Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
الۡأَصۡلُ الۡأَوَّلُ
Pokok Pertama
إِخۡلَاصُ الدِّينِ لِلهِ تَعَالَى وَحۡدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبَيَانُ ضِدِّهِ الَّذِي هُوَ الشِّرۡكُ بِاللهِ، وَكَوۡنُ أَكۡثَرُ الۡقُرۡآنِ فِي بَيَانِ هٰذَا الۡأَصۡلِ مِنۡ وُجُوهٍ شَتَّى بِكَلَامٍ يَفۡهَمُهُ أَبۡلَدُ الۡعَامَّةِ، ثُمَّ لَمَّا صَارَ عَلَى أَكۡثَرِ الۡأُمَّةِ مَا صَارَ؛ أَظۡهَرَ لَهُمُ الشَّيۡطَانُ الۡإِخۡلَاصَ فِي صُورَةِ تَنَقُّصِ الصَّالِحِينَ، وَالتَّقۡصِيرِ فِي حُقُوقِهِمۡ، وَأَظۡهَرَ لَهُمُ الشِّرۡكَ بِاللهِ فِي صُورَةِ مَحَبَّةِ الصَّالِحِينَ وَأَتۡبَاعِهِمۡ.
Mengikhlaskan agama untuk Allah taala semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan penjelasan lawan darinya yaitu syirik kepada Allah. Dan isi Alquran paling banyak menjelaskan pokok ini dari berbagai sisi dengan pembicaraan yang dapat dipahami oleh orang awam yang paling bodoh.
Kemudian terjadilah pada sebagian besar umat apa yang telah terjadi. Setan telah menampakkan keikhlasan pada mereka dalam bentuk menghinakan orang-orang shalih dan meremehkan hak-hak mereka.
Dan setan menggambarkan kepada mereka syirik kepada Allah dalam bentuk cinta kepada orang-orang shalih dan pengikut-pengikut mereka.
الشرح
Syarah
قَوۡلُهُ: (إِخۡلَاصُ الدِّينِ لِلهِ تَعَالَى وَحۡدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ...).
Ucapan mualif, “Mengikhlaskan agama untuk Allah taala semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.”
الۡإِخۡلَاصُ لِلهِ مَعۡنَاهُ: (أَنۡ يَقۡصُدَ الۡمَرۡءُ بِعِبَادَتِهِ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ تَعَالَى وَالتَّوَصُّلَ إِلَى دَارِ كَرَامَتِهِ) بِأَنۡ يَكُونَ الۡعَبۡدُ مُخۡلِصًا لِلهِ تَعَالَى فِي قَصۡدِهِ مُخۡلِصًا لِلهِ تَعَالَى فِي مَحَبَّتِهِ، مُخۡلِصًا لِلهِ تَعَالَى فِي تَعۡظِيمِهِ، مُخۡلِصًا لِلهِ تَعَالَى فِي ظَاهِرِهِ وَبَاطِنِهِ لَا يَبۡتَغِي بِعِبَادَتِهِ إِلَّا وَجۡهَ اللهِ تَعَالَى وَالۡوُصُولَ إِلَى دَارِ كَرَامَتِهِ
Ikhlas untuk Allah maknanya adalah seseorang memaksudkan ibadahnya sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah taala dan untuk menyampaikan dia ke negeri kemuliaan-Nya. Yaitu, dengan seorang hamba menjadi orang yang memurnikan tujuannya kepada Allah taala, memurnikan cintanya untuk Allah taala, memurnikan pengagungannya untuk Allah taala, memurnikan lahir batinnya untuk Allah taala. Dia tidak mengharapkan dengan ibadahnya kecuali wajah Allah taala dan agar sampai ke negeri kemuliaan-Nya.
كَمَا قَالَ تَعَالىَ: ﴿قُلۡ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحۡيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ ١٦٢ لَا شَرِيكَ لَهُۥ ۖ وَبِذٰلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ﴾ [الأنعام: ١٦٢، ١٦٣]
Sebagaimana firman Allah taala yang artinya, “Katakanlah: Sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidup, dan matiku untuk Allah Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-An’am: 162-163).
وَقَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَأَنِيبُوٓا۟ إِلَىٰ رَبِّكُمۡ وَأَسۡلِمُوا۟ لَهُۥ﴾ [الزمر: ٥٤]
Dan firman Allah taala yang artinya, “Dan kembalilah kalian kepada Tuhan kalian dan berserah dirilah kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 54).
وَقَوۡلُهُ: ﴿وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ لَّآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِيمُ﴾ [البقرة: ١٦٣]
Dan firman Allah yang artinya, “Dan sesembahan kalian adalah sesembahan yang satu. Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 163).
وَقَوۡلُهُ: ﴿فَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهٌ وَٰحِدٌ فَلَهُۥٓ أَسۡلِمُوا۟﴾ [الحج: ٣٤]
Dan firman Allah yang artinya, “Sesembahan kalian adalah sesembahan yang esa. Maka, hanya kepada-Nya kalian berserah diri.” (QS. Al-Hajj: 34).
وَقَدۡ أَرۡسَلَ اللهُ تَعَالَى جَمِيعَ الرُّسُلِ بِذٰلِكَ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيۡهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدُونِ﴾ [الأنبياء: ٢٥]
Allah taala telah mengutus seluruh para rasul dengan hal itu. Sebagaimana Allah taala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami utus seorang rasul pun sebelum engkau kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya`: 25).
وَكَمَا وَضَّحَ اللهُ ذٰلِكَ فِي كِتَابِهِ كَمَا قَالَ الۡمُؤَلِّفُ: (مِنۡ وُجُوهٍ شَتَّى بِكَلَامٍ يَفۡهَمُهُ أَبۡلَدُ الۡعَامَّةِ)
Allah telah menerangkan hal itu di dalam kitab-Nya sebagaimana yang dikatakan oleh mualif, “Dari berbagai sisi dengan pembicaraan yang dapat dipahami oleh orang awam yang paling bodoh.”
فَقَدۡ وَضَّحَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ فَقَدۡ جَاءَ عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِتَحۡقِيقِ التَّوۡحِيدِ وَإِخۡلَاصِهِ وَتَخۡلِيصِهِ مِنۡ كُلِّ شَائِبَةٍ، وَسَدَّ كُلَّ طَرِيقٍ يُمۡكِنُ أَنۡ يُوَصِّلَ إِلَى ثَلۡمِ هَٰذَا التَّوۡحِيدِ أَوۡ إِضۡعَافِهِ، حَتَّى إِنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ ﷺ (مَا شَاءَ اللهُ وَشِئۡتَ) فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (أَجَعَلۡتَنِي لِلهِ نِدًّا بَلۡ مَا شَاءَ اللهُ وَحۡدَهُ) فَأَنۡكَرَ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى هَٰذَا الرَّجُلِ أَنۡ يَقۡرُنَ مَشِيئَتَهُ بِمَشِيئَةِ اللهِ تَعَالَى بِحَرۡفٍ يَقۡتَضِي التَّسۡوِيَةَ بَيۡنَهُمَا، وَجَعَلَ ذٰلِكَ مِنِ اتِّخَاذِ النِّدِّ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkannya. Beliau ‘alaihish shalatu was salam juga telah datang mewujudkan tauhid, memurnikannya, dan membersihkannya dari segala noda. Beliau juga menutup setiap jalan yang mungkin untuk mengantarkan kepada hal yang merusak tauhid ini atau yang melemahkannya. Sampai ketika ada seseorang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Atas kehendak Allah dan kehendakmu,” maka Nabi shalallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau menjadikan tandingan bagi Allah?! Bahkan atas kehendak Allah semata.”[1] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari orang ini karena dia menyandingkan kehendak beliau dengan kehendak Allah taala dengan sebuah huruf (wawu) yang memberi makna persamaan antara keduanya dan Nabi menyatakan hal itu termasuk menjadikan tandingan untuk Allah azza wajalla.
وَمِنۡ ذٰلِكَ أَيۡضًا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ حَرَّمَ الۡحَلِفَ بِغَيۡرِ اللهِ وَجَعَلَ ذٰلِكَ مِنَ الشِّرۡكِ بِاللهِ فَقَالَ ﷺ: (مَنۡ حَلَفَ بِغَيۡرِ اللهِ فَقَدۡ كَفَرَ أَوۡ أَشۡرَكَ) وَذٰلِكَ لِأَنَّ الۡحَلِفَ بِغَيۡرِ اللهِ تَعۡظِيمٌ لِلۡمَحۡلُوفِ بِهِ بِمَا لَا يَسۡتَحِقُّهُ إِلَّا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ،
Termasuk itu pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan sumpah dengan selain Allah dan beliau menyatakan hal itu termasuk syirik kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah berbuat kufur atau syirik.”[2] Hal itu karena sumpah dengan selain Allah merupakan bentuk pengagungan kepada sesuatu yang dia bersumpah dengannya dengan hal-hal yang hanya Allah azza wajalla saja yang berhak.
وَحِينَمَا قَدِمَ عَلَيۡهِ وَفۡدٌ فَقَالُوا: (يَا رَسُولَ اللهِ، يَا خَيۡرَنَا وَابۡنَ خَيۡرِنَا، وَسَيِّدَنَا وَابۡنَ سَيِّدِنَا) قَالَ: (يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا بِقَوۡلِكُمۡ وَلَا يَسۡتَهۡوِيَنَّكُمُ الشَّيۡطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ عَبۡدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، مَا أُحِبُّ أَنۡ تَرۡفَعُونِي فَوۡقَ مَنۡزِلَتِي الَّتِي أَنۡزَلَنِي اللهُ عَزَّ وَجَلَّ).
Ketika ada suatu utusan datang menemui beliau, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, wahai orang terbaik kami dan putra orang terbaik kami, wahai tuan kami dan putra tuan kami,” Nabi bersabda, “Wahai sekalian manusia, ucapkanlah dengan perkataan yang biasa kalian ucapkan dan jangan sampai setan menyesatkan kalian. Saya adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkatku lebih di atas kedudukanku yang Allah azza wajalla tempatkan aku di situ.”[3]
وَقَدۡ عَقَدَ الۡمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ لِذٰلِكَ بَابًا فِي كِتَابِ التَّوۡحِيدِ. فَقَالَ: (بَابُ مَا جَاءَ فِي حِمَايَةِ الۡمُصۡطَفَى ﷺ حِمَى التَّوۡحِيدِ وَسَدِّهِ طُرُقَ الشِّرۡكِ).
Penulis rahimahullah telah membuat sebuah bab tentang hal itu di dalam kitab At-Tauhid. Beliau berkata, “Bab riwayat tentang penjagaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap tauhid dan penghalangan beliau terhadap jalan-jalan kesyirikan.”
وَكَمَا بَيَّنَ اللهُ تَعَالَى الۡإِخۡلَاصَ وَأَظۡهَرَهُ بَيَّنَ ضِدَّهُ وَهُوَ الشِّرۡكُ فَقَالَ تَعَالَى: ﴿إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ﴾ [النساء: ١١٦]
Sebagaimana Allah taala telah menjelaskan tentang keikhlasan dan memberitahukannya, Allah pun menjelaskan lawannya, yaitu syirik. Allah taala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni perbuatan syirik kepada-Nya dan mengampuni dosa di bawah itu bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa`: 116).
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُوا۟ بِهِۦ شَيۡـًٔا﴾ [النساء: ٣٦].
Allah taala berfirman yang artinya, “Sembahlah Allah dan jangan sekutukan apapun dengan-Nya.”
وَقَالَ: ﴿وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَ﴾ [النحل: ٣٦]
Allah berfirman yang artinya, “Sungguh telah Kami utus seorang rasul pada setiap umat agar menyeru: Sembahlah Allah dan jauhilah tagut.” (QS. An-Nahl: 36).
وَالۡآيَاتُ فِي ذٰلِكَ كَثِيرَةٌ.
Ayat-ayat tentang hal itu ada banyak.
وَيَقُولُ النَّبِيُّ ﷺ: (مَنۡ لَقِيَ اللهَ لَا يُشۡرِكُ بِهِ شَيۡئًا دَخَلَ الۡجَنَّةَ، وَمَنۡ لَقِيَهُ يُشۡرِكُ بِهِ شَيۡئًا دَخَلَ النَّارَ) رَوَاهُ مُسۡلِمٌ مِنۡ حَدِيثِ جَابِرٍ.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang berjumpa Allah dalam keadaan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya, niscaya dia masuk janah. Dan siapa saja yang berjumpa dengan-Nya dalam keadaan dia menyekutukan sesuatu dengan-Nya, niscaya dia masuk neraka.”[4] (HR. Muslim dari Jabir).
وَالشِّرۡكُ عَلَى نَوۡعَيۡنِ:
Syirik ada dua jenis:
النَّوۡعُ الۡأَوَّلُ: شِرۡكٌ أَكۡبَرُ مُخۡرِجٌ عَنِ الۡمِلَّةِ وَهُوَ: (كُلُّ شِرۡكٍ أَطۡلَقَهُ الشَّارِعُ وَهُوَ مُنَافٍ لِلتَّوۡحِيدِ مُنَافَاةً مُطۡلَقَةً) مِثۡلُ أَنۡ يَصۡرِفَ شَيۡئًا مِنۡ أَنۡوَاعِ الۡعِبَادَةِ لِغَيۡرِ اللهِ بِأَنۡ يُصَلِّيَ لِغَيۡرِ اللهِ أَوۡ يَذۡبَحَ لِغَيۡرِ اللهِ، أَوۡ يَنۡذُرَ لِغَيۡرِ اللهِ، أَوۡ أَنۡ يَدۡعُوَ غَيۡرَ اللهِ تَعَالَى مِثۡلَ أَنۡ يَدۡعُوَ صَاحِبَ قَبۡرٍ، أَوۡ يَدۡعُوَ غَائِبًا لِإِنۡقَاذِهِ مِنۡ أَمۡرٍ لَا يَقۡدِرُ عَلَيۡهِ إِلَّا الۡحَاضِرُ، وَأَنۡوَاعِ الشِّرۡكِ مَعۡلُومَةٍ فِيمَا كَتَبَهُ أَهۡل الۡعِلۡمِ.
Jenis pertama: Syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari agama. Yaitu: Setiap syirik yang disebutkan secara mutlak oleh Allah dan syirik ini menafikan tauhid secara mutlak. Semisal memalingkan salah satu jenis ibadah kepada selain Allah. Seperti salat kepada selain Allah, menyembelih untuk selain Allah, bernazar untuk selain Allah, atau berdoa kepada selain Allah taala. Misalnya berdoa kepada penghuni kubur atau berdoa kepada orang yang tidak hadir untuk melaksanakan urusan yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh orang yang hadir. Juga jenis-jenis syirik yang telah diketahui dalam karya tulis para ulama.
النَّوۡعُ الثَّانِي: الشِّرۡكُ الۡأَصۡغَرُ وَهُوَ (كُلُّ عَمَلٍ قَوۡلِيٍّ أَوۡ فِعۡلِيٍّ أَطۡلَقَ عَلَيۡهِ الشَّارِعُ وَصۡفَ الشِّرۡكِ لَكِنَّهُ لَا يُنَافِي التَّوۡحِيدَ مُنَافَاةً مُطۡلَقَةً)
Jenis kedua: Syirik kecil yaitu setiap amalan ucapan atau perbuatan yang Allah sebutkan sifat kesyirikan padanya secara umum akan tetapi tidak menafikan tauhid secara mutlak.
مِثۡلُ الۡحَلِفِ بِغَيۡرِ اللهِ فَالۡحَالِفُ بِغَيۡرِ اللهِ الَّذِي لَا يَعۡتَقِدُ أَنَّ لِغَيۡرِ اللهِ تَعَالَى مِنَ الۡعَظَمَةِ مَا يُمَاثِلُ عَظَمَةَ اللهِ مُشۡرِكٌ شِرۡكًا أَصۡغَرَ،
Seperti bersumpah dengan selain Allah. Orang yang bersumpah dengan selain Allah tanpa meyakini bahwa selain Allah taala memiliki keagungan yang menandingi keagungan Allah, maka dia adalah orang yang melakukan kesyirikan kecil.
وَمِثۡلُ الرِّيَاءِ وَهُوَ خَطِيرٌ قَالَ فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيۡهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ: (أَخۡوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيۡكُمُ الشِّرۡكُ الۡأَصۡغَرُ فَسُئِلَ عَنۡهُ؟ فَقَالَ: الرِّيَاءُ) وَقَدۡ يَصِلُ الرِّيَاءُ إِلَى الشِّرۡكِ الۡأَكۡبَرِ، وَقَدۡ مَثَّلَ ابۡنُ الۡقَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ لِلشِّرۡكِ الۡأَصۡغَرِ بِيَسِيرِ الرِّيَاءِ وَهَٰذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ كَثِيرَ الرِّيَاءِ قَدۡ يَصِلُ إِلَى الشِّرۡكِ الۡأَكۡبَرِ،
Semisal ria dan ini berbahaya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang ria ini, “Hal yang paling aku takutkan pada kalian adalah syirik kecil.” Lalu beliau ditanya tentangnya dan beliau menjawab, “Yaitu ria.” Namun, terkadang ria bisa sampai kepada syirik akbar. Ibnu Al-Qayyim rahimahullah membuat permisalan untuk syirik kecil dengan ria yang sedikit. Ini menunjukkan bahwa banyak berbuat ria bisa sampai kepada syirik akbar.
وَقَدۡ ذَهَبَ بَعۡضُ أَهۡلِ الۡعِلۡمِ إِلَى أَنَّ قَوۡلَهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ﴾ [النساء: ١١٦] يَشۡمُلُ كُلَّ شِرۡكٍ وَلَوۡ كَانَ أَصۡغَرَ،
Sebagian ulama berpendapat bahwa firman Allah taala yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik,” mencakup setiap syirik walaupun syirik kecil.
فَالۡوَاجِبُ الۡحَذَرُ مِنَ الشِّرۡكِ مُطۡلَقًا فَإِنَّ عَاقِبَتَهُ وَخِيمَةٌ قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٍ﴾ [المائدة: ٧٢] فَإِذَا حُرِمَتِ الۡجَنَّةُ عَلَى الۡمُشۡرِكِ لَزِمَ أَنۡ يَكُونَ خَالِدًا فِي النَّارِ أَبَدًا،
Jadi yang wajib adalah waspada dari syirik secara mutlak. Karena akibat dari kesyirikan sangat tidak mengenakkan. Allah taala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya siapa saja yang berbuat kesyirikan kepada Allah, maka Allah haramkan janah baginya dan tempatnya neraka, serta orang-orang zalim itu tidak memiliki seorang penolong pun.” (QS. Al-Ma`idah: 72). Apabila janah diharamkan atas orang musyrik, maka dia pasti kekal di dalam neraka selama-lamanya.
