Cari Blog Ini

Syarh Sittah Mawadhi' min As-Sirah - Peristiwa Keenam

Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab rahimahullah di dalam kitab Sittah Mawadhi' min As-Sirah berkata:

الۡمَوۡضِعُ السَّادِسُ: قِصَّةُ الرِّدَّةِ بَعۡدَ مَوۡتِ النَّبِيِّ ﷺ، فَمَنۡ سَمِعَهَا لَا يَبۡقَى فِي قَلۡبِهِ مِثۡقَالُ ذَرَّةٍ مِنۡ شُبۡهَةِ الشَّيَاطِينِ الَّذِينَ يُسَمَّونَ الۡعُلَمَاءَ، وَهِيَ قَوۡلُهُمۡ هَٰذا هُوَ الشِّرۡكُ، لَٰكِنۡ يَقُولُونَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَمَنۡ قَالَهَا لَا يُكَفَّرُ بِشَيۡءٍ. 

Peristiwa keenam: Kisah kemurtadan sepeninggal Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Barang siapa mendengarnya maka tidak akan tersisa di dalam hatinya sebiji zarah syubhat pun yang dilontarkan oleh para setan yang mereka gelari ulama. Syubhat itu adalah ucapan mereka bahwa perbuatan ini memang kesyirikan, namun mereka masih mengucapkan “laa ilaaha illallaah” dan siapa saja yang sudah mengucapkannya, maka dia tidak bisa dikafirkan dengan sebab apapun.[1]

وَأَعۡظَمُ مِنۡ ذٰلِكَ وَأَكۡبَرُ: تَصۡرِيحُهُمۡ بِأَنَّ الۡبَوَادِيَ لَيۡسَ مَعَهُمۡ مِنَ الۡإِسۡلَامِ شَعۡرَةٌ وَلَٰكِنۡ يَقُولُونَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، وَهُمۡ بِهَٰذِهِ اللَّفۡظَةِ أَهۡلُ إِسۡلَامٍ. 

Yang lebih besar daripada itu adalah penegasan mereka bahwa orang-orang badui tidak melakukan ‘sehelai rambut pun’ amalan-amalan keislaman, akan tetapi mereka mengucapkan “laa ilaaha illallaah[2]. Jadi mereka dengan kalimat ini merupakan penganut agama Islam.[3]

وَحَرَّمَ الۡإِسۡلَامُ مَالَهُمۡ وَدَمَهُمۡ مَعَ إِقۡرَارِهِمۡ بِأَنَّهُمۡ تَرَكُوا الۡإِسۡلَامَ كُلَّهُ. وَمَعَ عِلۡمِهِمۡ بِإِنۡكَارِهِمُ الۡبَعۡثَ، وَاسۡتِهۡزَائِهِمۡ بِمَنۡ أَقَرَّ بِهِ. 

Islam mengharamkan harta dan darah orang-orang badui itu padahal mereka mengakui bahwa mereka meninggalkan seluruh amalan Islam.[4] Apalagi mereka mengetahui bahwa mereka mengingkari hari kebangkitan dan mereka mengolok-olok orang yang menetapkan hari kebangkitan.[5]

وَاسۡتِهۡزَائُهُمۡ وَتَفۡضِيلُهُمۡ دِينَ آبَائِهِمۡ الۡمُخَالِفَ لِدِينِ النَّبِيِّ ﷺ. وَمَعَ هَٰذَا كُلِّهِ يُصَرِّحُ هَٰؤُلَاءِ الشَّيَاطِينُ الۡمَرَدَةُ الۡجَهَلَةُ أَنَّ الۡبَدۡوَ أَسۡلَمُوا وَلَوۡ جَرَى مِنۡهُمۡ ذٰلِكَ كُلُّهُ؛ لِأَنَّهُمۡ يَقُولُونَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ. وَلَازِمُ قَوۡلِهِمۡ أَنَّ الۡيَهُودَ أَسۡلَمُوا لِأَنَّهُمۡ يَقولُونَهَا وَأَيۡضًا كُفۡرُ هَٰؤُلَاءِ أَغۡلَظُ مِنۡ كُفۡرِ الۡيَهُودِ بِأَضۡعَافٍ مُضَاعَفَةٍ، أَعۡنِي: الۡبَوَادِي الۡمُتَّصِفِينَ بِمَا ذَكَرۡنَا. 

Pelecehan mereka dan sikap mereka lebih memuliakan agama leluhur mereka yang menyelisihi agama Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Bersamaan dengan ini semua, para setan yang sangat durhaka lagi jahil itu menegaskan bahwa orang badui itu telah berislam walaupun semua sikap itu masih bercokol pada diri mereka, dengan alasan mereka mengucapkan “laa ilaaha illallaah”. Konsekuensi ucapan mereka ini berarti orang-orang Yahudi pun berislam karena mereka juga mengucapkannya.[6] Bahkan kekufuran orang badui lebih parah daripada kekufuran orang Yahudi berkali lipat. Yang aku maksudkan adalah orang-orang badui yang memiliki sifat yang telah kami sebutkan. 

وَالَّذِي يُبَيِّنُ ذٰلِكَ مِنۡ قِصَّةِ الرِّدَّةِ أَنَّ الۡمُرۡتَدِّينَ افۡتَرَقُوا فِي رِدَّتِهِمۡ، فَمِنۡهُمۡ مَنۡ كَذَّبَ النَّبِيَّ ﷺ وَرَجَعُوا إِلَى عِبَادَةِ الۡأَوۡثَانِ وَقَالُوا: لَوۡ كَانَ نَبِيًّا مَا مَاتَ. وَمِنۡهُمۡ مَنۡ ثَبَتَ عَلَى الشَّهَادَتَيۡنِ، وَلَٰكِنۡ أَقَرَّ بِنُبُوَّةِ مُسَيۡلَمَةَ. 

Yang menjelaskan (kekafiran orang yang melakukan pembatal keislaman walau mengucapkan “laa ilaaha illallaah”) dari kisah kemurtadan (sepeninggal Nabi) adalah bahwa orang-orang yang murtad itu berbeda-beda dalam kemurtadan mereka. Di antara mereka ada yang mendustakan Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan kembali menyembah berhala-berhala; dan mereka berkata: Andai dia benar-benar seorang nabi, niscaya dia tidak meninggal.[7] Di antara mereka ada yang tetap di atas dua kalimat syahadat namun mereka mengakui kenabian Musailamah.[8]

ظَنًّا أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَشۡرَكَهُ فِي النُّبُوَّةِ؛ لِأَنَّ مُسَيۡلَمَةَ أَقَامَ شُهُودَ زُورٍ شَهِدُوا لَهُ بِذٰلِكَ، فَصَدَّقَهُمۡ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ. وَمَعَ هَٰذَا أَجۡمَعَ الۡعُلَمَاءُ أَنَّهُمۡ مُرۡتَدُّونَ وَلَوۡ جَهِلُوا ذٰلِكَ. وَمَنۡ شَكَّ فِي رِدَّتِهِمۡ فَهُوَ كَافِرٌ. 

Karena menyangka bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—melibatkannya dalam perkara kenabian.[9] Latar belakangnya adalah Musailamah memberikan persaksian dusta, kemudian orang-orang menyaksikan persaksian palsunya itu,[10] maka sebagian besar manusia membenarkannya. Bersamaan ini para ulama sepakat bahwa mereka adalah orang-orang yang murtad walaupun mereka tidak mengerti itu.[11] Dan siapa saja yang ragu tentang kemurtadan mereka, maka dia kafir.[12]

فَإِذَا عَرَفۡتَ أَنَّ الۡعُلَمَاءَ أَجۡمَعُوا أَنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا وَرَجَعُوا إِلَى عِبَادَةِ الۡأَوۡثَانِ وَشَتَمُوا رَسُولَ اللهِ ﷺ، هُمۡ وَمَنۡ أَقَرَّ بِنُبُوَّةِ مُسَيۡلَمَةَ فِي حَالٍ وَاحِدَةٍ وَلَوۡ ثَبَتَ عَلَى الۡإِسۡلَامِ كُلِّهِ. 

Apabila engkau mengetahui bahwa para ulama bersepakat bahwa orang-orang yang mendustakan, kembali menyembah berhala-berhala, dan mencela Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dengan orang-orang yang mengakui kenabian Musailamah dalam keadaan yang sama (yakni murtad) walaupun mereka tetap melakukan seluruh amalan keislaman.[13]

وَمِنۡهُمۡ مَنۡ أَقَرَّ بِالشَّهَادَتَيۡنِ وَصَدَّقَ طُلَيۡحَةَ فِي دَعۡوَاهُ النُّبُوَّةَ. 

Di antara mereka ada yang masih menetapkan dua kalimat syahadat, namun membenarkan Thulaihah yang mengaku nabi.[14]

وَمِنۡهُمۡ مَنۡ صَدَّقَ الۡعَنۡسِيَّ صَاحِبَ صَنۡعَاءَ. وَكُلُّ هَٰؤُلَاءِ أَجۡمَعَ الۡعُلَمَاءُ أَنَّهُمۡ سَوَاءٌ، وَمِنۡهُمۡ مَنۡ كَذَّبَ النَّبِيَّ ﷺ وَرَجَعَ إِلَى عِبَادَةِ الۡأَوۡثَانِ عَلَى حَالٍ وَاحِدَةٍ، وَمِنۡهُمۡ أَنۡوَاعٌ أُخَرُ. 

Di antara mereka ada yang membenarkan (kenabian) Al-‘Ansi, seorang pemimpin Shan’a`.[15] Mereka ini semua, para ulama sepakat bahwa mereka itu sama saja. Di antara mereka ada yang mendustakan Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan kembali menyembah berhala-berhala berada dalam keadaan yang sama. Di antara mereka ada jenis-jenis yang lain.[16]

آخِرُهُمۡ الۡفُجَاءَةُ السُّلَمِيُّ، لَمَّا وَفَدَ عَلَى أَبِي بَكۡرٍ وَذَكَرَ لَهُ أَنَّهُ يُرِيدُ قِتَالَ الۡمُرۡتَدِّينَ، وَطَلَبَ مِنۡ أَبِي بَكۡرٍ أَنۡ يَمُدَّهُ، فَأَعۡطَاهُ سِلَاحًا وَرَوَاحِلَ، فَاسۡتَعۡرَضَ السُّلَمِيَّ الۡمُسۡلِمَ وَالۡكَافِرَ يَأۡخُذُ أَمۡوَالَهُمۡ، فَجَهَزَ أَبُو بَكۡرٍ جَيۡشًا لِقِتَالِهِ، فَلَمَّا أَحَسَّ بِالۡجَيۡشِ قَالَ لِأَمِيرِهِمۡ: أَنۡتَ أَمِيرُ أَبِي بَكۡرٍ وَأَنَا أَمِيرُهُ، فَلَمۡ أَكۡفُرۡ. فَقَالَ: إِنۡ كُنۡتَ صَادِقًا فَأَلۡقِ السِّلَاحَ. فَأَلۡقَاهُ، فَبَعَثَ بِهِ إِلَى أَبِي بَكۡرٍ فَأَمَرَ بِتَحۡرِيقِهِ بِالنَّارِ وَهُوَ حَيٌّ. 

(Kasus kemurtadan) yang terakhir adalah Al-Fuja`ah As-Sulami. Ketika dia datang menemui Abu Bakr, dia menyebutkan keinginannya untuk memerangi orang-orang yang murtad dan dia meminta dukungan dari Abu Bakr. Lalu Abu Bakr memberinya persenjataan dan hewan-hewan tunggangan. Namun As-Sulami membunuh membabi buta baik muslim maupun kafir dan mengambil harta-harta mereka. Maka, Abu Bakr menyiapkan satu pasukan untuk memeranginya. 

Ketika pasukan itu bertemu, Al-Fuja`ah berkata kepada pemimpin pasukan itu, “Engkau pemimpin yang dipilih Abu Bakr dan aku pun pemimpin yang dipilih beliau, namun aku tidak kafir.” 

Pemimpin pasukan itu berkata, “Jika engkau jujur, maka lemparkan senjatamu.” 

Dia pun melemparkannya, kemudian dia dibawa menghadap Abu Bakr, lalu Abu Bakr memerintahkan agar dia dibakar dengan api dalam keadaan hidup-hidup. 

فَإِذَا كَانَ هَٰذَا حُكۡمُ الصَّحَابَةِ فِي هَٰذَا الرَّجُلِ مَعَ إِقۡرَارِهِ بِأَرۡكَانِ الۡإِسۡلَامِ الۡخَمۡسَةِ، فَمَا ظَنُّكَ بِمَنۡ لَمۡ يُقِرَّ مِنَ الۡإِسۡلَامِ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ إِلَّا أَنۡ يَقُولَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ بِلِسَانِهِ مَعَ تَصۡرِيحِهِ بِتَكۡذِيبِ مَعۡنَاهَا، وَتَصۡرِيحِهِ بِالۡبَرَاءَةِ مِنۡ دِينِ مُحَمَّدٍ ﷺ، وَمِنۡ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى؟ 

Jika demikian ini hukum sahabat terhadap orang ini padahal dia masih mengakui rukun Islam yang lima, lalu bagaimana sangkaanmu dengan orang yang 
  • tidak mengakui satu kalimat pun dari Islam kecuali dia hanya mengatakan “laa ilaaha illallaah” dengan lisannya, 
  • bersamaan itu dia menegaskan sikapnya yang mendustakan maknanya, 
  • dia juga menegaskan sikap berlepas dirinya dari agama Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan dari kitab Allah? 

