Nama lengkap beliau adalah Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran Maimun. Beliau adalah bekas budak Muhammad bin Muzahim yang merupakan saudara sekandung dari Adh Dhahak bin Muzahim. Namun dalam pendapat lain disebutkan bahwa beliau adalah bekas budak Bani Hasyim. Sufyan adalah seorang imam besar dan hafizh di masanya. Menurut Adz-Dzahabi, beliau dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 107 hijriah di kota Kufah dan beliau dipindah oleh ayahnya ke Makkah.
Dahulu, ayah Sufyan yang bernama Uyainah adalah salah seorang pegawai Khalid bin Abdillah Al-Qasri. Tatkala Khalid turun dari jabatannya dari gubernur Irak dan digantikan oleh Yusuf bin Umar Ats-Tsaqafi, penguasa baru tersebut memburu para pegawai pada masa pemerintahan Khalid. Akhirnya Uyainah melarikan diri ke Makkah dan memutuskan untuk berdomisili di kota tersebut.
Sufyan menuturkan, “Aku masuk kota Kufah, sementara usiaku belum genap dua puluh tahun. Lalu Abu Hanifah mengatakan kepada murid-muridnya dan penduduk Kufah, ‘Telah datang kepada kalian seorang penghafal dan [penukil] ilmunya Amr bin Dinar (seorang ulama dari Makkah, ed.).’ Sejak saat itu, orang-orang datang kepadaku untuk bertanya tentang Amr bin Dinar. Sehingga orang yang memiliki andil untuk menjadikanku sebagai ahli hadits adalah Abu Hanifah. Ia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, aku belum pernah mendengar hadits dari Amr kecuali hanya tiga hadits.’”
Sejak kecil Sufyan telah meriwayatkan hadits dari para ulama besar dan menimba ilmu yang sangat banyak dari mereka. Guru beliau sangat banyak, di antaranya adalah Amr bin Dinar, Al-Aswad bin Qais, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Abdullah bin Dinar, Zaid bin Aslam, Ayyub As-Sikhtiyani, Yahya bin Said Al-Anshari dan yang lainnya. Sungguh banyak para pencari hadits yang rela melakukan ibadah haji karena keinginan kuat mereka untuk bertemu dengan Sufyan bin Uyainah disebabkan kepemimpinan beliau dalam ilmu hadits dan tingginya sanad hadits yang beliau miliki. Beliau sendiri telah melakukan ibadah haji sebanyak tujuh puluh kali. Tidak sedikit pula para hafizh yang bermajelis dengan beliau untuk meriwayatkan hadits. Di antara murid senior Sufyan yang banyak meriwayatkan hadits dari beliau adalah Al-Humaidi, Asy-Syafi’i, Ibnul Madini, Ahmad, Ibrahim Ar-Ramadi, Syu’bah bin Al-Hajjaj dan yang lainnya.
Beliau banyak menuai pujian dari para ulama yang sezaman dengan beliau atau setelahnya.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Kalau bukan karena Malik dan Sufyan bin Uyainah, niscaya hilanglah ilmu negeri Hijaz.”
Dalam kesempatan lain, beliau menyatakan, “Aku menjumpai seluruh hadits-hadits tentang hukum ada pada Ibnu Uyainah kecuali enam hadits. Dan aku menjumpai seluruhnya ada pada Malik kecuali tiga puluh hadits.”
Adz-Dzahabi berkata ketika mengomentari ucapan ini, “Pernyataan beliau ini menggambarkan kepada anda betapa luasnya jangkauan ilmu Sufyan. Karena beliau menggabungkan hadits-hadits penduduk Irak dan Hijaz. Ia melakukan rihlah dan bertemu para ulama yang tidak dijumpai oleh Malik. Keduanya selevel dalam kekuatan hafalan namun Malik lebih mulia dan tinggi kedudukannya karena ia meriwayatkan hadits dari Nafi’ dan Sa’id Al Maqbari. Abdurrahman bin Mahdi berkata, ‘Ibnu Uyainah termasuk salah satu ulama yang paling berilmu tentang hadits penduduk Hijaz.’”
Abdullah bin Wahb berkata, “Saya tidak mengetahui ada seseorang yang lebih berilmu tentang tafsir Al-Qur’an daripada Ibnu Uyainah.”
Mengenai kekuatan hafalan beliau, Mujahid bin Musa pernah mengatakan, “Saya mendengar Ibnu Uyainah berkata, ‘Tidaklah aku menulis sesuatu melainkan aku telah hafal sebelum menulisnya.’”
Al-Bukhari berkata bahwa Sufyan bin Uyainah lebih kuat hafalannya daripada Hammad bin Zaid.
Ali bin Al-Madini berkata, “Tidak ada seorang pun murid Az-Zuhri yang lebih kuat hafalannya daripada Sufyan bin Uyainah.”
Ibnu Uyainah dikenal sebagai seorang ulama yang sarat akan petuah dan hikmah yang sangat berharga. Di antara untaian nasihat beliau adalah apa yang Sunaid bin Dawud nukilkan dari beliau, “Barang siapa bermaksiat karena syahwat, maka dia masih diharapkan taubatnya. Sungguh, Adam bermaksiat karena syahwat, lalu ia pun diampuni ketika bertaubat. Namun barang siapa kemaksiatannya karena sombong, maka dikhawatirkan ia akan tertimpa laknat. Sungguh Iblis bermaksiat karena sombong sehingga ia pun dilaknat.”
Sungguh benar ucapan beliau. Seseorang yang bermaksiat sebab hawa nafsu masih menyadari bahwa dirinya bersalah. Ia terjatuh dalam kemaksiatan karena terkalahkan oleh hawa nafsunya. Adapun kemaksiatan seseorang yang dilakukan karena sombong, sulit untuk diharapkan taubatnya. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia sebagaimana dilakukan oleh Iblis. Tatkala Iblis diperintah oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk sujud kepada Adam, Iblis pun enggan melaksanakan perintah tersebut karena sombong. Iblis merendahkan Nabi Adam karena menganggap dirinya yang diciptakan dari api lebih mulia daripada Nabi Adam yang diciptakan dari tanah. Sehingga terkumpulah dua kriteria sombong pada diri Iblis, yaitu menolak kebenaran dan merendahkan manusia. Akhirnya, Iblis tertimpa laknat sampai datangnya hari pembalasan.
Ibnu Uyainah mengatakan saat ditanya tentang zuhud terhadap dunia, “Jika seseorang diberi nikmat maka bersyukur dan jika ditimpa musibah bersabar, itulah zuhud.”
Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmumu tidak memberikan manfaat kepadamu, maka akan mencelakakanmu.”
Yahya bin Yahya An-Naisaburi berkisah, “Suatu ketika ada seorang laki-laki datang menemui Sufyan lantas berkata, ‘Wahai Abu Muhammad (Sufyan). Aku hendak mengadukan kepadamu tentang keadaan istriku. Aku adalah orang yang paling hina dan rendah di hadapannya.’ Sufyan pun menundukkan kedua matanya ke bawah lantas beliau mengangkat kepalanya dan berkata, ‘Barangkali hal ini terjadi karena engkau mencintai istrimu untuk meraih kehormatan.’ Laki-laki itu menjawab, ‘Benar, wahai Abu Muhammad.’ Lalu beliau mengatakan, ‘Barang siapa pergi mencari kehormatan, niscaya dia akan diuji dengan kehinaan dan barang siapa pergi demi mendapatkan harta, niscaya dia akan diuji dengan kemiskinan. Namun barang siapa pergi karena dorongan agama, niscaya Allah akan menghimpun untuknya kehormatan dan harta bersama dengan agamanya.’ Selanjutnya Sufyan bercerita kepadanya, ‘Kami adalah empat bersaudara, yaitu Muhammad, Imran, Ibrahim dan aku. Muhammad adalah kakak sulung dan Imran adalah adik bungsu sementara aku berada di tengah-tengah. Tatkala Muhammad akan menikah, ia menginginkan kehormatan nasab. Akhirnya dia menikahi wanita yang lebih kaya darinya, maka Allah pun mengujinya dengan kemiskinan. Keluarga wanita itu mengambil harta miliknya dan tidak menyisakannya sedikit pun. Aku pun merenungkan nasib keduanya, kemudian datanglah Ma’mar bin Rasyid menemuiku. Aku gunakan kesempatan itu untuk bermusyawarah dan menceritakan peristiwa yang dialami kedua saudaraku. Maka Ma’mar mengingatkanku dengan hadits Yahya bin Ja’dah dan hadits Aisyah. Adapun hadits Yahya bin Ja’dah, adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Wanita itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, kehormatannya, hartanya dan kecantikannya. Maka pilihlah wanita yang baik agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” Adapun hadits Aisyah, adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Wanita yang paling besar barakahnya adalah wanita yang paling ringan biaya (pernikahannya).” Aku pun memilih wanita yang agamanya baik dan ringan biaya pernikahannya dalam rangka mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Allah mengumpulkan bagiku kemuliaan dan harta dengan kebaikan agama.”
Sufyan bin Uyainah adalah seorang ulama yang berakidah Ahlus Sunnah wa Jama’ah. Hal ini bisa diketahui dari berbagai pernyataan dan fatwa beliau.
Muhammad bin Manshur berkata, “Aku pernah melihat Sufyan bin Uyainah ditanya oleh seseorang, ‘Apa pendapat anda tentang Al-Qur’an?’ Beliau menjawab, “Kalamullah, bersumber dari Allah dan akan kembali kepada-Nya”. Beliau juga pernah ditanya bagaimana pendapatmu tentang hadits Abdullah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda yang artinya, ‘sesungguhnya Allah membawa langit-langit dengan jemari-Nya.’, hadits bahwa qalbu hamba-hamba-Nya berada di antara dua jari dari jari-jemari Ar-Rahman, dan hadis bahwa Allah takjub dan tertawa terhadap siapa saja yang berdzikir kepada-Nya di pasar-pasar?’ Sufyan pun menjawab, ‘Kita menetapkannya sesuai yang telah diberitakan dan menyampaikannya tanpa melakukan takyif (salah satu bentuk kesalahan pemahaman dengan mempertanyakan bagaimana hakikat sifat Allah subhanahu wa ta’ala, ed.).’”
Ibrahim bin Said Al-Jauhari mengatakan, “Saya mendengar Ibnu Uyainah berkata, ‘Iman adalah ucapan dan perbuatan. Bisa bertambah dan berkurang.’” Dan inilah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai iman.
Al-Humaidi berkisah, “Disampaikan kepada Ibnu Uyainah bahwa Bisyr Al-Marrisi1 mengatakan bahwa Allah tidak bisa terlihat pada hari kiamat nanti. Beliau pun berkata, ‘Semoga Allah memerangi orang kerdil ini. Tidakkah engkau dengan firman-Nya:
كَلَّا إِنَّهُمۡ عَن رَّبِّهِمۡ يَوۡمَئِذٍ لَّمَحۡجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari melihat Rabb mereka.” [Q.S. Al-Muthaffifin:15]?! Apabila Allah berhijab dari wali-wali-Nya dan musuh-musuh-Nya, lalu apa kelebihan wali-wali-Nya dibandingkan musuh-musuh-Nya?!’”
Abdurrahman bin Affan berkata, “Aku pernah mendengar Ibnu Uyainah pada tahun dihukumnya Bisyr di Mina. Sufyan bangkit dari majelisnya dan dengan marah beliau berkata, “Sungguh mereka (Bisyr dan yang sependapat dengannya) telah berbicara mengenai takdir serta keyakinan Mu’tazilah, dan kita telah diperintahkan untuk menjauhi orang-orang itu. Kita melihat para ulama, Amr bin Dinar, Muhammad bin Al-Munkadir –hingga beliau menyebutkan- Ayyub bin Musa, Al-A’masy dan Mis’ar. Tidaklah mereka dan kita mengenal Al-Qur’an kecuali sebagai Kalamullah. Sehingga barang siapa berpendapat selainnya, maka dia akan tertimpa laknat Allah2. Betapa miripnya pendapat ini dengan ucapan orang-orang Nasrani, maka janganlah kalian bermajelis dengan mereka.’”
Beliau juga mengatakan, “Barang siapa berbicara buruk tentang para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah pengekor hawa nafsu.”
Sufyan bin Uyainah meninggal pada hari Sabtu bulan Rajab tahun 198 H. Beliau dimakamkan di Jahun, sebuah gunung di bagian atas kota Makkah yang menjadi tempat pemakaman penduduk sekitarnya. Semoga Allah membalas kebaikan dan jasa Sufyan bin Uyainah dengan balasan yang sebaik-baiknya. Amin ya Rabbal alamin.
[1] Bisyr Al-Marrisi adalah seorang tokoh Mu’tazilah. Tentu saja pemikirannya berlawanan dengan pemikiran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[2] Kelompok Mu’tazilah dan beberapa kelompok sesat lainnya meyakini bahwa Al-Quran adalah makhluk bukan kalamullah. Keyakinan ini adalah keyakinan yang berbahaya dan menyelisihi Al-Quran.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 15 vol. 2 1435 H/2014 M rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Hafy Abdullah.