Al-Imam Al-'Allamah Muhammad bin 'Ali Asy-Syaukani (wafat tahun 1250 H) rahimahullah berkata dalam kitab Ad-Dararil Mudhiyyah:
فَصۡلٌ
فِي ذِكۡرِ مُبۡطِلَاتِ الصَّوۡمِ
يَبۡطُلُ بِالۡأَكۡلِ وَالشُّرۡبِ وَالۡجِمَاعِ وَالۡقَيۡءِ عَمۡدًا، وَيَحۡرُمُ الۡوِصَالُ. وَعَلَى مَنۡ أَفۡطَرَ عَمۡدًا كَفَّارَةٌ كَكَفَّارَةِ الظِّهَارِ، وَيُنۡدَبُ تَعۡجِيلُ الۡفِطۡرِ وَتَأۡخِيرُ السَّحُورِ.
Puasa menjadi batal karena makan, minum, jimak, dan muntah dengan sengaja. Puasa wishal haram. Bagi siapa saja yang membatalkan puasa dengan sengaja wajib kafarat seperti kafarat zhihar. Disukai menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan makan sahur.
أَقُولُ: أَمَّا بُطۡلَانُ الصَّوۡمِ بِالۡأَكۡلِ وَالشُّرۡبِ عَمۡدًا فَلَا خِلَافَ فِي ذٰلِكَ، وَأَمَّا مَعَ نِسۡيَانٍ فَلَا، لِمَا فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا مِنۡ حَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (مَنۡ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوۡ شَرِبَ فَلۡيُتِمَّ صَوۡمَهُ فَاللهُ أَطۡعَمَهُ وَسَقَاهُ). وَفِي لَفۡظِ الدَّارُقُطۡنِيُّ بِإِسۡنَادٍ صَحِيحٍ: (فَإِنَّمَا هُوَ رِزۡقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيۡهِ وَلَا قَضَاءَ عَلَيۡهِ). وَفِي لَفۡظٍ آخَرَ لِلدَّارُقُطۡنِيِّ، وَابۡنِ خُزَيۡمَةَ، وَابۡنِ حِبَّانَ، وَالۡحَاكِمِ: (مَنۡ أَفۡطَرَ يَوۡمًا مِنۡ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيۡهِ وَلَا كَفَّارَةَ)، وَإِسۡنَادُهُ صَحِيحٌ أَيۡضًا.
Aku katakan: Adapun batalnya puasa karena makan dan minum dengan sengaja (tidak lupa), maka tidak ada perselisihan padanya. Adapun dalam keadaan lupa, maka tidak batal. Berdasarkan hadis Abu Hurairah di dalam dua kitab Shahih dan selainnya, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang lupa sedang berpuasa lalu makan atau minum, maka hendaknya ia melanjutkan menyempurnakan puasanya. Karena Allah yang telah memberinya makan dan minum.”[1] Di dalam lafal Ad-Daruquthni dengan sanad yang sahih, “Karena itu adalah rezeki yang Allah kirimkan kepadanya dan tidak ada kewajiban kada puasa atasnya.” Di dalam lafal yang lain milik Ad-Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, “Siapa saja yang melakukan pembatal puasa di suatu hari di bulan Ramadan dalam keadaan lupa, maka tidak ada kewajiban kada puasa dan kafarat atasnya.” Sanadnya juga sahih.
وَهَٰكَذَا الۡجِمَاعُ لَا خِلَافَ فِي أَنَّهُ يُبۡطِلُ الصِّيَامَ إِذَا وَقَعَ مِنۡ عَامِدٍ، وَأَمَّا إِذَا وَقَعَ مَعَ الۡنِسۡيَانِ فَبَعۡضُ أَهۡلِ الۡعِلۡمِ أَلۡحَقَهُ بِمَنۡ أَكَلَ أَوۡ شَرِبَ نَاسِيًا، وَتَمَسَّكَ بِقَوۡلِهِ فِي الرِّوَايَةِ الۡأُخۡرَى: (وَمَنۡ أَفۡطَرَ يَوۡمًا فِي رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيۡهِ وَلَا كَفَّارَةَ). وَبَعۡضُهُمۡ مَنَعَ مِنَ الۡإِلۡحَاقِ، وَأَمَّا الۡقَيۡءُ عَمۡدًا؛ فَلِحَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (مَنۡ ذَرَعَهُ الۡقَيۡءُ فَلَيۡسَ عَلَيۡهِ قَضَاءٌ وَمَنِ اسۡتَقَاءَ عَمۡدًا فَلۡيَقۡضِ) أَخۡرَجَهُ أَحۡمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَالتِّرۡمِذِيُّ، وَابۡنُ مَاجَة، وَاۡبُن حِبَّانَ، وَالدَّارُقُطۡنِيُّ، وَالۡحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ.
Demikian pula jimak, tidak ada perselisihan bahwa hal itu membatalkan puasa ketika dilakukan oleh orang yang sengaja (tidak lupa). Adapun ketika dilakukan dalam keadaan lupa, maka sebagian ulama mengikutkannya dengan orang yang makan atau minum dalam keadaan lupa. Mereka berpegang dengan sabda Nabi di dalam riwayat yang lain, “Siapa saja yang melakukan pembatal puasa di siang hari di bulan Ramadan dalam keadaan lupa, maka tidak ada kewajiban kada puasa dan kafarat atasnya.” Sebagian ulama lainnya berpendapat tidak mengikutkan (jimak dalam keadaan lupa dengan makan minum dalam keadaan lupa). Adapun muntah secara sengaja, maka berdasarkan hadis Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang dikalahkan oleh muntah, maka tidak ada kewajiban kada puasa atasnya. Adapun yang memuntahkan dengan sengaja, maka dia harus mengada.”[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ad-Daruquthni, dan Al-Hakim; dan beliau menilainya sahih.
وَقَدۡ حَكَى ابۡنُ الۡمُنۡذِرِ الۡإِجۡمَاعَ عَلَى أَنَّ تَعَمُّدَ الۡقَيۡءِ يُفۡسِدُ الصِّيَامَ وَفِيهِ نَظَرٌ، فَإِنَّ ابۡنَ مَسۡعُودٍ، وَعِكۡرِمَةَ، وَرَبِيعَةَ، وَالۡهَادِيَ، وَالۡقَاسِمَ قَالُوا: إِنَّهُ لَا يُفۡسِدُ الصَّوۡمَ سَوَاءً كَانَ غَالِبًا أَوۡ مُسۡتَخۡرَجًا مَالَمۡ يَرۡجِعۡ مِنۡهُ شَيۡءٌ بِاخۡتِيَارِهِ، وَاسۡتَدَلُّوا بِحَدِيثٍ: (ثَلَاثٌ لَا يُفۡطِرۡنَ: الۡقَيۡءُ وَالۡحِجَامَةُ وَالۡاحۡتِلَامُ) أَخۡرَجَهُ التِّرۡمِذِيُّ مِنۡ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ، وَفِي إِسۡنَادِهِ عَبۡدُ الرَّحۡمَٰنِ بۡنُ زَيۡدِ بۡنِ أَسۡلَمَ وَهُوَ ضَعِيفٌ، وَعَلَى فَرۡضِ صَلَاحِيَّتِهِ لِلۡإِسۡتِدۡلَالِ فَلَا يُعَارِضُ حَدِيثَ أَبِي هُرَيۡرَةَ لِأَنَّ هَٰذَا مُطۡلَقٌ وَذَاكَ مُقَيَّدٌ بِالۡعَمۡدِ.
Ibnu Al-Mundzir mengisahkan adanya kesepakatan bahwa sengaja muntah dapat merusak puasa. Namun kesepakatan ini perlu dilihat lagi karena Ibnu Mas’ud, ‘Ikrimah, Rabi’ah, Al-Hadi, dan Al-Qasim berkata: Bahwa hal itu tidak merusak puasa, sama saja apakah muntah itu keluar tanpa diusahakan atau memang sengaja dikeluarkan selama tidak ada bagian muntahan itu yang masuk kembali dengan dia upayakan. Mereka berdalil dengan sebuah dalil, “Tiga hal yang tidak membatalkan puasa, yaitu: muntah, bekam, dan mimpi basah.”[3] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari hadis Abu Sa’id. Di dalam sanadnya ada ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan dia daif. Dan atas dasar pendapat yang menetapkan bolehnya hadis tersebut dipakai untuk berdalil, hal itu tidak bertentangan dengan hadis Abu Hurairah. Karena hadis ini mutlak, sementara hadis Abu Hurairah itu dikaitkan dengan unsur kesengajaan.
وَأَمَّا كَوۡنُهُ يَحۡرُمُ الۡوِصَالُ؛ فَلِنَهۡيِهِ ﷺ عَنۡ ذٰلِكَ كَمَا فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ، وَابۡنِ عُمَرَ، وَعَائِشَةَ وَهُوَ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا، وَفِي الۡبَابِ أَحَادِيثُ.
Adapun haramnya puasa wishal (menyambung puasa) adalah berdasarkan larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hal itu. Sebagaimana di dalam hadis Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, dan ‘Aisyah yang terdapat di dalam dua kitab Shahih dan selain keduanya. Di dalam bab ini ada beberapa hadis.
وَأَمَّا وُجُوبُ الۡكَفَّارَةِ عَلَى مَنۡ أَفۡطَرَ عَمۡدًا؛ فَلِحَدِيثِ الۡمُجَامِعِ فِي رَمَضَانَ، فَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ لَهُ: (هَلۡ تَجِدُ مَا تُعۡتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَهَلۡ تَسۡتَطِيعُ أَنۡ تَصُومَ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَهَلۡ تَجِدُ مَا تُطۡعِمُ سِتِّينَ مِسۡكِينًا؟ قَالَ: لَا، ثُمَّ أُتِيَ النَّبِيُّ ﷺ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمۡرٌ فَقَالَ: تَصَدَّقۡ بِهَٰذَا، قَالَ: فَهَلۡ عَلَى أَفۡقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيۡنَ لَابَتَيۡهَا أَهۡلُ بَيۡتٍ أَحۡوَجُ مِنَّا، فَضَحِكَ النَّبِيُّ ﷺ حَتَّى بَدَتۡ نَوَاجِذُهُ وَقَالَ: اذۡهَبۡ فَأَطۡعِمۡهُ أَهۡلَكَ). وَهُوَ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا مِنۡ حَدِيثِ أَبِي هُرَيۡرَةَ وَعَائِشَةَ. وَقَدۡ قِيلَ إِنَّ الۡكَفَّارَةَ لَا تَجِبُ عَلَى مَنۡ أَفۡطَرَ عَامِدًا بِأَيِّ سَبَبٍ بَلۡ بِالۡجِمَاعِ فَقَطۡ، وَلَكِنۡ الرَّجُلُ إِنَّمَا جَامَعَ امۡرَأَتَهُ فَلَيۡسَ فِي الۡجِمَاعِ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ إِلَّا مَا فِي الۡأَكۡلِ وَالشُّرۡبِ لِكَوۡنِ الۡجَمِيعُ حَلَالًا لَمۡ يَحۡرُمۡ إِلَّا لِعَارِضِ الصَّوۡمِ. وَقَدۡ وَقَعَ فِي رِوَايَةٍ مِنۡ هَٰذَا الۡحَدِيثِ أَنَّ الرَّجُلَ أَفۡطَرَ وَلَمۡ يُذۡكَرِ الۡجِمَاعُ.
Adapun wajibnya kafarat bagi siapa saja yang membatalkan puasanya dengan sengaja, maka berdasarkan hadis pria yang menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadan.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau mendapati sesuatu yang bisa membebaskan seorang budak?”
Pria itu menjawab, “Tidak.”
Nabi bertanya, “Apakah engkau mampu untuk berpuasa dua bulan berturut-turut?”
Pria itu menjawab, “Tidak.”
Nabi bertanya, “Apakah engkau mendapati sesuatu untuk memberi makan enam puluh orang miskin?”
