Cari Blog Ini

Ja’far Ash Shadiq

Pada era tabi’in, khazanah keilmuan masih melimpah dan terjaga kekokohannya dengan keberadaan para ulama besar bahkan sejumlah shahabat. Salah satu tokoh ulama yang tersohor saat itu adalah Ja’far bin Muhammad Ash Shadiq rahimahullah. Tokoh ulama yang satu ini sering diidentikkan kaum Syi’ah Rafidhah dengan segala keyakinan batil mereka. Mereka sangat mengelu-elukan beliau dan bahkan mengklaim sebagai salah satu imamnya Syi’ah.

Jauh panggang dari api, ternyata akhlak dan akidah beliau sangat kontradiktif dengan apa yang diyakini oleh kaum pencela shahabat tersebut. Nama panjangnya adalah Ja’far bin Muhammad bin Ali Zainul Abidin bin Al Husain bin Amirul Mukminin Ali rahimahullah yang populer dengan sebutan Ja’far Ash Shadiq. Ia dilahirkan pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan pada tahun 80 H di kota Madinah. Ibundanya adalah Ummu Farwah bintu Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash Shidiq. Sedangkan neneknya dari jalur ibu adalah Asma’ bintu Abdir Rahman bin Abi Bakar. Oleh karenanya Ja’far Ash Shadiq pernah mengatakan, “Abu Bakar Ash Shiddiq pernah melahirkanku dua kali.”

Beliau sempat hidup sezaman dengan kakeknya, yaitu Ali Zainal Abidin bin Al Husain selama belasan tahun. Predikat Ash Shadiq yang tersemat pada dirinya sangat selaras dengan realita yang ada. Secara harfiyah makna shadiq adalah benar atau jujur dan begitulah akhlaknya dalam bermuamalah dengan sesama. Ja’far senantiasa menjaga kejujuran dalam bermuamalah. Konsisten di atas kebenaran. Dan beliau seorang penyeru dan juru dakwah kepada kebenaran.

RIWAYAT MENUNTUT ILMU AGAMA


Semenjak kecil beliau hidup dan terdidik dalam keluarga yang taat beragama. Didikan dari karakter sang ayah sekaligus gurunya sendiri, Muhammad Al Baqir rahimahullah sangat berpengaruh dalam perkembangan akhlak serta agamanya. Ditambah lagi perjalanan ilmiyahnya mengarungi berbagai majelis ulama-ulama besar terutama di kota Madinah. Baik dari kalangan shahabat semisal Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu atau Sahl bin Sa’ad As Sa’id radhiyallahu ‘anhu atau ulama tabi’in seperti Urwah bin Az Zubair rahimahullah, Atha bin Abi Rabah rahimahullah, Ubaidullah bin Abi Rafi rahimahullah, Az Zuhri rahimahullah, Nafi’ Al Umari rahimahullah, dan yang lainnya. Jangan lupakan juga bagaimana proses pembelajaran ilmu agama yang diambil dari kakeknya sendiri, yaitu Al Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar rahimahullah; salah satu dari tujuh ahli fikih ternama di kota Madinah. Namun demikian Ja’far tidak banyak meriwayatkan hadis kecuali dari ayahnya sendiri di Madinah.

Selama tinggal di Madinah, beliau meluangkan banyak waktunya untuk mempelajari dan memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Tumbuhlah beliau menjadi seorang pemuda yang tangguh dalam beribadah, semangat menuntut ilmu dan berkepribadian baik. Hingga akhirnya menjadi ulama besar dengan keilmuan yang luas dan menjadi tujuan para penuntut ilmu bahkan imam di masanya.

Di antara muridnya adalah Said bin Yahya Al Anshari, Abu Hanifah, Ibnu Juraij, Sufyan Ats Tsauri, Syu’bah bin Al Hajjaj, Malik, Sufyan bin Uyainah, Yahya Al Qaththan, dan masih banyak yang lainnya. Ulama hadis pun banyak meriwayatkan hadis-hadisnya dalam berbagai kitab mereka, tak terkecuali Al-Bukhari. Hanya saja Al Bukhari tidak meriwayatkan hadis-hadis Ja’far dalam kitab Shahihnya.