وَيَقُولُونَ: هَٰذَا دِينُ الۡحَضَرِ وَدِينُنَا دِينُ آبَائِنَا، ثُمَّ يُفۡتُونَ هَٰؤُلَاءِ الۡمَرَدَةُ الۡجُهَّالُ أَنَّ هَٰؤُلَاءِ مُسۡلِمُونَ وَلَوۡ صَرَّحُوا بِذٰلِكَ كُلِّهِ، إِذَا قَالُوا: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ. سُبۡحَانَكَ هَٰذَا بُهۡتَانٌ عَظِيمٌ. 

Mereka (orang-orang badui) mengatakan bahwa (Islam) ini adalah agama orang yang hidup menetap, adapun agama kami adalah agama leluhur kami. 

Kemudian orang-orang yang sangat durhaka lagi jahil itu memfatwakan bahwa mereka ini tetap merupakan kaum muslimin apabila mereka telah mengatakan “laa ilaaha illallaah” walaupun mereka menegaskan semua sikap (pembatal keislaman) itu. 

Mahasuci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang amat besar.[17]

وَمَا أَحۡسَنُ مَا قَالَ وَاحِدٌ مِنَ الۡبَوَادِي لَمَّا قَدِمَ عَلَيۡنَا وَسَمِعَ شَيۡئًا مِنَ الۡإِسۡلَامِ، قَالَ: أَشۡهَدُ أَنَّنَا كُفَّارٌ -يَعۡنِي هُوَ وَجَمِيعُ الۡبَوَادِي- وَأَشۡهَدُ أَنَّ الۡمُطَوِّعَ الَّذِي يُسَمِّينَا أَهۡلَ الۡإِسۡلَامِ أَنَّهُ كَافِرٌ. 

Alangkah bagusnya ucapan salah seorang badui ketika dia datang ke tempat kami dan mendengar sedikit tentang Islam. Dia berkata, “Aku bersaksi bahwa kami adalah orang-orang kafir.” Yakni dia dan semua orang-orang badui. “Dan aku bersaksi bahwa tokoh agama yang menamai kami sebagai orang muslim bahwa dia kafir.”[18]

تَمَّ وَالۡحَمۡدُ لِلهِ رَبِّ الۡعَالَمِينَ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحۡبِهِ وَسَلَّمَ. 

Tamat. Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta. Semoga Allah mencurahkan selawat dan keselamatan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabat beliau.[19]


Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah di dalam Syarh Sittah Mawadhi' min As-Sirah berkata:

[1] يَقُولُ عُلَمَاءُ الضَّلَالِ: عِبَادَةُ الۡقُبُورِ وَالذَّبۡحُ لَهَا وَالنَّذۡرُ لَهَا لَيۡسَ مِنَ الشِّرۡكِ، مَا دَامَ أَنَّهُ يَقُولُ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، فَهَٰذِهِ الۡأُمُورُ لَا تَضُرُّهُ. هَٰذَا تَنَاقُضٌ. 

Ulama sesat mengatakan, “Peribadahan kepada penghuni kubur, menyembelih untuknya, nazar untuknya, bukan termasuk kesyirikan selama pelakunya mengucapkan: tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah. Perbuatan-perbuatan tadi tidak memudaratkannya.” Perkataan ini saling bertentangan. 

كَيۡفَ يَقُولُ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ وَيَدۡعُو غَيۡرَ اللهِ؟ إِذَنۡ مَا مَعۡنَى لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ؟، لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ لَيۡسَتۡ مُجَرَّدَ قَوۡلٍ يُقَالُ بِاللِّسَانِ، بَلۡ لَا بُدَّ أَنۡ يَكُونَ قَوۡلًا وَمَعَهُ عَمَلٌ؛ لِأَنَّ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ كَلِمَةٌ عَظِيمَةٌ لَهَا مَعۡنًى وَلَهَا مُقۡتَضًى، 

Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah, sementara dia berdoa kepada selain Allah? Jika demikian, apa makna “la ilaha illallah”? Kalimat “la ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah)” bukan semata perkataan yang diucapkan dengan lisan, bahkan harus berupa ucapan disertai amalan. Karena kalimat “la ilaha illallah” merupakan suatu kalimat yang agung yang memiliki makna dan memiliki konsekuensi. 

وَمُقۡتَضَاهَا: أَنۡ يُخۡلِصَ الۡمَرۡءُ الۡعِبَادَةَ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَنۡ يَتۡرُكَ عِبَادَةَ غَيۡرِ اللهِ، فَالَّذِي يَقُولُهَا وَلَمۡ يَتۡرُكۡ عِبَادَةَ غَيۡرِ اللهِ لَا تَنۡفَعُهُ كَلِمَةُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، كَمَا يَقُولُونَ، 

Konsekuensi kalimat tersebut adalah seseorang memurnikan ibadah untuk Allah—‘azza wa jalla—dan meninggalkan peribadahan kepada selain Allah. Jadi orang yang mengucapkannya namun tidak meninggalkan peribadahan selain Allah, maka kalimat “la ilaha illallah” tidak bermanfaat baginya, sebagaimana yang mereka ucapkan. 

وَرُبَّمَا يَسۡتَدِلُّونَ بِالۡمُتَشَابِهِ مِنَ النُّصُوصِ، مِثۡلِ قَوۡلِهِ ﷺ فِي حَدِيثِ الۡبِطَاقَةِ الَّتِي فِيهَا: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّهَا تَثۡقُلُ بِالسَّيِّئَاتِ، وَأَنَّ صَاحِبَهَا يَدۡخُلُ الۡجَنَّةَ، هَٰذَا حَدِيثٌ عَنِ الرَّسُولِ ﷺ، لَكِنۡ يُرَدُّ إِلَى الۡأَحَادِيثِ الۡأُخۡرَى الَّتِي تُقَيِّدُهُ، لَا يُؤۡخَذُ طَرۡفٌ وَيُتۡرَكُ طَرۡفٌ كَمَا قَالَ اللهُ فِي أَهۡلِ الزَّيۡغِ: ﴿فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦ ۗ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّـهُ ۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِى ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلٌّ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَا ۗ﴾ [آل عمران: ٧]. فَالرَّاسِخُونَ يَرُدُّونَ الۡمُتَشَابِهَ إِلَى الۡمُحۡكَمِ. 

Terkadang mereka mengambil dalil dengan nas-nas yang masih samar, semisal sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dalam hadis bithaqah (kartu) yang tertulis kalimat “la ilaha illallah”. Disebutkan dalam hadis bahwa kartu itu lebih berat daripada amalan kejelekan dan orang yang mengucapkannya akan masuk janah. (Hadis bithaqah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi nomor 2639 dan Ibnu Majah nomor 4300). Ini memang hadis dari Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, akan tetapi seharusnya dikembalikan kepada hadis-hadis lain yang membatasinya. Tidak boleh mengambil satu bagian dan meninggalkan bagian lainnya, sebagaimana Allah firmankan tentang orang yang memiliki penyakit hati, “Adapun orang-orang yang ada kecondongan kepada kesesatan di dalam hatinya, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Adapun orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan, ‘Kami beriman dengannya, semua itu dari sisi Tuhan kami.’” (QS. Ali ‘Imran: 7). Jadi orang-orang yang mendalam ilmunya mengembalikan dalil yang mutasyabihat kepada dali yang muhkamat. 

وَالۡأَحَادِيثُ الَّتِي ظَاهِرُهَا: أَنَّ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ تَكۡفِي مَنۡ قَالَهَا، تُرَدُّ إِلَى الۡأَحَادِيثِ الَّتِي فِيهَا أَنۡ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ لَابُدَّ لَهَا مِنۡ قُيُودٍ، مِثۡلُ قَوۡلِهِ ﷺ: (مَنۡ قَالَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعۡبَدُ مِنۡ دُونِ اللهِ). 

Hadis-hadis yang secara lahiriah menyebutkan bahwa kalimat “la ilaha illallah” sudah mencukupi orang yang mengucapkannya, harus dikembalikan kepada hadis-hadis yang menyebutkan bahwa kalimat “la ilaha illallah” harus memiliki batasan-batasan. Semisal sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Barang siapa mengucapkan ‘tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah’ dan mengingkari semua sesembahan selain Allah.” (HR. Muslim nomor 23). 

وَالَّذِي يَدۡعُو أَصۡحَابَ الۡقُبُورِ لَمۡ يَكۡفُرۡ بِمَا يُعۡبَدُ مِنۡ دُونِ اللهِ، حَتَّى لَوۡ لَمۡ يَذۡبَحۡ لِلۡقُبُورِ وَلَمۡ يَنۡذُرۡ لَهَا. بَلۡ قَالَ : إِنَّ هَٰذَا لَيۡسَ بِشِرۡكٍ. هَٰذَا لَا تَنۡفَعُهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ؛ لِأَنَّهُ صَحَّحَ الشِّرۡكَ وَأَقَرَّهُ، فَهَٰذَا مَا فَهِمَ مَعۡنَى لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، 

Adapun orang yang berdoa kepada penghuni kubur, berarti dia tidak mengingkari sembahan yang diibadahi selain Allah. 

Bahkan andai dia tidak melakukan penyembelihan untuk penghuni kubur dan tidak melakukan nazar untuknya, namun dia berpendapat bahwa perbuatan tersebut bukan kesyirikan, maka perkataan “la ilaha illallah” tidak bermanfaat baginya. Karena dia telah membolehkan kesyirikan dan menyetujuinya. 

Maka, orang ini tidak memahami makna kalimat “la ilaha illallah”. 

وَلِهَٰذَا يَقُولُ (الشَّيَاطِينُ الۡمُسَمُّونَ بِالۡعُلَمَاءِ) الَّذِينَ يَأۡخُذُونَ الۡمُتَشَابِهَ وَيَسۡتَدِلُّونَ بِهِ، وَيَقُولُونَ: مَنۡ قَالَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، لَوۡ فَعَلَ مَا فَعَلَ مِنَ الشِّرۡكِ هُوَ مِنۡ أَهۡلِ الۡجَنَّةِ. وَالرَّسُولُ ﷺ يَقُولُ: (مَنۡ قَالَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعۡبَدُ مِنۡ دُونِ اللهِ) وَيَقُولُ: (فَإِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنۡ قَالَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ يَبۡتَغِي بِذٰلِكَ وَجۡهَ اللهِ). 

Karena itu, syekh mengistilahkan “setan yang digelari ulama” untuk orang-orang yang mengambil dalil mutasyabihat dan menjadikannya sebagai dalil. Mereka mengatakan, “Barang siapa sudah mengucapkan ‘la ilaha illallah’, andai dia melakukan perbuatan kesyirikan, maka dia tetap termasuk penghuni janah.” 

Padahal Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Barang siapa mengucapkan ‘la ilaha illallah’ dan mengingkari sembahan selain Allah…” 

Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi siapa saja yang mengucapkan ‘la ilaha illallah’ dengan mengharapkan wajah Allah.” (HR. Al-Bukhari nomor 6938 dan Muslim nomor 33 dari hadis ‘Itban bin Malik). 

وَيَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: (يَا ابۡنَ آدَمَ، لَوۡ أَتَيۡتَنِي بِقُرَابِ الۡأَرۡضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشۡرِكُ بِي شَيۡئًا، لَأَتَيۡتُكَ بِقُرَابِهَا مَغۡفِرَةً) قَيَّدَ ذٰلِكَ بِالسَّلَامَةِ مِنَ الشِّرۡكِ. 

Allah—‘azza wa jalla—berkata (di dalam hadis qudsi), “Wahai anak Adam, andai engkau datang kepada-Ku membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau menjumpai-Ku dalam keadaan engkau tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Ku, niscaya Aku akan membawakan ampunan sepenuh bumi pula untukmu.” (HR. At-Tirmidzi nomor 3540 dari hadis Anas). Allah memberi ketentuan agar bisa mendapatkan ampunan adalah dengan selamat dari kesyirikan. 

وَهَٰذِهِ الۡأَحَادِيثُ يُرَدُّ بَعۡضُهَا إِلَى بَعۡضٍ؛ لِأَنَّهَا كُلَّهَا كَلَامُ الرَّسُولِ ﷺ، وَالۡآيَاتُ تُرَدُّ بَعۡضُهَا إِلَى بَعۡضٍ لِأَنَّهَا كُلَّهَا كَلَامُ اللهِ، وَبَعۡضُهَا يُفَسِّرُ بَعۡضًا وَيُقَيِّدُ بَعۡضًا وَيُوَضِّحُ بَعۡضًا. 

أَمَّا أَنۡ نَأۡخُذَ طَرۡفًا وَنَتۡرُكَ طَرۡفًا آخَرَ فَهَٰذِهِ طَرِيقَةُ أَهۡلِ الزَّيۡغِ. 

Hadis-hadis ini sebagiannya dikembalikan kepada sebagian yang lain karena semuanya merupakan ucapan Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Begitu pula, ayat-ayat itu, sebagiannya dikembalikan kepada sebagian yang lain karena semua ayat itu adalah kalam Allah. Sebagiannya menafsirkan, membatasi, dan menerangkan sebagian lainnya. 

Adapun apabila kita mengambil satu sisi dan meninggalkan sisi yang lain, maka ini adalah cara orang yang menyimpang. 

