Beliau adalah termasuk jajaran shahabat kecil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lahir sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah. Nama beliau adalah Abu Abdillah Jundub bin Abdillah bin Sufyan Al Bajali Al ‘Alaqy radhiyallahu ‘anhu. Terkadang beliau dinisbahkan kepada kakeknya sehingga dipanggil dengan nama Jundub bin Sufyan. Terkadang juga disebut sebagai Jundub Al Faaruq, atau Jundub bin Ummi Jundub. Penduduk Bashrah mengenalnya dengan nama Jundub bin Abdillah, sedang penduduk Kufah mengenalnya dengan Jundub bin Sufyan.
UPAYA THALABUL ILMI
Walau masih belia, namun perhatikanlah semangat beliau dalam menimba ilmu di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كُنَّا غِلۡمَانًا حَزَاوِرَةً مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَتَعَلَّمَنَا الۡإِيمَانَ قَبۡلَ الۡقُرۡآنِ، ثُمَّ تَعَلَّمَنَا الۡقُرۡآنَ، فَازۡدَدۡنَا بِهِ إِيمَانًا وَإِنَّكُمُ الۡيَوۡمَ تَعَلَّمُونَ الۡقُرۡآنَ قَبۡلَ الۡإِيمَانِ
“Dulu kami adalah anak-anak kecil yang sudah cukup kuat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, kami pun mempelajari iman sebelum Al Quran, kemudian kami mempelajari Al Quran (setelah itu). Maka, semakin bertambahlah iman kami. Sementara kalian di hari ini, kalian mempelajari Al Quran sebelum iman.” [H.R. Ibnu Majah dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah]
Selain dari nabi, beliau juga meminta ilmu dan riwayat dari shahabat Ubay bin Kaab dan Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu ‘anhuma. Demikian semangat dalam menimba ilmu, sehingga dikenal oleh masyarakat muslimin karena banyaknya riwayat hadis dari beliau.
Beliau pernah tinggal di Kufah kemudian pindah ke Kota Bashrah. Beliau mendatangi kota tersebut bersama dengan Mushab bin Zubair. Enam imam penulis kitab induk hadis pun meriwayatkan hadis-hadis lewat jalur beliau, mereka adalah Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An Nasai, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam Kitab Musnadnya, Imam Ahmad rahimahullah membuat musnad yang isinya adalah hadis-hadis yang diriwayatkan oleh shahabat Nabi ini. Demikianlah, memang beliau dikenal sebagai shahabat yang gemar belajar ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara hadis yang beliau riwayatkan adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنۡ قُتِلَ تَحۡتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ، يَدۡعُو عَصَبِيَّةً، أَوۡ يَنۡصُرُ عَصَبِيَّةً، فَقِتۡلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Siapa saja yang terbunuh di bawah bendera kesukuan, mengajak kepada ashabiyah (kesukuan) atau membela karena ashabiyah maka matinya adalah mati jahiliyah.” [H.R. Muslim].
كَانَ فِيمَنۡ كَانَ قَبۡلَكُمۡ رَجُلٌ بِهِ جُرۡحٌ، فَجَزِعَ، فَأَخَذَ سِكِّينًا فَحَزَّ بِهَا يَدَهُ، فَمَا رَقَأَ الدَّمُ حَتَّى مَاتَ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: بَادَرَنِي عَبۡدِي بِنَفۡسِهِ، حَرَّمۡتُ عَلَيۡهِ الۡجَنَّةَ
“Dulu di antara umat sebelum kalian ada orang yang terkena luka, sampai dia tidak sabar. Kemudian dia mengambil pisau dan dia potong nadi tangannya. Darah terus mengalir sampai dia mati. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku mendahului-Ku dengan bunuh dirinya, Aku haramkan untuknya surga.” [H.R. Bukhari].
إِنِّي أَبۡرَأُ إِلَى اللهِ، أَنۡ يَكُونَ لِي مِنۡكُمۡ خَلِيلٌ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى، قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيلًا، كَمَا اتَّخَذَ إِبۡرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَلَوۡ كُنۡتُ مُتَّخِذًا مِنۡ أُمَّتِي خَلِيلًا، لَاتَّخَذۡتُ أَبَا بَكۡرٍ خَلِيلًا، أَلَا وَإِنَّ مَنۡ كَانَ قَبۡلَكُمۡ، كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنۡبِيَائِهِمۡ وَصَالِحِيهِمۡ مَسَاجِدَ، أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الۡقُبُورَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنۡهَاكُمۡ عَنۡ ذٰلِكَ
“Sesungguhnya aku berlepas diri kepada Allah, untuk menjadikan dari kalian untukku sebagai seorang Khalil (kekasih), karena sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai Khalil sebagaimana menjadikan Nabi Ibrahim sebagai Khalil. Jikalau aku menjadikan dari umatku seorang Khalil niscaya aku jadikan Abu Bakar sebagai Khalil. Ingatlah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan Nabi-nabi dan orang-orang saleh mereka sebagai masjid. Ingatlah! Janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari hal itu.” [H.R. Muslim].
