Cari Blog Ini

Sang Imam Tuna Netra

“Aku tidak menyangka Allah azza wajalla menciptakan manusia dengan kekuatan hafalan sepertimu,” tukas Sa’id bin Musayyib rahimahullah. Sampai sedemikian halnya kekaguman seorang penghulu ulama tabi’in, Sa’id bin Musayyib terhadap hafalan muridnya ini. Siapakah dia hingga begitu kagum dengan kapasitas hafalannya?

Pembaca Qudwah yang budiman, sejarah telah merekam keberadaan ulama-ulama besar dengan kekuatan hafalan yang sangat luar biasa dan menakjubkan. Fakta di lapangan membuktikan bahwa kuatnya hafalan mereka bagaikan gunung-gunung yang kokoh menjulang tinggi. Di antara simbol kekuatan hafalan sekaligus guru besar di bidang ilmu tafsir adalah Qatadah bin Di’amah As Sadusi rahimahullah.

Beliau adalah Qatadah bin Di’amah bin Qatadah bin Aziz, namun dalam pendapat lain namanya adalah Qatadah bin Di’amah bin ‘Ukabah As Sadusi Al Bashri rahimahullah. Adapun As Sadus berasal dari Bani Syaiban bin Dzuhl bin Tsa’lab bin Bakr bin Wail yang merupakan suku Arab bagian utara. Adz Dzahabi rahimahullah menyebut beliau sebagai Hafizhul Ashr (penghafal di masanya) dan Qudwatul Mufassirin wal Muhadditsin (suri teladannya para ahli tafsir dan ahli hadis). Ulama tabiin dengan banyak kelebihan ini dilahirkan pada tahun 60 H dan terlahir dalam keadaan kedua matanya buta.

Ya, Qatadah adalah seorang tuna netra sejak terlahir dari rahim sang ibu. Namun sungguh pun demikian keadaan tersebut bukanlah penghambat perjuangannya menuntut ilmu hingga akhirnya menjadi ulama tafsir terkemuka. Dan sungguh ajaib kekuatan memorinya. Bisa kita bayangkan, ulama sekelas Sa’id bin Musayyib rahimahullah saja begitu kagum setelah mengetahui kekuatan hafalannya.

Ulama ini pernah menimba ilmu dari sekian shahabat seperti Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Abdullah bin Sarjis radhiyallahu ‘anhu, Handzalah Al Katib radhiyallahu ‘anhu, Abu Thufail Al Kinani radhiyallahu ‘anhu, Anas bin An Nadhr radhiyallahu ‘anhu, dan selainnya. Di samping itu, Qatadah pun pernah meriwayatkan dari ulama-ulama besar tabiin yang sezaman dengannya. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam Al Bidayah Wan Nihayah bahwa Qatadah meriwayatkan dari Anas bin Malik dan sekelompok ulama tabiin seperti Said bin Al Musayyib, Abul Aliyah, Zurarah bin Aufa, Atha, Muhammad bin Sirin, Masruq, Al Hasan Al Bashri dan yang lainnya. Untuk nama yang terakhir bahkan Qotadah pernah berguru kepadanya selama dua belas tahun lamanya.

Adapun ulama-ulama tenar yang pernah meriwayatkan darinya cukup banyak seperti Ayyub As Sikhtiyani, Ibnu Abi Arubah, Ma’mar bin Rasyid, Al Auzai, Mis’ar bin Kidam, Syu’bah bin Al Hajjaj, Abu Awanah Al Waddah, Hammad bin Salamah dan masih banyak yang lainnya.

KEKUATAN HAFALANNYA


Sebagaimana gelar mufassir yang disematkan kepada beliau, Qatadah memang memiliki perhatian begitu besar terhadap Al Quran. Dikisahkan bahwa beliau terbiasa secara rutin mengkhatamkan Al Quran beberapa hari sekali dan jika telah masuk sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan beliau pun menghatamkan Al Quran dengan frekuensi lebih banyak.

