia kenyang, kemudian aku kembalikan bejana tersebut. Kemudian meminum yang lainnya sampai dia kenyang dan kemudian yang lainnya. Ketika semuanya sudah meminumnya aku berkata, “Sungguh kaum (ahlu shuffah) sudah minum susu dan kenyang.” Maka beliau mengambil bejana itu kemudian melihatku dan tersenyum seraya berkata, “Wahai Abu Hirr.” Aku berkata, “Labbaik ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Tinggal aku dan kamu.” Aku berkata, “Benar ya Rasulullah.” Beliau berkata, “Duduk dan minumlah!” Maka aku duduk dan minum. Beliau berkata, “Minum lagi!” Maka aku pun meminumnya lagi, maka senantiasa beliau mengatakan kepadaku, “Minum lagi!” Sampai aku berkata, “Tidak, demi Dzat yang mengutusmu sungguh aku sudah tidak mendapati ruang (di perut) lagi.” Beliau berkata, “Bawa kemari (bejana itu).” Maka aku memberikan kepadanya kemudian beliau memuji Allah, membaca basmalah dan meminum sisa susu tersebut.”
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu seorang shahabat yang terkenal paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dari itu Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada beliau, “Wahai Abu Hurairah engkau adalah orang yang paling lama bermulazamah (duduk belajar) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang paling banyak hafalan hadisnya.” Berkata Ar Rabi’, “Telah berkata Imam Syafi’i rahimahullah, “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang paling banyak meriwayatkan hadis pada zamannya.”
Beliau termasuk lima shahabat yang menjadi rujukan fatwa di Madinah. Berkata Ziyad bin Mina, “Dahulu Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id, Abu Hurairah, dan Jabir radhiyallahu ‘anhum berfatwa dan meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak wafatnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu sampai mereka meninggal. Kepada kelima mereka inilah tempat kembalinya semua fatwa.”
Jika melihat kesungguhan beliau dalam menuntut ilmu, maka pantaslah gelar periwayat hadis terbanyak sekaligus mufti Madinah beliau sandang. Kemiskinan tidak menghalangi beliau radhiyallahu ‘anhu untuk terus bermulazamah dan menuntut ilmu di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakan beliau.
Berkata Al A’raj rahimahullah, “Aku mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dahulu aku adalah orang miskin yang melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan hidup seadanya sekadar menghilangkan lapar dan aku tidak mengumpulkan harta. Pada saat itu orang Muhajirin mereka tersibukkan dengan pasar (sibuk dengan jual beli) begitu juga orang Anshar. Nabi pun pernah berkata kepadaku, “Barangsiapa yang membentangkan bajunya maka dia tidak akan lupa sedikitpun terhadap apa yang dia dengar dariku.” Maka aku bentangkan bajuku sampai beliau selesai berbicara. Kemudian aku dekap baju itu maka sejak itu aku tidak lupa sedikitpun terhadap hadis yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Rupanya inilah yang menyebabkan Abu Hrairah dikaruniai hafalan hadis yang sangat banyak.
MERIWAYATKAN HADIS YANG TIDAK DIKETAHUI SHAHABAT LAIN
Di antara kelebihan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dibandingkan para shahabat yang lain adalah seringnya beliau bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga terkadang beliau mendapatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak didengar oleh shahabat yang lain. Sebagaimana kisah berikut ini.
Suatu ketika Marwan bin Al Hakam bertanya kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Apakah boleh kita berjalan ke masjid daripada kita berbaring dahulu?” Beliau menjawab, “Tidak. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya, “Apabila seorang di antara kalian telah salat dua rakaat sebelum Shubuh, maka hendaklah dia berbaring di atas sebelah kanannya.” [Hadis Abu Hurairah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At Tirmidzi dengan sanad yang shahih berdasarkan syarat Al Bukhari dan Muslim dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Abu Dawud no 1123].
Ketika fatwa sekaligus dalil permasalahan di atas sampai kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, tampaknya beliau mengingkarinya. Ibnu Umar berkata, “Sungguh Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadis (sehingga bisa jadi lupa atau salah).” Ketika ditanya, “Apakah engkau mengingkari apa yang diriwayatkan Abu Hurairah?” Ibnu Umar menjawab, “Tidak, akan tetapi Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadis (sehingga terkadang beliau bisa jadi salah dan lupa). Sementara kita hanya sedikit meriwayatkan hadis.” Kemudian hal ini sampai kepada Abu Hurairah sehingga berkata, “Apa salahku jika aku banyak meriwayatkan hadis dan mereka yang lupa.” Terbukti apa yang diriwayatkan Abu Hurairah benar adanya. Dalam riwayat lain Ibnu Umar berkata, “Abu Hurairah lebih baik dariku dan lebih tahu tentang hadis.”
IBADAHNYA
Selain seorang yang berilmu, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga seorang ahli ibadah. Syurahbil rahimahullah berkata bahwa Abu Hurairah senantiasa berpuasa Senin dan Kamis.
Abbas Al Juzairi mengatakan, “Aku mendengar Abu Utsman An Nahdi bercerita, “Aku bertamu di rumah Abu Hurairah tujuh kali. Maka aku menyaksikan dia, istrinya, dan pembantunya menjadikan malam menjadi tiga bagian dan saling bergantian. Apabila yang ini salat dia membangunkan yang lain dan apabila yang lain salat dia membangunkan yang ini.” Aku juga berkata kepadanya, “Wahai Abu Hurairah bagaimana engkau berpuasa?” Beliau menjawab, “Aku berpuasa tiga hari di setiap awal bulan.”
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu juga pernah berkata, “Sungguh aku meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari sebanyak dua belas ribu kali.”
WAFATNYA BELIAU
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu diangkat menjadi amir di Bahrain pada masa khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, kemudian beliau menjadi amir di Madinah tahun 40-41H. Setelah itu beliau tinggal di Madinah, meriwayatkan hadis nabi dan berfatwa sampai wafat tahun 59 H.
Berkata Salim bin Basyir rahimahullah bahwa Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menangis di saat sakit yang menyebabkan kematiannya. Ketika ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab, “Adapun aku menangis bukan karena dunia kalian ini, akan tetapi aku menangis karena jauhnya perjalananku dan sedikitnya perbekalanku. Aku bagai seorang yang berjalan menuju tempat tinggi dan harus kembali turun ke lembah surga atau lembah neraka dan aku tidak tahu kemana aku akan diambil.”
Said bin Abu Said Al Maqburi mengisahkan bahwa Marwan bin Al Hakam menjenguk Abu Hurairah di saat sakit yang menyebabkan kematiannya. Marwan berkata, “Mudah-mudahan Allah menyembuhkanmu wahai Abu Hurairah.” Namun Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berdoa, “Ya Allah sesungguhya aku mencintai pertemuan dengan-Mu maka cintailah pertemuan ini dan segerakanlah.” Maka sebelum sampai Marwan meninggalkan rumah Abu Hurairah, wafatlah beliau radhiyallahu ‘anhu. Semoga Allah meridainya.
Berkata Nafi rahimahullah, “Aku bersama Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu saat wafatnya Abu Hurairah. Beliau berjalan di depan jenazahnya dan banyak mengucapkan “rahimahullah” dan berkata, “Sungguh dia adalah orang yang menjaga hadis nabi untuk kaum muslimin.”
Referensi:
- Siyar Alamin Nubalaa Adz Dzahabi.
- Thabaqat Ibnu Saad.
- Al Ishabah Ibnu Hajar.
- Syarh Shahih Muslim An Nawawi.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 64 vol.06 1440 H rubrik Khairul Ummah. Pemateri: Al Ustadz Abu Ma’mar Abbas bin Husein.