Seorang pemuda yang hidup dengan gemerlap dan kemewahan dunia, berlimpah harta, bersama keluarga terhormat dan terpandang. Namun rela meninggalkan semua itu demi cahaya iman yang telah terpatri dalam lubuk hati. Seirama dengan denyut nadi dan merasuk ke seluruh jajaran darahnya.
Dialah Mush’ab bin Umair bin Hisyam bin Abdi Manaf radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya Mush’ab Al Khair. Pemuda harapan dan kebanggaan kaum Quraisy, dikenal sering berpakaian dan berminyak wangi yang jarang ditemukan di Jaziratul Arab.
Islam telah mengubah gaya hidupnya. Cahaya Islam yang Allah anugerahkan mampu menjadikannya rida secara sempurna dan bahagia di bawah bimbingan ilahi, bersabar di atas kemiskinan dan kesulitan hidup. Bahkan saat meninggalnya, ia tidak memiliki kain kafan yang cukup untuk menutupi jasadnya.
Suatu saat didatangkan makanan kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu, namun beliau malah menangis. Ditanyakan kepadanya, “Apa gerangan yang membuat engkau menangis?” “Telah meninggal Mush’ab bin Umair, dan dia lebih baik dariku, tetapi tidak memiliki kain kafan yang mencukupinya. Apabila ditutupkan ke wajahnya, maka kakinya terbuka. Apabila kakinya ditutup maka wajahnya terbuka. Aku khawatir kenikmatan ini telah disegerakan untukku di dunia.”
Khabbab bin Al Art mengatakan, “Kami telah berhijrah dan kami berharap pahala dari Allah. Di antara kami ada yang telah meninggal sebelum menikmati hasil perjuangan ini (di dunia). Di antaranya adalah Mush’ab bin Umair. Dia gugur di Perang Uhud dan kami tidak mendapati sesuatu untuk mengafaninya kecuali kain wol (kecil), yaitu jika kami menutup kepalanya kedua kakinya terbuka dan jika kami menutup kedua kakinya kepalanya terbuka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menutup kepalanya dan menutup kedua kakinya dengan idzkhir (sejenis rumput) dan di antara kami ada yang menikmati hasil perjuangan ini (di dunia).”
Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Mush’ab memakai pakaian dari kulit domba, kemudian beliau berkata, “Lihatlah oleh kalian pemuda ini, sungguh Allah telah melimpahkan cahaya iman pada sanubarinya. Sungguh dahulu aku menyaksikan kehidupannya bersama orang tuanya dengan menikmati makanan dan minuman yang paling lezat. Aku juga pernah melihatnya memakai jubah mahal yang dibeli dua ratus dirham, kemudian telah memanggilnya rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka keadaannya (berubah drastis) seperti yang telah kalian lihat.”
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkisah, “Dahulu kami (di awal Islam) dalam keadaan kesulitan hidup di Mekkah. Maka ketika menimpa kami ujian (kemiskinan) kami menyadari risiko perjuangan dan kami pun bersabar. Mush’ab bin Umair dahulu adalah orang yang paling mewah di Mekkah, menikmati makanan yang paling lezat, berpakaian dengan pakaian terbaik bersama orang tuanya. Sungguh saat ini aku menyaksikannya dalam keadaan miskin kekurangan segalanya. Sungguh aku melihat kulitnya menjadi kasar seperti kulit ular, sampai di antara kami merasa iba dan menghiburnya. Kemudian Allah memuliakannya dengan gugur di Perang Uhud.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Ketika kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, datanglah Mush’ab bin Umair mengenakan jubah dengan beberapa tambalan. Padahal dahulu dia adalah pemuda yang paling mewah dan bahagia. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya beliau teringat kenikmatan dan kemewahan yang telah dia rasakan dahulu, membandingkan keadaannya yang sekarang. Maka berlinang air mata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Kalian sekarang apakah merasa lebih baik atau (ketika) kalian dihidangkan senampan makanan dengan roti dan daging?” Mereka menjawab, “Kami sekarang merasakan lebih baik, cukup bagi kami harta (yang sedikit) dan kami bisa memaksimalkan ibadah kepada Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bahkan kalian saat ini lebih baik daripada masa yang lalu.”
Berkata Ibnu Sa’ad, “Adalah Mush’ab bin Umair seorang pemuda Mekkah yang tampan dan mewah. Kedua orang tuanya sangat mencintai dan menyayanginya. Ibunya adalah orang kaya raya, memberikan pakaian terbaik dan yang paling lembut. Dan dia juga orang yang paling wangi di Mekkah, biasa memakai sandal Hadramaut. Kemudian sampai kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kepada Islam di rumah Al Arqam. Dia pun masuk Islam dan membenarkannya. Kemudian dia keluar dari rumah Al Arqam dengan menyembunyikan keislamannya, karena takut terhadap ibunya dan kaumnya. Dia sering bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sembunyi-sembunyi. Sampai satu saat Utsman bin Thalhah melihatnya sedang melakukan salat, kemudian dia mengabari ibu dan kaumnya. Maka mereka menangkap, mengurung, dan menyiksanya. Dia senantiasa terkurung sampai berhasil keluar hijrah ke Habasyah.”
Setelah baiat Aqabah pertama, Islam mulai tersebar di Madinah, maka kaum Anshar meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengutus seorang shahabat yang bisa mengajarkan Islam dan membacakan Al Quran kepada mereka. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu, dialah utusan pertama dalam Islam. Dia pun singgah di rumah As’ad bin Zurarah, mereka berdua mendatangi rumah orang-orang Anshar sehingga tersebarlah Islam di Madinah. Banyak dari tokoh-tokoh mereka yang memeluk Islam di antaranya Sa’ad bin Muadz dan Usaid bin Khudair radhiyallahu ‘anhum. Di saat kaum muslimin mulai banyak di Madinah, Mush’ab bin Umair meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan salat Jum’at. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya, mereka melaksanakannya di rumah Sa’ad bin Khaisyamah. Inilah salat Jum’at pertama kali dilaksanakan dalam Islam.
Saat tiba musim hajim, Mush’ab bin Umar radhiyallahu ‘anhu kembali ke Mekkah bersama 70 orang Anshar dari kaum Aus dan Khazraj. Terjadilah baiat Aqabah yang kedua. Di Mekkah, pertama yang dia datangi adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mush’ab menceritakan perkembangan Islam di Madinah. Kedatangan Mush’ab ke Mekkah diketahui ibunya. Maka ibunya mengutus seseorang untuk memanggilnya. Utusan itu menyampaikan pesan ibunya, “Wahai anak durhaka! Apakah kamu datang ke negeri ini dan aku bukan orang yang didahulukan?” Mush’ab berkata, ‘Sungguh aku tidak akan mendahulukan seorang pun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Mush’ab kemudian izin dan mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu pergi menuju ibunya. Setelah sampai, ibunya berkata, “Sesungguhnya aku mengira engkau akan tetap dalam agama Shabi’ah.” Mush’ab berkata, “Wahai ibuku, sungguh aku berada di atas agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Islam, yang Allah rida kepada diriku dan kepada Rasul-Nya.” Ibunya berkata, “Tidakkah kamu rasakan kesedihanku, meratapimu ketika di Habasyah dan Yatsrib.” Mush’ab berkata, “Aku yakin dengan agamaku walaupun kalian menyiksaku.” Maka ibunya ingin menahannya kembali. Mush’ab pun berkata, “Jika engkau wahai ibuku ingin menahanku, maka aku akan berusaha (memerangi) membunuh orang yang menghalangiku.” Ibunya berkata, “(Jika demikian) pergi kamu dengan urusanmu.” Kemudian menangis. Berkata Mush’ab, “Wahai ibuku, sungguh aku tulus menasehatimu dan menyayangimu, maka bersaksilah bahwa tidak ada sesembahan yang benar untuk diibadahi kecuali Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah.” Ibunya berkata, “Cerdas sekali! Aku tidak akan masuk agamamu! Sama saja aku merendahkan pendapatku sendiri dan melemahkan akalku. Akan tetapi aku akan membiarkanmu bersama agamamu dan biarkan aku bersama agamaku.” Kemudian Mush’ab tinggal bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah pada sisa bulan Dzulhijjah, Muharram, dan Shafar. Dan kembali ke Madinah di awal bulan Rabiulawal sekitar 12 hari sebelum hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
KISAH DI PERANG UHUD
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bendera perang kepada Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu sebagaimana beliau menyerahkan bendera ini kepadanya pada Perang Badar.
Saat keadaan kaum muslimin berbalik, yang sebelumnya menguasai pertempuran, kini porak poranda kacau; masing-masing ingin menyelamatkan diri, di sana ada beberapa shahabat yang kokoh dan tangguh di antaranya sang pemegang bendera perang, Mush’ab bin Umair. Di saat perang berkecamuk hebat, kilatan pedang tak tentu arah, tiba-tiba salah satu prajurit berkuda Quraisy Ibnu Qamiah menebas tangan kanan Mush’ab yang saat itu memegang bendera, terputuslah tangan kanannya. Kemudian dia membaca ayat yang artinya, “Tidaklah Muhammad kecuali seorang Rasul seperti rasul-rasul sebelumnya…” Mush’ab masih memiliki tangan kiri. Serta merta bendera ia genggam dengan tangan kirinya. Ibnu Qamiah pun melancarkan serangan kembali, dan kali ini dia berhasil menebas tangan kiri Mush’ab bin Umair. Terputuslah tangan kirinya kemudian beliau membaca ayat yang artinya, “Tidaklah Muhammad kecuali seorang Rasul seperti rasul-rasul sebelumnya…”
Sejenak bendera terjatuh, namun tak lama kemudian dia meraih bendera tersebut dengan kedua lengan yang dihimpitkan ke dadanya. Bendera perang masih berkibar, semangat juang pun terus berkobar. Hanya saja kondisi kaum muslimin saat itu terjepit dan tertekan. Ibnu Qamiah semakin buas menyerang, dia pun melemparkan tombak ke arah Mush’ab bin Umair, sehingga beliau terjatuh dan gugur di medan jihad. Setelah bendera perang jatuh kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkannya kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Sementara itu, Ibnu Qamiah gembira dan berteriak, “Aku telah membunuh Muhammad!” Dia menyangka bahwa Mush’ab bin Umair adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mush’ab bin Umair, pejuang yang rela menjual dunia untuk akhiratnya telah gugur saat melindungi sosok yang paling dia cintai. Beliau gugur bersama tujuh puluh shahabat yang lainnya di medan Uhud sebagai syahid. Beliau wafat pada umur 40 tahun radhiyallahu ‘anhu. Semoga Allah meridai beliau.
Referensi:
- Sahih Bukhari, Al Bukhari rahimahullah.
- Thabaqat Ibnu Sa’ad, Ibnu Sa’ad rahimahullah.
- Sirah Nabawiyyah, Ibnu Ishaq rahimahullah.
- Siyar Alamin Nubalaa’, Ad Dzahabi rahimahullah.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 68 vol.06 1440 H rubrik Khairul Ummah. Pemateri: Al Ustadz Abu Ma’mar Abbas bin Husein.