Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah di dalam kitab
Lum'atul I'tiqad berkata,
فَصۡلٌ فِي كَلَامِ اللهِ تَعَالَى
Pasal tentang Kalam Allah taala
١٢ - وَمِنۡ صِفَاتِ اللهِ تَعَالَى أَنَّهُ مُتَكَلِّمٌ بِكَلَامٍ قَدِيمٍ، يَسۡمَعُهُ مِنۡهُ مَنۡ شَاءَ مِنۡ خَلۡقِهِ. سَمِعَهُ مُوسَى عَلَيۡهِ السَّلَامُ مِنۡهُ مِنۡ غَيۡرِ وَاسِطَةٍ، وَسَمِعَهُ جِبۡرِيلُ عَلَيۡهِ السَّلَامُ، وَمَنۡ أَذِنَ لَهُ مِنۡ مَلَائِكَتِهِ.
Termasuk sifat Allah taala adalah bahwa Dia berbicara dengan pembicaraan yang lampau. Kalam-Nya bisa didengar oleh siapa saja yang Dia kehendaki dari makhluk-Nya. Musa—‘alaihis salam—mendengar kalam-Nya dari-Nya secara langsung tanpa perantara. Jibril—‘alaihis salam—juga mendengar kalam-Nya, serta sebagian para malaikat yang Dia izinkan.
وَأَنَّهُ سُبۡحَانَهُ يُكَلِّمُ الۡمُؤۡمِنِينَ فِي الۡآخِرَةِ وَيُكَلِّمُونَهُ، وَيَأۡذَنُ لَهُمۡ فَيَزُورُونَهُ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكۡلِيمًا﴾ [النساء: ١٦٤].
Allah—Maha Suci Dia—berbicara dengan kaum mukminin di akhirat dan mereka berbicara dengan-Nya. Allah memberi izin kepada mereka lalu mereka mengunjungi-Nya.
Allah taala berfirman, “Allah benar-benar berbicara kepada Musa.” (QS. An-Nisa`: 164).
وَقَالَ سُبۡحَانَهُ: ﴿يَـٰمُوسَىٰٓ إِنِّى ٱصۡطَفَيۡتُكَ عَلَى ٱلنَّاسِ بِرِسَـٰلَـٰتِى وَبِكَلَـٰمِى﴾ [الأعراف: ١٤٤].
Allah—Maha Suci Dia—berfirman, “Allah berkata: Wahai Musa, sesungguhnya Aku memilih engkau dari sekalian manusia dengan risalah-Ku dan kalam-Ku.” (QS. Al-A’raf: 144).
وَقَالَ سُبۡحَانَهُ: ﴿مِّنۡهُم مَّن كَلَّمَ ٱللَّهُ﴾ [البقرة: ٢٥٣].
Allah—Maha Suci Dia—berfirman, “Di antara mereka ada yang Allah ajak bicara.” (QS. Al-Baqarah: 253).
وَقَالَ سُبۡحَانَهُ: ﴿وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا أَوۡ مِن وَرَآئِ حِجَابٍ﴾ [الشورى: ٥١].
Allah—Maha Suci Dia—berfirman, “Tidak bisa bagi seorang pun, diajak bicara oleh Allah kecuali melalui wahyu atau dari balik tabir.” (QS. Asy-Syura: 51).
وَقَالَ تَعَالَى: فَلَمَّآ أَتَىٰهَا نُودِىَ يَـٰمُوسَىٰٓ ١١ إِنِّىٓ أَنَا۠ رَبُّكَ﴾ [طه: ١١-١٢].
Allah taala berfirman, “Ketika Musa datang ke situ, beliau dipanggil: Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Rabb-mu.” (QS. Thaha: 11-12).
وَقَالَ سُبۡحَانَهُ: ﴿إِنَّنِىٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدۡنِى﴾ [طه: ١٤].
Allah—Maha Suci Dia—berfirman, “Sesungguhnya Aku adalah Allah Yang tidak ada sesembahan yang benar kecuali Aku. Maka sembahlah Aku.” (QS. Thaha: 14).
وَغَيۡرُ جَائِزٍ أَنۡ يَقُولَ هَٰذَا إِلَّا اللهُ.
Tidak ada satu pun yang boleh mengatakan ucapan ini selain Allah.
وَقَالَ عَبۡدُ اللهِ بۡنُ مَسۡعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ: إِذَا تَكَلَّمَ اللهُ بِالۡوَحۡيِ سَمِعَ صَوۡتَهُ أَهۡلُ السَّمَاءِ، وَرُوِيَ ذٰلِكَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ.
‘Abdullah bin Mas’ud—radhiyallahu ‘anhu—berkata, “Apabila Allah berbicara melalui wahyu, maka penduduk langit mendengar suara-Nya.” Beliau meriwayatkan itu dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—.
وَرَوَى عَبۡدُ اللهِ بۡنُ أُنَيۡسٍ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: (يُحۡشَرُ الۡخَلَائِقُ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ حُفَاةً عُرَاةً فَيُنَادِيهِمۡ بِصَوۡتٍ يَسۡمَعُهُ مَنۡ بَعُدَ، كَمَا يَسۡمَعُهُ مَنۡ قَرُبَ: أَنَا الۡمَلِكُ، أَنَا الدَّيَّانُ) رَوَاهُ الۡأَئِمَّةُ، وَاسۡتَشۡهَدَ بِهِ الۡبُخَارِيُّ.
‘Abdullah bin Unais meriwayatkan dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bahwa beliau bersabda, “Para makhluk akan dikumpulkan hari kiamat dalam keadaan tanpa busana dan tanpa alas kaki. Lalu Allah menyeru mereka dengan suara yang didengar dari tempat yang jauh sebagaimana didengar dari tempat yang dekat: Aku adalah raja, Aku adalah Ad-Dayyan (Yang Maha Membalas amalan hamba).” (HR. Ahmad nomor 16138). Diriwayatkan oleh para imam hadis dan Al-Bukhari menjadikannya sebagai pendukung.
وَفِي بَعۡضِ الۡآثَارِ أَنَّ مُوسَى عَلَيۡهِ السَّلَامُ لَيۡلَةً رَأَى النَّارَ فَهَالَتۡهُ وَفَزِعَ مِنۡهَا، نَادَاهُ رَبُّهُ: يَا مُوسَى! فَأَجَابَ سَرِيعًا اسۡتِئۡنَاسًا بِالصَّوۡتِ، فَقَالَ: لَبَّيۡكَ لَبَّيۡكَ أَسۡمَعُ صَوۡتَكَ وَلَا أَرَى مَكَانَكَ، فَأَيۡنَ أَنۡتَ؟ فَقَالَ: أَنَا فَوۡقَكَ، وَأَمَامَكَ، وَعَنۡ يَمِينِكَ، وَعَنۡ شِمَالِكَ، فَعَلِمَ أَنَّ هَٰذِهِ الصِّفَةَ لَا تَنۡبَغِي إِلَّا لِلهِ تَعَالَى. قَالَ: فَكَذٰلِكَ أَنۡتَ يَا إِلَٰهِي أَفَكَلَامَكَ أَسۡمَعُ أَمۡ كَلَامَ رَسُولِكَ؟ قَالَ: بَلۡ كَلَامِي يَا مُوسَى.
Dalam sebagian riwayat bahwa Musa—‘alaihis salam—pada suatu malam melihat api. Api itu menakutinya dan beliau takut darinya. Tuhannya memanggilnya, “Wahai Musa.”
Musa segera menjawab dengan suka cita. Beliau berkata, “Aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu. Aku mendengar suara-Mu, namun aku tidak melihat tempat-Mu. Di mana Engkau?”
Allah berkata, “Aku di atasmu, di depanmu, di sebelah kananmu, dan di sebelah kirimu.”
Musa mengetahui bahwa sifat ini tidak pantas kecuali bagi Allah taala. Beliau berkata, “Demikianlah Engkau wahai ilahku. Apakah kalam-Mu yang aku dengar atau kalam rasul-Mu?” Allah berkata, “Kalam-Ku wahai Musa.”[1]
Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin (wafat 1421 H) rahimahullah di
dalam syarahnya berkata,
[1]
الصِّفَةُ الۡخَامِسَةُ عَشۡرَةَ: الۡكَلَامُ:
Sifat kelima belas: Kalam.
الۡكَلَامُ صِفَةٌ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ الثَّابِتَةِ لَهُ بِالۡكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ.
Kalam adalah salah satu sifat Allah yang pasti bagi-Nya berdasarkan Alquran,
sunah, dan ijmak ulama salaf.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكۡلِيمًا﴾ [النساء: ١٦٤]،
﴿ مِّنۡهُم مَّن كَلَّمَ ٱللَّهُ﴾ [البقرة: ٢٥٣].
Allah taala berfirman, “Allah benar-benar berbicara kepada Musa.” (QS.
An-Nisa`: 164). “Di antara mereka ada yang Allah ajak bicara.” (QS.
Al-Baqarah: 253).
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (إِذَا أَرَادَ اللهُ أَنۡ يُوحِيَ بِأَمۡرِهِ
تَكَلَّمَ بِالۡوَحۡيِ) أَخۡرَجَهُ ابۡنُ خُزَيۡمَةَ وَابۡنُ جَرِيرٍ وَابۡنُ
أَبِي حَاتِمٍ.
Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Apabila Allah ingin mewahyukan
urusan-Nya, maka Dia berbicara melalui wahyu.” Diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abu Hatim.
وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى ثُبُوتِ الۡكَلَامِ لِلهِ.
فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ لَهُ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا
تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ.
وَهُوَ كَلَامٌ حَقِيقِيٌّ يَلِيقُ بِاللهِ يَتَعَلَّقُ بِمَشِيئَتِهِ
بِحُرُوفٍ وَأَصۡوَاتٍ مَسۡمُوعَةٍ.
Para ulama salaf telah bersepakat akan kepastian sifat berbicara bagi Allah.
Maka wajib menetapkannya dengan tanpa tahrif (menyelewengkan maknanya),
ta’thil (menolaknya), takyif (menentukan kaifiatnya), dan tamtsil
(menyerupakannya). Ini adalah kalam yang hakiki yang layak bagi Allah
berkaitan dengan kehendak-Nya dengan huruf dan suara yang bisa didengar.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ بِمَشِيئَتِهِ: قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَلَمَّا
جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَـٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ﴾ [الأعراف: ١٤٣]
فَالتَّكۡلِيمُ حَصَلَ بَعۡدَ مَجِيءِ مُوسَى فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ
مُتَعَلِّقٌ بِمَشِيئَتِهِ تَعَالَى.
Dalil bahwa sifat kalam adalah dengan kehendak-Nya adalah firman Allah taala,
“Ketika Musa datang ke tempat yang Kami tentukan dan Rabb-nya berbicara
dengannya.” (QS. Al-A’raf: 143).
Jadi pembicaraan terjadi setelah kedatangan Musa. Maka ini menunjukkan bahwa
kalam-Nya berkaitan dengan kehendak Allah taala.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ حُرُوفٌ: قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿يَـٰمُوسَىٰٓ ١١
إِنِّىٓ أَنَا۠ رَبُّكَ﴾ [طه: ١١، ١٢] فَإِنَّ هَٰذِهِ الۡكَلِمَاتِ حُرُوفٌ
وَهِيَ كَلَامُ اللهِ.
Dalil bahwa kalam-Nya berupa huruf-huruf adalah firman Allah taala, “Wahai
Musa, sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu.” (QS. Thaha: 11-12).