PUJIAN ULAMA DAN AKIDAHNYA


Karena keilmuannya yang luas dan mendalam, pujian dan sanjungan ulama-ulama pun terfokus kepadanya. Penetapan sebagai perawi yang tsiqah (terpercaya) disandangkan kepada beliau oleh para ulama besar semisal Asy Syafii, Yahya bin Main, dan selainnya. Abu Zur’ah menegaskan bahwa riwayat Ja’far dari ayahnya tidak bisa dibandingkan dengan riwayatnya Suhail atau Al ‘Ala dari bapaknya. Abu Hatim juga menyatakan, “Ulama sekelas Ja’far tidak perlu ditanyakan lagi kemampuannya.” Bahkan ulama sekaliber Imam Abu Hanifah rahimahullah memujinya sangat tinggi. Pernah suatu ketika Abu Hanifah ditanya tentang orang yang paling faqih di masanya. Dengan tegas ia menjawab, “Aku belum pernah melihat orang yang lebih faqih daripada Ja’far bin Muhammad.”

Tidak sebagaimana klaim dan keyakinan orang-orang syiah, Ja’far Ash Shadiq mempunyai sikap keyakinan yang baik terhadap para shahabat. Ia mencintai shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama para khalifah yang terpetunjuk. Sangat bertolak belakang dengan konsep akidah orang-orang syi’ah yang begitu anti pati kepada shahabat dan bahkan mengafirkan mereka. Perhatikan bagaimana jawaban Ja’far ketika ditanya perihal Abu Bakar dan Umar.

Dikisahkan oleh Salim bin Abi Hafshah bahwa Ja’far berkata, “Wahai Salim, hendaknya engkau berloyal kepada Abu Bakar dan Umar serta berlepas diri dari musuh keduanya. Karena sesungguhnya mereka berdua adalah dua imam yang terpetunjuk. Wahai Salim apakah engkau pikir akan ada seseorang yang lancang menghina kakeknya? Abu Bakar adalah kakekku dan aku tidak akan mendapatkan syafaat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam jika aku tidak berloyalitas kepada keduanya dan berlepas diri dari musuh keduanya.”

Pernyataan Ja’far ini memberikan konsekuensi bahwa ia berlepas diri dan beranti-pati dari kaum Syi’ah. Sungguh Ja’far tiada pernah akan rida dengan kaum Syi’ah yang mencela dan menghina Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Dalam kesempatan yang lain Ja’far berkata, “Tidaklah aku berharap syafaat untukku melainkan aku juga mengharap syafaat tersebut untuk Abu Bakar. Sungguh beliau telah melahirkanku dua kali.” Sekali lagi ucapan Ja’far ini membuktikan betapa besarnya kecintaannya kepada Abu Bakar. Sementara kebencian kaum Syi’ah kepada Abu Bakar sangat besar dan itu dianggap sebagai bagian dari ibadah oleh mereka.

Ja’far ash Shadiq rahimahullah adalah figur ulama yang rendah hati dan tidak sombong. Tidak pernah ia mengaku sebagai orang suci yang ma’shum dari kesalahan, apalagi mendakwa punya sifat-sifat rububiyah. Bahkan ia pernah berkata, “Siapa saja yang menyangka bahwa aku adalah imam yang ma’shum dan harus ditaati semua perintahku, maka aku berlepas diri dari orang seperti itu. Dan barang siapa mengklaim bahwa aku beranti-pati dari Abu Bakar dan Umar, maka aku juga berlepas diri darinya.” Bandingkan dengan keyakinan orang Syiah yang mendaulat Ja’far sebagai imam ke 6 dari 12 imam mereka yang ma’shum.

Semenjak dulu Syi’ah mengaku sebagai pengikut Ja’far Ash Shadiq namun itu semua adalah isapan jempol belaka. Justru akidah mereka sangat bertentangan dengan akidah Ja’far ash Shadiq. Pujian dan kecintaan Ja’far kepada Abu Bakar dan Umar telah mencapai derajat mutawatir tanpa ada pertentangan di antara ulama. Pandangan Ja’far tentang Al Quran juga selaras dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau pernah berkata, “Al Quran bukan Khaliq (Pencipta), bukan pula Makhluk; namun Al Quran adalah kalamullah (firman Allah).”

AKHLAK DAN PETUAHNYA


Dikenal dengan kedermawanan yang tinggi membuat Ja’far dicintai kaum muslimin. Dikisahkan dalam satu riwayat bahwa ia pernah memberi makan kepada orang-orang miskin tanpa menyisakan sedikit pun untuk keluarganya. Ia seolah menjadi pewaris perangai mulia kerabat-kerabatnya terdahulu. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau adalah pribadi yang begitu dermawan. Berbagai mutiara nasehat dan petuah acap kali terucap dari lisannya.

Di antara kata-kata mutiaranya adalah, “Para ahli fikih adalah para kepercayaan rasul. Apabila engkau melihat para ahli fikih itu telah condong (menjilat) penguasa, maka curigailah keamanahan mereka.” Ia juga berkata, “Salat adalah persembahan setiap hamba yang bertakwa, haji adalah jihadnya setiap orang yang lemah, zakatnya badan adalah puasa, penyeru tanpa amalan seperti pemanah tanpa busur, berharaplah turunnya rezeki dengan sedekah, dan jagalah harta kalian dengan sedekah.”

Suatu saat Ja’far berwasiat kepada putranya, “Wahai anakku, barang siapa merasa qana’ah (cukup) dengan rezeki yang diberikan kepadanya, maka dia pasti akan merasa berkecukupan. Namun barang siapa selalu melihat kepada apa yang dimiliki oleh orang lain, niscaya dia akan meninggal dalam keadaan miskin. Dan barang siapa tidak merasa rida dengan pembagian Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya, berarti dia telah berprasangka tidak baik kepada-Nya.”

Ja’far pun berkata dalam nasehat emas yang lainnya untuk sang putra, “Wahai anakku, suarakan kebenaran baik itu menguntungkanmu atau merugikanmu, lakukanlah musyawarah dengan kerabat-kerabatmu, bacalah Al Quran, sebarkan Islam, tegakkan amar makruf dan nahi munkar, sambunglah silaturahmi dengan siapa saja yang memutusnya darimu, mulailah menyapa siapa saja yang mendiamkanmu, berilah orang yang meminta kepadamu, hati-hatilah dari perbuatan namimah (adu domba) karena sesungguhnya namimah akan menanamkan dendam dalam kalbu.” “Tidak ada bekal yang lebih utama daripada ketakwaan, tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada diam, tidak ada musuh yang lebih membahayakan daripada kebodohan dan tidak ada penyakit yang lebih mematikan daripada dusta.” Hindari oleh kalian perdebatan dalam agama karena sungguh hal itu hanya akan menyibukkan kalbu dan memunculkan kemunafikan.” Ungkap Ja’far dalam salah satu majelisnya. Demikian kata-kata mutiara nan hikmah terucap dari lisannya dan tidak akan cukup diuraikan satu persatu dalam tulisan ini.

AKHIR HAYATNYA


Setelah sekian lamanya mencurahkan segenap waktunya untuk Islam dan kaum muslimin, ulama besar ini pun meninggal. Ia wafat di kota Madinah pada tahun 148 H dalam usia kurang lebih 68 tahun. Jenazahnya dikebumikan di pekuburan Baqi’ berdekatan dengan makam ayah dan kakeknya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menganugerahkan beberapa anak kepadanya di antaranya adalah Ismail, Muhammad, dan Musa. Adapun Ismail meninggal semasa ayahnya masih hidup pada tahun 138 H. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan rahmat-Nya yang berlimpah kepadanya. Aamiin Ya Rabbal alamin.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 64 vol.06 1440 H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah.