Cari Blog Ini

Qada dan Qadar

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah (wafat 260 H) di dalam kitab Lum'atul I'tiqad berkata:

فَصۡلٌ فِي الۡقَضَاءِ وَالۡقَدَرِ
Pasal tentang Qada dan Qadar

١٥ - وَمِنۡ صِفَاتِ اللهِ تَعَالَى أَنَّهُ الۡفَعَّالُ لِمَا يُرِيدُ لَا يَكُونُ شَيۡءٌ إِلَّا بِإِرَادَتِهِ وَلَا يَخۡرُجُ شَيۡءٌ عَنۡ مَشِيئَتِهِ،
Termasuk sifat Allah taala adalah bahwa Dia Maha berbuat apa saja yang Dia kehendaki. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali dengan keinginan-Nya dan tidak ada sesuatu pun yang keluar dari kehendak-Nya.
وَلَيۡسَ فِي الۡعَالَمِ شَيۡءٌ يَخۡرُجُ عَنۡ تَقۡدِيرِهِ، وَلَا يَصۡدُرُ إِلَّا عَنۡ تَدۡبِيرِهِ، وَلَا مَحِيدَ لِأَحَدٍ عَنِ الۡقَدَرِ الۡمَقۡدُورِ،
Tidak ada di alam semesta ini sesuatu pun yang keluar dari takdir-Nya. Tidak ada yang terjadi kecuali dari pengaturan-Nya. Tidak ada tempat mengelak dari takdir yang telah ditetapkan.
وَلَا يَتَجَاوَزُ مَا خُطَّ فِي اللَّوۡحِ الۡمَسۡطُورِ، أَرَادَ مَا الۡعَالَمُ فَاعِلُوهُ، وَلَوۡ عَصَمَهُمۡ لَمَّا خَالَفُوهُ، وَلَوۡ شَاءَ أَنۡ يُطِيعُوهُ جَمِيعًا لَأَطَاعُوهُ،
Tidak ada yang bisa melampaui apa yang telah dituliskan di dalam loh mahfuz. Dia menghendaki segala yang dilakukan oleh seluruh makhluk. Andai Dia menjaga mereka agar tidak berbuat kesalahan, niscaya mereka tidak akan menyelisihi-Nya. Andai Dia menghendaki agar mereka semua menaati-Nya, pasti mereka akan taat kepada-Nya.
خَلَقَ الۡخَلَائِقَ وَأَفۡعَالَهُمۡ، وَقَدَّرَ أَرۡزَاقَهُمۡ وَآجَالَهُمۡ، يَهۡدِي مَنۡ يَشَاءُ بِرَحۡمَتِهِ، وَيُضِلُّ مَنۡ يَشَاءُ بِحِكۡمَتِهِ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿لَا يُسۡـَٔلُ عَمَّا يَفۡعَلُ وَهُمۡ يُسۡـَٔلُونَ﴾ [الأنبياء: ٢٣].
Allah menciptakan semua makhluk dan perbuatannya. Allah telah menakdirkan rezeki dan ajal mereka. Allah tunjuki siapa saja yang Dia kehendaki dengan hikmah-Nya. Allah taala berfirman, “Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia lakukan. Justru mereka yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya`: 23).
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّا كُلَّ شَىۡءٍ خَلَقۡنَـٰهُ بِقَدَرٍ﴾ [القمر: ٤٩].
Allah taala berfirman, “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan takdir.” (QS. Al-Qamar: 49).
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَخَلَقَ كُلَّ شَىۡءٍ فَقَدَّرَهُۥ تَقۡدِيرًا﴾ [الفرقان: ٢].
Allah taala berfirman, “Allah menciptakan segala sesuatu lalu menetapkan takdirnya.” (QS. Al-Furqan: 2).
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِى كِتَـٰبٍ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآ﴾ [الحديد: ٢٢].
Allah taala berfirman, “Tidaklah ada suatu musibah yang menimpa, baik di bumi maupun pada diri-diri kalian kecuali sudah tertulis di kitab (loh mahfuz) sebelum Kami menciptakannya.” (QS. Al-Hadid: 22).
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهۡدِيَهُۥ يَشۡرَحۡ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَـٰمِ ۖ وَمَن يُرِدۡ أَن يُضِلَّهُۥ يَجۡعَلۡ صَدۡرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجًا﴾ [الأنعام: ١٢٥].
Allah taala berfirman, “Siapa saja yang Allah kehendaki untuk membimbingnya, maka akan Allah lapangkan dadanya untuk menerima Islam. Dan siapa saja yang Allah inginkan untuk Dia sesatkan, maka Allah akan jadikan dadanya sempit dan berat.” (QS. Al-An’am: 125).
وَرَوَى ابۡنُ عُمَرَ أَنَّ جِبۡرِيلَ عَلَيۡهِ السَّلَامُ قَالَ لِلنَّبِيِّ ﷺ: مَا الۡإِيمَانُ. قَالَ: (أَنۡ تُؤۡمِنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالۡيَوۡمِ الۡآخِرِ وَبِالۡقَدَرِ خَيۡرِهِ وَشَرِّهِ) فَقَالَ جِبۡرِيلُ: صَدَقۡتَ. انۡفَرَدَ مُسۡلِمٌ بِإِخۡرَاجِهِ.
Ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa Jibril—‘alaihis salam—bertanya kepada Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Apakah iman?”
Nabi menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir yang baik dan yang buruk.”
Jibril berkata, “Engkau benar.” 
وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (آمَنۡتُ بِالۡقَدَرِ؛ خَيۡرِهِ وَشَرِّهِ، وَحُلۡوِهِ وَمُرِّهِ).
Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Aku beriman dengan takdir, yang baik dan buruk, yang manis dan yang pahit.”
وَمِنۡ دُعَاءِ النَّبِيِّ ﷺ الَّذِي عَلَّمَهُ الۡحَسَنَ بۡنَ عَلِيٍّ يَدۡعُو بِهِ فِي قُنُوتِ الۡوِتۡرِ: (وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيۡتَ).
Di antara doa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—yang beliau ajarkan kepada Al-Hasan bin ‘Ali agar berdoa menggunakannya ketika qunut witir adalah “Dan lindungilah aku dari kejelekan takdir yang engkau tetapkan.”
وَلَا نَجۡعَلُ قَضَاءَ اللهِ وَقَدَرَهُ حُجَّةً لَنَا فِي تَرۡكِ أَوَامِرِهِ وَاجۡتِنَابِ نَوَاهِيهِ، بَلۡ يَجِبُ أَنۡ نُؤۡمِنَ وَنَعۡلَمَ أَنَّ لِلهِ عَلَيۡنَا الۡحُجَّةَ بِإِنۡزَالِ الۡكُتُبِ، وَبِعۡثَةِ الرُّسُلِ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى:
Kita tidak menjadikan qada dan qadar Allah sebagai alasan untuk kita meninggalkan perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya. Tetapi kita wajib beriman dan mengetahui bahwa Allah memiliki alasan untuk (menyiksa) kita dengan menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul. Allah taala berfirman,
﴿لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةٌۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِ﴾ [النساء: ١٦٥].
“Agar manusia tidak lagi mengajukan alasan kepada Allah setelah diutusnya para rasul.” (QS. An-Nisa`: 165).[2]
وَنَعۡلَمُ أَنَّ اللهَ – سُبۡحَانَهُ - مَا أَمَرَ وَنَهَى إِلَّا الۡمُسۡتَطِيعَ لِلۡفِعۡلِ وَالتَّرۡكِ، وَأَنَّهُ لَمۡ يَجۡبُرۡ أَحَدًا عَلَى مَعۡصِيَةٍ، وَلَا اضۡطَرَّهُ إِلَى تَرۡكِ طَاعَةٍ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى:
Kita mengetahui bahwa Allah—subhanahu wa taala—tidak memerintah dan melarang kecuali kepada orang yang mampu mengerjakannya atau meninggalkannya. Allah juga tidak memaksa seorang pun untuk melakukan kemaksiatan dan tidak memaksanya untuk meninggalkan ketaatan. Allah taala berfirman,
﴿لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا﴾ [البقرة: ٢٨٦].
“Allah tidak membebani satu jiwa pun kecuali sesuai kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).
وَقَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ﴾ [التغابن: ١٦].
Allah taala berfirman, “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16).
وَقَالَ تَعَالَى: ﴿ٱلۡيَوۡمَ تُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسٍۭ بِمَا كَسَبَتۡ ۚ لَا ظُلۡمَ ٱلۡيَوۡمَ﴾ [غافر: ١٧].
Allah taala berfirman, “Pada hari ini, setiap jiwa akan dibalas dengan yang dahulu dia upayakan. Tidak ada kezaliman pada hari ini.” (QS. Ghafir: 17).
فَدَلَّ عَلَى أَنَّ لِلۡعَبۡدِ فِعۡلًا وَكَسۡبًا يُجۡزَى عَلَى حَسَنِهِ بِالثَّوَابِ، وَعَلَى سَيِّئِهِ بِالۡعِقَابِ، وَهُوَ وَاقِعٌ بِقَضَاءِ اللهِ وَقَدَرِهِ.
Yang menunjukkan bahwa seorang hamba memiliki perbuatan dan upaya adalah dia akan dibalas pahala sesuai kebaikannya dan dibalas hukuman sesuai kejelekannya. Ini terjadi dengan qada dan qadar Allah.[3]


Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin (wafat 1421 H) rahimahullah di dalam kitab Syarh Lum'atil I'tiqad berkata:

[1] الۡقَدَرُ:

مِنۡ صِفَاتِ اللهِ تَعَالَى أَنَّهُ الۡفَعَّالُ لِمَا يُرِيدُ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِّمَا يُرِيدُ﴾ [هود: ١٠٧] فَلَا يَخۡرُجُ شَيۡءٌ عَنۡ إِرَادَتِهِ وَسُلۡطَانِهِ وَلَا يَصۡدُرُ شَيۡءٌ إِلَّا بِتَقۡدِيرِهِ وَتَدۡبِيرِهِ، بِيَدِهِ مَلَكُوتُ السَّمَوَاتِ وَالۡأَرۡضِ، يَهۡدِي مَنۡ يَشَاءُ بِرَحۡمَتِهِ وَيُضِلُّ مَنۡ يَشَاءُ بِحِكۡمَتِهِ، لَا يُسۡأَلُ عَمَّا يَفۡعَلُ لِكَمَالِ حِكۡمَتِهِ وَسُلۡطَانِهِ وَهُمۡ يُسۡأَلُونَ لِأَنَّهُمۡ مَرۡبُوبُونَ مَحۡكُومُونَ.

Qadar:

Di antara sifat Allah taala adalah bahwa Dia Maha berbuat apa saja yang Dia inginkan sebagaimana firman Allah taala, “Sesungguhnya Tuhanmu Maha berbuat apa saja yang Dia inginkan.” (QS. Hud: 107).

Jadi tidak ada sesuatu pun yang keluar dari kehendak dan kekuasaan-Nya. Juga tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali dengan takdir dan pengaturan-Nya. Di tangan-Nya lah kerajaan langit dan bumi.

Dia memberi petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki dengan rahmat-Nya dan menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki dengan hikmah-Nya. Dia tidak ditanya tentang perbuatan-Nya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya. Justru mereka lah yang akan ditanya karena mereka adalah yang diatur dan diberlakukan hukum.

وَالۡإِيمَانُ بِالۡقَدَرِ وَاجِبٌ وَهُوَ أَحَدُ أَرۡكَانِ الۡإِيمَانِ السِّتَّةِ لِقَوۡلِ النَّبِيِّ ﷺ: (الۡإِيمَانُ: أَنۡ تُؤۡمِنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالۡيَوۡمِ الۡآخِرِ وَالۡقَدَرِ خَيۡرِهِ وَشَرِّهِ). رَوَاهُ مُسۡلِمٌ وَغَيۡرُهُ. وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (آمَنۡتُ بِالۡقَدَرِ خَيۡرِهِ وَشَرِّهِ حُلۡوِهِ وَمُرِّهِ).

Iman terhadap takdir adalah wajib dan merupakan salah satu dari enam rukun iman, berdasarkan sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim dan selain beliau).

Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Aku beriman kepada takdir, yang baik, yang buruk, yang manis, dan yang pahit.”

فَالۡخَيۡرُ وَالشَّرُّ بِاعۡتِبَارِ الۡعَاقِبَةِ، وَالۡحَلَاوَةُ وَالۡمَرَارَةُ بِاعۡتِبَارِهِ وَقۡتَ إِصَابَتِهِ.

وَخَيۡرُ الۡقَدَرِ مَا كَانَ نَافِعًا، وَشَرُّهُ مَا كَانَ ضَارًّا أَوۡ مُؤۡذِيًا.

Kebaikan dan keburukan takdir adalah ditinjau dari akibat kesudahannya. Adapun manis dan pahitnya ditinjau ketika takdir itu menimpanya. Takdir yang baik adalah yang bermanfaat. Takdir yang buruk adalah yang memudaratkan atau mengganggu.

وَالۡخَيۡرُ وَالشَّرُّ هُوَ بِالنِّسۡبَةِ لِلۡمَقۡدُورِ وَعَاقِبَتِهِ فَإِنَّ مِنۡهُ مَا يَكُونُ خَيۡرًا كَالطَّاعَاتِ وَالصِّحَّةِ وَالۡغِنَى، وَمِنۡهُ مَا يَكُونُ شَرًّا كَالۡمَعَاصِي وَالۡمَرَضِ وَالۡفَقۡرِ. أَمَّا بِالنِّسۡبَةِ لِفِعۡلِ اللهِ فَلَا يُقَالُ: إِنَّهُ شَرٌّ لِقَوۡلِ النَّبِيِّ ﷺ فِي دُعَاءِ الۡقُنُوتِ الَّذِي عَلَّمَهُ الۡحَسَنَ بۡنَ عَلِيٍّ: (وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيۡتَ) فَأَضَافَ الشَّرَّ إِلَى مَا قَضَاهُ لَا إِلَى قَضَائِهِ.

Kebaikan dan keburukan takdir adalah dari sisi pandang yang dikenai takdir dan akibat kesudahannya. Karena sebagian takdir ada yang baik seperti amalan ketaatan, kesehatan, dan kecukupan. Di antara takdir ada yang buruk seperti kemaksiatan, sakit, dan kefakiran.

Adapun jika takdir disandarkan pada perbuatan Allah, maka tidak boleh dikatakan bahwa takdir itu buruk. Berdasarkan sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dalam doa qunut yang beliau ajarkan kepada Al-Hasan bin ‘Ali, “Jagalah diriku dari keburukan yang engkau telah takdirkan.”

Beliau menyandarkan keburukan kepada takdir yang telah ditetapkan-Nya. Bukan kepada penetapan-Nya.

وَالۡإِيمَانُ بِالۡقَدَرِ لَا يَتِمُّ إِلَّا بِأَرۡبَعَةِ أُمُورٍ:

Iman terhadap takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara:

الۡأَوَّلُ: الۡإِيمَانُ بِأَنَّ اللهَ عَالِمُ كُلِّ مَا يَكُونُ جُمۡلَةً وَتَفۡصِيلًا بِعِلۡمٍ سَابِقٍ لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ ۗ إِنَّ ذَ‌ٰلِكَ فِى كِتَـٰبٍ ۚ إِنَّ ذَ‌ٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ﴾ [الحج: ٧٠].

Pertama: Iman bahwa Allah Maha Mengetahui segala apa yang terjadi secara umum dan terperinci dengan pengetahuan yang sudah ada sejak dulu. Ini berdasarkan firman Allah taala, “Tidakkah engkau ketahui bahwa Allah mengetahui segala yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya hal itu ada di dalam kitab. Sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj: 70).

الثَّانِي: أَنَّ اللهَ كَتَبَ فِي اللَّوۡحِ الۡمَحۡفُوظِ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيۡءٍ لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِى كِتَـٰبٍ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآ ۚ إِنَّ ذَ‌ٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ﴾ [الحديد: ٢٢]. أَيۡ: نَخۡلُقُ الۡخَلِيقَةَ.

Kedua: Bahwa Allah telah menulis di Loh Mahfuz takdir segala sesuatu. Ini berdasarkan firman Allah taala, “Tidaklah satu musibah pun yang menimpa di bumi atau pada diri kalian kecuali sudah ada di kitab sebelum Kami menciptakannya.” (QS. Al-Hadid: 22).

Nabra`ahā artinya Kami menciptakan makhluk-makhluk.

وَلِقَوۡلِهِ ﷺ: (إِنَّ اللهَ قَدَّرَ مَقَادِيرَ الۡخَلۡقَ قَبۡلَ أَنۡ يَخۡلُقَ السَّمَوَاتِ وَالۡأَرۡضَ بِخَمۡسِينَ أَلۡفَ سَنَةٍ) رَوَاهُ مُسۡلِمٌ.

Juga berdasarkan sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Sesungguhnya Allah menetapkan takdir makhluk-makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim nomor 2653 dan At-Tirmidzi nomor 2156).

الثَّالِثُ: أَنَّهُ لَا يَكُونُ شَيۡءٌ فِي السَّمَوَاتِ وَالۡأَرۡضِ إِلَّا بِإِرَادَةِ اللهِ وَمَشِيئَتِهِ الدَّائِرَةِ بَيۡنَ الرَّحۡمَةِ وَالۡحِكۡمَةِ، يَهۡدِي مَنۡ يَشَاءُ بِرَحۡمَتِهِ وَيُضِلُّ مَنۡ يَشَاءُ بِحِكۡمَتِهِ، لَا يُسۡأَلُ عَمَّا يَفۡعَلُ لِكَمَالِ حِكۡمَتِهِ وَسُلۡطَانِهِ وَهُمۡ يُسۡأَلُونَ، وَمَا وَقَعَ مِنۡ ذٰلِكَ فَإِنَّهُ مُطَابِقٌ لِعِلۡمِهِ السَّابِقِ وَلِمَا كَتَبَهُ فِي اللَّوۡحِ الۡمَحۡفُوظِ لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿إِنَّا كُلَّ شَىۡءٍ خَلَقۡنَـٰهُ بِقَدَرٍ﴾ [القمر: ٤٩]، ﴿فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهۡدِيَهُۥ يَشۡرَحۡ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَـٰمِ ۖ وَمَن يُرِدۡ أَن يُضِلَّهُۥ يَجۡعَلۡ صَدۡرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجًا﴾ [الأنعام: ١٢٥] فَأَثۡبَتَ وُقُوعَ الۡهِدَايَةِ وَالضَّلَالِ بِإِرَادَتِهِ.

Bahwa tidak ada sesuatupun di langit dan bumi terjadi kecuali dengan keinginan dan kehendak Allah yang berporos antara sifat rahmah dan hikmah-Nya.

Allah menunjuki siapa saja yang Dia kehendaki dengan rahmat-Nya dan menyesatkan siapa saja yang Dia kehendaki dengam hikmah-Nya. Dia tidak ditanya tentang yang Dia lakukan karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, justru mereka yang akan ditanya.

Semua yang terjadi dari hal itu maka itu sudah pasti sesuai dengan ilmu-Nya yang sudah sejak dulu dan sesuai dengan yang telah Dia tulis di Loh Mahfuz. Ini berdasarkan firman Allah taala, “Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan takdir.” (QS. Al-Qamar: 49).

“Siapa saja yang Allah inginkan untuk Dia beri petunjuk, maka akan Dia lapangkan dadanya untuk Islam. Siapa saja yang Dia inginkan untuk Dia sesatkan, maka Dia akan jadikan dadanya sempit dan berat.” (QS. Al-An’am: 125).

Allah menetapkan terwujudnya hidayah dan kesesatan dengan kehendak-Nya.

الرَّابِعُ: أَنَّ كُلَّ شَيۡءٍ فِي السَّمَوَاتِ وَالۡأَرۡضِ مَخۡلُوقٌ لِلهِ تَعَالَى لَا خَالِقَ غَيۡرَهُ وَلَا رَبَّ سِوَاهُ لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿وَخَلَقَ كُلَّ شَىۡءٍ فَقَدَّرَهُۥ تَقۡدِيرًا﴾ [الفرقان: ٢]، وَقَالَ عَلَى لِسَانِ إِبۡرَاهِيمَ: ﴿وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ﴾ [الصافات: ٩٦].

Bahwa segala sesuatu di langit dan bumi adalah makhluk milik Allah taala. Tidak ada pencipta selain Dia dan tidak ada Tuhan selain Dia. Ini berdasarkan firman Allah taala, “Dia menciptakan segala sesuatu dan menetapkan takdirnya.” (QS. Al-Furqan: 2).

Allah berfirman melalui lisan Ibrahim, “Allah menciptakan kalian dan apa saja yang kalian kerjakan.” (QS. Ash-Shaffat: 96).

[2] الۡقَدَرُ لَيۡسَ حُجَّةً لِلۡعَاصِي عَلىَ فِعۡلِ الۡمَعۡصِيَةِ:

Takdir bukan alasan bagi pelaku maksiat untuk melakukan kemaksiatannya.

أَفۡعَالُ الۡعِبَادِ كُلُّهَا مِنۡ طَاعَاتٍ وَمَعَاصٍ كُلُّهَا مَخۡلُوقَةٌ لِلهِ كَمَا سَبَقَ، وَلَكِنۡ لَيۡسَ ذٰلِكَ حُجَّةً لِلۡعَاصِي عَلَى فِعۡلِ الۡمَعۡصِيَةِ.

وَذٰلِكَ لِأَدِلَّةٍ كَثِيرَةٍ مِنۡهَا:

Perbuatan para hamba, seluruhnya, baik ketaatan atau kemaksiatan, seluruhnya diciptakan Allah sebagaimana telah disebutkan. Tetapi itu bukan alasan untuk orang yang bermaksiat untuk melakukan kemaksiatan. Hal itu berdasarkan dalil yang banyak. Di antaranya:

١ - أَنَّ اللهَ أَضَافَ عَمَلَ الۡعَبۡدِ إِلَيۡهِ وَجَعَلَهُ كَسۡبًا لَهُ فَقَالَ: ﴿ٱلۡيَوۡمَ تُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسٍۭ بِمَا كَسَبَتۡ ﴾ [غافر: ١٧] وَلَوۡ لَمۡ يَكُنۡ لَهُ اخۡتِيَارٌ فِي الۡفِعۡلِ وَقُدۡرَةٌ عَلَيۡهِ مَا نُسِبَ إِلَيۡهِ.

1. Bahwa Allah menyandarkan amalan hamba kepadanya dan menjadikannya sebagai usahanya. Allah berfirman, “Pada hari ini setiap jiwa akan dibalas dengan apa yang telah diusahakan.” (QS. Ghafir: 17).

Andai dia tidak memiliki ikhtiar dalam perbuatannya dan tidak memiliki kemampuan melakukannya, niscaya tidak akan disandarkan kepadanya.

٢ - أَنَّ اللهَ أَمَرَ الۡعَبۡدَ وَنَهَاهُ وَلَمۡ يُكَلِّفۡهُ إِلَّا مَا يَسۡتَطِيعُ لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا﴾ [البقرة: ٢٨٦]، ﴿فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ﴾ [التغابن: ١٦] وَلَوۡ كَانَ مَجۡبُورًا عَلَى الۡعَمَلِ مَا كَانَ مُسۡتَطِيعًا عَلَى الۡفِعۡلِ أَوِ الۡكَفِّ لِأَنَّ الۡمَجۡبُورَ لَا يَسۡتَطِيعُ التَّخَلُّصَ.

2. Bahwa Allah memerintahkan hamba dan melarangnya, serta tidak membebaninya kecuali apa yang dia mampu. Ini berdasarkan firman Allah taala, “Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sebatas kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).

“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16).

Andai hamba dipaksa dalam amalan, maka dia bukan orang yang mampu untuk berbuat atau tidak berbuat. Karena orang yang dipaksa tidak mampu lepas darinya.

٣ - أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ يَعۡلَمُ الۡفَرۡقَ بَيۡنَ الۡعَمَلِ الۡاِخۡتِيَارِي وَالۡإِجۡبَارِي وَأَنَّ الۡأَوَّلَ يَسۡتَطِيعُ التَّخَلُّصَ مِنۡهُ.

3. Bahwa setiap orang mengetahui perbedaan antara amalan yang diusahakan dengan amalan yang dipaksakan. Amalan yang diusahakan adalah amalan yang sebenarnya mampu untuk dia lepas darinya.

٤ - أَنَّ الۡعَاصِيَ قَبۡلَ أَنۡ يُقَدِّمَ عَلَى الۡمَعۡصِيَةِ لَا يَدۡرِي مَا قُدِّرَ لَهُ، وَهُوَ بِاسۡتِطَاعَتِهِ أَنۡ يَفۡعَلَ أَوۡ يَتۡرُكَ فَكَيۡفَ يَسۡلُكُ الطَّرِيقَ الۡخَطَأَ وَيَحۡتَجُّ بِالۡقَدَرِ الۡمَجۡهُولِ، أَلَيۡسَ مِنَ الۡأَحۡرَى أَنۡ يَسۡلُكَ الطَّرِيقَ الصَّحِيحَ وَيَقُولُ هَٰذَا مَا قُدِّرَ لِي؟.

4. Bahwa orang yang bermaksiat sebelum dia maju melakukan kemaksiatan, dia tidak tahu apa yang ditakdirkan untuknya. Dia dengan kemampuannya, mampu berbuat atau meninggalkan. Lalu bagaimana dia menempuh jalan yang keliru dan beralasan dengan takdir yang tidak diketahui.

Bukankah lebih pantas dia menempuh jalan yang benar dan mengatakan: Inilah yang ditakdirkan untukku?!

٥ - أَنَّ اللهَ أَخۡبَرَ أَنَّهُ أَرۡسَلَ الرُّسُلَ لِقَطۡعِ الۡحُجَّةِ: ﴿لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةٌۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِ﴾ [النساء: ١٦٥] وَلَوۡ كَانَ الۡقَدَرُ حُجَّةً لِلۡعَاصِي لَمۡ تَنۡقَطِعۡ بِإِرۡسَالِ الرُّسُلِ.

5. Bahwa Allah mengabarkan bahwa Dia telah mengutus para rasul untuk memutus alasan itu.

“Agar tidak ada alasan bagi manusia terhadap Allah setelah diutusnya para rasul.” (QS. An-Nisa`: 165).

Andai takdir boleh menjadi alasan bagi orang yang bermaksiat, niscaya alasan ini tidak terhenti dengan diutusnya para rasul.

[3] التَّوۡفِيقُ بَيۡنَ كَوۡنِ فِعۡلِ الۡعَبۡدِ مَخۡلُوقًا لِلهِ وَكَوۡنِهِ كَسۡبًا لِلۡفَاعِلِ:

Pemaduan antara pernyataan bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan Allah dengan pernyataan bahwa perbuatan hamba adalah upaya dari si pelaku:

عَرَفۡتَ مِمَّا سَبَقَ أَنَّ فِعۡلَ الۡعَبۡدِ مَخۡلُوقٌ لِلهِ وَأَنَّهُ كَسۡبٌ لِلۡعَبۡدِ يُجَازَى عَلَيۡهِ الۡحَسَنُ بِأَحۡسَنَ وَالسَّيِّئُ بِمِثۡلِهِ فَكَيۡفَ نُوَفِّقُ بَيۡنَهُمَا؟ .

Engkau sudah mengetahui dari pembahasan yang telah lalu bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan Allah yang kelak akan dibalas. Perbuatan yang baik dengan balasan yang lebih baik. Perbuatan yang jelek dengan balasan yang semisal dengannya. Lalu bagaimana memadukan keduanya?

التَّوۡفِيقُ بَيۡنَهُمَا: أَنَّ وَجۡهَ كَوۡنِ فِعۡلِ الۡعَبۡدِ مَخۡلُوقًا لِلهِ تَعَالَى أَمۡرَانِ:

Pemaduan antara keduanya adalah bahwa sisi pernyataan bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan Allah taala ada dua perkara:

الۡأَوَّلُ: أَنَّ فِعۡلَ الۡعَبۡدِ مِنۡ صِفَاتِهِ وَالۡعَبۡدَ وَصِفَاتَهُ مَخۡلُوقَانِ لِلهِ تَعَالَى.

Pertama: Bahwa perbuatan hamba adalah termasuk sifatnya. Hamba dan sifatnya, keduanya adalah ciptaan Allah taala.

الثَّانِي: أَنَّ فِعۡلَ الۡعَبۡدِ صَادِرٌ عَنۡ إِرَادَةٍ قَلۡبِيَّةٍ وَقُدۡرَةٍ بَدَنِيَّةٍ، وَلَوۡلَاهُمَا لَمۡ يَكُنۡ فِعۡلٌ وَالَّذِي خَلَقَ هَٰذِهِ الۡإِرَادَةَ وَالۡقُدۡرَةَ هُوَ اللهُ تَعَالَى وَخَالِقُ السَّبَبِ خَالِقُ الۡمُسَبَّبِ،

Kedua: Perbuatan hamba muncul dari keinginan hati dan kemampuan badan. Jika tidak karena keduanya, niscaya perbuatan itu tidak terjadi. Yang menciptakan keinginan dan kemampuan ini adalah Allah taala. Pencipta sebab adalah pencipta akibat.

فَنِسۡبَةُ فِعۡلِ الۡعَبۡدِ إِلَى خَلۡقِ اللهِ لَهُ نِسۡبَةُ مُسَبَّبٍ إِلَى سَبَبٍ لَا نِسۡبَةٌ مُبَاشَرَةٌ؛ لِأَنَّ الۡمُبَاشِرَ حَقِيقِةً هُوَ الۡعَبۡدُ، فَلِذٰلِكَ نُسِبَ الۡفِعۡلُ إِلَيۡهِ كَسۡبًا وَتَحۡصِيلًا وَنُسِبَ إِلَى اللهِ خَلۡقًا وَتَقۡدِيرًا، فَلِكُلٍّ مِنَ النِّسۡبَتَيۡنِ اعۡتِبَارٌ وَاللهُ أَعۡلَمُ.

Penyandaran perbuatan hamba kepada penciptaan Allah adalah penyandaran musabab kepada sebab, bukan penyandaran secara langsung. Karena hakikat pelaku langsung perbuatan hamba adalah hamba tersebut. Oleh karena itu, perbuatan disandarkan kepadanya dari sisi upaya dan usaha. Disandarkan kepada Allah dari sisi penciptaan dan takdir. Masing-masing dari dua penyandaran ini ada ungkapannya masing-masing. Wallahualam.

الۡمُخَالِفُونَ لِلۡحَقِّ فِي الۡقَضَاءِ وَالۡقَدَرِ وَالرَّدُّ عَلَيۡهِمۡ:

Para penyelisih kebenaran dalam hal qada dan qadar serta bantahan terhadap mereka:

الۡمُخَالِفُونَ لِلۡحَقِّ فِي الۡقَضَاءِ وَالۡقَدَرِ طَائِفَتَانِ:

Yang menyelisihi kebenaran dalam qada dan qadar ada dua kelompok:

الطَّائِفَةُ الۡأُولَى: الۡجَبۡرِيَّةُ:

يَقُولُونَ الۡعَبۡدُ مَجۡبُورٌ عَلَى فِعۡلِهِ وَلَيۡسَ لَهُ اخۡتِيَارٌ فِي ذٰلِكَ.

وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِأَمۡرَيۡنِ:

Kelompok pertama adalah Jabriyyah. Mereka berpendapat bahwa hamba dipaksa dalam perbuatannya dan dia tidak punya ikhtiar dalam hal itu. Kita bantah mereka dengan dua perkara:

١ - أَنَّ اللهَ أَضَافَ عَمَلَ الۡإِنۡسَانِ إِلَيۡهِ وَجَعَلَهُ كَسۡبًا لَهُ يُعَاقَبُ وَيُثَابُ بِحَسۡبِهِ، وَلَوۡ كَانَ مَجۡبُورًا عَلَيۡهِ مَا صَحَّ نِسۡبَتُهُ إِلَيۡهِ وَلَكَانَ عِقَابُهُ عَلَيۡهٍ ظُلۡمًا.

1. Bahwa Allah manyandarkan amalan manusia kepadanya dan menjadikannya sebagai usahanya. Dia akan dihukum atau diberi pahala sesuai perbuatannya. Andai manusia dipaksa, niscaya tidak benar penyandaran itu kepadanya dan hukuman terhadapnya menjadi suatu kezaliman.

٢ - أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ يَعۡرِفُ الۡفَرۡقَ بَيۡنَ الۡفِعۡلِ الۡاِخۡتِيَارِيِّ وَالۡاِضۡطِرَارِيِّ فِي الۡحَقِيقَةِ وَالۡحُكۡمِ،

2. Bahwa setiap orang mengetahui perbedaan antara perbuatan yang diusahakan dengan yang dipaksakan, dalam hal hakikat dan hukumnya

فَلَوۡ اعۡتَدَى شَخۡصٌ عَلَى آخَرَ وَادَّعَى أَنَّهُ مَجۡبُورٌ عَلَى ذٰلِكَ بِقَضَاءِ اللهِ وَقَدَرِهِ لَعُدَّ ذٰلِكَ سَفَهًا مُخَالِفًا لِلۡمَعۡلُومِ بِالضَّرُورَةِ.

Andai ada seseorang yang mengganggu orang lain dan mengaku bahwa dirinya dipaksa melakukan itu dengan qada dan qadar Allah, niscaya orang itu dianggap orang yang bodoh karena menyelisihi hal yang sudah diketahui secara pasti.

الطَّائِفَةُ الثَّانِيَةُ: الۡقَدَرِيَّةُ:

يَقُولُونَ الۡعَبۡدُ مُسۡتَقِلٌّ بِعَمَلِهِ لَيۡسَ لِلهِ فِيهِ إِرَادَةٌ وَلَا قُدۡرَةٌ وَلَا خَلۡقٌ.

وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِأَمۡرَيۡنِ:

Kelompok kedua: Qadariyyah. Mereka berpendapat bahwa hamba bebas lepas dalam amalannya. Tidak ada keinginan Allah, takdir-Nya, dan penciptaan-Nya dalam amalannya itu. Kita bantah mereka dengan dua perkara:

١ - أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿ٱللَّهُ خَـٰلِقُ كُلِّ شَىۡءٍ﴾ [الزمر: ٦٢]، ﴿وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ﴾ [الصافات: ٩٦].

1. Hal itu menyelisihi firman Allah taala, “Allah adalah pencipta segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar: 62).

“Allah menciptakan kalian dan yang kalian kerjakan.” (QS. Ash-Shaffat: 96).

٢ - أَنَّ اللهَ مَالِكُ السَّمَوَاتِ وَالۡأَرۡضِ. فَكَيۡفَ يَكُونُ فِي مُلۡكِهِ مَا لَا تَتَعَلَّقُ بِهِ إِرَادَتُهُ وَخَلۡقُهُ؟.

2. Bahwa Allah penguasa langit dan bumi. Bagaimana bisa ada di dalam kekuasaan-Nya sesuatu yang tidak tergantung kepada keinginan dan penciptaan-Nya?!

أَقۡسَامُ الۡإِرَادَةِ وَالۡفَرۡقِ بَيۡنَهُمَا:

Pembagian keinginan Allah dan perbedaannya:

إِرَادَةُ اللهِ تَنۡقَسِمُ إِلَى قِسۡمَيۡنِ كَوۡنِيَّةٌ وَشَرۡعِيَّةٌ:

Keinginan Allah terbagi menjadi dua, yaitu kauniyyah dan syar’iyyah:

فَالۡكَوۡنِيَّةُ: هِيَ الَّتِي بِمَعۡنَى الۡمَشِيئَةِ كَقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهۡدِيَهُۥ يَشۡرَحۡ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَـٰمِ ۖ وَمَن يُرِدۡ أَن يُضِلَّهُۥ يَجۡعَلۡ صَدۡرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجًا﴾ [الأنعام: ١٢٥].

Iradat kauniyyah adalah semakna dengan masyi`ah, seperti firman Allah taala, “Siapa saja yang Allah inginkan untuk Dia beri petunjuk niscaya Dia lapangkan dadanya kepada Islam. Siapa saja yang Allah inginkan untuk disesatkan, niscaya Dia jadikan dadanya sempit dan berat.” (QS. Al-An’am: 125).

وَالشَّرۡعِيَّةُ: هِيَ الَّتِي بِمَعۡنَى الۡمَحَبَّةِ كَقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿وَٱللَّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيۡكُمۡ﴾ [النساء: ٢٧].

Iradat syar’iyyah, yaitu yang semakna dengan mahabah seperti firman Allah taala, “Dan Allah ingin untuk memberi tobat kepada kalian.” (QS. An-Nisa`: 27).

وَالۡفَرۡقُ بَيۡنَهُمَا: أَنَّ الۡكَوۡنِيَّةَ يُلۡزِمُ فِيهَا وُقُوعَ الۡمُرَادِ وَلَا يُلۡزِمُ أَنۡ يَكُونَ مَحۡبُوبًا لِلهِ، وَأَمَّا الشَّرۡعِيَّةُ فَيُلۡزِمُ أَنۡ يَكُونَ الۡمُرَادُ فِيهَا مَحۡبُوبًا لِلهِ وَلَا يُلۡزِمُ وُقُوعَهُ.

Perbedaan antara keduanya adalah bahwa iradat kauniyyah mengharuskan terjadinya yang diinginkan namun tidak mengharuskan hal itu disukai oleh Allah. Adapun iradat syar’iyyah mengharuskan hal yang diinginkan merupakan sesuatu yang dicintai oleh Allah, namun tidak melazimkan terwujudnya hal itu.