Sesungguhnya kata-kata ini adalah huruf-huruf dan inilah kalam Allah.
وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّهُ بِصَوۡتٍ: قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَنَـٰدَيۡنَـٰهُ
مِن جَانِبِ ٱلطُّورِ ٱلۡأَيۡمَنِ وَقَرَّبۡنَـٰهُ نَجِيًّا﴾ [مريم: ٥٢].
وَالنِّدَاءُ وَالۡمُنَاجَاةُ لَا تَكُونُ إِلَّا بِصَوۡتٍ.
Dalil bahwa kalam Allah dengan suara adalah firman Allah taala, “Kami seru dia
dari sisi kanan bukit Thur dan Kami dekatkan dia ketika dia sedang munajat.”
(QS. Maryam: 52).
Seruan dan pembicaraan rahasia tidak bisa kecuali dengan suara.
وَرَوَى عَبۡدُ اللهِ بۡنُ أُنَيۡسٍ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ:
(يَحۡشُرُ اللهُ الۡخَلَائِقَ فَيُنَادِيهِمۡ بِصَوۡتٍ يَسۡمَعُهُ مَنۡ بَعُدَ
كَمَا يَسۡمَعُهُ مَنۡ قَرُبَ: أَنَا الۡمَلِكُ أَنَا الدَّيَّانُ)، عَلَّقَهُ
الۡبُخَارِيُّ بِصِيغَةِ التَّمۡرِيضِ. قَالَ فِي الۡفَتۡحِ وَأَخۡرَجَهُ
الۡمُصَنِّفُ فِي الۡأَدَبِ الۡمُفۡرَدِ وَأَحۡمَدُ وَأَبُو يَعۡلَى فِي
مُسۡنَدَيۡهِمَا وَذَكَرَ لَهُ طَرِيقَيۡنِ آخَرَيۡنِ.
‘Abdullah bin Unais meriwayatkan dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bahwa
beliau bersabda, “Allah mengumpulkan para makhluk lalu Dia menyeru mereka
dengan suara yang bisa didengar dari jauh seperti yang didengar dari dekat:
Aku adalah Raja, Aku adalah Ad-Dayyan (Yang Maha Membalas amalan hamba).”
Disebutkan oleh Al-Bukhari tanpa sanad dengan bentuk tamridh (isyarat ada
penyakit). Beliau katakan di dalam Al-Fath.
Juga diriwayatkannya oleh Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad, Ahmad, Abu
Ya’la dalam Musnad keduanya. Beliau menyebutkan dua jalur periwayatan lainnya.
وَكَلَامُ اللهِ تَعَالَى قَدِيمُ النَّوۡعِ حَادِثُ الۡآحَادِ:
وَمَعۡنَى (قَدِيمُ النَّوۡعِ): أَنَّ اللهَ لَمۡ يَزَلۡ وَلَا يَزَالُ
مُتَكَلِّمًا، لَيۡسَ الۡكَلَامُ حَادِثًا مِنۡهُ بَعۡدَ أَنۡ لَمۡ
يَكُنۡ.
Kalam Allah taala qadimun nau’ haditsul ahad. Makna qadimun nau’ adalah bahwa
Allah senantiasa dan akan terus bisa berbicara. Bukanlah sifat berbicara-Nya
adalah sesuatu yang muncul dari-Nya setelah sebelumnya tidak ada.
وَمَعۡنَى (حَادِثُ الۡآحَادِ): أَنَّ آحَادَ كَلَامِهِ أَيۡ الۡكَلَامَ
الۡمُعَيَّنَ الۡمَخۡصُوصَ حَادِثٌ؛ لِأَنَّهُ مُتَعَلِّقٌ بِمَشِيئَتِهِ مَتَى
شَاءَ تَكَلَّمَ بِمَا شَاءَ كَيۡفَ شَاءَ.
Makna haditsul ahad adalah bahwa satuan-satuan pembicaraannya yakni
pembicaraan yang tertentu lagi khusus adalah sesuatu yang baru muncul karena
hal itu berkaitan dengan kehendak-Nya. Kapan saja Dia mau, maka Dia berbicara
dengan siapa yang Dia kehendaki, dengan cara yang Dia kehendaki.
الۡمُخَالِفُونَ لِأَهۡلِ السُّنَّةِ فِي كَلَامِ اللهِ تَعَالَى:
Orang-orang yang menyelisihi ahli sunah dalam hal kalam Allah taala:
خَالَفَ أَهۡلَ السُّنَّةِ فِي كَلَامِ اللهِ طَوَائِفُ نَذۡكُرُ مِنۡهُمۡ
طَائِفَتَيۡنِ:
Ada banyak kelompok yang menyelisihi ahli sunah dalam hal kalam Allah. Kita
sebutkan dua kelompok di antaranya:
الطَّائِفَةُ الۡأُولَى: الۡجَهۡمِيَّةُ:
قَالُوا: لَيۡسَ الۡكَلَامُ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ وَإِنَّمَا هُوَ خَلۡقٌ مِنۡ
مَخۡلُوقَاتِ اللهِ يَخۡلُقُهُ اللهُ فِي الۡهَوَاءِ أَوۡ فِي الۡمَحَلِّ
الَّذِي يُسۡمَعُ مِنۡهُ
Kelompok pertama adalah Jahmiyyah. Mereka berpendapat bahwa kalam tidak
termasuk sifat Allah. Kalam hanyalah salah satu makhluk Allah. Allah
menciptakannya di udara atau di tempat yang bisa didengar.
وَإِضَافَتُهُ إِلَى اللهِ إِضَافَةُ خَلۡقٍ أَوۡ تَشۡرِيفٌ مِثۡلُ: نَاقَةُ
اللهِ، وَبَيۡتُ اللهِ.
وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا يَلِي:
Penyandarannya kepada Allah adalah penyandaran makhluk atau pemuliaan,
seperti: unta Allah dan rumah Allah. Kita bantah mereka dengan bantahan
berikut ini:
١- إِنَّهُ خِلَافُ إِجۡمَاعِ السَّلَفِ.
Hal itu menyelisihi ijmak ulama salaf.
٢- خِلَافُ الۡمَعۡقُولِ لِأَنَّ الۡكَلَامَ صِفَةٌ لِلۡمُتَكَلِّمِ، وَلَيۡسَ
شَيۡئًا قَائِمًا بِنَفۡسِهِ مُنۡفَصِلًا عَنِ الۡمُتَكَلِّمِ.
Menyelisihi akal karena kalam adalah sifat untuk yang berbicara dan bukan
sesuatu yang berdiri sendiri terpisah dari yang berbicara.
٣- إِنَّ مُوسَى سَمِعَ اللهَ يَقُولُ: ﴿إِنَّنِىٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ
إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدۡنِى﴾ [طه: ١٤] وَمُحَالٌ أَنۡ يَقُولَ ذٰلِكَ أَحَدٌ
إِلَّا اللهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى.
Bahwa Musa mendengar Allah berkata, “Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tidak ada
ilah yang disembah dengan benar kecuali Aku. Maka, sembahlah Aku.” (QS. Thaha:
14).
Mustahil ada yang mengatakan demikian kecuali Allah—subhanahu wa taala—.
الطَّائِفَةُ الثَّانِيَةُ: الۡأَشۡعَرِيَّةُ:
قَالُوا: كَلَامُ اللهِ مَعۡنًى قَائِمٌ بِنَفۡسِهِ لَا يَتَعَلَّقُ
بِمَشِيئَتِهِ، وَهَٰذِهِ الۡحُرُوفُ وَالۡأَصۡوَاتُ الۡمَسۡمُوعَةُ
مَخۡلُوقَةٌ لِلتَّعۡبِيرِ عَنِ الۡمَعۡنَى الۡقَائِمِ بِنَفۡسِ اللهِ.
وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا يَلِي:
Kelompok kedua adalah Asy’ariyyah. Mereka berpendapat bahwa kalam Allah adalah
makna yang berdiri sendiri, tidak berkaitan dengan kehendak-Nya. Adapun huruf
dan suara yang didengar ini diciptakan untuk mengungkapkan makna yang ada pada
Diri Allah.
Kita bantah mereka dengan bantahan berikut ini:
١- أَنَّهُ خِلَافُ إِجۡمَاعِ السَّلَفِ.
Hal ini menyelisihi ijmak ulama salaf.
٢- أَنَّهُ خِلَافُ الۡأَدِلَّةِ لِأَنَّهَا تَدُلُّ عَلَى أَنَّ كَلَامَ
اللهِ يُسۡمَعُ وَلَا يُسۡمَعُ إِلَّا الصَّوۡتُ وَلَا يُسۡمَعُ الۡمَعۡنَى
الۡقَائِمُ بِالنَّفۡسِ.
Menyelisihi dalil-dalil. Karena dalil menunjukkan bahwa kalam Allah bisa
didengar. Dan tidak bisa didengar kecuali dengan suara. Adapun makna yang
berdiri sendiri, maka tidak bisa didengar.
٣- أَنَّهُ خِلَافُ الۡمَعۡهُودِ لِأَنَّ الۡكَلَامَ الۡمَعۡهُودَ هُوَ مَا
يَنۡطِقُ بِهِ الۡمُتَكَلِّمُ لَا مَا يُضۡمِرُهُ فِي نَفۡسِهِ.
Menyelisihi pengertian keumuman manusia karena kalam yang dipahami keumuman
manusia adalah yang diucapkan oleh yang berbicara, bukan yang dia sembunyikan
di dalam jiwanya.
تَعۡلِيقٌ عَلَى كَلَامِ الۡمُؤَلِّفِ فِي فَصۡلِ الۡكَلَامِ:
Catatan terhadap ucapan mualif dalam pasal kalam Allah.
- قَوۡلُهُ: (مُتَكَلِّمٌ بِكَلَامٍ قَدِيمٍ) يَعۡنِي: قَدِيمَ النَّوۡعِ
حَادِثَ الۡآحَادِ لَا يَصۡلُحُ إِلَّا هَٰذَا الۡمَعۡنَى عَلَى مَذۡهَبِ
أَهۡلِ السُّنَّةِ وَالۡجَمَاعَةِ، وَإِنۡ كَانَ ظَاهِرُ كَلَامِهِ أَنَّهُ
قَدِيمُ النَّوۡعِ وَالۡآحَادِ.
Ucapan beliau: Allah berbicara dengan kalam sejak dahulu. Yakni qadimun nau’
haditsul ahad. Tidak boleh kecuali makna ini. Ini sesuai dengan mazhab ahli
sunah wal jamaah. Walaupun lahiriah ucapan beliau adalah kalam Allah qadimun
nau’ wal ahad.
- قَوۡلُهُ: (سَمِعَهُ مُوسَى مِنۡ غَيۡرِ وَاسِطَةٍ) لِقَوۡلِهِ تَعَالَى:
﴿وَأَنَا ٱخۡتَرۡتُكَ فَٱسۡتَمِعۡ لِمَا يُوحَىٰٓ﴾[طه: ١٣].
Ucapan mualif: Musa mendengarnya tanpa perantara berdasarkan firman-Nya taala,
“Aku memilihmu, maka simaklah apa yang diwahyukan.” (QS. Thaha: 13).
- قَوۡلُهُ: (وَسَمِعَهُ جِبۡرِيلُ) لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿قُلۡ نَزَّلَهُۥ
رُوحُ ٱلۡقُدُسِ مِن رَّبِّكَ﴾ [النحل: ١٠٢].
Ucapan mualif, “Jibril mendengarnya,” berdasarkan firman Allah taala,
“Katakanlah: Ruh kudus yang menurunkannya dari Rabb-mu.” (QS. An-Nahl: 102).
- قَوۡلُهُ: (وَمَنۡ أَذِنَ لَهُ مِنۡ مَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ) أَمَّا
الۡمَلَائِكَةُ فَلِقَوۡلِهِ ﷺ: (وَلَكِنَّ رَبَّنَا إِذَا قَضَى أَمۡرًا
سَبَّحَ حَمَلَةُ الۡعَرۡشِ، ثُمَّ يُسَبِّحُ أَهۡلُ السَّمَاءِ الَّذِينَ
يَلُونَهُمۡ حَتَّى يَبۡلُغُ التَّسۡبِيحُ أَهۡلَ السَّمَاءِ الدُّنۡيَا
فَيَقُولُ الَّذِينَ يَلُونَ حَمَلَةَ الۡعَرۡشِ لِحَمَلَةِ الۡعَرۡشِ: ﴿مَاذَا
قَالَ رَبُّكُمۡ﴾ [سبأ: ٢٣] فَيُخۡبِرُونَهُمۡ) الۡحَدِيثُ رَوَاهُ مُسۡلِمٌ.
وَأَمَّا الرُّسُلُ: فَقَدۡ ثَبَتَ أَنَّ اللهَ كَلَّمَ مُحَمَّدًا ﷺ لَيۡلَةَ
الۡمِعۡرَاجِ.
Ucapan mualif, “didengar pula oleh siapa saja yang Dia izinkan dari kalangan
malaikat dan rasul-Nya.” Adapun malaikat, maka berdasarkan sabda
Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—,
Akan tetapi Tuhan kita apabila menetapkan suatu urusan, maka para malaikat
pemikul arasy bertasbih. Kemudian para penghuni langit di bawahnya pun
bertasbih. Hingga tasbih itu sampai ke penghuni langit dunia. Maka para
malaikat di bawah pemikul arasy bertanya kepada malaikat pemikul arasy, “Apa
yang dikatakan oleh Tuhan kalian?” (QS. Saba`: 23). Maka malaikat pemikul
arasy memberitahu mereka. (HR.
Muslim nomor 2229
dan
At-Tirmidzi nomor 3224).
Adapun para rasul, maka telah pasti bahwa Allah berbicara kepada
Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—pada malam mikraj.
- قَوۡلُهُ: (وَإِنَّهُ سُبۡحَانَهُ يُكَلِّمُ الۡمُؤۡمِنِينَ
وَيُكَلِّمُونَهُ) لِحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ الۡخُدۡرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ
قَالَ: (يَقُولُ اللهُ لِأَهۡلِ الۡجَنَّةِ: يَا أَهۡلَ الۡجَنَّةِ
فَيَقُولُونَ: لَبَّيۡكَ رَبَّنَا وَسَعۡدَيۡكَ)، الۡحَدِيثُ مُتَّفَقٌ
عَلَيۡهِ.
Ucapan mualif, “Bahwa Allah—Maha Suci Dia—akan berbicara dengan kaum mukminin
dan mereka akan berbicara kepada-Nya,” berdasarkan hadis Abu Sa’id Al-Khudri
bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda,
“Allah berkata kepada penduduk janah: Wahai penduduk janah. Mereka berkata:
Kami penuhi panggilan Rabana dengan senang hati.” Hadis muttafaqun ‘alaih (HR.
Al-Bukhari nomor 6549
dan
Muslim nomor 2829).
