Cari Blog Ini

Shahih Al-Bukhari hadis nomor 3293

٣٢٩٣ - حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ يُوسُفَ: أَخۡبَرَنَا مَالِكٌ، عَنۡ سُمَيٍّ مَوۡلَى أَبِي بَكۡرٍ، عَنۡ أَبِي صَالِحٍ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (مَنۡ قَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحۡدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الۡمُلۡكُ وَلَهُ الۡحَمۡدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيۡءٍ قَدِيرٌ، فِي يَوۡمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ، كَانَتۡ لَهُ عَدۡلَ عَشۡرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَتۡ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ، وَمُحِيَتۡ عَنۡهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتۡ لَهُ حِرۡزًا مِنَ الشَّيۡطَانِ يَوۡمَهُ ذٰلِكَ حَتَّى يُمۡسِيَ، وَلَمۡ يَأۡتِ أَحَدٌ بِأَفۡضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ، إِلَّا أَحَدٌ عَمِلَ أَكۡثَرَ مِنۡ ذٰلِكَ). [الحديث ٣٢٩٣ - طرفه في: ٦٤٠٣].

3293. ‘Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami: Malik mengabarkan kepada kami dari Sumai maula Abu Bakr, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah—radhiyallahu ‘anhu—: Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Barang siapa mengucapkan: Lā ilāha illallāhu waḥdahu lā syarīka lah, lahul mulku wa lahul ḥamd, wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr (Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hanya milik-Nya kekuasaan dan hanya milik-Nya segala pujian. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.); dalam sehari sebanyak seratus kali, niscaya ucapan tersebut berpahala untuknya semisal pahala membebaskan sepuluh budak, seratus kebaikan akan dicatat untuknya, seratus kejelekan akan dihapuskan darinya, dan ucapan itu akan menjadi benteng untuknya dari (serangan) setan pada hari itu sampai petang hari. Tidak ada seorang pun membawa sesuatu yang lebih afdal daripada yang dia lakukan itu kecuali seseorang yang beramal lebih banyak daripada itu.”

Shahih Muslim hadis nomor 2691

١٠ - بَابُ فَضۡلِ التَّهۡلِيلِ وَالتَّسۡبِيحِ وَالتَّحۡمِيدِ وَالدُّعَاءِ
10. Bab Keutamaan Tahlil, Tasbih, Tahmid, dan Doa


٢٨ - (٢٦٩١) - حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ يَحۡيَىٰ. قَالَ: قَرَأۡتُ عَلَىٰ مَالِكٍ، عَنۡ سُمَيٍّ، عَنۡ أَبِي صَالِحٍ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (مَنۡ قَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحۡدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الۡمُلۡكُ وَلَهُ الۡحَمۡدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيۡءٍ قَدِيرٌ، فِي يَوۡمٍ، مِائَةَ مَرَّةٍ. كَانَتۡ لَهُ عَدۡلَ عَشۡرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَتۡ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ، وَمُحِيَتۡ عَنۡهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتۡ لَهُ حِرۡزًا مِنَ الشَّيۡطَانِ، يَوۡمَهُ ذٰلِكَ، حَتَّىٰ يُمۡسِيَ، وَلَمۡ يَأۡتِ أَحَدٌ أَفۡضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ عَمِلَ أَكۡثَرَ مِنۡ ذٰلِكَ. وَمَنۡ قَالَ: سُبۡحَانَ اللهِ وَبِحَمۡدِهِ، فِي يَوۡمٍ، مِائَةَ مَرَّةٍ، حُطَّتۡ خَطَايَاهُ. وَلَوۡ كَانَتۡ مِثۡلَ زَبَدِ الۡبَحۡرِ).

[البخاري: كتاب بدء الخلق، باب صفة إبليس وجنوده، رقم: ٣٢٩٣].

28. (2691). Yahya bin Yahya telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Aku membaca di hadapan Malik dari Sumai, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah: Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Barang siapa mengucapkan: Lā ilāha illallāhu waḥdahu lā syarīka lah, lahul mulku wa lahul ḥamd, wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr (Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hanya milik-Nya kekuasaan dan hanya milik-Nya segala pujian. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.); dalam sehari sebanyak seratus kali, niscaya ucapan tersebut berpahala untuknya semisal pahala membebaskan sepuluh budak, seratus kebaikan akan dicatat untuknya, seratus kejelekan akan dihapuskan darinya, dan ucapan itu akan menjadi benteng untuknya dari (serangan) setan pada hari itu sampai petang hari. Tidak ada seorang pun membawa sesuatu yang lebih afdal daripada yang dia lakukan itu kecuali seseorang yang beramal lebih banyak daripada itu. Dan barang siapa mengucapkan: Subḥānallāhi wa bi ḥamdih (Maha Suci Allah dengan memuji-Nya); dalam sehari sebanyak seratus kali, niscaya kesalahan-kesalahannya akan dihapus walaupun (banyaknya) seperti buih di lautan.”

Allah Bersemayam dan Tinggi di atas Arasy

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah (wafat 620 H) di dalam kitab Lum'atul I'tiqad berkata,

وَمِنۡ ذٰلِكَ:

قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ﴾ [طه: ٥].

Di antaranya adalah firman Allah taala, “Allah yang Maha Penyayang tinggi di atas arasy.” (QS. Thaha: 5).[1]

وَقَوۡلُهُ: ﴿ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ﴾ [تبارك: ١٦].

Firman Allah, “Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang ada di atas langit?” (QS. Al-Mulk: 16).

وَقَوۡلُ النَّبِيِّ ﷺ: (رَبُّنَا اللهُ الَّذِي فِي السَّمَاءِ تَقَدَّسَ اسۡمُكَ).

Sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Rabb kami adalah Allah yang di atas langit, Maha Suci nama-Mu.” (HR. Abu Dawud nomor 3892).

وَقَالَ لِلۡجَارِيَةِ: (أَيۡنَ اللهُ؟) قَالَتۡ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: (أَعۡتِقۡهَا فَإِنَّهَا مُؤۡمِنَةٌ). رَوَاهُ مَالِكُ بۡنُ أَنَسٍ وَمُسۡلِمٌ وَغَيۡرُهُمَا مِنَ الۡأَئِمَّةِ.

Nabi bertanya kepada seorang budak wanita, “Di mana Allah?”

Dia menjawab, “Di atas langit.”

Nabi bersabda, “Merdekakan dia, karena dia seorang mukminah.”

Diriwayatkan oleh Malik bin Anas, Muslim (nomor 537), dan para imam selain mereka berdua.

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِحُصَيۡنٍ: (كَمۡ إِلَٰهًا تَعۡبُدُ)؟ قَالَ: سَبۡعَةً: سِتَّةً فِي الۡأَرۡضِ وَوَاحِدًا فِي السَّمَاءِ، قَالَ: (مَنۡ لِرَغۡبَتِكَ وَرَهۡبَتِكَ؟) قَالَ: الَّذِي فِي السَّمَاءِ، قَالَ: (فَاتۡرُكِ السِّتَّةَ وَاعۡبُدِ الَّذِي فِي السَّمَاءِ وَأَنَا أُعَلِّمُكَ دَعۡوَتَيۡنِ) فَأَسۡلَمَ وَعَلَّمَهُ النَّبِيُّ ﷺ أَنۡ يَقُولَ: (اللّٰهُمَّ أَلۡهِمۡنِي رُشۡدِي وَقِنِي شَرَّ نَفۡسِي).

Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bertanya kepada Hushain, “Berapa ilah yang engkau sembah?”

Hushain menjawab, “Tujuh: enam di bumi dan satu di atas langit.”

Nabi bertanya, “Siapa yang engkau tujukan perasaan harap dan cemasmu?”

Hushain menjawab, “Ilah yang di atas langit.”

Nabi bersabda, “Maka, tinggalkan yang enam dan sembahlah ilah yang di atas langit. Aku akan mengajarimu dua doa.”

Hushain pun masuk Islam dan Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—mengajarinya untuk berdoa, “Ya Allah, berilah ilham yang membimbingku dan jagalah aku dari kejahatan jiwaku.” (HR. At-Tirmidzi nomor 3483).

وَفِيمَا نُقِلَ مِنۡ عَلَامَاتِ النَّبِيِّ ﷺ وَأَصۡحَابِهِ فِي الۡكُتُبِ الۡمُتَقَدِّمَةِ أَنَّهُمۡ يَسۡجُدُونَ بِالۡأَرۡضِ، وَيَزۡعُمُونَ أَنَّ إِلَٰهَهُمۡ فِي السَّمَاءِ.

Juga apa yang dinukilkan berupa ciri-ciri Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para sahabatnya di dalam kitab-kitab terdahulu bahwa mereka sujud di muka bumi dan menganggap bahwa ilah mereka di atas langit.

وَرَوَى أَبُو دَاوُدَ فِي (سُنَنِهِ) أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (إِنَّ مَا بَيۡنَ سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ مَسِيرَةُ كَذَا وَكَذَا – وَذَكَرَ الۡخَبَرَ إِلَى قَوۡلِهِ: وَفَوۡقَ ذٰلِكَ الۡعَرۡشُ وَاللهُ سُبۡحَانَهُ فَوۡقَ ذٰلِكَ).

Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunan-nya bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Sesungguhnya jarak antara satu langit dengan langit lainnya adalah sejauh perjalanan begini dan begini.” Beliau menyebutkan kabar ini hingga sabda beliau, “Dan di atas langit itu adalah arasy. Dan Allah—Maha Suci Dia—di atas arasy itu.”

فَهَٰذَا وَمَا أَشۡبَهَهُ مِمَّا أَجۡمَعَ السَّلَفُ رَحِمَهُمُ اللهُ عَلَى نَقۡلِهِ وَقَبُولِهِ، وَلَمۡ يُتَعَرَّضۡ لِرَدِّهِ وَلَا تَأۡوِيلِهِ وَلَا تَشۡبِيهِهِ وَلَا تَمۡثِيلِهِ.

Inilah sifat tinggi dan sifat yang semisalnya adalah termasuk hal yang disepakati oleh para ulama salaf—rahimahumullah—akan penukilan dan penerimaannya. Tidak boleh disimpangkan untuk menolaknya, menakwilnya, dan menyerupakannya. [2]

سُئِلَ مَالِكُ بۡنُ أَنَسٍ الۡإِمَامُ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ فَقِيلَ: يَا أَبَا عَبۡدِ اللهِ ﴿ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ﴾ [طه: ٥] كَيۡفَ اسۡتَوَى؟ فَقَالَ: الۡاِسۡتِوَاءُ غَيۡرُ مَجۡهُولٍ، وَالۡكَيۡفُ غَيۡرُ مَعۡقُولٍ، وَالۡإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنۡهُ بِدۡعَةٌ، ثُمَّ أَمَرَ بِالرَّجُلِ فَأُخۡرِجَ.

Imam Malik bin Anas—rahimahullah—pernah ditanya, “Wahai Abu ‘Abdullah, ayat: Yang Maha Pengasih bersemayam di atas arasy. (QS. Thaha: 5). Bagaimana Allah bersemayam?”

Beliau berkata, “Bersemayam sudah diketahui. Kaifiatnya tidak bisa dijangkau oleh akal. Beriman dengannya wajib. Bertanya tentangnya adalah bidah.” Lalu beliau menyuruh agar orang itu dikeluarkan.[3]


Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin (wafat 1421 H) rahimahullah berkata di dalam syarahnya,

[1] الصِّفَةُ الثَّالِثَةُ عَشۡرَةَ: الۡاِسۡتِوَاءُ عَلَى الۡعَرۡشِ:

Sifat ketiga belas: Bersemayam di atas arasy.

اسۡتِوَاءُ اللهِ عَلَى الۡعَرۡشِ مِنۡ صِفَاتِهِ الثَّابِتَةِ لَهُ بِالۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ﴾[طه: ٥] وَذَكَرَ اسۡتِوَاءَهُ عَلَى عَرۡشِهِ فِي سَبۡعَةِ مَوَاضِعَ مِنَ الۡقُرۡآنِ.

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (إِنَّ اللهَ لَمَّا قَضَى الۡخَلۡقَ كَتَبَ عِنۡدَهُ فَوۡقَ عَرۡشِهِ: إِنَّ رَحۡمَتِي سَبَقَتۡ غَضَبِي). رواه البخاري.

Bersemayamnya Allah di atas arasy termasuk sifat-Nya yang pasti bagi-Nya berdasarkan Alquran, sunah, dan kesepakatan ulama salaf.

Allah taala berfirman, “Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas arasy.” (QS. Thaha: 5). Allah menyebutkan bersemayam-Nya di atas arasy-Nya di tujuh tempat dalam Alquran.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ketika telah menyelesaikan penciptaan, Dia menulis di sisi-Nya di atas arasy-Nya, bahwa rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku.” (HR. Al-Bukhari nomor 3194, 7404, 7422, 7453, 7553, 7554).

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ فِيمَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ: (إِنَّ بُعۡدَ مَا بَيۡنَ سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ إِمَّا وَاحِدَةٌ أَوِ اثۡنَتَانِ أَوۡ ثَلَاثٌ وَسَبۡعُونَ سَنَةً...) إِلَى أَنۡ قَالَ فِي الۡعَرۡشِ: (بَيۡنَ أَسۡفَلِهِ وَأَعۡلَاهُ مِثۡلُ مَا بَيۡنَ سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ، ثُمَّ اللهُ تَعَالَى فَوۡقَ ذٰلِكَ). وَأَخۡرَجَهُ أَيۡضًا التِّرۡمِذِيُّ وَابۡنُ مَاجَهۡ وَفِيهِ عِلَّةٌ أَجَابَ عَنۡهَا ابۡنُ الۡقَيِّمِ - رَحِمَهُ اللهُ - فِي تَهۡذِيبِ سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ (٧/٩٢-٩٣).

Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—berkata di dalam hadis riwayat Abu Dawud (nomor 4723) di dalam Sunan-nya, “Sesungguhnya jarak antara satu langit dengan langit yang lainnya adalah tujuh puluh satu, atau tujuh puluh dua, atau tujuh puluh tiga tahun…” hingga beliau bersabda tentang arasy, “Jarak antara bagian bawahnya hingga bagian atasnya semisal jarak antara satu langit dengan langit lainnya. Kemudian Allah taala di atas itu.”

At-Tirmidzi (nomor 3320) dan Ibnu Majah (nomor 193) juga meriwayatkannya. Di dalamnya ada sebuah ilat yang telah dijawab oleh Ibnu Al-Qayyim—rahimahullah—di dalam Tahdzib Sunan Abu Dawud (7/92-93).

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى إِثۡبَاتِ اسۡتِوَاءِ اللهِ عَلَى عَرۡشِهِ.

فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ.

وَهُوَ اسۡتِوَاءٌ حَقِيقِيٌّ مَعۡنَاهُ الۡعُلُوُّ وَالۡاِسۡتِقۡرَارُ عَلَى وَجۡهٍ يَلِيقُ بِاللهِ تَعَالَى.

Ulama salaf telah bersepakat menetapkan bersemayamnya Allah di atas arasy-Nya. Maka, wajib menetapkan sifat tersebut dengan tanpa tahrif (menyelewengkan makna), ta’thil (menolaknya), takyif (menentukan kaifiatnya), dan tamtsil (menyerupakannya). Ini adalah bersemayam hakiki yang bermakna tinggi dan menetap sesuai sifat yang layak bagi Allah taala.

وَقَدۡ فَسَّرَهُ أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ بِالۡاِسۡتِيلَاءِ، وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ، وَنَزِيدُ وَجۡهًا رَابِعًا: أَنَّهُ لَا يُعۡرَفُ فِي اللُّغَةِ الۡعَرَبِيَّةِ بِهَٰذَا الۡمَعۡنَى، وَوَجۡهًا خَامِسًا: أَنَّهُ يُلۡزِمُ عَلَيۡهِ لَوَازِمَ بَاطِلَةً مِثۡلَ أَنَّ الۡعَرۡشَ لَمۡ يَكُنۡ مِلۡكًا لِلهِ ثُمَّ اسۡتَوۡلَى عَلَيۡهِ بَعۡدُ.

Para penolak sifat menafsirkannya dengan penguasaan. Kita bantah mereka dengan kaidah keempat yang telah lalu. Kita tambahkan dengan sisi keempat: Bahwa penafsiran dengan makna tersebut tidak dikenal dalam bahasa Arab. Dan sisi kelima: Penafsiran tersebut memberi konsekuensi-konsekuensi batil, seperti bahwa arasy tadinya belum menjadi milik Allah kemudian baru Allah kuasai setelahnya.

وَالۡعَرۡشُ لُغَةً: السَّرِيرُ الۡخَاصُّ بِالۡمَلِكِ.

وَفِي الشَّرۡعِ: الۡعَرۡشُ الۡعَظِيمُ الَّذِي اسۡتَوَى عَلَيۡهِ الرَّحۡمَٰنُ جَلَّ جَلَالُهُ، وَهُوَ أَعۡلَى الۡمَخۡلُوقَاتِ وَأَكۡبَرُهَا، وَصَفَهُ اللهُ بِأَنَّهُ عَظِيمٌ وَبِأَنَّهُ كَرِيمٌ وَبِأَنَّهُ مَجِيدٌ.

Arasy secara bahasa adalah singgasana khusus untuk raja. Secara istilah syariat, arasy adalah arasy yang sangat besar. Allah Yang Maha Pemurah jalla jalaluh bersemayam di atasnya. Arasy adalah makhluk yang paling tinggi dan paling besar. Allah menyifati arasy dengan sifat besar dan mulia.

وَالۡكُرۡسِيُّ غَيۡرُ الۡعَرۡشِ؛ لِأَنَّ الۡعَرۡشَ هُوَ مَا اسۡتَوَى عَلَيۡهِ اللهُ تَعَالَى، وَالۡكُرۡسِيَّ مَوۡضِعُ قَدَمَيۡهِ لِقَوۡلِ ابۡنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا: الۡكُرۡسِيُّ مَوۡضِعُ الۡقَدَمَيۡنِ وَالۡعَرۡشُ لَا يُقَدِّرُ أَحَدٌ قَدۡرَهُ. رَوَاهُ الۡحَاكِمُ فِي مُسۡتَدۡرَكِهِ وَقَالَ: صَحِيحٌ عَلَى شَرۡطِ الشَّيۡخَيۡنِ وَلَمۡ يُخۡرِجَاهُ.

Al-Kursi berbeda dengan arasy. Arasy adalah yang disemayami Allah taala, sedangkan al-kursi adalah tempat dua telapak kaki-Nya. Hal ini berdasarkan ucapan Ibnu ‘Abbas—radhiyallahu ‘anhuma—, “Al-Kursi adalah tempat dua telapak kaki. Arasy tidak ada seorang pun yang bisa memperkirakan ukurannya.” Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak-nya. Beliau berkata: Hadis ini sahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya.

[2] الصِّفَةُ الرَّابِعَةُ عَشۡرَةَ: الۡعُلُوُّ:

Sifat keempat belas: Tinggi.

الۡعُلُوُّ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ الثَّابِتَةِ لَهُ بِالۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ.

Tinggi termasuk sifat Allah yang pasti bagi-Nya berdasarkan Alquran, sunah, dan ijmak ulama salaf.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَهُوَ ٱلۡعَلِىُّ ٱلۡعَظِيمُ﴾ [البقرة: ٢٥٥].

Allah taala berfirman, “Dia Maha Tinggi lagi Maha Agung.” (QS. Al-Baqarah: 255).

وَكَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَقُولُ فِي صَلَاتِهِ فِي السُّجُودِ: (سُبۡحَانَ رَبِّيَ الۡأَعۡلَى) رَوَاهُ مُسۡلِمٍ مِنۡ حَدِيثِ حُذَيۡفَةَ.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu berdoa ketika sujud, “Maha Suci Rabb-ku yang Maha Tinggi.” Diriwayatkan oleh Muslim nomor 772 dari hadis Hudzaifah.

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى إِثۡبَاتِ الۡعُلُوِّ لِلهِ.

فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ لَهُ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ.

وَهُوَ عُلُوٌّ حَقِيقِيٌّ يَلِيقُ بِاللهِ.

Ulama salaf bersepakat akan kepastian sifat tinggi bagi Allah. Sehingga wajib menetapkan sifat tersebut untuk-Nya dengan tanpa tahrif (menyelewengkan maknanya, ta’thil (menolaknya), takyif (menentukan kaifiatnya), dan tamtsil (menyerupakannya). Itu adalah sifat tinggi yang hakiki yang layak bagi Allah.

وَيَنۡقَسِمُ إِلَى قِسۡمَيۡنِ:

Sifat tinggi ini terbagi menjadi dua bagian:

عُلُوُّ صِفَةٍ: بِمَعۡنَى أَنَّ صِفَاتَهُ تَعَالَى عُلۡيًا لَيۡسَ فِيهَا نَقۡصٌ بِوَجۡهٍ مِنَ الۡوُجُوهِ وَدَلِيلُهُ مَا سَبَقَ.

Ketinggian sifat-Nya, bermakna bahwa sifat Allah taala luhur tidak ada satu cacat pun padanya dari segala sisinya. Dalilnya telah disebutkan.

وَعُلُوُّ ذَاتٍ: بِمَعۡنَى أَنَّ ذَاتَهُ تَعَالَى فَوۡقَ جَمِيعِ مَخۡلُوقَاتِهِ وَدَلِيلُهُ مَعَ مَا سَبَقَ:

Ketinggian zat-Nya, bermakna bahwa Zat Allah taala di atas semua makhluk-Nya. Dalil selain dari yang telah disebutkan adalah:

قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ﴾ [الملك: ١٦].

Firman Allah taala, “Apakah kalian merasa aman dari yang ada di atas langit?” (QS. Al-Mulk: 16).

وَقَوۡلُ النَّبِيِّ ﷺ: (رَبُّنَا اللهُ الَّذِي فِي السَّمَاءِ تَقَدَّسَ اسۡمُكَ...) الحديث. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَفِيهِ زِيَادَةُ بۡنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ الۡبُخَارِيُّ: مُنۡكَرُ الۡحَدِيثِ.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tuhan kita adalah Allah yang ada di atas langit. Maha Suci nama-Mu...” HR. Abu Dawud nomor 3892. Dalam sanadnya ada perawi Ziyadah bin Muhammad. Al-Bukhari berkata: Dia munkarul hadits.

