Era tabiin salah satu dari tiga kurun generasi terbaik umat ini atas rekomendasi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada zaman itu sosok mulia nan istimewa masih banyak yang menginjakkan kakinya di atas bumi ini. Pernah ada di zaman itu seorang ulama tabiin yang wara’, pemberi petuah dengan doa yang terkabulkan. Terlahir dari istri seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Abdullah bin Sikhkhir. Dialah Mutharrif bin Abdillah bin Sikhkhir Al Harasyi Al ‘Amiri Al Bashri rahimahullah. Ada perbincangan ulama terkait dengan kepastian tahun kelahirannya. Adz Dzahabi rahimahullah menuturkan bahwa ada kemungkinan Mutharrif dilahirkan pada tahun terjadinya Perang Badar atau Perang Uhud.
Sejatinya Mutharrif nyaris mendapatkan kemuliaan sebagai seorang shahabat. Namun Allah subhanahu wa ta’ala belum menghendaki hal itu, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat tatkala Mutharrif masih kecil dan belum pernah bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya beliau tergolong sebagai tabiin senior dan masuk thabaqah yang kedua menurut sebagian ulama.
Ulama dengan kunyah Abu Abdillah ini telah terdidik sejak kecil dalam kebaikan bersama keluarganya. Memiliki ayah seorang shahabat adalah keistimewaan tersendiri baginya. Ia pun belajar dan menuntut ilmu serta meriwayatkan hadis dari ayahnya. Sebagaimana saudara laki-lakinya Yazid bin Abdillah bin Asy Syikhkhir yang sepuluh tahun lebih muda darinya yang juga tsiqah (dipercaya) oleh ulama di masanya. Dalam meriwayatkan hadis, ia juga belajar kepada pembesar para shahabat. Di antaranya adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, ‘Aisyah, Mu’awiyah, Abu Dzar, Imran bin Husain, Ammar bin Yasir, dan masih banyak yang lainnya.
UNTAIAN-UNTAIAN HIKMAHNYA
Nasihat dan petuah penuh hikmah acapkali terucap dari lisan Mutharrif dalam berbagai kesempatan. Hal tersebut terekam dengan baik dalam memori ulama yang bermajelis dengannya. Karena ulama yang meriwayatkan darinya sangat banyak, di antaranya adalah Yazid bin Abdillah, saudara kandungnya sendiri. Al Hasan Bashri, Qatadah bin Diamah, Ghailan bin Jarir, Muhammad bin Wasi’, Tsabit Al Bunani, dan yang lainnya.
Qotadah menuturkan bahwa Mutharrif berkata, “Keutamaan ilmu lebih aku sukai daripada keutamaan ibadah dan sebaik-baik agama kalian adalah sikap wara.” Ia juga berkata, “Aku tertidur di malam hari sehingga menyesal pada pagi harinya karena tidak salat malam lebih aku sukai daripada aku melakukan salat di malam hari namun pada pagi harinya berbangga dengan amalanku tersebut.”
Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya kematian itu bisa menghancurkan seluruh nikmat pemiliknya. Maka carilah kenikmatan yang tidak tersentuh oleh kematian (yaitu surga).” “Tidak boleh bagi siapa pun untuk naik ke atas tempat yang tinggi lantas terjun dari ketinggian tersebut. Kemudian dia berdalih, ‘Allah telah menakdirkanku seperti ini.’ Akan tetapi dia harus selalu waspada, bersungguh-sungguh dalam kebaikan dan bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan apabila dia tertimpa suatu musibah maka tidaklah hal itu menimpanya melainkan dengan takdir Allah.” Demikian nasihat Mutharrif bagi seseorang yang bermaksiat dan berargumen dengan takdir.
Ia pun berkata, “Aku diberi kenikmatan lalu bersyukur lebih aku sukai daripada aku diberi ujian lalu bersabar.” Tentang kematian, ia juga menyatakan, “Andaikan aku mengetahui kapan ajalku akan tiba maka aku khawatir akalku akan hilang. Namun Allah memberikan kelalaian dari kematian dan seandainya tidaknada kelalaian, pasti manusia tidak akan bisa menikmati hidup ini dan tidak ada pasar di tengah-tengah manusia.”
Suatu ketika putranya yang bernama Abdullah meninggal, lalu Mutharrif keluar menuju orang-orang dengan mengenakan pakaian yang bagus dan minyak wangi. Mereka pun marah dan berkata, “Putramu meninggal namun kenapa engkau justru keluar dengan mengenakan pakaian sebagus ini dan minyak wangi?” Mutharrif menjawab, “Bagaimana aku tidak tenang sementara Rabbku telah menjanjikan kepadaku 3 perkara yang mana tiap perkara itu lebih aku cintai daripada dunia dan seisinya.” Lantas ia membawakan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتۡهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيۡهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيۡهِمۡ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الۡمُهۡتَدُونَ
“Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. (Sesungguhnya kita milik Allah dan hanya kepada Allah kita akan kembali). Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan shalawat dari Rabb mereka dan rahmat, merekalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” [Q.S. Al Baqarah: 156-157].
Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Mutharrif adalah, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku sebagai pelajaran bagi orang lain (karena perbuatan burukku) dan janganlah Engkau jadikan orang lain lebih berbahagia daripada diriku dengan ilmu yang telah Engkau ajarkan kepadaku.”
ULAMA YANG WARA’ DAN DOA YANG MUSTAJAB
Mutharrif adalah sosok pribadi yang sangat wara’ lagi bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala meskipun tergolong orang yang berharta. Terutama dalam menghadapi berbagai fitnah yang bermunculan di zamannya. Simak penuturan Al ‘Ijli berikut ini, “Mutharrif adalah pribadi yang tsiqah (tepercaya). Tidak ada seorang pun yang selamat dari fitnah Ibnul Asyats di Bashrah kecuali dia dan Muhammad bin Sirin.”
Peristiwa berdarah yang memakan korban berjatuhan di tengah kaum muslimin dalam upaya pemberontakan Ibnul Asyats untuk menggulingkan kekuasaan Al Hajjaj bin Yusuf yang bengis lagi zalim. Fitnah begitu dahsyat yang melibatkan sebagian ahli fikih yang mulia saat itu. Namun lihatlah bagaimana ketegaran Mutharrif dalam menghadapi fitnah tersebut. Pernah suatu saat orang-orang datang menemui Mutharrif dan mengajaknya untuk memerangi al Hajjaj bin Yusuf. Tatkala desakan dan manuver semakin banyak, ia pun berkata kepada mereka, “Kalian mengajakku untuk melakukan apa? Inikah jihad fi sabilillah?” Mereka menjawab, “Bukan (jihad fi sabilillah).” “Kalau begitu aku tidak akan mempertaruhkan jiwaku di antara kebinasaan atau keutamaan yang bisa kuraih.”
Pernah orang-orang bertanya kepada saudara laki-lakinya, Yazid bin Abdillah Asy Syikhkhir, “Apa yang dilakukan Mutharrif tatkala kaum muslimin bergejolak karena dilanda fitnah?” Maka ia menjawab, “Dia senantiasa berdiam di rumahnya dan tidak mendekati mereka hingga fitnah tersebut mereda.”
Tentang fitnah, Mutharrif mengatakan, “Sesungguhnya fitnah tidaklah datang untuk memberi petunjuk namun untuk menggoncangkan jiwa seorang mukmin.” Ia pun menyatakan, “Aku hidup di masa-masa fitnah Ibnu Zubair selama tujuh atau sembilan tahun. Selama itu pula aku tidak pernah sama sekali menyampaikan berita tentang fitnah itu dan tidak pula mencari berita tentangnya.”
Tidak diragukan lagi bahwa Mutharrif adalah ulama sunnah yang membela kebenaran. Pernah suatu ketika datang orang-orang Khawarij kepadanya untuk mengajaknya agar berpemahaman khawarij. Maka ia berkata, “Wahai kalian orang-orang khawarij, andaikan aku memiliki dua jiwa lantas aku membaiat kalian dengan salah satu dari jiwa itu tanpa melibatkan jiwa yang lainnya. Maka kalau seandainya apa yang kalian serukan itu merupakan sebuah petunjuk pasti aku telah perintahkan jiwa yang lain agar mengikuti ucapan kalian. Namun jika ternyata apa yang kalian ucapkan adalah kesesatan, maka binasalah salah satu jiwaku dan selamatlah jiwa yang lain. Namun realitanya aku hanya memiliki satu jiwa dan aku tidak ingin membinasakan jiwaku (dengan mengikuti kalian).”
Satu lagi keistimewaan Mutharrif adalah doanya yang mustajab. Ghailan bin Jarir berkisah bahwa Mutharrif pernah terlibat dalam sebuah perselisihan dengan seorang lelaki. Ternyata lelaki tersebut telah berdusta kepadanya hingga Mutharrif mengatakan, “Ya Allah jika lelaki ini adalah seorang pendusta, maka matikanlah dia.” Tiba-tiba lelaki itu jatuh tersungkur dan meninggal seketika. Sebagian orang mengatakan kepada Mutharrif, “Engkau telah membunuhnya.” “Tidak, kebetulan saja doaku bertepatan dengan waktu kematiannya,” jawab Mutharrif. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ia tergolong ulama besar generasi tabiin. Salah seorang muridnya adalah Imran bin Hushain yang juga doanya terkabulkan.
Mutharrif rahimahullah meninggal di masa kekuasaan Al Hajjaj bin Yusuf di Irak setelah terjadinya Thaun (wabah) yang melanda manusia. Wabah penyakit yang melanda kaum muslimin itu terjadi pada tahun 87 H. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat dan membalas semua jasa serta kebaikannya. Allahu A’lam.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 67 vol.06 1440 H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah.