Cari Blog Ini

Al-Laits bin Sa'ad rahimahullah

Sang Tajir yang Faqih dan Imam yang Dermawan
Kali ini kita akan berkenalan dengan seorang alim dan imam dari negeri Mesir. Beliau hidup sezaman dengan Imam Malik bin Anas, imam negeri Hijrah, Madinah. Imam Asy Syafi’i pernah berkomentar bahwa imam dari Mesir ini lebih faqih daripada Malik. Siapakah dia?
Beliau adalah Al Laits bin Sa’ad bin ‘Abdurrahman Al Fahmi. Beliau terlahir di Mesir tepatnya di sebuah desa yang disebut dengan Qarqasyandah, pada bulan Sya’ban tahun 94 hijriah. Meski terlahir dan dibesarkan di negeri Mesir, namun keluarga beliau mengaku berasal dari Persia, tepatnya dari penduduk Ashfahan. Walau berdarah Persia, namun lisannya fasih berbahasa ‘Arab. Beliau juga pakar dalam ilmu nahwu, serta menghafal banyak syair-syair Arab klasik.
Tentang akidahnya, maka Al Laits adalah seorang imam Ahlus Sunnah. Berkenaan dengan asma` wash shifat, beliau meniti manhaj Nabi dan para shahabat. Salah satu muridnya, Al Walid bin Muslim menuturkan, “Aku pernah bertanya kepada Malik, Ats Tsaury, Al Laits, dan Al Auza’i tentang ayat dan hadits tentang asma` wash shifat. Maka mereka semua mengatakan, “Biarkanlah dan pahamilah sesuai dengan makna dari nama dan sifatnya. (Jangan ditakwil kepada makna lain, atau sebaliknya ditolak mentah-mentah).”
Penduduk Mesir dahulu adalah para pencela ‘Utsman bin ‘Affan. Mereka meremehkan dan menganggap rendah khalifah yang mulia ini. Sampai Al Laits bin Sa’ad hadir di tengah-tengah mereka. Setelah mereka mendengar dari Al Laits, hadits-hadits tentang manaqib dan keutamaan ‘Utsman bin ‘Affan, maka akhirnya mereka menahan lisan dari cacian, kemudian menyebutkan kebaikan-kebaikan beliau.
Sejak kecil beliau telah menimba ilmu, tepatnya di masa khalifah Hisyam bin ‘Abdil Malik. Saat itu di Mesir ada sejumlah ulama, di antaranya ‘Ubaidullah bin Abi Ja’far, Al Harits bin Yazid, Ja’far bin Rabi’ah, Ibnu Hubairah, dan Muhammad bin ‘Ajlan. Mereka semua mengakui akan keutamaan Al Laits, keperwiraannya, dan keislamannya di usia yang masih sangat muda.
Setelah menimba ilmu dari ulama negerinya, Al Laits pun mengadakan rihlah (perjalanan), merantau ke Irak dan daratan Hijaz untuk memperdalam ilmu. Guru beliau sangatlah banyak. Al Mizzi menyebutkan sekitar 80 guru. Dari mereka, 50 sekian di antaranya adalah tabi’in seperti: ‘Atha` bin Abi Rabah, Nafi’, Ibnu Abi Mulaikah, Az Zuhri, Hisyam bin ‘Urwah, dan Qatadah.
Murid beliau, disebutkan oleh Al Mizzi mencapai 70 orang. Sebagian besar dari muridnya kelak menjadi guru-guru Imam Ahmad. Seperti Ibnul Mubarak dan Ibnu Wahab.
Sebagian lagi menjadi guru Imam Al Bukhari seperti Yahya bin Bukair. Yang lain menjadi guru Imam Muslim seperti Yahya bin Yahya At Tamimi. Bahkan ada murid beliau yang kelak menjadi guru para Imam Ash-habus Sunan yang empat (Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah dan An Nasai), seperti Qutaibah bin Sa’id.
Ada satu hal yang menarik, bahwa di antara murid beliau ternyata adalah juga gurunya, seperti Muhammad bin ‘Ajlan. Dan di lain sisi, Al Laits juga meriwayatkan sejumlah hadits dari murid-muridnya yang lebih muda. Wallahu a’lam, ini menunjukkan luasnya ilmu beliau dan ketawadhuan para ulama, satu sama lain.
Di antara yang menunjukkan luasnya ilmu beliau, di setiap harinya beliau mengadakan empat kali majelis ilmu. Majelis pertama untuk penguasa dan para pendampingnya. Kedua untuk para ahli hadits. Ketiga untuk menjawab problematika yang sedang dihadapi masyarakat. Majelis keempat terkait dengan berbagai hajat hidup manusia.
Salah satu putra beliau berkata, “Wahai ayah, aku mendengar darimu, sejumlah hadits yang tidak aku dapati dalam kitab-kitabmu.” Wallahu a’lam, maksud putra beliau barangkali ingin meluruskan ayahnya yang dikiranya keliru menyampaikan hadits-hadits, sebab tidak ada dalam satu pun dari buku-bukunya.
Maka Al Laits menjawab, “Wahai putraku! Apakah semua ilmu yang tersimpan di dada ini harus kutulis dalam lembaran-lembaran kitab? Andai saja aku tuangkan semua apa yang tersimpan dalam dada, kendaraan-kendaraan ini tak kuasa membawa lembaran-lembaran tersebut.”
Beliau juga acapkali menyampaikan dari hafalannya kepada orang-orang dari luar Mesir hadits-hadits yang jarang, atau bahkan belum pernah didengar oleh para pencari hadits dari penduduk Mesir sekali pun.
Yang juga menunjukkan semangat beliau dalam menuntut ilmu adalah sejumlah hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang tinggi. Maksudnya, antara beliau dengan Nabi hanya ada 2 orang perawi, seorang tabi’i dan seorang dari kalangan shahabat. Di antara sanad yang tinggi tersebut adalah:
  • Riwayat dari ‘Atha dari ‘Aisyah dari Nabi
  • Riwayat dari Ibnu Abi Mulaikah dari Ibnu ‘Abbas dari Nabi
  • Riwayat dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi
  • Riwayat dari Sa’id Al Maqburi dari Abu Hurairah dari Nabi.
Al Laits juga terkenal sebagai seorang kaya raya yang memiliki jiwa derma yang mengagumkan. Beliau mengembangkan hartanya dalam perdagangan sebesar 20.000 dinar, 1 dinar di zaman dahulu seukuran emas seberat 4,25 gram. Jika dikonversi ke dalam rupiah tentu mencapai angka milyaran rupiah. Namun, tentu bukan itu yang kita kagumi. Tapi yang harus kita teladani adalah pengakuan beliau, “Aku belum pernah sekali pun terkena kewajiban zakat.” Hal ini karena tidak sampai setahun harta beliau telah diinfakkan di jalan Allah.
Beliau berikan 1000 dinar kepada Ibnu Lahi’ah ketika kitab-kitabnya terbakar. Juga kepada Malik dan Manshur bin ‘Ammar, masing-masing 1000 dinar.
Qutaibah bin Sa’id menuturkan bahwa Al Laits dalam setiap hari selalu bersedekah kepada 300 fakir miskin. Suatu ketika ada seorang wanita miskin meminta kepadanya madu sekadarnya untuk pengobatan anaknya yang sedang sakit. Lalu Al Laits memberinya 120 rithl madu. Jumlah tersebut setara lebih kurang 56 kg.
Bila mengadakan perjalanan jauh, beliau pergi bersama rombongan 3 buah kapal. Satu kapal digunakan sebagai dapur umum, satu kapal khusus untuk beliau dan keluarganya, sedangkan satu kapal lagi adalah untuk para tamu beliau.
Bila cuaca dingin, beliau menghidangkan makanan berupa harisah (bubur dari daging cincang) yang dicampur dengan madu dan minyak samin dari lemak sapi. Bila cuaca panas, maka beliau menghidangkan makanan berupa sawis (bubur dari tepung gandum) dan biji lauz dicampur dengan gula. Dan tidaklah beliau makan siang atau makan malam kecuali bersama para tamu.
Suatu ketika, beliau pergi haji. Ketika singgah di Madinah, Imam Malik menghidangkan makanan berupa beberapa lembar roti basah dari gandum. Setelah itu beliau kembalikan wadahnya dengan menyisipkan 100 dinar untuk Imam Malik.
Harta yang banyak dan kecintaannya berinfak di jalan Allah menunjukkan kezuhudan beliau terhadap dunia. Beliau yakin, bahwa apa yang diinfakkan di jalan Allah, itulah yang kekal. Itulah yang akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah.
مَا عِندَكُمۡ يَنفَدُ وَمَا عِندَ ٱللهِ بَاقٍ وَلَنَجۡزِيَنَّ ٱلَّذِينَ صَبَرُوٓا۟ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعۡمَلُونَ
“Apa yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [Q.S. An Nahl: 96].
Namun, kezuhudan tidaklah bermakna lusuh, dekil, dan tidak rapi. Qutaibah bin Sa’id mengatakan bahwa Al Laits senantiasa pergi ke masjid jami’ dengan menggunakan kendaraan yang bagus. Saat ia hendak keluar, keluarganya selalu merapikan pakaian, kendaraan, dan cincin yang di jarinya. Apa yang dikenakan oleh beliau, bila diukur dengan uang adalah senilai 18 hingga 20 dirham.
Demikianlah sepenggal kehidupan dari Al Laits. Mari kita renungkan kembali sisi-sisi dari kepribadian beliau yang luhur dan patut kita teladani. Potret nayata yang perlu kita usahakan realitanya dalam hidup ini.
Al Laits bin Sa’ad meninggal pada malam Jumat pertengahan Sya’ban tahun 175 hijriah. Khalid bin Sallam Ash Shadafi berkata, “Aku bersama ayah menyaksikan jenazah Al Laits. Belum pernah aku saksikan jenazah yang dikerumuni oleh lautan pelayat seperti jenazah Al Laits. Aku lihat semua orang berlinangan air mata. Satu sama lain saling berta’ziyah, menyampaikan duka cita yang dalam, dan mewasiatkan kesabaran atas musibah yang menimpa dengan wafatnya alim ini. Aku katakan kepada ayah, ‘Wahai ayah, sepertinya semua orang adalah sahabat dekat dari jenazah ini.’ Ayahku mengatakan, ‘Wahai anakku, tidak akan didapati jenazah seagung ini selama-lamanya.’”
Semoga Allah menempatkan Imam Al Laits di jannah-Nya yang mengalir sungai di bawahnya. Di sisi Allah, Raja Yang Maha Perkasa.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 3 volume 01 / 1433 H / 2012 M rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Hamid Fauzi bin Isnaini.