فَالۡمُشۡرِكُ بِاللهِ تَعَالَى قَدۡ خَسِرَ الۡآخِرَةَ لَا رَيۡبَ لِأَنَّهُ فِي النَّارِ خَالِدًا، وَخَسِرَ الدُّنۡيَا لِأَنَّهُ قَامَتۡ عَلَيۡهِ الۡحُجَّةُ وَجَاءَهُ النَّذِيرُ وَلَكِنَّهُ خَسِرَ لَمۡ يَسۡتَفِدۡ مِنَ الدُّنۡيَا شَيۡئًا قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿قُلۡ إِنَّ ٱلۡخَـٰسِرِينَ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓا۟ أَنفُسَهُمۡ وَأَهۡلِيهِمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ ۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡخُسۡرَانُ ٱلۡمُبِينُ﴾ [الزمر: ١٥] فَخَسِرَ نَفۡسَهُ لِأَنَّهُ لَمۡ يَسۡتَفِدۡ مِنۡهَا شَيۡئًا وَأَوۡرَدَهَا النَّارَ وَبِئۡسَ الۡوِرۡدُ الۡمَوۡرُودُ، وَخَسِرَ أَهۡلَهُ لِأَنَّهُمۡ إِنۡ كَانُوا مُؤۡمِنِينَ فَهُمۡ فِي الۡجَنَّةِ فَلَا يَتَمَتَّعُ بِهِمۡ، وَإِنۡ كَانُوا فِي النَّارِ فَكَذٰلِكَ لِأَنَّهُ كُلَّمَا دَخَلَتۡ أُمَّةٌ لَعَنَتۡ أُخۡتَهَا.
Sehingga orang yang berbuat syirik kepada Allah taala sungguh tidak diragukan telah rugi akhiratnya karena dia kekal di dalam neraka. Dia juga rugi dunianya karena dalil telah sampai kepadanya dan pemberi peringatan sudah datang kepadanya, akan tetapi dia rugi tidak bisa mengambil sedikit faedah saja dari dunia. Allah taala berfirman yang artinya, “Katakanlah: Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah yang merugikan diri dan keluarganya pada hari kiamat. Ketahuilah, itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 15). Dia merugikan diri sendiri karena dia tidak mengambil sedikit pun faedah dari dunia dan dia mengantarkan dirinya kepada neraka padahal neraka adalah seburuk-buruk tempat yang didatangi. Dia juga merugikan keluarganya karena apabila keluarganya adalah orang-orang yang beriman, maka mereka berada di dalam janah sehingga dia tidak bisa bersenang-senang dengan mereka. Adapun jika keluarganya juga berada di dalam neraka, maka begitu pula. Karena di neraka itu, setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (yang menyesatkannya).
وَاعۡلَمۡ أَنَّ الشِّرۡكَ خَفِيٌّ جِدًّا وَقَدۡ خَافَهُ خَلِيلُ الرَّحۡمَٰنِ وَإِمَامُ الۡحُنَفَاءِ كَمَا حَكَي اللهُ عَنۡهُ: ﴿وَٱجۡنُبۡنِى وَبَنِىَّ أَن نَّعۡبُدَ ٱلۡأَصۡنَامَ﴾ [إبراهيم: ٣٥]. وَتَأَمَّلۡ قَوۡلَهُ: ﴿وَٱجۡنُبۡنِى﴾ وَلَمۡ يَقُلۡ: (وَامۡنَعۡنِي) لِأَنَّ مَعۡنَى اجۡنُبۡنِي أَيۡ اجۡعَلۡنِي فِي جَانِبِ عِبَادَةٍ وَالۡأَصۡنَامَ فِي جَانِبٍ، وَهَٰذَا أَبۡلَغُ مِنۡ امۡنَعۡنِي لِأَنَّهُ إِذَا كَانَ فِي جَانِبٍ وَهِيَ فِي جَانِبٍ كَانَ أَبۡعَدَ،
Ketahuilah bahwa syirik ini sangat samar. Nabi Ibrahim khalil Ar-Rahman dan pemimpin orang-orang yang hanif pun mengkhawatirkan dirinya, sebagaimana yang Allah kisahkan tentang doa beliau, “Jauhkan aku dan keturunanku dari menyembah berhala.” (QS. Ibrahim: 35). Renungkan ucapan beliau, “Jauhkan aku,” beliau tidak mengatakan, “Halangi aku,” karena makna “jauhkan aku” adalah jadikan aku berada di sisi ibadah dan berhala di sisi yang lain. Ini lebih dalam artinya daripada “halangi aku” karena jika beliau berada di satu sisi sementara berhala ada di sisi lain, maka tentu posisinya berjauhan.
وَقَالَ ابۡنُ أَبِي مُلَيۡكَةَ: (أَدۡرَكۡتُ ثَلَاثِينَ مِنۡ أَصۡحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ كُلَّهُمۡ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفۡسِهِ).
Ibnu Abu Mulaikah berkata, “Aku menjumpai tiga puluh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semua mengkhawatirkan kemunafikan pada dirinya.”[5]
وَقَالَ أَمِيرُ الۡمُؤۡمِنِينَ عُمَرُ بۡنُ الۡخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ لِحُذَيۡفَةَ بۡنِ الۡيَمَانِ: (أَنۡشُدُكَ اللهَ هَلۡ سَمَّانِي لَكَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مَعَ مَنۡ سَمَّى مِنَ الۡمُنَافِقِينَ) مَعَ أَنَّ الرَّسُولَ ﷺ بَشَّرَهُ بِالۡجَنَّةِ وَلَكِنَّهُ خَافَ أَنۡ يَكُونَ ذٰلِكَ لِمَا ظَهَرَ لِرَسُولِ اللهِ ﷺ مِنۡ أَفۡعَالِهِ فِي حَيَاتِهِ، فَلَا يَأۡمَنُ النِّفَاقَ إِلَّا مُنَافِقٌ، وَلَا يَخَافُ النِّفَاقَ إِلَّا مُؤۡمِنٌ،
Amirulmukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Hudzaifah bin Al-Yaman, “Aku memintamu dengan nama Allah, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkanku kepadamu bersama dengan orang-orang yang beliau sebut termasuk orang-orang munafik?” Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi kabar gembira beliau dengan janah, akan tetapi beliau mengkhawatirkan hal itu karena perbuatan-perbuatan yang beliau lakukan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa hidup beliau. Sehingga, tidaklah ada yang merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidak ada yang mengkhawatirkan dari kemunafikan kecuali orang mukmin.
فَعَلَى الۡعَبۡدِ أَنۡ يَحۡرِصَ عَلَى الۡإِخۡلَاصِ وَأَنۡ يُجَاهِدَ نَفۡسَهُ عَلَيۡهِ قَالَ بَعۡضُ السَّلَفِ: (مَا جَاهَدۡتُ نَفۡسِي عَلَى شَيۡءٍ مَا جَاهَدۡتُهَا عَلَى الۡإِخۡلَاصِ) فَالشِّرۡكُ أَمۡرُهُ صَعۡبٌ جِدًّا لَيۡسَ بِالۡهَيِّنِ وَلَكِنَّ اللهَ يُيَسِّرُ الۡإِخۡلَاصَ عَلَى الۡعَبۡدِ وَذٰلِكَ بِأَنۡ يَجۡعَلَ اللهَ نَصۡبَ عَيۡنَيۡهِ فَيَقۡصُدَ بِعَمَلِهِ وَجۡهَ اللهِ.
Maka, seorang hamba wajib agar bersemangat untuk ikhlas dan agar mengusahakan jiwanya untuk ikhlas. Sebagian salaf berkata, “Tidaklah aku berjuang mengendalikan jiwaku terhadap sesuatu yang melebihi perjuanganku mengendalikan jiwa untuk ikhlas.” Sehingga kesyirikan urusannya sangat sulit, bukan perkara remeh. Akan tetapi Allah memudahkan ikhlas kepada hamba dengan cara hamba itu menjadikan Allah seakan-akan selalu di hadapannya sehingga dia bisa meniatkan amalannya untuk wajah Allah.
[1] HR. An-Nasa`i nomor 3773 dan Ibnu Majah nomor 2117.
[3] HR. Abu Dawud nomor 4806.
[4] HR. Muslim nomor 93.