وَإِنۡ قَالَ: أَنَا أَسۡتَدِلُّ بِكَلَامِ الرَّسُولِ. 

فَنَقُولُ لَهُ: كَذَبۡتَ، أَنۡتَ لَمۡ تَسۡتَدِلَّ بِکَلَامِ الرَّسُولِ، أَنۡتَ تَسۡتَدِلُّ بِالۡمُتَشَابِهِ مِنۡهُ، وَلَمۡ تَرُدَّهُ إِلَى الۡمُحۡكَمِ. 

Apabila dia berkata, “Aku mengambil dalil dengan ucapan Rasul.” maka kita katakan kepadanya, “Engkau dusta. Engkau tidak berdalil dengan ucapan Rasul. Engkau berdalil dengan sebagian ucapan Rasul yang mutasyabihat dan engkau tidak mengembalikan kepada yang muhkamat.” 


[2] الۡبَوَادِي: هُمۡ جَمۡعُ بَادِيَةٍ وَهُمُ الۡأَعۡرَابُ الرُّحَلُ، يَقُولُ: هَٰؤُلَاءِ الضُلَّالُ (الۡبَوَادِي) مَا مَعَهُمۡ مِنَ الۡإِسۡلَامِ شَعۡرَةٌ، لَا يُصَلُّونَ وَلَا يَصُومُونَ وَلَا يَعۡرِفُونَ الۡإِسۡلَامَ، لَكِنۡ مَا دَامُوا يَقُولُونَ: (لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) فَهَٰذَا يَكۡفِيهِمۡ. 

Bawadi adalah bentuk jamak dari badiyah. Mereka adalah orang-orang badui pengembara. Orang-orang yang sesat itu mengatakan, “Orang-orang badui itu tidak melakukan ‘sehelai rambut pun’ amalan-amalan keislaman. Mereka tidak salat, tidak saum, tidak mengerti Islam, akan tetapi mereka selalu mengucapkan ‘la ilaha illallah’. Ini sudah cukup untuk mereka (masih dianggap muslim).” 


[3] فَالضُّلَّالُ يَقُولُونَ: يَكۡفِي أَنَّهُمۡ يَقُولُونَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، فَمُجَرَّدُ قَوۡلِهَا يُدۡخِلُهُمۡ فِي الۡإِسۡلَامِ. 

Orang-orang sesat itu mengatakan, “Cukup bagi mereka mengatakan, ‘la ilaha illallah’. Sekadar mengucapkan saja sudah memasukkan mereka ke dalam agama Islam.” 

يَقُولُونَ هَٰذَا وَهُمۡ مُعۡتَرفُونَ أَنَّهُمۡ مَا مَعَهُمۡ مِنَ الۡإِسۡلَامِ شَعۡرَةٌ، لَا يُصَلُّونَ وَلَا يَصُومُونَ وَلَا يَعۡمَلُونَ شَيۡئًا مِنَ الۡأَعۡمَالِ الصَّالِحَةِ، فَقَطۡ هُمۡ يَقُولُونَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ. يَا سُبۡحَانَ اللهِ! لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ لَيۡسَتۡ مُجَرَّدَ كَلِمَةٍ، لَوۡ كَانَ هَٰذَا هُوَ الۡإِسۡلَامُ صَارَ كُلُّ النَّاسِ مُسۡلِمِينَ. 

Orang-orang sesat itu mengatakannya dalam keadaan mereka mengakui bahwa tidak ada ‘sehelai rambut pun’ amalan Islam pada diri orang-orang badui tadi. Orang-orang badui itu tidak salat, tidak saum, dan tidak mengetahui sedikitpun dari amalan-amalan saleh. Mereka hanya mengucapkan ‘la ilaha illallah’. Mahasuci Allah. La ilaha illallah bukan semata-mata kalimat. Jika agama Islam sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang sesat itu, maka seluruh manusia menjadi muslimin. 

الرَّسُولُ ﷺ لَمَّا قَالَ لَهُمۡ: (قُولُوا كَلِمَةً تَدِينُ لَكُمۡ بِهَا الۡعَرَبُ، وَتُؤَدِّي لَكُمۡ بِهَا الۡعَجَمُ الۡجِزۡيَةَ) قَالُوا: خُذۡ وَأَبِيكَ أَلۡفَ كَلِمَةٍ، مَا هِيَ؟ قَالَ: (قُولُوا: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) قَالُوا: ﴿أَجَعَلَ ٱلۡءَالِهَةَ إِلَـٰهًا وَٰحِدًا ۖ إِنَّ هَـٰذَا لَشَىۡءٌ عُجَابٌ﴾ [ص: ٥]. 

Ketika Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—mengatakan kepada orang-orang Quraisy, “Ucapkanlah sebuah kalimat yang dengannya bangsa Arab akan tunduk kepada kalian dan bangsa non-Arab akan menyerahkan upeti untuk kalian!” 

Orang-orang Quraisy berkata, “Aku tebus ayahmu. Sebutkan walau seribu kalimat! Apa itu?” 

Rasulullah bersabda, “Ucapkanlah ‘la ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah)’!” 

Orang-orang Quraisy berkata, “Apakah dia menjadikan sesembahan-sesembahan itu satu sembahan saja?! Sungguh ini benar-benar perkara yang mengherankan.” (QS. Shad: 5). (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Dala`il An-Nubuwwah (2/345) dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nihayah (4/308) dari hadis Ibnu Abbas). 

عَرَفُوا أَنَّهُمۡ لَوۡ قَالُوا: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، تَرَكُوا عِبَادَةَ الۡأَصۡنَامِ، وَهُمۡ لَا يُرِيدُونَ ذٰلِكَ. هُمۡ يَحۡسَبُونَهَا كَلِمَةً فَقَطۡ أَي كَلِمَةٍ، فَلَمَّا قَالَ لَهُمۡ: (قُولُوا: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ) وَهُمۡ عَرَبٌ فُصَحَاءُ يَعۡرِفُونَ مَعۡنَی هَٰذِهِ الۡكَلِمَةِ، وَأَنَّهَا تُلۡزِمُهُمۡ بِتَرۡكِ عِبَادَةِ الۡأَصۡنَامِ، قَالُوا: ﴿أَجَعَلَ ٱلۡءَالِهَةَ إِلَـٰهًا وَٰحِدًا ۖ﴾، ﴿إِنَّهُمۡ كَانُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ يَسۡتَكۡبِرُونَ ۝٣٥ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوٓا۟ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجۡنُونٍۭ﴾ [الصافات: ٣٥-٣٦]. 

Mereka mengerti andai mereka mengatakan ‘la ilaha illallah’, maka mereka harus meninggalkan peribadahan kepada berhala-berhala dan mereka tidak menghendaki hal itu. Tadinya mereka mengira hanya sekadar kalimat saja, namun ketika Rasulullah berkata kepada mereka, “Ucapkan ‘la ilaha illallah’!” dalam keadaan mereka adalah orang yang fasih berbahasa Arab, maka mereka mengerti makna kalimat ini. Kalimat ini mengharuskan mereka untuk meninggalkan peribadahan kepada berhala-berhala. Makanya, mereka berkata, “Apakah dia menjadikan sesembahan yang banyak itu Tuhan yang satu saja?!” “Sesungguhnya dahulu apabila dikatakan kepada mereka ‘la ilaha illallah’, mereka menyombongkan diri. Mereka berkata, ‘Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair yang gila?’” (QS. Ash-Shaffat: 35-36). 


[4] يَقُولُ عُلَمَاءُ الضُّلَّالِ: حَرَّمَ الۡإِسۡلَامُ دَمَهُمۡ وَمَالَهُمۡ –يَعۡنُونَ: الۡبَوَادِي الَّتِي لَيۡسَ عِنۡدَهَا مِنَ الۡإِسۡلَامِ شَعۡرَةٌ- لِأَنَّ الرَّسُولَ ﷺ يَقُولُ: (أُمِرۡتُ أَنۡ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمۡ وَأَمۡوَالَهُمۡ). 

Ulama sesat itu mengatakan, “Islam telah mengharamkan darah dan harta mereka.” Yakni orang-orang badui yang tidak melakukan amalan Islam sehelai rambut pun. Dalihnya karena Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan, ‘la ilaha illallah’. Apabila mereka sudah mengucapkannya, maka mereka telah melindungi darah-darah dan harta-harta mereka dariku.” (HR. Al-Bukhari nomor 2946, Muslim nomor 20, Malik dalam Al-Muwaththa` (1/269), Abu Dawud nomor 1556, At-Tirmidzi nomor 2607, dan An-Nasa`i nomor 3091, 3092 dari hadis Abu Hurairah). 

لَٰكِنَّهُمۡ لَا يَجِيئُونَ بِآخِرِ الۡحَدِيثِ: (إِلَّا بِحَقِّهَا) أَيۡ: لَابُدَّ مِنَ الۡعَمَلِ؛ لِأَنَّ حَقَّهَا الۡعَمَلُ. 

Akan tetapi mereka tidak mendatangkan bagian akhir hadis itu, “Kecuali dengan haknya.” Artinya (kandungan kalimat ‘la ilaha illallah’) harus diamalkan karena hak dari kalimat tersebut adalah amalan. 


[5] وَيَقُولُونَ: إِذَا قَالَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ وَهُوَ يُنۡكِرُ الۡبَعۡثَ، يَصِيرُ مُسۡلِمًا! فَهَٰؤُلَاءِ مُسۡلِمُونَ مَا دَامَ أَنَّهُمۡ يَقُولُونَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ وَلَوۡ أَنۡكَرُوا الۡبَعۡثَ. 

Ulama sesat itu mengatakan, “Apabila dia sudah mengucapkan, ‘la ilaha illallah,’ dalam keadaan mengingkari kebangkitan, maka dia menjadi muslim. Jadi mereka itu masih muslimin selama mereka mengatakan, ‘la ilaha illallah,’ walaupun mengingkari hari kebangkitan. 

مَا هَٰذَا التَّنَاقُضُ وَالۡعِيَاذُ بِاللهِ؟! وَالَّذِي يَقُولُ هَٰذَا لَيۡسَ مِنَ الۡعَوَامِّ، إِنَّهُمۡ عُلَمَاءُ، عُلَمَاءُ فِي الۡفِقۡهِ وَالنَّحۡوِ وَالصَّرۡفِ، لَٰكِنۡ فِي الۡعَقِيدَةِ مَا عِنۡدَهُمۡ وَلَا حَبَّةَ خَرۡدَلٍ مِنَ الۡعِلۡمِ الصَّحِيحِ، عَقِيدَتُهُمۡ عَقِيدَةُ الۡمُتَكَلِّمِينَ، وَلَا يَدۡرُسُونَ التَّوۡحِيدَ مِنۡ كِتَابِ اللهِ وَمِنۡ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَإِنَّمَا يَدۡرُسُونَ قَوَاعِدَ الۡمَنۡطِقِ، وَعِلۡمَ الۡكَلَامِ، وَعَقَائِدَ الۡمُتَكَلِّمِينَ الَّذِينَ يَقُولُونَ: يَكۡفِي أَنَّكَ تُقِرُّ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الۡخَالِقُ الرَّازِقُ الۡمُحۡيِي الۡمُمِيتُ، فَقَطۡ هَٰذَا هُوَ التَّوۡحِيدُ عِنۡدَهُمۡ. 

Alangkah bertentangan ucapan ini. Kita berlindung kepada Allah. Yang mengatakan ucapan ini bukan termasuk orang awam. Mereka adalah ulama. Ulama dalam bidang fikih, nahu, dan saraf. Akan tetapi dalam bidang akidah, mereka tidak memiliki ilmu yang sahih, walaupun sebiji sawi. Akidah mereka adalah akidah ahli kalam. Mereka tidak mempelajari tauhid dari Alquran dan sunah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Mereka hanya belajar kaidah ilmu mantik, ilmu kalam, dan akidah para ahli kalam yang berpendapat bahwa cukup engkau menetapkan Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, yang menghidupkan, dan mematikan. Tauhid menurut mereka hanya itu saja. 


[6] الۡيَهُودُ يَقُولُونَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، لَٰكِنۡ لَمَّا لَمۡ يَعۡمَلُوا بِهَا صَارُوا أَغۡلَظَ الۡأُمَمِ كُفۡرًا وَالۡعِيَاذُ بِاللهِ، وَمِثۡلُهُمۡ مَنِ اعۡتَقَدَ هَٰذِهِ الۡعَقِيدَةَ. 

Orang-orang Yahudi mengatakan, ‘la ilaha illallah,’ namun ketika mereka tidak mengamalkan kandungannya, maka mereka menjadi umat yang paling parah kekafirannya. Kita berlindung kepada Allah. Yang semisal mereka adalah siapa saja yang meyakini akidah ini. 


[7] الۡمُرۡتَدُّونَ لَا شَكَّ فِي كُفۡرِهِمۡ، وَلَمۡ يَحۡصُلۡ عِنۡدَ الصَّحَابَةِ خِلَافٌ فِي كُفۡرِهِمۡ، وَهُمۡ صِنۡفَانِ: 

الصِّنۡفُ الۡأَوَّلُ: الَّذِينَ يَقُولُونَ: (لَوۡ كَانَ نَبِيًّا مَا مَاتَ) وَكَوۡنُهُ مَاتَ هَٰذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ غَيۡرُ نَبِيٍّ؛ فَارۡتَدُّوا عَنِ الۡإِسۡلَامِ؛ لِأَنَّهُمۡ كَفَرُوا بِرِسَالَةِ مُحَمَّدٍ ﷺ. 

Orang-orang murtad, kekafiran mereka tidak disangsikan. Tidak terjadi khilaf di antara para sahabat dalam hal kafirnya orang-orang murtad. Orang murtad (di zaman sahabat) ada dua golongan. 

Golongan pertama adalah orang-orang yang mengucapkan, “Andai dia seorang nabi, niscaya dia tidak mati. Keadaan dia yang meninggal menunjukkan bahwa dia bukan nabi.” 


[8] الصِّنۡفُ الثَّانِي: مَنۡ أَقَرَّ بِالشَّهَادَتَيۡنِ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، لَٰكِنۡ أَقَرَّ بِنُبُوَّةِ مُسَيۡلَمَةَ، قَالَ: إِنَّ مُسَيۡلَمَةَ نَبِيٌّ. فَهَٰؤُلَاءِ لَا تَنۡفَعُهُمۡ شَهَادَةُ أَنۡ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، إِذَا أَقَرُّوا بِنُبُوَّةِ مُسَيۡلَمَةَ الۡكَذَّابِ فَلَيۡسُوا مُسۡلِمِينَ، وَهَٰذَا بِالۡإِجۡمَاعِ؛ لِأَنَّهُمۡ جَحَدُوا خَتۡمَ النُّبُوَّةِ بِمُحَمَّدٍ ﷺ، حَيۡثُ يَقُولُ -جَلَّ وَعَلَا-: ﴿وَلَـٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّـۧنَ ۗ﴾ [الۡأَحۡزَاب: ٤٠] وَصَدَّقُوا الۡمُتَنَبِّئَ الۡكَاذِبَ. 

Golongan kedua adalah siapa saja yang menetapkan dua kalimat syahadat dan bahwa Nabi Muhammad adalah rasul Allah, akan tetapi mereka juga mengakui kenabian Musailamah. Dia berpendapat bahwa Musailamah adalah seorang nabi. 

Syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah tidak berguna untuk mereka. Karena ketika mereka mengakui kenabian Musailamah si tukang dusta, maka mereka sudah bukan muslim. 

Ini berdasarkan ijmak, karena mereka mengingkari berakhirnya kenabian dengan diutusnya Nabi Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—yang Allah—jalla wa ‘ala—firmankan, “Tetapi dia adalah rasul Allah dan penutup para nabi.” (QS. Al-Ahzab: 40). Mereka juga membenarkan si pendusta yang mengaku nabi. 


[9] لِأَنَّ مُسَيۡلَمَةَ الۡكَذَّابَ يَقُولُ: إِنَّ الرَّسُولَ أَشۡرَكَنِي فِي النُّبُوَّةِ، وَصَدَّقُوهُ فِي هَٰذِهِ الۡكَلِمَةِ. 

Karena Musailamah si tukang dusta berkata, “Sesungguhnya Rasulullah melibatkanku dalam kenabian.” Orang-orang mempercayai ucapannya ini. 


[10] وَشَهِدَ لَهُ بَعۡضُ الشُّهُودِ أَنَّ الرَّسُولَ أَشۡرَكَهُ فِي الۡأَمۡرِ، شَهَادَةَ زُورٍ وَالۡعِيَاذُ بِاللهِ، وَكَذَّبُوا صَرِیحَ الۡقُرۡآنِ بِخَتۡمِ النُّبُوَّةِ بِمُحَمَّدٍ، وَقَوۡلَهُ ﷺ: (أَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعۡدِي). 

Sebagian saksi juga memberikan persaksian palsu untuk Musailamah bahwa Rasulullah melibatkannya dalam urusan kenabian ini. Kita berlindung kepada Allah darinya. Mereka mendustakan nas Alquran yang menegaskan berakhirnya kenabian dengan diutusnya Nabi Muhammad. Mereka juga mendustakan sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Aku adalah penutup para nabi. Tidak ada nabi setelahku.” (HR. Abu Dawud nomor 4252, At-Tirmidzi nomor 2219, dan Ahmad nomor 22395 dari hadis Tsauban). 


[11] الَّذِي يَقُولُ: إِنَّهُ يُبۡعَثُ بَعۡدَ الرَّسُولِ نَبِيٌّ يَكُونُ كَافِرًا بِالۡإِجۡمَاعِ. 

Orang yang berpendapat bahwa ada nabi yang diutus setelah Rasulullah maka dia kafir menurut ijmak. 


[12] أَنَّهُ لَمۡ يُكَفِّرِ الۡمُشۡرِكِينَ وَقَالَ: يُمۡكِنُ أَنۡ يَكُونُوا صَادِقِينَ، وَمَا جَزَمَ أَنَّهُمۡ عَلَى الۡبَاطِلِ، بَلۡ قَالَ: أَنَا لَا أَدۡرِي، أَنَا لَا أُكَفِّرُ النَّاسَ. 

Dia tidak mau mengafirkan orang-orang musyrik dan berpendapat bahwa mungkin saja orang-orang musyrik itu benar. Dia tidak mau memastikan bahwa mereka di atas kebatilan. Dia malah berkata, “Aku tidak tahu. Aku tidak mau mengafirkan orang-orang itu.” 

نَقُولُ: لَا... لَابُدَّ أَنۡ تَعۡرِفَ الۡحَقَّ مِنَ الۡبَاطِلِ، لَابُدَّ أَنۡ تَعۡرِفَ الۡكُفۡرَ مِنَ الۡإِيمَانِ وَتُمَيِّزَ الۡمُسۡلِمَ مِنَ الۡكَافِرِ، لَابُدَّ مِنۡ هَٰذَا، وَإِلَّا مَا مَعۡنَى الۡإِسۡلَامِ؟! 

Kita katakan, “Tidak. Engkau harus mengetahui mana yang benar dan mana yang batil. Engkau harus mengetahui mana kufur dan mana yang iman. Engkau harus membedakan yang muslim dengan yang kafir. Ini harus. Kalau tidak ada bedanya, lalu apa makna Islam?!” 


[13] أَيۡ: مَنۡ لَمۡ يُكَفِّرِ الۡمُشۡرِكِينَ فَهُوَ مِثۡلُ مَنۡ يُقِرُّ بِنُبُوَّةِ مُسَيۡلَمَةَ الۡكَذَّابِ وَلَوۡ كَانَ يُؤَدِّي الۡإِسۡلَامَ كُلَّهُ، إِذَا قَالَ: إِنَّ مُسَيۡلَمَةَ صَادِقٌ، صَارَ مُرۡتَدًّا عَنۡ دِينِ الۡإِسۡلَامِ. وَهَٰذَا بِالۡإِجۡمَاعِ. 

Artinya: siapa saja yang tidak mengafirkan orang-orang musyrik, maka dia seperti orang yang menyetujui kenabian Musailamah si tukang dusta. Meskipun dia menunaikan seluruh amalan Islam, namun apabila dia mengatakan, “Sesungguhnya Musailamah itu benar”, maka dia menjadi murtad keluar dari agama Islam. Ini berdasarkan ijmak. 


[14] طُلَيۡحَةُ مِمَّنِ ادَّعَى النُّبُوَّةَ، وَصَدَّقَهُ قَوۡمُهُ وَقَاتَلُوا الصَّحَابَةَ مَعَهُ، ثُمَّ إِنَّ اللهَ مَنَّ عَلَى طُلَيۡحَةَ وَعَادَ إِلَى الۡإِسۡلَامِ، وَتَابَ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَقُتِلَ فِي حُرُوبِ الۡفُرۡسِ مَعَ الۡمُسۡلِمِينَ. 

Thulaihah termasuk orang yang mengaku nabi. Kaumnya membenarkannya dan bersamanya memerangi para sahabat. Kemudian Allah memberikan karunia kepada Thulaihah sehingga dia kembali kepada Islam dan bertobat kepada Allah—‘azza wa jalla—. Beliau terbunuh dalam peperangan bersama kaum muslimin melawan orang-orang Persia. 


[15] الۡأَسۡوَدُ الۡعَنۡسِيُّ، فِي الۡيَمَنِ. قَتَلَهُ عَبۡدُ اللهِ بۡنُ فَیۡرُوزَ الدَّيۡلَمِيُّ فِي آخِرِ حَيَاةِ النَّبِيِّ ﷺ، وَأَمَّا مُسَيۡلَمَةُ فَإِنَّهُ قَاتَلَهُ الصَّحَابَةُ فِي حَرۡبِ الۡيَمَامَةِ بِقِيَادَةِ خَالِدِ بۡنِ الۡوَلِيدِ حَتَّى قَتَلُوهُ. 

Al-Aswad Al-‘Ansi di Yaman. ‘Abdullah bin Fairuz Ad-Dailami membunuhnya di akhir masa hidupnya Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Adapun Musailamah diperangi oleh para sahabat dalam perang Yamamah yang dikomando oleh Khalid bin Al-Walid, sehingga para sahabat berhasil membunuh Musailamah. 


[16] فَالۡمُرۡتَدُّونَ أَنۡوَاعٌ وَمَنۡ صَدَّقَ أَحَدًا مِنۡهُمۡ، فَهُوَ كَافِرٌ، وَإِنۡ كَانَ يَشۡهَدُ أَنۡ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، فَلَا تَنۡفَعُهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ بِمُجَرَّدِ النُّطۡقِ، وَأَشَدُّ كُفۡرًا مِنۡ هَٰؤُلَاءِ مَنۡ يَقُولُ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، ثُمَّ يَعۡبُدُ الۡأَوۡلِيَاءَ وَالصَّالِحِينَ. 

Jadi orang-orang murtad ada banyak macamnya. Siapa saja yang menganggap benar satu saja dari mereka, maka dia kafir, meskipun dia dahulunya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah. Jadi semata-mata ucapan ‘la ilaha illallah’ tidak bermanfaat baginya. Di antara mereka yang paling parah kekafirannya adalah orang yang mengucapkan ‘la ilaha illallah’, kemudian beribadah kepada para wali dan orang saleh. 


[17] الَّذِينَ يَقُولُونَ: إِنَّ الۡإِسۡلَامَ دِينُ الۡحَضَرِ، أَمَّا نَحۡنُ فَعَلَی دِینِ آبَائِنَا مَا نَحۡنُ عَلَى دِينِ الۡحَضَرِ. وَيَقُولُ عُلَمَاءُ الضَّلَالِ: هَٰؤُلَاءِ مُسۡلِمُونَ؛ لِأَنَّهُمۡ يَقُولُونَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، وَهُمۡ يَتَبَرَّءُونَ مِنۡ دِینِ مُحَمَّدٍ وَيَقُولُونَ: هَٰذَا دِینُ الۡحَضَرِ. 

Orang-orang (badui) yang mengatakan, “Sesungguhnya Islam adalah agama orang yang hidup menetap. Sedangkan kami berada di atas agama bapak-bapak kami. Kami tidak berada di atas agama orang yang hidup menetap.” 

Ulama yang sesat mengatakan, “Mereka (yang mengucapkan kalimat tersebut) adalah muslimin karena mereka masih mengatakan ‘la ilaha illallah’.” 

Padahal orang-orang itu sudah berlepas diri dari agama Nabi Muhammad dan berkata, “(Islam) ini agama orang yang hidup menetap.” 


[18] هَٰذَا أَعۡرَابِيٌّ جَاءَ لِدَرۡسِ الشَّيۡخِ، وَلَمَّا عَرَفَ الۡإِسۡلَامَ مَعۡرِفَةً صَحِيحَةً شَهِدَ عَلَى نَفۡسِهِ قَبۡلَ أَنۡ يَعۡرِفَ الۡإِسۡلَامَ وَعَلَى جَمَاعَتِهِ أَنَّهُمۡ كُفَّارٌ، وَشَهِدَ أَنَّ الۡمُطَوِّعَ -يَعۡنِي: الۡعَالِمَ الَّذِي يَقُولُ: إِنَّكُمۡ مُسۡلِمُونَ- أَنَّهُ كَافِرٌ؛ لِأَنَّهُ حَكَمَ لِهَٰؤُلَاءِ الۡكُفَّارِ بِالۡإِسۡلَامِ وَمَا أَكۡثَرَ أَشۡبَاهُهُ. 

Badui ini datang menghadiri pelajaran Syekh. Ketika dia sudah mengerti Islam dengan pengetahuan yang benar, dia bersaksi terhadap dirinya sebelum mengerti Islam dan terhadap kelompoknya bahwa mereka ini orang-orang kafir. Dia juga bersaksi bahwa tokoh agama—yang dia maksud adalah orang alim yang mengatakan, “Sesungguhnya kalian adalah muslimin.”—adalah orang kafir pula karena dia menetapkan bahwa orang-orang kafir itu muslimin. Alangkah banyak orang yang seperti dia. 


[19] غَفَرَ اللهُ لَهُ وَجَزَاهُ اللهُ عَنِ الۡإِسۡلَامِ وَالۡمُسۡلِمِينَ خَيۡرَ الۡجَزَاءِ، لَقَدۡ بَيَّنَ وَوَضَّحَ رَحِمَهُ اللهُ. 

Semoga Allah mengampuni beliau. Semoga Allah memberi balasan atas jasa beliau untuk Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan. Sungguh beliau—semoga Allah merahmatinya—telah memberi keterangan dengan jelas dan gamblang.