Pria itu menjawab, “Tidak.”
Kemudian ada yang datang membawa sekeranjang kurma. Nabi bersabda, “Bersedekahlah dengan ini!”
Pria itu berkata, “Apakah kepada orang yang lebih fakir daripada kami? Tidak ada di antara dua tanah berbatu hitam ini seorang penghuni rumah pun yang lebih butuh daripada kami.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa hingga tampak gigi-gigi geraham beliau dan beliau bersabda, “Berilah makan keluargamu dengannya!”[4]
Hadis ini ada di dalam dua kitab Shahih dan selain keduanya dari hadis Abu Hurairah dan ‘Aisyah.
Ada yang berkata bahwa kafarat tidak wajib bagi siapa saja yang membatalkan puasanya dengan sengaja dengan sebab yang manapun kecuali jimak saja. Akan tetapi pria tadi menjimak istrinya dan tidaklah pada jimak di siang hari bulan Ramadan kecuali ada pula pada makan dan minum, karena semuanya itu adalah perkara yang halal kecuali ketika sedang puasa. Juga terdapat suatu riwayat dari hadis ini bahwa pria itu batal puasanya, namun tidak disebutkan penyebabnya adalah jimak.
وَأَمَّا كَوۡنُهُ يُنۡدَبُ تَعۡجِيلُ الۡفِطۡرِ وَتَأۡخِيرُ السَّحُورِ؛ فَلِحَدِيثِ سَهۡلِ بۡنِ سَعۡدٍ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيۡرٍ مَا عَجَّلُوا الۡفِطۡرَ)، وَهُوَ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا. وَعَنۡ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيۡرٍ مَا أَخَّرُوا السَّحُورَ وَعَجَّلُوا الۡفِطۡرَ) أَخۡرَجَهُ أَحۡمَدُ وَفِي إِسۡنَادِهِ سُلَيۡمَانُ بۡنُ أَبِي عُثۡمَانَ، قَالَ أَبُو حَاتِمٍ، مَجۡهُولٌ. وَقَدۡ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا مِنۡ حَدِيثِ زَيۡدِ بۡنِ ثَابِتٍ: (إِنَّهُ كَانَ بَيۡنَ تَسَحُّرِهِ ﷺ وَدُخُولِهِ فِي الصَّلَاةِ قَدۡرَ مَا يَقۡرَأُ الرَّجُلُ خَمۡسِينَ آيَةً) وَفِي الۡبَابِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ.
Adapun disukainya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan makan sahur adalah berdasarkan hadis Sahl bin Sa’d: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”[5] Hadis ini ada dalam dua kitab Shahih dan selain keduanya.
Dan dari Abu Dzarr, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umatku senantiasa akan baik selama mereka mengakhirkan makan sahur dan menyegerakan buka puasa.” Dikeluarkan oleh Ahmad dan dalam sanadnya ada Sulaiman bin Abu ‘Utsman. Abu Hatim berkata, “Dia majhul (tidak diketahui).”
Telah sabit di dalam dua kitab Shahih dan selain keduanya dari hadis Zaid bin Tsabit bahwa waktu antara makan sahur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masuknya beliau (ke masjid) untuk salat adalah sekadar seseorang membaca lima puluh ayat.”[6] Di dalam bab ini ada banyak hadis.
[1] HR. Al-Bukhari nomor 1933, Muslim nomor 1155, Ibnu Majah nomor 1673, Ad-Darimi, dan Ahmad dalam Al-Musnad (2/395, 425).
[2] HR. Abu Dawud nomor 2380, At-Tirmidzi nomor 720, Ibnu Majah nomor 1676, Ad-Darimi, Malik, dan Ahmad (2/498).
[3] HR. At-Tirmidzi nomor 719.
[5] HR. Al-Bukhari nomor 1957, Muslim nomor 1098, At-Tirmidzi nomor 699, Ibnu Majah nomor 1697, Ad-Darimi, Malik, dan Ahmad.
[6] HR. Al-Bukhari nomor 1921 dan An-Nasa`i nomor 2155.