Cari Blog Ini

Ibnu Sirin

Imam Ahli Tafsir Mimpi


Ibnu Sirin, demikian nama ini sering terdengar telinga kita. Untuk seorang penuntut ilmu, nama ini memang tak lagi asing. Betapa tidak, tabi’in mulia ini telah menjadi seorang imam (panutan) sekaligus bergelar Syaikhul Islam (seorang ulama yang sangat mendalam ilmunya tentang segala bidang ilmu agama). Ayahnya merupakan bekas budak Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, shahabat mulia yang mengabdi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dahulu, ayahnya, Sirin termasuk tahanan Jarjaraya, sebuah wilayah di dekat kota Baghdad. Sejak awal, Anas bin Malik melihat Sirin mempunyai kemampuan dalam perniagaan. Sirin memang ahli dalam membuat periuk sehingga bisa menuai keuntungan cukup besar dari perdagangannya. Di saat itulah, Sirin menginginkan mukatabah karena merasa mempunyai harta yang cukup untuk membebaskan diri dari perbudakan. Mukatabah merupakan salah satu metode untuk membebaskan diri dari perbudakan. Yaitu, seorang budak meminta majikannya untuk dimerdekakan dengan membayar sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan. Si majikan hendaklah mengabulkan permintaan itu jika ia memandang budaknya sanggup melunasi pembayaran dengan harta yang halal. Setelah bebas dari belenggu perbudakan, Sirin pun berkeinginan untuk menikah. Saat itu jatuhlah pilihannya kepada seorang budak wanita milik Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu yang bernama Shafiyah. Nah, dari kedua pasangan inilah, lahir seorang ulama tabi’in yang sangat terkenal Muhammad bin Sirin.

Muhammad dilahirkan dua tahun sebelum berakhirnya masa pemerintahan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Demikian menurut penuturan saudaranya yang bernama Anas bin Sirin. Sementara Anas sendiri dilahirkan setahun setelahnya. Menginjak usia remaja, Muhammad menjumpai shahabat-shahabat Nabi yang mulia seperti Abu Hurairah, ‘Imran bin Hushain, Ibnu Abbas, ‘Adi bin Hatim, Ibnu Umar, Anas bin Malik dan yang lainnya. Bahkan menurut penuturan Hisyam bin Hasan, Muhammad sempat bertemu dengan tiga puluh shahabat sepanjang hidupnya. Tak pelak, kondisi ini semakin membuatnya antusias untuk menimba ilmu agama dari mereka.

NASIHAT EMAS IBNU SIRIN


Salah satu nasihat emas Muhammad bin Sirin yang sering dinukilkan oleh para ulama adalah ucapan beliau, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”

Ia juga mengatakan, “Sungguh telah lewat sebuah zaman yang tidak pernah mereka bertanya mengenai sanad[1] sebuah hadits (zaman shahabat Nabi). Namun ketika telah terjadi zaman ujian, mulailah dipertanyakan sanad suatu hadits. Sehingga apabila sanad hadits itu bersumber dari ahli kesesatan, maka haditsnya ditinggalkan.”

PUJIAN ULAMA


Amr bin Dinar rahimahullah pernah mengatakan, “Demi Allah aku belum pernah melihat (keilmuan) seseorang semisal (keilmuan) Thawus.” Mendengar hal itu, Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah berujar dan saat itu ia sedang duduk, “Demi Allah, seandainya Amr melihat Muhammad bin Sirin, niscaya kata-kata itu tidak akan terucap darinya.”

Hal senada juga pernah diungkapkan Ibnu Auf, “Belum pernah aku melihat ulama semisal Muhammad bin Sirin.”

Hammad bin Zaid berkata, “Tidak ada seorang pun di Bashrah yang lebih berilmu tentang pengadilan melebihi Ibnu Sirin.”

Ibnu Yunus berkata, “Ibnu Sirin lebih pandai daripada Al-Hasan Al-Bashri dalam berbagai hal.”

Auf Al-A’rabi berkata, “Ibnu Sirin mempunyai pengetahuan yang baik tentang ilmu waris, pengadilan, dan hitungan.”

Muriq Al-Ijli mengatakan, “Belum pernah aku melihat orang yang lebih fakih dalam sifat wara’-nya dan lebih wara’ dalam fikihnya daripada Muhammad bin Sirin.”

Suatu ketika, pernah nama Muhammad bin Sirin disebut-sebut di hadapan Abu Qilabah rahimahullah. Abu Qilabah pun berkata, “Perlakukanlah dia semau kalian. Sungguh kalian akan menjumpainya sebagai orang yang paling kuat wara’-nya dan paling bisa menguasai diri.”

Ibnu Auf mengatakan, “Ada tiga orang yang belum pernah kedua mataku melihatnya: Ibnu Sirin di Irak, Al-Qasim bin Muhammad di Hijaz, dan Raja’ bin Haiwah di Syam. Seolah-olah mereka bertemu dan saling memberikan wasiat.”

Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Ibnu Sirin adalah seorang yang fakih, berilmu, wara’, beradab, banyak meriwayatkan hadits, terpercaya, para ulama telah mempersaksikan hal itu dan hafalan beliau bisa dijadikan pegangan argumen.”

Bakar bin Abdullah Al-Muzani berkata, “Barang siapa ingin melihat orang paling wara’ yang pernah kami jumpai, maka hendaknya ia melihat Muhammad bin Sirin.”

Tsabit Al-Bunani berkisah, “Al-Hasan Al-Bashri berusaha untuk menghindar dari kezaliman Al-Hajjaj bin Yusuf. Tatkala putri Al-Hasan meninggal, aku pun segera datang menemuinya dan berharap ia menyuruhku untuk menshalati putrinya. Saat itu Al-Hasan sedang menangis hingga meninggi isakan tangisnya. Kemudian berkata kepadaku, ‘Pergilah kepada Muhammad bin Sirin dan katakanlah kepadanya supaya menshalati putriku.’ Ternyata baru aku ketahui tidak ada yang seorang pun yang semisal dengan Ibnu Sirin.”

Selain dikenal sebagai ulama ahli hadits, ternyata Muhammad juga termasuk ahli ibadah di zamannya. Berikut ini persaksian ulama mengenai hal itu, Ayyub As-Sikhtiyani pernah berkata, “Muhammad selalu berpuasa sehari dan berbuka sehari.”

Abu ‘Awanah berkata, “Aku pernah melihat Muhammad bin Sirin di pasar. Maka tidak ada seorang pun yang melihatnya melainkan sedang berdzikir kepada Allah.”

Kelebihan lainnya yang ada pada diri Ibnu Sirin adalah akhlak mulia yang senantiasa menghiasi kehidupan sehari-harinya. Ibnu Auf menuturkan, “Sesungguhnya jika Muhammad [bin Sirin] berada di sisi ibunya, maka dia sangat melirihkan suaranya. Sehingga orang yang melihatnya akan menyangka bahwa dia sedang sakit.” Ia juga menuturkan bahwa apabila ada orang-orang yang menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Ibnu Sirin, maka ia pun justru menyebutkan hal terbaik dari orang itu yang ia ketahui.

Hisyam bin Hasan berkata, “Muhammad pernah berdagang dan ketika menjumpai sesuatu yang meragukan, maka ia pun meninggalkannya.”

Para pembaca yang budiman, sebagaimana para ulama terdahulu, Ibnu Sirin juga tidak luput dari cobaan yang mendera kesabaran dan keimanannya. Ya, beliau pernah menanggung utang yang sangat banyak dan bahkan sempat dipenjara karena tidak mampu melunasi utangnya tersebut. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa faktor penyebabnya adalah karena ia menumpahkan minyak dalam jumlah yang cukup banyak. Suatu ketika Ibnu Sirin membeli minyak seharga empat puluh ribu dirham dalam beberapa bejana. Namun setelah dilihat ternyata di sebagian bejana tersebut terdapat bangkai seekor tikus. Akhirnya ia membuang minyak yang ada di bejana tersebut karena jika dikembalikan kepada penjualnya tentu akan dijual ke orang lain. Sehingga hal itu mengakibatkan Ibnu Sirin mengalami kerugian yang sangat besar.

Ibnu Sirin sangat membenci para ahli bid’ah. Hal ini terlihat dari berbagai pernyataannya yang sangat keras terhadap ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu. Ibnu Aun berkata, “Muhammad bin Sirin memandang bahwa pengekor hawa nafsu dan ahlul bid’ah adalah orang yang paling cepat keluar dari keislaman. Beliau juga berpendapat bahwa ayat ini turun kepada mereka, yaitu firman-Nya:
وَإِذَا رَأَيۡتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِىٓ ءَايَـٰتِنَا فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ حَتَّىٰ يَخُوضُوا۟ فِى حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain.” [Q.S. Al-An’am: 68]

Diriwayatkan dari Syuaib bin Al-Habhab bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Sirin, “Bagaimana hukum mendengarkan ceramah para pengekor hawa nafsu?” Ia pun dengan tegas menjawab, “Kita tidak boleh mendengarkan pembicaraan mereka dan tidak ada kemuliaan untuk mereka.”

Abdullah bin Muslim Al-Marruzi berkata, “Dahulu aku pernah duduk bersama Ibnu Sirin. Kemudian aku meninggalkannya dan duduk bersama Ibadhiyah (salah satu sekte Khawarij yang dinisbatkan kepada pendirinya yang bernama Abdullah bin Ibadh At-Tamimi). Maka aku bermimpi melihat seolah-olah diriku bersama suatu kaum yang membawa jenazah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun datan menemui Ibnu Sirin dan aku ceritakan hal itu kepadanya. Maka ia berkata, ‘Kenapa engkau duduk bersama orang-orang yang hendak mengubur ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?’”

Salah satu karya tulis Ibnu Sirin yang masih ada hingga saat ini adalah sebuah kitab yang berjudul Tafsirul Ahlam (Tafsir Mimpi). Ibnu Sirin termasuk segelintir ulama yang diberi kelebihan untuk menafsirkan mimpi.

Diriwayatkan dari Hisyam bin Hasan ia berkata, “Ada seseorang bercerita kepada Ibnu Sirin, ia mengatakan, ‘Aku melihat dalam mimpi seolah-olah di tanganku ada sebuah gelas yang terbuat dari kaca dan di dalamnya ada air. Tiba-tiba gelas itu pecah namun airnya masih tetap ada.’ Ibnu Sirin mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allah sesungguhnya engkau tidak melihat sesuatu pun.’ Laki-laki itu berkata, ‘Subhanallah! Aku bercerita mimpiku kepadamu namun engkau justru seperti itu.’ Ibnu Sirin pun berkata, ‘Barang siapa berdusta, maka bukan tanggunganku. Tafsirnya adalah istrimu akan melahirkan dan meninggal sementara anaknya tetap hidup.’ Tatkala keluar, laki-laki itu berkata, ‘Demi Allah aku tidak melihat sesuatu pun.’ Hisyam menuturkan, ‘Tidak lama kemudian anaknya lahir dan istrinya meninggal dunia.’”

Ada seseorang mengisahkan kepada Ibnu Sirin perihal mimpi yang pernah dilihat Al-Hajjaj bin Yusuf dalam tidurnya. Dalam mimpinya tersebut, Al-Hajjaj melihat ada dua bidadari turun dari atas langit. Salah satu dari bidadari tersebut mampu didapatkan oleh Al-Hajjaj namun yang lainnya kembali terbang ke atas langit. Ibnu Sirin pun berkata bahwa makna mimpinya tersebut adalah akan ada dua musibah yang telah menanti Al-Hajjaj. Satu musibah akan menimpanya tatkala masih hidup dan musibah yang lain tidak dia jumpai. Sungguh benar apa yang ia tafsirkan. Musibah yang menimpanya adalah pemberontakan Ibnu Asy’ats terhadapnya. Adapun musibah yang tidak ia jumpai adalah musibah Al-Muhallab. Padahal, saat itu kebanyakan orang menganggap bahwa mimpi itu menjadi tanda kebaikan dan kabar gembira untuk Al-Hajjaj. Begitu banyak kisah yang diriwayatkan dari beliau mengenai tafsir mimpinya yang menjadi kenyataan. Jika Ibnu Sirin ditanya tentang tafsir sebuah mimpi, beliau pun berkata, “Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dalam kesadaranmu, niscaya apa yang engkau lihat dalam tidurmu tidak akan mencelakakanmu.”

Namun perlu diketahui, penjelasan para ulama mengenai hal ini bahwa mimpi dari selain para nabi tidak boleh dijadikan sebagai landasan hukum untuk menghukumi suatu perkara kecuali setelah ditimbang dengan hukum syariat. Jika diperbolehkan secara syar’i maka bisa diamalkan. Namun jika tidak diperbolehkan maka wajib ditinggalkan. Mimpi hanyalah sebatas memberi kabar gembira atau peringatan jika sesuai dengan tuntunan syariat. Demikianlah Ibnu Sirin, beliau merupakan salah satu dari segelintir ulama tabi’in yang diberi kelebihan dalam menafsirkan mimpi. Allahu a’lam.

Sumber: Majalah Qudwah, edisi 17 vol. 2 1435 H/ 2014 M, rubrik Ulama. Pemateri: Ustadz Abu Hafy Abdullah.


[1] Sanad adalah rantai perawi yang menyampaikan hadits. Misalnya Al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam kitab Shahih-nya, “Mengatakan kepadaku Al-Humaidi Abdullah bin Zubair, mengatakan kepadaku Sufyan, mengatakan kepadaku Yahya bin Sa’id Al-Anshari, mengatakan kepadaku Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, bahwa dia mendengar Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi, dia mendengar Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkhutbah di atas mimbar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘…’”. Di dalam contoh ini, Al-Humaidi, Sufyan, Yahya bin Sa’id, Muhammad bin Ibrahim, Alqamah, dan Umar bin Al-Khaththab adalah sanad, rantai perawi yang menyampaikan hadits.