Cari Blog Ini

Ad-Dararil Mudhiyyah - Pasal Wajibnya Kada Puasa dan Rukhsah Berbuka bagi Musafir

فَصۡلٌ
فِي وُجُوبِ الۡقَضَاءِ وَرُخۡصَةِ الۡفِطۡرِ لِلۡمُسَافِرِ 


يَجِبُ عَلَى مَنۡ أَفۡطَرَ لِعُذۡرٍ شَرۡعِيٍّ أَنۡ يَقۡضِيَ. وَالۡفِطۡرُ لِلۡمُسَافِرِ وَنَحۡوِهِ رُخۡصَةٌ إِلَّا أَنۡ يَخۡشَى التَّلَفَ أَوِ الضَّعۡفَ عَنِ الۡقِتَالِ فَعَزِيمَةٌ. وَمَنۡ مَاتَ وَعَلَيۡهِ صَوۡمٌ صَامَ عَنۡهُ وَلِيُّهُ، وَالۡكَبِيرُ الۡعَاجِزُ عَنِ الۡأَدَاءِ وَالۡقَضَاءِ يُكَفِّرُ عَنۡ كُلِّ يَوۡمٍ بِإِطۡعَامِ مِسۡكِينٍ. 


  • Wajib mengada puasa bagi siapa saja yang tidak berpuasa karena uzur syar’i.
  • Tidak berpuasa bagi musafir dan semisalnya adalah rukhsah. Kecuali apabila akan celaka atau lemah dalam menghadapi peperangan, maka berbuka menjadi wajib.
  • Siapa saja yang mati dan masih punya utang puasa, maka walinya berpuasa menggantikannya.
  • Orang yang sudah tua lagi lemah, baik untuk berpuasa atau menggantinya, maka membayar kafarat setiap harinya memberi makan satu orang miskin. 

أَقُولُ: أَمَّا وُجُوبُ الۡقَضَاءِ عَلَى مَنۡ أَفۡطَرَ لِعُذۡرٍ شَرۡعِيٍّ كَالۡمُسَافِرِ وَالۡمَرِيضِ؛ فَقَدۡ صَرَّحَ بِذٰلِكَ الۡقُرۡآنُ الۡكَرِيمُ: ﴿فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ﴾ [البقرة: ١٨٤] وَقَدۡ وَرَدَ فِي الۡحَائِضِ حَدِيثُ مُعَاذٍ عَنۡ عَائِشَةَ وَقَدۡ تَقَدَّمَ ذِكۡرُهُ، وَالنُّفَسَاءُ مِثۡلُهَا. 

Aku katakan: Adapun wajibnya mengada puasa bagi siapa saja yang tidak berpuasa karena uzur yang dibenarkan oleh syariat, seperti musafir dan orang sakit, maka Alquran telah menerangkan hal itu. Yaitu ayat yang artinya, “Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184). 

Juga ada hadis Mu’adz dari ‘Aisyah tentang wanita yang sedang haid. Hadis itu telah disebutkan. Yang semisal itu adalah wanita yang sedang nifas. 

وَأَمَّا كَوۡنُ الۡفِطۡرِ لِلۡمُسَافِرِ رُخۡصَةً إِلَّا أَنۡ يَخۡشَى التَّلَفَ أَوِ الضَّعۡفَ عَنِ الۡقِتَالِ فَعَزِيمَةً، فَالۡأَحَادِيثُ مِنۡهَا قُوۡلُهُ ﷺ: (إِنۡ شِئۡتَ فَصُمۡ، وَإِنۡ شِئۡتَ فَأَفۡطِرۡ) لَمَّا سَأَلَهُ حَمۡزَةُ بۡنُ عَمۡرٍو الۡأَسۡلَمِيُّ عَنِ الصَّوۡمِ فِي السَّفَرِ، وَهُوَ فِي الصَّحِيحَيۡنِ مِنۡ حَدِيثِ عَائِشَةَ، وَفِي الصَّحِيحَيۡنِ مِنۡ حَدِيثِ أَنَسٍ (كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَلَمۡ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الۡمُفۡطِرِ، وَلَا الۡمُفۡطِرُ عَلَى الصَّائِمِ). وَأَخۡرَجَ مُسۡلِمٌ رَحِمَهُ اللهُ وَغَيۡرُهُ عَنۡ حَمۡزَةَ بۡنِ عَمۡرٍو الۡأَسۡلَمِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ أَنَّهُ قَالَ: (يَا رَسُولَ اللهِ أَجِدُ مِنِّي قُوَّةً عَلَى الصَّوۡمِ فَهَلۡ عَلَيَّ جُنَاحٌ؟ فَقَالَ: هِيَ رُخۡصَةٌ مِنَ اللهِ فَمَنۡ أَخَذَهَا فَحَسَنٌ، وَمَنۡ أَحَبَّ أَنۡ يَصُومَ فَلَاجُنَاحَ عَلَيۡهِ). 

Tidak berpuasa bagi musafir adalah rukhsah kecuali apabila dia khawatir celaka atau lemah dalam berperang, maka berbuka menjadi wajib. Ada banyak hadis, di antaranya adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika engkau mau, berpuasalah. Dan jika engkau mau, tidak usah berpuasa.”[1] Hal itu ketika beliau ditanyai oleh Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami tentang puasa ketika safar. Riwayat ini ada di dalam dua kitab Shahih dari hadis ‘Aisyah. 

Di dalam dua kitab Shahih dari hadis Anas, “Kami pernah safar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak berpuasa. Dan orang yang tidak berpuasa tidak mencela orang yang berpuasa.”[2]

Imam Muslim rahimahullah mengeluarkan riwayat dari Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertanya, “Wahai Rasulullah, aku memiliki kekuatan untuk berpuasa (ketika safar). Apakah aku berdosa?” 

Rasulullah menjawab, “(Tidak berpuasa ketika safar) merupakan rukhsah dari Allah. Siapa saja yang mengambilnya, maka baik. Dan siapa saja yang suka berpuasa, dia tidak berdosa.”[3]

وَفِي الصَّحِيحَيۡنِ مِنۡ حَدِيثِ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: (كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي سَفۡرَةٍ فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدۡ ظُلِّلَ عَلَيۡهِ فَقَالَ: مَا هَٰذَا؟ فَقَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ: لَيۡسَ مِنَ الۡبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ). وَأَخۡرَجَ مُسۡلِمٌ رَحِمَهُ اللهُ، وَأَحۡمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ مِنۡ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: (سَافَرۡنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ إِلَى مَكَّةَ وَنَحۡنُ صِيَامٌ قَالَ: فَنَزَلۡنَا مَنۡزِلًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: إِنَّكُمۡ قَدۡ دَنَوۡتُمۡ مِنۡ عَدُوِّكُمۡ وَالۡفِطۡرُ أَقۡوَى لَكُمۡ، فَكَانَتۡ رُخۡصَةً فَمِنَّا مَنۡ صَامَ وَمِنَّا مَنۡ أَفۡطَرَ. ثُمَّ نَزَلۡنَا مَنۡزِلًا آخَرَ، فَقَالَ: إِنَّكُمۡ مُصۡبِحُونَ عَدُوَّكُمۡ وَالۡفِطۡرُ أَقۡوى لَكُمۡ فَافۡطُرُوا فَكَانَتۡ عَزِيمَةً، ثُمَّ لَقَدۡ رَأَيۡتُنَا نَصُومُ بَعۡدَ ذٰلِكَ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِي السَّفَرِ). 

Di dalam dua kitab Shahih dari hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah safar. Beliau melihat ada orang-orang mengerumuni seseorang yang diberi naungan. 

Beliau bertanya, “Ada apa ini?” 

Orang-orang menjawab, “Dia berpuasa.” 

Rasulullah bersabda, “Berpuasa ketika safar tidak termasuk kebajikan.”[4]

Imam Muslim rahimahullah, Ahmad, dan Abu Dawud mengeluarkan riwayat dari hadis Abu Sa’id. Beliau berkata: Kami pernah safar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Makkah dalam keadaan kami berpuasa. Abu Sa’id berkata: Lalu kami singgah di suatu tempat. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian sudah dekat dengan musuh kalian. Tidak berpuasa lebih kuat bagi kalian.” 

Ketika itu, tidak berpuasa adalah rukhsah sehingga di antara kami ada yang berpuasa dan di antara kami ada yang tidak. Kemudian kami singgah di tempat lain. 

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya besok pagi kalian akan bertemu dengan musuh kalian dan tidak berpuasa lebih kuat untuk kalian. Berbukalah!” 

Sehingga tidak berpuasa ketika itu merupakan kewajiban. Kemudian setelah itu sungguh aku melihat kami berpuasa bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar.[5]

وَقَدۡ ذَهَبَ إِلَى كَوۡنِ الصَّوۡمِ رُخۡصَةً فِي السَّفَرِ الۡجُمۡهُورُ، وَقَدۡ رُوِيَ عَنۡ بَعۡضِ الظَّاهِرِيَّةِ وَهُوَ مَحۡكِيٌّ عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ وَالۡإِمَامِيَّةِ أَنَّ الۡفِطۡرَ فِي السَّفَرِ وَاجِبٌ، وَأَنَّ الصَّوۡمَ لَا يُجۡزِىءُ وَكَذَا الۡمُسَافِرُ وَالۡمُرۡضِعُ وَالۡحُبۡلَى لِمَا أَخۡرَجَهُ أَحۡمَدُ، وَأَهۡلُ السُّنَنِ وَحَسَّنَهُ التِّرۡمِذِيُّ مِنۡ حَدِيثِ أَنَسِ بۡنِ مَالِكٍ الۡكَعۡبِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الۡمُسَافِرِ الصَّوۡمَ وَشَطۡرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الۡحُبۡلَي وَالۡمُرۡضِعِ الصَّوۡمَ). 

Mayoritas ulama berpendapat bahwa puasa ketika safar adalah rukhsah. Telah diriwayatkan dari sebagian penganut paham Zhahiriyyah dan dikisahkan dari Abu Hurairah dan Imamiyyah, bahwa berbuka ketika safar adalah wajib dan bahwa berpuasa tidak sah. 

Demikian pula musafir, wanita yang menyusui, dan wanita yang hamil, berdasarkan riwayat Ahmad dan penyusun kitab Sunan. At-Tirmidzi menilainya hasan. Yaitu riwayat dari Anas bin Malik Al-Ka’bi, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggugurkan puasa (pada saat itu) dan separuh salat dari musafir. Juga menggugurkan puasa (pada saat itu) dari wanita yang hamil dan menyusui.”[6]

وَأَمَّا كَوۡنُ مَنۡ مَاتَ وَعَلَيۡهِ صَوۡمٌ صَامَ عَنۡهُ وَلِيُّهُ؛ فَلِحَدِيثِ عَائِشَةَ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (مَنۡ مَاتَ وَعَلَيۡهِ صِيَامٌ صَامَ عَنۡهُ وَلِيُّهُ)، وَقَدۡ زَادَ الۡبَزَّارُ لَفۡظَ (إِنۡ شَاءَ). قَالَ فِي مَجۡمَعِ الزَّوَائِدِ وَإِسۡنَادُهُ حَسَنٌ، وَبِهِ قَالَ بَعۡضُ أَصۡحَابِ الۡحَدِيثِ، وَبَعۡضُ أَصۡحَابِ الشَّافِعِيَّةِ، وَأَبُو ثَوۡرٍ، وَالصَّادِقُ، وَالنَّاصِرُ، وَالۡمُؤَيَّدُ بِاللهِ، وَالۡأَوۡزَعِيُّ، وَأَحۡمَدُ بۡنُ حَنۡبَلٍ قَالَ الۡبَيۡهَقِيُّ فِي الۡخِلَافِيَّاتِ: هَٰذِهِ السُّنَّةُ ثَابِتَةٌ لَا أَعۡلَمُ خِلَافًا بَيۡنَ أَهۡلِ الۡحَدِيثِ فِي صِحَّتِهَا. وَذَهَبَ جمُهۡوُر ُالۡفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَجِبُ صَوۡمُ الۡوَلِيِّ عَنۡ وَلِيِّهِ. 

Adapun perihal siapa saja yang mati dalam keadaan ada tanggungan puasa, maka walinya berpuasa atas namanya, maka berdasarkan hadis ‘Aisyah di dalam dua kitab Shahih dan selain keduanya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang meninggal dalam keadaan memiliki tanggungan puasa, maka walinya berpuasa atas namanya.”[7]

Al-Bazzar menambahkan dengan lafal, “Jika dia mau.” Beliau berkata di dalam Majma’ Az-Zawa`id: Dan sanadnya hasan. 

Sebagian ahli hadis, sebagian murid Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, Ash-Shadiq, An-Nashir, Al-Mu`ayyad Billah, Al-Auza’i, dan Ahmad bin Hanbal berpendapat dengannya. Al-Baihaqi berkata dalam Al-Khilafiyyat: Sunah ini sabit/telah pasti. Aku tidak mengetahui ada perselisihan antara ahli hadis tentang kesahihannya. Mayoritas fukaha berpendapat tidak wajibnya puasa wali orang yang meninggal atas namanya. 