Abu Awanah berkisah, “Aku pernah menyaksikan Qatadah mempelajari Al Qur’an pada bulan Ramadhan. Qatadah biasanya menghatamkan Al Qur’an selama tujuh hari dan jika datang bulan Ramadhan beliau menghatamkannya selama tiga hari. Adapun jika telah tiba sepuluh malam terakhir, beliau pun menghatamkan Al Qur’an setiap malam.”

Meskipun tuna netra, Qatadah dianugerahi hafalan yang kuat dan ingatan yang begitu kokoh. Mathar mengatakan, “Apabila Qatadah mendengar suatu hadis maka ia langsung bisa menghafalnya.” Ghalib bin Al-Qaththan berkata, “Siapa yang ingin melihat manusia dengan hafalan paling kuat yang pernah kita jumpai maka hendaknya ia melihat kepada Qatadah.”

Suatu hari Qatadah datang menemui Said bin Al Musayyib dan memperbanyak periwayatan darinya selama beberapa hari. Said pun bertanya kepadanya, “Seluruh apa yang engkau tanyakan kepadaku bisa menghafalnya?” “Ya,” jawab Qatadah. Luar biasa, Qatadah mampu menghafal semua pertanyaan dan jawaban yang disampaikan Said dengan baik tanpa celah hingga Said merasa kagum seraya berkata, “Aku tidak menyangka Allah telah menciptakan manusia seperti dirimu.” Said juga menyatakan, “Tidak ada orang Irak yang pernah kutemui hafalannya lebih kuat daripada Qatadah.”

Qatadah adalah simbol kekuatan hafalan di masanya karena memang memorinya sangat kokoh dan menakjubkan hafalannya. Tidak mengherankan jika apa saja yang didengar pasti terekam dan terpatri dalam kalbunya. Qatadah sendiri pernah menyatakan, “Aku tidak pernah sama sekali mengatakan kepada orang yang bicara kepadaku, ‘Tolong ulangi lagi ucapan Anda.’ Dan apa saja yang didengar oleh telingaku pasti tersimpan dalam hatiku.”

Imam Ahmad rahimahullah pernah membicarakan tentang Qatadah secara panjang lebar dan memaparkan tentang keilmuan, kefakihan dan pengetahuannya tentang khilaf ulama dan ilmu tafsir. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa Qatadah adalah orang yang kuat hafalannya dan orang ahli fikih. Imam Ahmad berkata, “Teramat jarang Anda jumpai ada seorang yang bisa mengunggulinya. Namun kalau dikatakan ada yang seperti Qatadah, maka bisa saja terjadi. Ia adalah orang yang paling hafal dari kalangan penduduk Basrah. Tidaklah ia mendengar sesuatu melainkan langsung bisa menghafalnya.”

ULAMA ADALAH MANUSIA BIASA


Adz Dzahabi rahimahullah menjelaskan, “Qatadah adalah hujjah menurut kesepakatan para ulama jika beliau menjelaskan dan menegaskan periwayatannya. Karena sebagaimana diketahui beliau termasuk ulama mudallis (orang yang melakukan tadlis) dalam meriwayatkan hadis. Tadlis secara bahasa adalah menyembunyikan aib dalam hadis dan menampakkan adanya kebaikan secara lahir. Ada perbincangan pula di kalangan ulama tentang ketergelinciran beliau dalam masalah takdir. Namun demikian tidak satu ulama pun yang meragukan kejujuran, keadilan, dan kekuatan hafalannya. Semoga Allah memberikan udzur karena demikianlah karakter dasar manusia yang tidak bisa lepas dari kesalahan. Apalagi beliau sendiri telah mengerahkan segenap daya dan upaya dalam melakukan ijtihad.

Seorang ulama yang berijtihad kemudian terjatuh dalam kesalahan, maka ia tetap mendapatkan satu pahala. Kemudian para ulama besar yang banyak menepati kebenaran, diketahui pula upayanya dalam mencari kebenaran, keilmuannya luas, kecerdasannya menonjol, dikenal pula kesalihan, sikap wara’, dan komitmennya terhadap sunnah, maka ulama dengan karakteristik demikian ini akan diampuni ketergelincirannya dan kita tidak boleh memvonis sesat terhadapnya, merendahkannya serta melupakan kebaikan-kebaikannya. Inilah sikap yang benar, kita tidak boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya serta kita berharap semoga ia bertobat darinya.”

Sebagian ulama menambahkan keterangan bahwa Qatadah sempat tergelincir dalam masalah takdir namun pada akhirnya bertobat dan ruju’ (kembali) kepada kebenaran. Beliau pun tidak pernah mengajak manusia kepada pemikiran tersebut dan bahkan tidak pernah membicarakannya di hadapan kaum muslimin.

Qatadah menghiasi kehidupannya dengan penuh kerendahan hati dan selalu berusaha menjaga sikap ilmiyahnya. Meskipun terhitung sebagai ulama besar di masanya namun beliau tidak malu dan gengsi untuk menyatakan tidak tahu ketika ditanya. Namun kredibilitas beliau sebagai ulama besar tetap eksis dan bersinar. Abu Hilal berkisah, “Suatu ketika aku pernah bertanya kepada Qatadah tentang suatu permasalahan.” Ia pun menjawab, “Aku tidak tahu.” Aku katakan kepadanya, “Jawablah dengan pendapatmu.” “Aku tidak pernah menjawab pertanyaan dengan logikaku semenjak empat puluh tahun yang lalu.” Dalam riwayat lain beliau menegaskan, “Aku belum pernah dengan logikaku semenjak tiga puluh tahun yang lalu.”

UNTAIAN-UNTAIAN NASIHATNYA


Beliau adalah figur ulama yang berusaha mengaplikasikan amal saleh dalam kehidupan keseharian. Beliau juga acap kali menyampaikan nasihat. Beliau pernah berpesan, “Waspadalah dan berhati-hatilah dari sikap memberat-beratkan, berlebih-lebih dan ekstrim serta ujub terhadap diri sendiri. Hendaknya kalian bersikap tawadhu pasti Allah akan meninggikan derajat kalian.”

Di lain kesempatan Qatadah mengatakan, “Barang siapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan senantiasa bersamanya. Dan siapa saja yang disertai Allah, maka dia bersama dengan golongan yang tidak terkalahkan, Penjaga yang tidak pernah tidur dan Pemberi hidayah yang tidak pernah tersesat.”

Dalam bab tauhid, Imam Al Bukhari meriwayatkan ucapan Qatadah yang sangat terkenal bahwa beliau menyatakan, “Allah menciptakan bintang-bintang di langit untuk tiga hal, yaitu sebagai perhiasan di atas langit, sebagai pelempar setan dan sebagai tanda penunjuk. Barang siapa menafsirkan fungsi bintang-bintang untuk selain tujuan tersebut di atas, berarti dia telah melakukan kesalahan, menyia-nyiakan nasibnya dan membebani diri dengan sesuatu yang tidak diketahui ilmunya.”

Faedah-faedah ilmiyah pun sering terucap dari lisan beliau sebagaimana apa yang pernah beliau tegaskan, “Satu bab ilmu yang dihafal oleh seseorang dan dia gunakan untuk memperbaiki keadaan dirinya serta manusia lebih utama daripada dia beribadah selama satu tahun.” Beliau pun motivator ulung dalam perjuangan menuntut ilmu agama, perhatikanlah ucapan beliau berikut ini, “Kalau seandainya ada seseorang yang merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki, niscaya Musa akan merasa cukup dengan ilmunya, namun ternyata Musa terus mencari tambahan ilmu.”

AKHIR HIDUPNYA


Imam Qatadah meninggal pada tahun 117 H dalam usia 57 tahun di Wasith karena penyakit tha’un dan dimakamkan di kota tersebut. Kepergian beliau ini membuat kaum muslimin terutama yang tinggal di negerinya begitu sedih karena kehilangan ulama besar di zamannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya kepada beliau serta kita semua. Aamiin Ya Rabbal Alamin.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 55 vol.05 1439 H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah.