Cari Blog Ini

Syarh Sittah Mawadhi' min As-Sirah - Peristiwa Keempat

Syekh Muhammad bin 'Abdul Wahhab rahimahullah di dalam kitab Sittah Mawadhi' min As-Sirah berkata:

الۡمَوۡضِعُ الرَّابِعُ: قِصَّةُ أَبِي طَالِبٍ، فَمَنۡ فَهِمَهَا حَسَنًا وَتَأَمَّلَ إِقۡرَارَهُ بِالتَّوۡحِيدِ، وَحَثَّ النَّاسِ عَلَيۡهِ، وَتَسۡفِيهَ عُقُولِ الۡمُشۡرِكِينَ، وَمَحَبَّتَهُ لِمَنۡ أَسۡلَمَ وَخَلَعَ الشِّرۡكَ، ثُمَّ بَذَلَ عُمۡرَهُ وَمَالَهُ وَأَوۡلَادَهُ وَعَشِيرَتَهُ فِي نُصۡرَةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ إِلَى أَنۡ مَاتَ. ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى الۡمَشَقَّةِ الۡعَظِيمَةِ وَالۡعَدَاوَةِ الۡبَالِغَةِ، لَكِنۡ لَمَّا لَمۡ يَدۡخُلۡ فِيهِ وَلَمۡ يَتَبَرَّأۡ مِنۡ دِينِهِ الۡأَوَّلِ لَمۡ يَصِرۡ مُسۡلِمًا، مَعَ أَنَّهُ يَعۡتَذِرُ مِنۡ ذٰلِكَ بِأَنَّ فِيهِ مسَبَّةً لِأَبِيهِ عَبۡدِ الۡمُطَّلِبِ وَلِهَاشِمٍ وَغَيۡرِهِمَا مِنۡ مَشَايِخِهِمۡ. 

Peristiwa keempat: Kisah Abu Thalib. Siapa saja yang memahaminya dengan baik dan memperhatikan 
  • pengakuannya terhadap tauhid, 
  • anjurannya kepada manusia agar bertauhid, 
  • sikap beliau yang membodoh-bodohkan akal orang-orang musyrik, 
  • kecintaan beliau kepada orang yang masuk Islam dan lepas dari kesyirikan, 
  • beliau menghabiskan umur, harta, anak-anak, dan kerabatnya untuk menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai meninggal, 
  • sikap beliau yang menyabarkan Rasulullah terhadap kesulitan yang besar dan permusuhan yang memuncak.[1]
Akan tetapi ketika Abu Thalib tidak masuk Islam dan tidak berlepas diri dari agamanya yang dahulu, maka dia tidak menjadi seorang muslim. Meskipun dia beralasan dengan apabila dia masuk Islam, maka akan mencoreng kehormatan ayahnya—yaitu ‘Abdul Muththalib—dan Hasyim, serta selain keduanya dari para tokoh leluhur mereka.[2]

ثُمَّ مَعَ قَرَابَتِهِ وَنُصۡرَتِهِ اسۡتَغۡفَرَ لَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ، فَأَنۡزَلَ اللهُ تَعَالَى عَلَيۡهِ: ﴿مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسۡتَغۡفِرُوا۟ لِلۡمُشۡرِكِينَ وَلَوۡ كَانُوٓا۟ أُو۟لِى قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَحِيمِ﴾ [التوبة: ١١٣]. 

Kemudian karena hubungan kekerabatan dan pembelaan Abu Thalib ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan ampunan untuknya. Lalu Allah taala menurunkan ayat kepada beliau yang artinya, “Tidak patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113).[3]

وَالَّذِي يُبَيِّنُ هَٰذَا أَنَّهُ إِذَا عُرِفَ رَجُلٌ مِنۡ أَهۡلِ الۡبَصۡرَةِ أَوِ الۡأَحۡسَاءِ بِحُبِّ الدِّينِ وَبِحُبِّ الۡمُسۡلِمِينَ، مَعَ أَنَّهُ لَمۡ يَنۡصُرِ الدِّينَ بِيَدٍ وَلَا مَالٍ وَلَا لَهُ مِنَ الۡأَعۡذَارِ مِثۡلُ مَا لِأَبِي طَالِبٍ، وَفَهِمَ الۡوَاقِعَ مِنۡ أَكۡثَرَ مَنۡ يَدَّعِي الدِّينَ، تَبَيَّنَ لَهُ الۡهُدَى مِنَ الضَّلَالِ، وَعَرَفَ سُوءَ الۡأَفۡهَامُ، وَاللهُ الۡمُسۡتَعَانُ. 

Dan yang lebih memperjelas ini adalah apabila 
  • ada seseorang dari penduduk Bashrah atau Ahsa` yang dikenal mencintai agama Islam dan mencintai kaum muslimin, namun dia tidak menolong agama dengan tangan dan harta. Dia juga tidak memiliki uzur semisal uzur yang dimiliki Abu Thalib. 
  • dia memahami kenyataan berupa banyaknya orang yang mengaku-aku mengerti agama 
maka akan jelas baginya petunjuk dari kesesatan dan dia akan mengerti buruknya pemahaman (sebagian kaum muslimin terhadap agamanya). Allah lah yang dimintai pertolongan.[4]


Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah di dalam Syarh Sittah Mawadhi' min As-Sirah berkata:

[1] أَبُو طَالِبٍ عَمُّ الرَّسُولِ ﷺ، لَمَّا تُوُفِّيَ وَالِدُ الرَّسُولِ ﷺ عَبۡدُ اللهِ بۡنُ عَبۡدِ الۡمُطَّلِبِ، وَالرَّسُولُ ﷺ حَمۡلٌ فِي بَطۡنِ أُمِّهِ، ثُمَّ لَمَّا وُلِدَ ﷺ كَفَلَهُ جَدُّهُ عَبۡدُ الۡمُطَّلِبِ؛ لِأَنَّهُ أَصۡبَحَ يَتِيمًا فَكَفَلَهُ جَدُّهُ عَبۡدُ الۡمُطَّلِبِ، ثُمَّ لَمَّا حَضَرَتۡ عَبۡدَ الۡمُطَّلِبِ الۡوَفَاةُ أَوۡصَى بِهِ إِلَى ابۡنِهِ أَبِي طَالِبٍ، وَأَبُو طَالِبٍ قَامَ بِالۡوَاجِبِ وَحَضَنَ النَّبِيَّ ﷺ وَرَبَّاهُ وَأَكۡرَمَهُ. 

Abu Thalib adalah paman Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Ketika ayah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—yaitu ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib wafat, Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—masih berada di dalam kandungan ibunya. Kemudian ketika beliau—shallallahu ‘alaihi wa sallam—telah lahir, beliau diasuh oleh kakeknya, yaitu ‘Abdul Muththalib, karena beliau menjadi anak yatim. Jadi, kakeknya, yaitu ‘Abdul Muththalib, mengasuh beliau. Kemudian ketika ‘Abdul Muththalib wafat, dia mewasiatkan agar Rasulullah diasuh oleh putranya, yaitu Abu Thalib. Maka, Abu Thalib menunaikan kewajiban, mengasuh Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, mendidiknya, dan memuliakannya. 

ثُمَّ لَمَّا بَعَثَهُ اللهُ رَسُولًا إِلَى الۡعَالَمِينَ قَامَ مَعَهُ يَحۡمِيهِ وَيُدَافِعُ عَنۡهُ، وَلَقِيَ الۡأَذَى مِنۡ قُرَيۡشٍ فِي سَبِيلِ حِمَايَةِ دَعۡوَةِ الرَّسُولِ ﷺ وَالدِّفَاعِ عَنۡهُ، وَعَرَّضَ نَفۡسَهُ لِلۡخَطَرِ وَالۡمَجَاعَةِ، حَتَّى إِنَّهُمۡ حَاصَرُوهُمۡ فِي الشَّعۡبِ سِنِينَ وَقَاطَعُوهُمۡ، وَقَطَعُوا عَنۡهُمُ الۡمُؤَنَ، وَقَطَعُوا عَنۡهُمُ الۡاِتِّصَالَ، وَمَعَهُمۡ أَبُو طَالِبٍ وَصَبَرَ عَلَى هَٰذَا، وَكَانَ يَمۡدَحُ دِینَ الرَّسُولِ ﷺ وَيَقُولُ: 

وَلَقَدۡ عَلِمۡتُ بِأَنَّ دِینَ مُحَمَّدٍ مِنۡ خَيۡرِ أَدۡيَانِ الۡبَرِيَّةِ دِينَا 

لَوۡلَا الۡمَلَامَةُ أَوۡ حِذَارُ مَسَبَّةٍ لَرَأَيۡتَنِي سَمۡحًا بِذَاكَ مُبِينَا 

Kemudian ketika Allah mengutusnya menjadi rasul kepada alam semesta, Abu Thalib berada di pihak beliau, menjaganya, dan membelanya. Abu Thalib juga mengalami gangguan dari orang musyrik Quraisy ketika dia menjaga dakwah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan membelanya. Abu Thalib mengajukan dirinya menghadapi bahaya dan kelaparan. Bahkan sampai orang-orang musyrik Quraisy mengepung mereka di sebuah lembah antara dua gunung selama beberapa tahun dan mengembargo mereka. Orang-orang musyrik memutus barang kebutuhan pokok dan hubungan dari kaum muslimin dalam keadaan Abu Thalib bersama kaum muslimin. Beliau sabar menanggung penderitaan ini dan beliau pernah memuji agama Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—serta berkata, “Sungguh aku mengetahui bahwa agama Muhammad merupakan agama terbaik yang dianut manusia. Kalau bukan karena celaan atau takut hinaan, niscaya engkau akan melihatku mengikutinya dengan lapang dada dan terang-terangan.” 

وَفِي لَامِيَتِهِ الۡمَشۡهُورَةِ الطَّوِيلَةِ الَّتِي أَوۡرَدَهَا ابۡنُ كَثِيرٍ فِي الۡبِدَايَةِ وَالنِّهَايَةِ اعۡتَرَفَ بِأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَأَنَّهُ صَادِقٌ فِي رِسَالَتِهِ، وَأَنَّهُ لَمۡ يَمۡنَعۡهُ مِنِ اتِّبَاعِهِ إِلَّا خَشۡيَهُ مَسَبَّةِ دِينِ آبَائِهِ الَّذِينَ كَانُوا عَلَى عِبَادَةِ الۡأَصۡنَامِ، فَأَخَذَتۡهُ الۡحَمِيَّةُ الۡجَاهِلِيَّةُ فِي امۡتِنَاعِهِ مِنِ اتِّبَاعِ مُحَمَّدٍ ﷺ لِئَلَّا يَجُرَّ عَلَى أَشۡيَاخِهِ الۡمَسَبَّةَ. 

Di dalam kasidah Lamiyah Abu Thalib yang terkenal dan panjang, yang dibawakan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab Al-Bidayah wan-Nihayah, Abu Thalib mengakui bahwa Muhammad adalah rasul Allah dan bahwa Muhammad adalah orang yang benar dalam kerasulannya. Disebutkan pula dalam kasidah tersebut bahwa tidak ada yang menghalangi Abu Thalib dari mengikuti Muhammad kecuali takut menghina agama leluhurnya yang adat mereka adalah menyembah berhala-berhala. Jadi fanatisme kejahiliahan membuatnya terhalang dari mengikuti Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—agar tidak mengakibatkan penghinaan terhadap para tetuanya. 

ثُمَّ لَمَّا حَضَرَتۡهُ الۡوَفَاةُ جَاءَهُ النَّبِيُّ ﷺ وَعِنۡدَهُ أَبُو جَهۡلٍ وَعِنۡدَهُ آخَرُ مِنۡ بَنِي مَخۡزُومٍ، فَالرَّسُولُ ﷺ قَالَ لَهُ: (يَا عَمِّ، قُلۡ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنۡدَ اللهِ) فَقَالَ لَهُ أَبُو جَهۡلٍ وَمَنۡ مَعَهُ: أَتَتۡرُكُ دِينَ عَبۡدِ الۡمُطَّلِبِ؟ فَأَعَادَ عَلَيۡهِ الرَّسُولُ، فَأَعَادَا: أَتَتۡرُكُ دِينَ عَبۡدِ الۡمُطَّلِبِ؟ ثُمَّ كَانَ آخِرُ مَا قَالَ: هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبۡدِ الۡمُطَّلِبِ. وَمَاتَ عَلَى ذٰلِكَ. 

Kemudian ketika menjelang wafatnya Abu Thalib, Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—mendatanginya. Ketika itu ada Abu Jahl dan satu orang lagi dari bani Makhzum di dekat Abu Thalib. 

Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—berkata kepada Abu Thalib, “Wahai pamanku, katakanlah: Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah. Satu kalimat yang aku bisa beralasan dengannya di sisi Allah.” 

Abu Jahl dan yang bersamanya berkata kepada Abu Thalib, “Apakah engkau akan meninggalkan agama ‘Abdul Muththalib?” 

Rasulullah mengulang ucapan beliau. Abu Jahl dan temannya juga mengulangi, “Apakah engkau akan meninggalkan agama ‘Abdul Muththalib?” 

Ternyata akhir ucapan Abu Thalib adalah bahwa beliau tetap di atas agama ‘Abdul Muththalib dan meninggal dalam keadaan demikian. 

فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (لَأَسۡتَغۡفِرَنَّ لَكَ مَا لَمۡ أُنۡهَ عَنۡكَ) فَأَنۡزَلَ اللهُ تَعَالَی: ﴿مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسۡتَغۡفِرُوا۟ لِلۡمُشۡرِكِينَ وَلَوۡ كَانُوٓا۟ أُو۟لِى قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَحِيمِ﴾ [التوبة: ۱۱۳]. وَأَنۡزَلَ فِي أَبِي طَالِبٍ: ﴿إِنَّكَ لَا تَهۡدِى مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ﴾ [القصص: ٥٦]. 

Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Aku pasti akan memintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang.” 

Lalu Allah taala menurunkan ayat, “Tidak patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan untuk orang-orang musyrik, walaupun mereka memiliki hubungan kekerabatan, setelah nyata bagi mereka bahwa mereka adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113). (HR. Al-Bukhari 1360, 3884, 4675, 4772, 5657, 6681, dan Muslim nomor 24). 

Allah juga menurunkan ayat tentang Abu Thalib, “Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai. Akan tetapi Allah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash: 56). 

فَدَلَّ هَٰذَا عَلَى أَنَّ مَدۡحَ الۡإِسۡلَامِ وَمَدۡحَ الرَّسُولِ، وَاعۡتِقَادَ أَنَّ الۡإِسۡلَامَ حَقٌّ وَأَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ مِنۡ غَيۡرِ اتِّبَاعٍ لِلرَّسُولِ، أَنَّ ذٰلِكَ لَا يَنۡفَعُ، وَأَنَّهُ لَا بُدَّ مِنِ اتِّبَاعِ الرَّسُولِ ﷺ؛ لِأَنَّ هَٰذَا لَوۡ كَانَ يَنۡفَعُ لَنَفَعَ أَبَا طَالِبٍ، فَإِنَّ الۡإِقۡرَارَ بِأَنَّ الۡإِسۡلَامَ حَقٌّ وَأَنَّ الرَّسُولَ صَادِقٌ، مَعَ الۡمُدَافَعَةِ عَنِ الۡإِسۡلَامِ وَحِمَايَةِ الۡإِسۡلَامِ، كُلُّ هَٰذَا لَا يَنۡفَعُ إِلَّا مَعَ الۡاِتِّبَاعِ، وَإِلَّا فَإِنَّ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: (إِنَّ اللهَ يُؤَيِّدُ هَٰذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الۡفَاجِرِ). 

Ini menunjukkan bahwa pujian kepada Islam, pujian kepada Rasulullah, keyakinan bahwa Islam adalah benar dan Rasulullah benar, namun tidak mengikuti Rasulullah, maka itu semua tidaklah bermanfaat. Harus ada sikap mengikuti Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—karena andai perbuatan tadi bermanfaat, niscaya akan memberi manfaat kepada Abu Thalib. 

Pengakuan bahwa Islam benar, Rasulullah benar, disertai pembelaan terhadap Islam dan penjagaan terhadap Islam, semua itu tidak bermanfaat kecuali disertai sikap mengikuti Rasulullah. 

Kalau tanpa mengikuti Rasulullah akan bermanfaat, niscaya Abu Thalib akan mendapat manfaatnya. Namun ternyata tidak, sementara Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Sesungguhnya Allah bisa saja menguatkan agama ini melalui pelaku kemaksiatan.” (HR. Al-Bukhari nomor 3062, 4204, 6606, dan Muslim nomor 111). 

فَلَا بُدَّ مِنَ الۡاِتِّبَاعِ، فَلَا تَنۡفَعُ الۡمُعَاوَنَةُ وَالۡمَدۡحُ وَالۡحِمَايَةُ لِلۡإِسۡلَامِ وَغَيۡرُ ذٰلِكَ، وَلَا الۡقَرَابَةُ مِنَ الرَّسُولِ بِدُونِ اتِّبَاعٍ لَهُ، فَهَٰذَا عَمُّ الرَّسُولِ ﷺ لَمَّا مَاتَ عَلَى الۡكُفۡرِ لَمۡ يَنۡفَعۡهُ الرَّسُولُ ﷺ بِإِخۡرَاجِهِ مِنَ النَّارِ رَغۡمَ الۡمُحَاوَلَةِ، وَمَنَعَهُ اللهُ مِنَ الۡاِسۡتِغۡفَارِ لَهُ، وَقَالَ: ﴿إِنَّكَ لَا تَهۡدِى مَنۡ أَحۡبَبۡتَ﴾ وَقَالَ: ﴿مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن يَسۡتَغۡفِرُوا۟ لِلۡمُشۡرِكِينَ وَلَوۡ كَانُوٓا۟ أُو۟لِى قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّهُمۡ أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَحِيمِ﴾ [التوبة: ۱۱۳]. 

Jadi harus ada sikap ittiba’ (mengikuti Rasul). Pertolongan, pujian, penjagaan terhadap Islam dan sikap selain itu, serta hubungan kekerabatan dengan Rasulullah, tidak memberi manfaat bagi dirinya apabila tidak mengikuti beliau. Contohnya paman Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—ini. Ketika dia mati dalam keadaan kafir, maka Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tidak bisa memberi manfaat kepadanya untuk bisa mengeluarkannya dari neraka, meski sudah berusaha. Allah melarang beliau untuk memintakan ampunan untuknya dan berfirman, “Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi petunjuk siapa saja yang engkau cintai.” Dan Allah berfirman, “Tidak patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan untuk orang-orang musyrik, walaupun mereka adalah orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan setelah nyata bahwa mereka merupakan penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113). 

وَاللهُ -جَلَّ وَعَلَا- يَقُولُ: ﴿قَالَ عَذَابِىٓ أُصِيبُ بِهِۦ مَنۡ أَشَآءُ ۖ وَرَحۡمَتِى وَسِعَتۡ كُلَّ شَىۡءٍ ۚ فَسَأَكۡتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَو‌ٰةَ وَٱلَّذِينَ هُم بِـَٔايَـٰتِنَا يُؤۡمِنُونَ ۝١٥٦ ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلرَّسُولَ ٱلنَّبِىَّ ٱلۡأُمِّىَّ ٱلَّذِى يَجِدُونَهُۥ مَكۡتُوبًا عِندَهُمۡ فِى ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ يَأۡمُرُهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَىٰهُمۡ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَـٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡخَبَـٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنۡهُمۡ إِصۡرَهُمۡ وَٱلۡأَغۡلَـٰلَ ٱلَّتِى كَانَتۡ عَلَيۡهِمۡ ۚ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلنُّورَ﴾ لَمۡ يَكۡتَفِ بِقَوۡلِهِ: ﴿ءَامَنُوا۟ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ﴾ بَلۡ قَالَ: ﴿وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلنُّورَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ ۙ أُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ﴾ [الأعراف: ١٥٦-١٥٧]. 

Allah—jalla wa ‘ala—berfirman, “Allah berfirman, ‘Azab-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.’ (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang umi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya.” Allah tidak mencukupkan dengan firman-Nya, “beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya,” bahkan Allah melanjutkan, “dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A’raf: 156-157). 

فَهَٰذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَدۡحَ الۡإِسۡلَامِ وَالثَّنَاءَ عَلَى الۡإِسۡلَامِ وَالۡمُسۡلِمِينَ، وَأَنَّهُمۡ عَلَى حَقٍّ وَأَنَّ الۡكُفَّارَ عَلَى بَاطِلٍ، وَأَنَّ الشِّرۡكَ بَاطِلٌ، كُلُّ هَٰذَا لَا يَكۡفِي وَأَنَّهُ لَا بُدَّ مِنَ الۡاِتِّبَاعِ، فَمَنۡ كَانَ يُمۡدِحُ الۡإِسۡلَامَ وَيُثۡنِي عَلَيۡهِ وَيُمۡجِدُهُ، وَهُوَ لَمۡ يَتۡرُكِ الشِّرۡكَ بَلۡ يَدۡعُو غَيۡرَ اللهِ، يَدۡعُو الۡأَصۡنَامَ وَالۡأَضۡرِحَةَ وَالۡقُبُورَ، فَإِنَّ هَٰذِهِ الۡأُمُورَ لَا تَنۡفَعُهُ وَلَا تُفِيدُهُ شَيۡئًا، لَوۡ كَانَتۡ تَنۡفَعُ وَتُفِيدُ لَأَفَادَتۡ أَبَا طَالِبٍ عَمَّ الرَّسُولِ ﷺ. فَهَٰذِهِ مَسۡأَلَةٌ دَقِيقَةٌ يَنۡبَغِي التَّنَبُّهُ لَهَا. 

Ini menunjukkan bahwa pujian terhadap Islam, sanjungan kepada Islam dan kaum muslimin, pernyataan bahwa mereka di atas kebenaran dan bahwa orang-orang kafir di atas kebatilan, serta bahwa kesyirikan adalah batil, semua ini tidak cukup. Harus ada sikap ittiba’ (mengikuti Rasul). 

Jadi siapa saja yang memuji Islam, menyanjungnya, dan memuliakannya, namun dia tidak meninggalkan kesyirikan, bahkan dia berdoa kepada selain Allah, berdoa kepada berhala-berhala dan kuburan-kuburan, maka sungguh perkara-perkara tadi tidak memberi manfaat kepadanya dan tidak memberi faedah sedikit pun kepadanya. Andai perkara tadi bermanfaat dan berfaedah, niscaya akan memberi faedah kepada Abu Thalib paman Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Jadi ini merupakan permasalahan detail yang perlu untuk dicermati. 


[2] هَٰذَا الَّذِي مَنَعَهُ وَهُوَ النَّخۡوَةُ وَالۡعَصَبِيَّةُ الۡجَاهِلِيَّةُ، مَنَعَتۡهُ مِنَ الدُّخُولِ فِي الۡإِسۡلَامِ وَمَاتَ عَلَى الۡكُفۡرِ، مَعَ مَا لَهُ مِنَ الۡمَوَاقِفِ الۡعَظِيمَةِ فِي نُصۡرَةِ الۡحَقِّ وَالدِّفَاعِ عَنۡهُ، وَمَعَ ذٰلِكَ لَمَّا لَمۡ يَتَّبِعِ الرَّسُولَ ﷺ لَمۡ تَنۡفَعۡهُ هَٰذِهِ الۡأُمُورُ، إِلَّا مَا صَحَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنۡهُ مِنۡ عَذَابِ النَّارِ، حَيۡثُ أَصۡبَحَ فِي ضَحۡضَاحِ مِنۡ نَارٍ بِسَبَبِ شَفَاعَةِ النَّبِيِّ ﷺ لَهُ، وَفِي رِوَايَةٍ: (فِي أَخۡمَصِ قَدَمَيۡهِ جَمۡرَتَانِ مِنۡ نَارٍ يَغۡلِي مِنۡهُمَا دِمَاغُهُ، مَا يَرَى أَنَّ أَحَدًا مِنَ النَّارِ أَشَدَّ مِنۡهُ عَذَابًا، وَإِنَّهُ لَأَهۡوَنُهُمۡ عَذَابًا). 

Inilah yang menghalangi Abu Thalib, yaitu harga diri dan fanatisme jahiliah. Ini yang menghalanginya masuk ke dalam agama Islam dan meninggal dalam keadaan kafir, padahal dia memiliki peran yang besar dalam menolong dan membela kebenaran. Walau demikian, ketika dia tidak mengikuti Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, maka perkara-perkara ini tidak bermanfaat untuknya, kecuali telah sahih bahwa azab neraka diringankan darinya. Yaitu dia ditempatkan di neraka yang paling dangkal dengan sebab syafaat Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—untuknya. (HR. Al-Bukhari nomor 6208, 6572, dan Muslim nomor 209). Di dalam riwayat lain, “Dua bara api neraka diletakkan di bagian tengah kedua telapak kakinya sehingga menyebabkan otaknya mendidih. Dia tidak mengira ada seorang yang azab nerakanya lebih dahsyat daripada dia, padahal dia benar-benar yang paling ringan azabnya.” (HR. Al-Bukhari nomor 6561, 6562, dan Muslim nomor 213). 

لَمۡ يَنۡفَعۡهُ ذٰلِكَ فِي إِخۡرَاجِهِ مِنَ النَّارِ، فَلَا يَتَعَارَضُ هَٰذَا مَعَ قَوۡلِهِ تَعَالَى عَنِ الۡكُفَّارِ: ﴿فَمَا تَنفَعُهُمۡ شَفَـٰعَةُ ٱلشَّـٰفِعِينَ﴾ [المدثر: ٤٨] إِنَّمَا نَفَعَهُ فِي التَّخۡفِيفِ عَنۡهُ مِنَ الۡعَذَابِ فَقَطۡ. 

Jasa Abu Thalib itu tidak bermanfaat untuk bisa mengeluarkannya dari neraka. Jadi hal ini tidak bertentangan dengan firman Allah taala tentang orang-orang kafir, “Syafaat dari para pemberi syafaat tidak berguna bagi mereka.” (QS. Al-Muddatstsir: 48). Syafaat Nabi hanya bermanfaat untuk meringankan azabnya saja. 


[3] نَسۡتَفِيدُ مِنۡ هَٰذَا أَنَّهُ لَا يَكۡفِي الۡإِقۡرَارُ بِأَنَّ الۡإِسۡلَامَ حَقٌّ، وَلَا يَكۡفِي الۡمُدَافَعَةُ عَنِ الۡإِسۡلَامِ، وَلَا يَكۡفِي ذَمُّ الشِّرۡكِ وَالۡمُشۡرِكِينَ، كُلُّ هَٰذَا لَا يَكۡفِي إِلَّا بِاتِّبَاعِ الرَّسُولِ ﷺ، فَمَنۡ لَمۡ يَتَّبِعِ الرَّسُولَ ﷺ فَإِنَّ هَٰذِهِ الۡأُمُورَ لَا تَنۡفَعُهُ. 

Kita bisa mengambil faedah dari kisah ini, bahwa tidak cukup pengakuan bahwa agama Islam adalah benar, tidak cukup pembelaan terhadap Islam, tidak cukup mencela kesyirikan dan orang-orang musyrik. Semua ini tidak cukup kecuali dengan sikap mengikuti Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Jadi siapa saja yang tidak mengikuti Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, maka sesungguhnya perkara-perkara ini tidak memberi manfaat kepadanya. 

وَبِنَاءً عَلَى ذٰلِكَ، فَإِنَّ هَٰؤُلَاءِ الَّذِينَ يُصَلُّونَ وَيَصُومُونَ وَيَشۡهَدُونَ أَنۡ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَقَدۡ يُجَاهِدُونَ الۡكُفَّارَ، وَلَٰكِنَّهُمۡ لَا يَتۡرُكُونَ الشِّرۡكَ حَوۡلَ الۡأَضۡرِحَةِ وَالۡقُبُورِ، وَيَسۡتَغِيثُونَ بِالۡأَمۡوَاتِ، وَيَذۡبَحُونَ لِلۡقُبُورِ، فَهَٰؤُلَاءِ لَا يَنۡفَعُهُمۡ ذٰلِكَ؛ لِأَنَّ الشِّرۡكَ لَا يَنۡفَعُ مَعَهُ عَمَلٌ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَلَقَدۡ أُوحِىَ إِلَيۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكَ لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ﴾ [الزمر: ٦٥] مَا دَامَ أَنَّهُ لَمۡ يَتَبَرَّأۡ مِنَ الۡمُشۡرِكِينَ، وَلَمۡ يُقَاطِعۡهُمۡ فِي الدِّينِ، فَإِنَّهُ لَا يَنۡفَعُهُ ذٰلِكَ. 

Berdasarkan hal itu, orang-orang yang salat, siam, bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah, bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah, bahkan terkadang berjihad memerangi orang-orang kafir, namun mereka tidak meninggalkan perbuatan kesyirikan di sekitar kuburan-kuburan, beristigasah untuk orang-orang mati, menyembelih untuk penghuni kubur, maka amalan-amalan tadi tidak bermanfaat bagi mereka, karena amalan yang disertai kesyirikan tidaklah bermanfaat. Sebagaimana firman Allah taala, “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: Jika engkau berbuat syirik, niscaya amalanmu pasti terhapus dan engkau pasti termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65). Jadi selama dia tidak berlepas diri dari orang-orang musyrik dan tidak memutuskan hubungan dengan mereka dalam perkara agama, maka amalannya tidak memberi manfaat untuknya. 


[4] يُقۡصَدُ بِذٰلِكَ الۡعُلَمَاءِ الَّذِينَ فِي وَقۡتِهِ، الَّذِينَ عَرَفُوا الۡحَقَّ وَعَرَفُوا التَّوۡحِيدَ وَعَرَفُوا بُطۡلَانَ الشِّرۡكِ، لَكِنۡ مَعَ هَٰذَا لَمۡ يَقُومُوا بِالدَّعۡوَةِ إِلَى اللهِ وَالۡأَمۡرِ بِالتَّوۡحِيدِ وَالنَّهۡيِ عَنِ الشِّرۡكِ وَالۡإِنۡكَارِ عَلَى الۡمُشۡرِكِينَ، لَمۡ يَقُومُوا بِذٰلِكَ، هَٰؤُلَاءِ مِثۡلُ أَبِي طَالِبٍ؛ لِأَنَّهُمۡ مَا بَذَلُوا الۡخَيۡرَ لِهَٰذَا الدِّينِ، وَلَا دَعَوۡا إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَا بَيَّنُوا لِلنَّاسِ، بَلۡ كَتَمُوا الۡعِلۡمَ الَّذِي عِنۡدَهُمۡ وَسَكَتُوا عَنِ الشِّرۡكِ وَعَاشُوا مَعَ الۡمُشۡرِکِینَ. 

‘Ulama’ yang dimaksud beliau adalah orang-orang yang berada di zamannya yang mereka mengetahui kebenaran, mengetahui tauhid, mengetahui kebatilan kesyirikan, akan tetapi bersamaan dengan itu mereka tidak menegakkan dakwah kepada Allah, memerintahkan kepada tauhid, melarang dari kesyirikan, dan mengingkari orang-orang musyrik. Mereka tidak menegakkan hal-hal itu. Mereka ini semisal Abu Thalib karena mereka tidak memberikan kebaikan untuk agama ini, tidak pula berdakwah kepada Allah—‘azza wa jalla—, tidak pula menerangkan kepada manusia, bahkan mereka menyembunyikan ilmu yang di sisi mereka, diam dari kesyirikan, dan hidup bersama orang-orang musyrik.