وَأَمَّا كَوۡنُ الۡكَبِيرِ الۡعَاجِزِ عَنِ الۡأَدَاءِ وَالۡقَضَاءِ يُكَفِّرُ بِمَا ذُكِرَ؛ فَلِحَدِيثِ سَلَمَةَ بۡنِ الۡأَكۡوَعِ الثَّابِتِ فِي الصَّحِيحَيۡنِ وَغَيۡرِهِمَا قَالَ: (أُنۡزِلَتۡ هَٰذِهِ الۡآيَةُ: ﴿وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٌ طَعَامُ مِسۡكِينٍ ۖ﴾ [البقرة: ١٨٤] كَانَ مَنۡ أَرَادَ أَنۡ يُفۡطِرَ وَيَفۡتَدِيَ حَتَّى أُنۡزِلَتِ الۡآيَةُ الَّتِي بَعۡدَهَا فَنَسَخَتۡهَا). وَأَخۡرَجَ هَٰذَا الۡحَدِيثَ أَحۡمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، عَنۡ مُعَاذٍ بِنَحۡوِ مَا تَقَدَّمَ وَزَادَ ثُمَّ أَنۡزَلَ اللهُ تَعَالَى: ﴿فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُ ۖ﴾ [البقرة: ١٨٥] فَأَثۡبَتَ اللهُ صِيَامَهُ عَلَى الۡمُقِيمِ الصَّحِيحِ، وَرَخَّصَ فِيهِ لِلۡمَرِيضِ وَالۡمُسَافِرِ وَثَبَّتَ الۡإِطۡعَامَ لِلۡكَبِيرِ الَّذِي لَا يَسۡتَطِيعُ الصِّيَامَ. 

Adapun orang yang sudah tua yang tidak mampu menunaikan puasa dan kada, maka membayar kafarat dengan yang telah disebutkan (memberi makan setiap harinya satu orang miskin), adalah berdasar hadis Salamah bin Al-Akwa’ yang sabit di dalam dua kitab Shahih dan selain keduanya. 

Beliau mengatakan: Ketika turun ayat yang artinya, “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidiah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184), siapa saja yang ingin tidak berpuasa maka dia membayar fidiah. Sampai ayat setelahnya turun dan menasakhnya.[8]

Hadis ini dikeluarkan pula oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Mu’adz seperti yang telah disebutkan dan beliau menambahkan: Kemudian Allah taala menurunkan ayat yang artinya, “Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185). Jadi Allah menetapkan kewajiban puasa Ramadan bagi orang yang tidak bepergian dan sehat; dan Allah memberi rukhsah kepada orang sakit dan musafir; dan Allah menetapkan fidiah memberi makan seorang miskin bagi orang yang tua yang sudah tidak mampu berpuasa. 

وَأَخۡرَجَ الۡبُخَارِيُّ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: (لَيۡسَتۡ هَٰذِهِ الۡآيَةُ مَنۡسُوخَةً هِيَ لِلشَّيۡخِ الۡكَبِيرِ وَالۡمَرۡأَةِ الۡكَبِيرَةِ لَا يَسۡتَطِيعَانِ أَنۡ يَصُومَا فَيُطۡعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوۡمٍ مِسۡكِينًا)، وَأَخۡرَجَ أَبُو دَاوُدَ عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لَهُ: أَثَبَتَتۡ لِلۡحُبۡلَى وَالۡمُرۡضِعِ أَنۡ يُفۡطِرَا وَيُطۡعِمَا كُلَّ يَوۡمٍ مِسۡكِينًا. وَأَخۡرَجَ الدَّارَقُطۡنِيُّ وَالۡحَاكِمُ وَصَحَّحَاهُ عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: (رُخِّصَ لِلشَّيۡخِ الۡكَبِيرِ أَنۡ يُفۡطِرَ وَيُطۡعِمَ عَنۡ كُلِّ يَوۡمٍ مِسۡكِينًا وَلَا قَضَاءَ عَلَيۡهِ)، وَهَٰذَا عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ تَفۡسِيرٌ لِمَا فِي الۡقُرۡآنِ مَعَ مَا فِيهِ مِنَ الۡإِشۡعَارِ بِالرَّفۡعِ فَكَانَ ذٰلِكَ دَلِيلًا عَلَى أَنَّ الۡكَفَّارَةَ هِيَ إِطۡعَامُ مِسۡكِينٍ عَنۡ كُلِّ يَوۡمٍ. 

Al-Bukhari mengeluarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas, bahwa beliau berkata, “Ayat ini tidak mansukh. Ayat ini berlaku untuk orang laki-laki atau wanita yang sudah tua renta yang sudah tidak mampu berpuasa, maka dia memberi makan untuk ganti setiap harinya satu orang miskin.”[9]

Abu Dawud mengeluarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau berkata, “Tetap berlaku bagi wanita yang hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa dan memberi makan setiap hari satu orang miskin.”[10]

Ad-Daraquthni mengeluarkan riwayat dan disahihkan oleh Al-Hakim, dari Ibnu ‘Abbas, bahwa beliau berkata, “Diberi keringanan untuk orang yang sudah sangat tua untuk tidak berpuasa dan memberi makan setiap harinya satu orang miskin dan tidak wajib kada baginya.” 

Ucapan dari Ibnu ‘Abbas ini sebagai tafsir ayat dalam Alquran beserta adanya pengabaran bahwa pendapat beliau bersumber dari Nabi, maka hal itu menjadi dalil bahwa kafarat (orang yang tidak mampu berpuasa) adalah memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.