Demikianlah kesungguhan beliau dalam belajar mencari ilmu. Di antara yang meriwayatkan dari beliau dari kalangan penduduk Al Bashrah adalah Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin, Anas bin Sirin, Abu Suwar Al Adawi, Bakar bin Abdillah Al Muzani, Maimun bin Sayyah, Laahiq bin Humaid, Yunus bin Jubair Al Baahili, Shafwan bin Muhraz, dan Abu Imran Al Juuni. Adapun yang meriwayatkan hadits beliau dari kalangan penduduk Kufah adalah Abdul Malik bin Umair, Al Aswad bin Qais, dan Salamah bin Kuhail. Sedangkan dari kalangan penduduk Syam yang meriwayatkan dari beliau di antaranya adalah Syahr bin Hausyab.
NASEHAT EMAS
Bagaimanapun keadaan para shahabat, mereka ibarat bintang di langit yang memberi cahaya kepada pejalan malam. Mereka adalah penyambung ilmu antara kita dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu generasi setelah mereka tidak layak untuk meninggalkan petuah dan bimbingan mereka dalam setiap permasalahan. Terlebih pada perkara berat yang sulit bagi seseorang untuk bersikap dengan sikap terbaik. Semacam peristiwa munculnya fitnah (kekacauan) besar, yang terjadi di antara kaum muslimin.
Diriwayatkan dari Sufyan bin Muharriz bahwa Jundub bin Abdillah Al Bajali radhiyallahu ‘anhu mengutus utusan kepada ‘As’as bin Salamah di saat terjadinya masa fitnah (perselisihan) di zaman Ibnu Zubair. Beliau berkata, “Kumpulkanlah beberapa orang saudaramu supaya aku bisa berbicara dengan mereka.” Maka diutuslah utusan kepada mereka. Tatkala mereka telah berkumpul, datanglah Jundub. Beliau memakai Burnuz (baju semacam jubah yang memiliki tudung kepala) berwarna kuning. Maka beliau berkata, “Sungguh dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus pasukan muslimin kepada kaum musyrikin. Saat kedua kubu bertemu, ada seorang laki-laki dari musyrikin yang bila menarget seorang muslim, ia pasti bisa membunuhnya. Maka ada seorang pasukan muslim yang mencari-cari kelemahannya tatkala pedang sudah diangkat untuk menebasnya, orang musyrik itu mengatakan laa ilaha illallah, namun ia tetap membunuhnya. Lalu diutuslah utusan untuk menyampaikan kabar gembira (kemenangan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka utusan tersebut mengabarkan tentang peperangan hingga ia menceritakan kejadian berbagai peristiwa yang dilakukan muslim tadi. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memanggil laki-laki itu dan berkata, “Mengapa engkau membunuhnya?” Orang ini menjawab, “Wahai Rasulullah, ia membuat takut kaum muslimin, dan membunuh fulan dan fulan. Sambil menyebut beberapa nama. Dan aku mengarahkan pedangku kepadanya, tatkala ia melihat pedang itu ia mengatakan laa ilaha illallah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau membunuhnya?” Ia menjawab, “Iya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
فَكَيۡفَ تَصۡنَعُ بِلَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ إِذَا جَاءَتۡ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ؟
“Lalu apa yang bisa kamu perbuat dengan kalimat laa ilaha illallah jika telah datang nanti hari kiamat!’ Maka beliau tidak melebihkan ucapan beliau dari kalimat, ‘Lalu apa yang bisa kamu perbuat dengan kalimat laa ilaha illallah jika telah datang nanti hari kiamat!”
Lalu Jundub radhiyallahu ‘anhu berkata kepada kami, “Fitnah telah menaungi kalian, siapa yang larut padanya ia akan binasa.” Kami pun bertanya, “Lalu apa yang ada nasehatkan apabila fitnah itu datang ke negeri kami? Semoga Allah memperbaiki keadaan anda.” Beliau berkata, “Masuklah ke kampung-kampung kalian (menjauhi fitnah tersebut, red).” Kami berkata, “Bagaimana bila mereka masuk ke kampung kami?” Beliau berkata, “Masuklah ke rumah-rumah kalian.” Kami berkata, “Bagaimana bila mereka masuk ke rumah-rumah kami?” Beliau berkata, “Masuklah ke kamar kalian.” Kami berkata, “Bagaimana bila mereka masuk ke kamar kami?” Beliau berkata, “Jadilah kalian hamba Allah yang terbunuh dan janganlah kalian menjadi hamba Allah yang membunuh.” [Riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi, dan An Nasai]. Demikian nasehat beliau saat terjadi fitnah (peperangan) yang melanda antara kaum muslimin.
MENINGGALNYA
Disebutkan bahwa beliau meninggal di usia tujuh puluh tahun. Radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah meridainya).
Sumber: Majalah Qudwah edisi 68 vol.06 1440H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Abdirrahman Hammam.