- قَوۡلُهُ: (وَيُأۡذَنُ لَهُمۡ فَيَزُورُونَهُ) لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (إِنَّ أَهۡلَ الۡجَنَّةِ إِذَا دَخَلُوا فِيهَا
نَزَلُوا بِفَضۡلِ أَعۡمَالِهِمۡ ثُمَّ يُؤۡذَنُ لَهُمۡ فِي مِقۡدَارِ يَوۡمِ
الۡجُمُعَةِ مِنۡ أَيَّامِ الدُّنۡيَا فَيَزُورُونَ رَبَّهُمۡ...) الۡحَدِيثُ
رَوَاهُ ابۡنُ مَاجَه وَالتِّرۡمِذِيُّ وَقَالَ: غَرِيبٌ، وَضَعَّفَهُ
الۡأَلۡبَانِيُّ.
Ucapan mualif, “Mereka diizinkan untuk mengunjungi-Nya,” berdasarkan hadis Abu
Hurairah bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda,
"Sesungguhnya apabila penduduk janah sudah masuk janah, mereka akan berhenti
di tempat yang sesuai dengan keutamaan amalan mereka. Kemudian mereka
diizinkan seukuran hari Jumat dari hari-hari dunia untuk mengunjungi Tuhan
mereka...”
Hadis ini diriwayatkan oleh
Ibnu Majah (nomor 4336)
dan
At-Tirmidzi (nomor 2549). Beliau berkata: Garib. Dinilai daif oleh Al-Albani.
- وَقَوۡلُهُ: (وَقَالَ ابۡنُ مَسۡعُودٍ إِذَا تَكَلَّمَ اللهُ بِالۡوَحۡيِ
سَمِعَ صَوۡتَهُ أَهۡلُ السَّمَاءِ. وَرَوَى ذٰلِكَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ) أَثَرُ
ابۡنِ مَسۡعُودٍ لَمۡ أَجِدۡهُ بِهَٰذَا اللَّفۡظِ،
Ucapan mualif, “Ibnu Mas’ud berkata: Apabila Allah berbicara melalui wahyu,
maka penduduk langit mendengar suara-Nya. Beliau juga meriwayatkan itu dari
Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—.” Riwayat Ibnu Mas’ud ini tidak aku dapati
dengan redaksi ini.
وَذَكَرَ ابۡنُ خُزَيۡمَةَ طُرُقَهُ فِي كِتَابِ التَّوۡحِيدِ بِأَلۡفَاظٍ
مِنۡهَا سَمِعَ أَهۡلُ السَّمَوَاتِ لِلسَّمَوَاتِ صَلۡصَلَةً،
Ibnu Khuzaimah menyebutkan jalur-jalur periwayatannya di dalam kitab Tauhid
dengan beberapa redaksi. Di antaranya: Penduduk langit mendengar langit-langit
bergemuruh.
وَأَمَّا الۡمَرۡوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فَهُوَ مِنۡ حَدِيثِ النَّوَّاسِ
بۡنِ سَمۡعَانَ مَرۡفُوعًا: (إِذَا أَرَادَ اللهُ أَنۡ يُوحِيَ بِأَمۡرِهِ
تَكَلَّمَ بِالۡوَحۡيِ فَإِذَا تَكَلَّمَ أَخَذَتِ السَّمَوَاتُ مِنۡهُ
رَجۡفَةً - أَوۡ قَالَ: رَعۡدَةً شَدِيدَةً - مِنۡ خَوۡفِ اللهِ فَإِذَا سَمِعَ
ذٰلِكَ أَهۡلُ السَّمَوَاتِ صَعِقُوا...) الۡحَدِيث. رَوَاهُ ابۡنُ خُزَيۡمَةَ
وَابۡنُ أَبِي حَاتِمٍ.
Adapun yang diriwayatkan dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—adalah dari
hadis An-Nawwas bin Sam’an secara marfuk,
“Apabila Allah hendak mewahyukan urusan-Nya, maka Dia berbicara melalui wahyu.
Apabila Dia berbicara, langit-langit mulai berguncang hebat karena takut
kepada Allah. Apabila penduduk langit mendengarnya, mereka jatuh pingsan...”
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Abu Hatim.