وَقَوۡلُهُ ﷺ لِلۡجَارِيَةِ: (أين الله؟) قَالَتۡ: فِي السَمَاءِ، قَالَ: (أَعۡتِقۡهَا فَإِنَّهَا مُؤۡمِنَةٌ) رَوَاهُ مُسۡلِمٌ فِي قِصَّةِ مُعَاوِيَةَ بۡنِ الۡحَكَمِ.

Sabda beliau—shallallahu ‘alaihi wa sallam—kepada seorang budak wanita, “Di mana Allah?”

Dia menjawab, “Di atas langit.”

Beliau bersabda, “Merdekakan dia karena dia seorang mukminah.”

HR. Muslim nomor 537 tentang kisah Mu’awiyah bin Al-Hakam.

وَقَوۡلُهُ ﷺ لِحُصَيۡنِ بۡنِ عُبَيۡدٍ الۡخُزَاعِيِّ وَالِدِ عِمۡرَانَ بۡنِ حُصَيۡنٍ: (اتۡرُكِ السِّتَّةَ وَاعۡبُدِ الَّذِي فِي السَّمَاءِ)، هَٰذَا هُوَ اللَّفۡظُ الَّذِي ذَكَرَهُ الۡمُؤَلِّفُ وَذَكَرَهُ فِي الۡإِصَابَةِ مِنۡ رِوَايَةِ ابۡنِ خُزَيۡمَةَ فِي قِصَّةِ إِسۡلَامِهِ بِلَفۡظِ غَيۡرِ هَٰذَا، وَفِيهِ إِقۡرَارُ النَّبِيِّ ﷺ لِحُصَيۡنٍ حِينَ قَالَ: سِتَّةٌ فِي الۡأَرۡضِ وَوَاحِدًا فِي السَّمَاءِ.

Sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—kepada Hushain bin ‘Ubaid Al-Khuza’i, ayah dari ‘Imran bin Hushain, “Tinggalkan yang enam dan sembahlah Tuhan yang di atas langit.”

Ini adalah kalimat yang disebutkan oleh mualif. Beliau menyebutkan di dalam Al-Ishabah dari riwayat Ibnu Khuzaimah di dalam kisah keislamannya dengan redaksi yang berbeda dari yang tadi. Padanya ada penetapan Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—kepada Hushain ketika berkata, “Enam di bumi dan satu di atas langit.”

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى ثُبُوتِ عُلُوِّ الذَّاتِ لِلهِ وَكَوۡنِهِ فِي السَّمَاءِ.

فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ لَهُ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ.

Ulama salaf telah bersepakat akan kepastian ketinggian Zat bagi Allah dan bahwa Dia berada di atas langit. Maka, wajib menetapkannya dengan tanpa tahrif (menyelewengkan maknanya), ta’thil (menolaknya), takyif (menentukan kaifiatnya), dan tamtsil (menyerupakannya).

وَقَدۡ أَنۡكَرَ أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ كَوۡنَ اللهِ بِذَاتِهِ فِي السَّمَاءِ وَفَسَّرُوا مَعۡنَاهَا أَنَّ فِي السَّمَاءِ مُلۡكَهُ وَسُلۡطَانَهُ وَنَحۡوَهُ وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ، وَبِوَجۡهٍ رَابِعٍ: أَنَّ مُلۡكَ اللهِ وَسُلۡطَانَهُ فِي السَّمَاءِ وَفِي الۡأَرۡضِ أَيۡضًا، وَبِوَجۡهٍ خَامِسٍ: وَهُوَ دَلَالَةُ الۡعَقۡلِ عَلَيۡهِ لِأَنَّهُ صِفَةُ كَمَالٍ، وَبِوَجۡهٍ سَادِسٍ: وَهُوَ دَلَالَةُ الۡفِطۡرَةِ عَلَيۡهِ لِأَنَّ الۡخَلۡقَ مَفۡطُورُونَ عَلَى أَنَّ اللهَ فِي السَّمَاءِ.

Para penolak sifat mengingkari keberadaan Zat Allah di atas langit. Mereka menafsirkan bahwa maknanya yang di langit adalah kerajaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan yang semisalnya. Kita bantah mereka dengan kaidah keempat yang telah berlalu.

Juga dengan sisi keempat bahwa kerajaan dan kekuasaan Allah ada di langit dan ada di bumi pula. Dengan sisi kelima: Akal juga menunjukkan kebenaran hal itu karena tinggi adalah sifat kesempurnaan. Dengan sisi keenam: Fitrah menunjukkan kebenaran hal itu karena makhluk secara fitrahnya mengetahui bahwa Allah di atas langit.

مَعۡنَى كَوۡنِ اللهِ فِي السَّمَاءِ:

Makna keberadaan Allah di langit:

الۡمَعۡنَى الصَّحِيحُ لِكَوۡنِ اللهِ فِي السَّمَاءِ أَنَّ اللهَ تَعَالَى عَلَى السَّمَاءِ فَفِي بِمَعۡنَى عَلَى وَلَيۡسَتۡ لِلظَّرۡفِيَّهِ؛ لِأَنَّ السَّمَاءَ لَا تُحِيطُ بِاللهِ، أَوۡ أَنَّهُ فِي الۡعُلُوِّ فَالسَّمَاءُ بِمَعۡنَى الۡعُلُوِّ وَلَيۡسَ الۡمُرَادُ بِهَا السَّمَاءَ الۡمَبۡنِيَّةَ.

Makna yang benar dari keberadaan Allah di langit adalah bahwa Allah taala di atas langit. Karena di sini bermakna di atas dan bukan bermakna bertempat/di dalam. Karena langit tidak bisa meliputi Allah. Atau maknanya bahwa Allah berada di tempat yang tinggi. Jadi as-samā` artinya ketinggian. Jadi yang dimaukan bukanlah langit yang diciptakan Allah.

تَنۡبِيهٌ:

ذَكَرَ الۡمُؤَلِّفُ - رَحِمَهُ اللهُ - أَنَّهُ نَقَلَ عَنۡ بَعۡضِ الۡكُتُبِ الۡمُتَقَدِّمَةِ أَنَّ مِنۡ عَلَامَاتِ النَّبِيِّ ﷺ وَأَصۡحَابِهِ أَنَّهُمۡ يَسۡجُدُونَ بِالۡأَرۡضِ وَيَزۡعُمُونَ أَنَّ إِلَٰهَهُمۡ فِي السَّمَاءِ، وَهَٰذَا النَّقۡلُ غَيۡرُ صَحِيحٍ لِأَنَّهُ لَا سَنَدَ لَهُ، وَلِأَنَّ الۡإِيمَانَ بِعُلُوِّ اللهِ وَالسُّجُودَ لَهُ لَا يَخۡتَصَّانِ بِهَٰذِهِ الۡأُمَّةِ وَمَا لَا يَخۡتَصُّ لَا يَصِحُّ أَنۡ يَكُونَ عَلَامَةً، وَلِأَنَّ التَّعۡبِيرَ بِالزَّعۡمِ فِي هَٰذَا الۡأَمۡرِ لَيۡسَ بِمَدۡحٍ لِأَنَّ أَكۡثَرَ مَا يَأۡتِي الزَّعۡمُ فِيمَا يُشَكُّ فِيهِ.

Peringatan: Mualif—rahimahullah—menyebutkan bahwa beliau menukil dari sebagian kitab terdahulu bahwa termasuk tanda-tanda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para sahabatnya bahwa mereka sujud di muka bumi dan menganggap bahwa tuhan mereka di atas langit. Penukilan ini tidak sahih karena tidak memiliki sanad dan karena keimanan terhadap ketinggian Allah dan sujud kepada-Nya tidak dikhususkan untuk umat ini. Semua yang bukan kekhususan berarti tidak benar untuk menjadi sebuah tanda. Juga penggunaan ungkapan dengan kata za’ama dalam perkara ini tidak tepat karena seringnya za’ama digunakan untuk perkara yang masih diragukan.

[3] جَوَابُ الۡإِمَامِ مَالِكِ بۡنِ أَنَسِ بۡنِ مَالِكٍ:

وَلَيۡسَ أَبُوهُ أَنَسَ بۡنَ مَالِكٍ الصَّحَابِيَّ بَلۡ غَيۡرَهُ وَكَانَ جَدُّ مَالِكٍ مِنۡ كِبَارِ التَّابِعِينَ، وَأَبُو جَدِّهِ مِنَ الصَّحَابَةِ. وُلِدَ مَالِكٌ سَنَةَ ٩٣هـ بِالۡمَدِينَةِ وَمَاتَ فِيهَا سَنَةَ ١٧٩هـ، وَهُوَ فِي عَصۡرِ تَابِعِي التَّابِعِينَ.

Jawaban Imam Malik bin Anas bin Malik:

Ayahnya bukanlah sahabat Anas bin Malik. Kakek Malik termasuk tabiin senior dan ayah dari kakeknya ini adalah termasuk sahabat. Malik dilahirkan pada tahun 93 H di Madinah dan meninggal di situ pada tahun 179 H. Beliau di masa tabi’ut tabi’in.

سُئِلَ مَالِكٌ فَقِيلَ: يَا أَبَا عَبۡدِ اللهِ ﴿ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ﴾ [طه: ٥] كَيۡفَ اسۡتَوَى؟ فَقَالَ رَحِمَهُ اللهُ: (الۡاِسۡتِوَاءُ غَيۡرُ مَجۡهُولٍ) أَيۡ: مَعۡلُومُ الۡمَعۡنَى وَهُوَ الۡعُلُوُّ وَالۡاِسۡتِقۡرَارُ (وَالۡكَيۡفُ غَيۡرُ مَعۡقُولٍ) أَيۡ: كَيۡفِيَةُ الۡاِسۡتِوَاءِ غَيۡرُ مُدۡرَكَةٍ بِالۡعَقۡلِ لِأَنَّ اللهَ تَعَالَى أَعۡظَمُ وَأَجَلُّ مِنۡ أَنۡ تُدۡرَكَ الۡعُقُولُ كَيۡفِيَةَ صِفَاتِهِ.

Malik ditanya, “Wahai Abu ‘Abdullah, ayat: Yang Maha Penyayang bersemayam di atas arasy. (QS. Thaha: 5). Bagaimana Allah bersemayam?”

Beliau—rahimahullah—berkata, “Istiwa (bersemayam) bukan kata yang asing,” maksudnya sudah diketahui maknanya. Yaitu tinggi dan menetap.

“Kaifiatnya tidak bisa dimengerti,” artinya bersemayamnya tidak bisa dijangkau oleh akal karena kaifiat sifat Allah taala lebih agung dan lebih mulia daripada yang bisa dijangkau oleh akal.

(وَالۡإِيمَانُ بِهِ) أَيۡ: الۡاِسۡتِوَاءِ (وَاجِبٌ) لِوُرُودِهِ فِي الۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ (وَالسُّؤَالُ عَنۡهُ) أَيۡ: عَنِ الۡكَيۡفِ (بِدۡعَةٌ) لِأَنَّ السُّؤَالَ عَنۡهُ لَمۡ يَكُنۡ فِي عَهۡدِ النَّبِيِّ ﷺ وَأَصۡحَابِهِ.

“Mengimaninya,” artinya mengimani bersemayamnya Allah adalah wajib karena adanya dalil di dalam Alquran dan Sunah.

“Bertanya tentangnya,” yakni tentang tatacaranya, “adalah bidah” karena pertanyaan tentangnya tidak pernah ada di masa Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para sahabatnya.

ثُمَّ أَمَرَ بِالسَّائِلِ فَأُخۡرِجَ مِنَ الۡمَسۡجِدِ خَوۡفًا مِنۡ أَنۡ يُفَتِّنَ النَّاسَ فِي عَقِيدَتِهِمۡ وَتَعۡزِيرًا لَهُ بِمَنۡعِهِ مِنۡ مَجَالِسِ الۡعِلۡمِ.

Lalu beliau memerintahkan agar si penanya itu dikeluarkan dari masjid karena khawatir akan menjadi cobaan kaum muslimin dalam akidah mereka dan sebagai hukuman terhadapnya dengan menghalanginya dari majelis-majelis ilmu.

Shahih Al-Bukhari hadis nomor 6403

٦٦ - بَابُ فَضۡلِ التَّهۡلِيلِ
66. Bab Keutamaan Tahlil


٦٤٠٣ - حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ مَسۡلَمَةَ، عَنۡ مَالِكٍ، عَنۡ سُمَيٍّ، عَنۡ أَبِي صَالِحٍ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (مَنۡ قَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحۡدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الۡمُلۡكُ وَلَهُ الۡحَمۡدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىۡءٍ قَدِيرٌ، فِي يَوۡمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ، كَانَتۡ لَهُ عَدۡلَ عَشۡرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ، وَمُحِيَتۡ عَنۡهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتۡ لَهُ حِرۡزًا مِنَ الشَّيۡطَانِ يَوۡمَهُ ذٰلِكَ حَتَّى يُمۡسِيَ، وَلَمۡ يَأۡتِ أَحَدٌ بِأَفۡضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا رَجُلٌ عَمِلَ أَكۡثَرَ مِنۡهُ). [طرفه في: ٣٢٩٣].

6403. ‘Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami dari Malik, dari Sumai, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah—radhiyallahu ‘anhu—: Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Barang siapa mengucapkan: Lā ilāha illallāhu waḥdahu lā syarīka lah, lahul mulku wa lahul ḥamd, wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr (Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hanya milik-Nya kekuasaan dan hanya milik-Nya segala pujian. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.); dalam sehari sebanyak seratus kali, niscaya ucapan tersebut berpahala untuknya semisal pahala membebaskan sepuluh budak, seratus kebaikan akan dicatat untuknya, seratus kejelekan akan dihapuskan darinya, dan ucapan itu akan menjadi benteng untuknya dari (serangan) setan pada hari itu sampai petang hari. Tidak ada seorang pun bisa membawa sesuatu yang lebih afdal daripada yang dia lakukan kecuali seseorang yang beramal lebih banyak daripada dia.”

Sunan At-Tirmidzi hadis nomor 2180

١٨ - بَابُ مَا جَاءَ لَتَرۡكَبُنَّ سَنَنَ مَنۡ كَانَ قَبۡلَكُمۡ
18. Bab riwayat bahwa kalian pasti akan menempuh jalan hidup orang sebelum kalian


٢١٨٠ - (صحيح) حَدَّثَنَا سَعِيدُ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ الۡمَخۡزُومِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ سِنَانِ بۡنِ أَبِي سِنَانٍ، عَنۡ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيۡثِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ لَمَّا خَرَجَ إِلَى حُنَيۡنٍ مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلۡمُشۡرِكِينَ يُقَالُ لَهَا: ذَاتُ أَنۡوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيۡهَا أَسۡلِحَتَهُمۡ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ اجۡعَلۡ لَنَا ذَاتَ أَنۡوَاطٍ كَمَا لَهُمۡ ذَاتُ أَنۡوَاطٍ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (سُبۡحَانَ اللهِ! هٰذَا كَمَا قَالَ قَوۡمُ مُوسَى ﴿اجۡعَلۡ لَنَآ إِلَهًا كَمَا لَهُمۡ آلِهَةٌ﴾ [الأعراف: ١٣٨]‏ وَالَّذِي نَفۡسِي بِيَدِهِ لَتَرۡكَبُنَّ سُنَّةَ مَنۡ كَانَ قَبۡلَكُمۡ). هٰذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. وَأَبُو وَاقِدٍ اللَّيۡثِيُّ اسۡمُهُ: الۡحَارِثُ بۡنُ عَوۡفٍ. وَفِي الۡبَابِ عَنۡ أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيۡرَةَ. [(ظلال الجنة)(٧٦)، (المشكاة)(٥٣٦٩)].

2180. [Sahih] Sa’id bin ‘Abdurrahman Al-Makhzumi telah menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami dari Az-Zuhri, dari Sinan bin Abu Sinan, dari Abu Waqid Al-Laitsi:

Ketika Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—keluar menuju Hunain, beliau melewati sebuah pohon milik kaum musyrikin yang dinamai Dzat Anwath. Mereka menggantungkan senjata-senjata di situ. Kaum muslimin berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan Dzat Anwath untuk kami sebagaimana mereka memiliki Dzat Anwath.”

Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Maha Suci Allah. Ucapan ini seperti yang diucapkan oleh kaum Nabi Musa, ‘Buatkan kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan.’ Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian pasti akan menempuh jalan hidup orang sebelum kalian.”

Ini adalah hadis hasan sahih. Abu Waqid Al-Laitsi bernama Al-Harits bin ‘Auf. Dalam bab ini, ada hadis dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah.

Allah Tertawa

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah (wafat 620 H) di dalam kitab Lum'atul I'tiqad berkata,

وَقَوۡلُهُ: (يَضۡحَكُ اللهُ إِلَى رَجُلَيۡنِ قَتَلَ أَحَدُهُمَا الۡآخَرَ ثُمَّ يَدۡخُلَانِ الۡجَنَّةَ).
Sabda Nabi, “Allah tertawa kepada dua orang, salah satunya membunuh yang lain, kemudian keduanya masuk janah.”[1]
فَهَٰذَا وَمَا أَشۡبَهَهُ مِمَّا صَحَّ سَنَدُهُ، وَعُدِّلَتۡ رِوَايَتُهُ نُؤۡمِنُ بِهِ، وَلَا نَرُدُّهُ، وَلَا نَجۡحَدُهُ، وَلَا نَتَأَوَّلُهُ بِتَأۡوِيلٍ يُخَالِفُ ظَاهِرَهُ وَلَا نُشَبِّهُهُ بِصِفَاتِ الۡمَخۡلُوقِينَ، وَلَا بِسِمَاتِ الۡمُحۡدَثِينَ، وَنَعۡلَمُ أَنَّ اللهَ سُبۡحَانَهُ لَا شَبِيهَ لَهُ، وَلَا نَظِيرَ ﴿لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ﴾ [الشورى: ١١]، وَكُلُّ مَا يُخَيَّلُ فِي الذِّهۡنِ أَوۡ خَطَرَ بِالۡبَالِ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى بِخِلَافِهِ.
Sifat ini dan sifat semisalnya yang bersumber dari hadis yang sahih sanadnya dan para rawinya dinilai adil, maka kita mengimaninya, tidak menolaknya, tidak menentangnya, tidak menakwil dengan takwil yang menyelisihi lahiriahnya, tidak menyerupakannya dengan sifat makhluk atau ciri yang dibuat-buat. Kita mengetahui bahwa Allah Yang Maha Suci tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak ada yang menandingi-Nya. “Tidak ada sesuatupun yang semisal dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11). Setiap yang dikhayalkan dalam pikiran atau terbetik dalam benak, maka sesungguhnya Allah taala berbeda darinya.



Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin (wafat 1421 H) rahimahullah berkata di dalam syarahnya,

[1] الصِّفَةُ الثَّانِيَةُ عَشۡرَةَ: الضَّحِكُ:

Sifat kedua belas: Tertawa.

الضَّحِكُ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ الثَّابِتَةِ لَهُ بِالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ.

قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (يَضۡحَكُ اللهُ إِلَى رَجُلَيۡنِ يَقۡتُلُ أَحَدُهُمَا الۡآخَرَ يَدۡخُلَانِ الۡجَنَّةَ).

وَتَمَامُ الۡحَدِيثِ: (يُقَاتِلُ هَٰذَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَيُقۡتَلُ ثُمَّ يَتُوبُ اللهُ عَلَى الۡقَاتِلِ فَيُسۡتَشۡهَدُ). متفق عليه.

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى إِثۡبَاتِ الضَّحِكِ لِلهِ.

Tertawa termasuk sifat Allah yang pasti bagi-Nya berdasarkan sunah dan ijmak ulama salaf.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tertawa kepada dua orang, salah satunya membunuh yang lain, lalu kedua-duanya masuk janah.” Kelengkapan hadis tersebut, “Orang yang satu ini berperang di jalan Allah lalu terbunuh. Kemudian Allah menerima tobat si pembunuh, kemudian dia mati syahid.” (Muttafaqun ‘alaih; HR. Al-Bukhari nomor 2826 dan Muslim nomor 1890).

Para ulama salaf telah bersepakat menetapkan sifat tertawa bagi Allah.

فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ لَهُ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ.

وَهُوَ ضَحِكٌ حَقِيقِيٌّ يَلِيقُ بِاللهِ تَعَالَى.

Sehingga wajib menetapkan sifat tersebut untuk-Nya dengan tanpa tahrif (menyelewengkan maknanya), ta’thil (menolaknya), takyif (menentukan kaifiatnya), dan tamtsil (menyerupakannya). Itu adalah sifat tertawa yang hakiki yang layak bagi Allah taala.

وَفَسَّرَهُ أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ بِالثَّوَابِ، وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ.

Para penolak sifat menafsirkannya dengan pahala. Kita bantah mereka dengan kaidah keempat yang telah lewat.

Shahih Al-Bukhari hadis nomor 1471 dan 1472

١٤٧١ - حَدَّثَنَا مُوسَى: حَدَّثَنَا وُهَيۡبٌ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنِ الزُّبَيۡرِ بۡنِ الۡعَوَّامِ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: (لَأَنۡ يَأۡخُذَ أَحَدُكُمۡ حَبۡلَهُ، فَيَأۡتِيَ بِحُزۡمَةِ الۡحَطَبِ عَلَى ظَهۡرِهِ فَيَبِيعَهَا، فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجۡهَهُ، خَيۡرٌ لَهُ مِنۡ أَنۡ يَسۡأَلَ النَّاسَ، أَعۡطَوۡهُ أَوۡ مَنَعُوهُ). [الحديث ١٤٧١ - طرفاه في: ٢٠٧٥، ٢٣٧٣].

1471. Musa telah menceritakan kepada kami: Wuhaib menceritakan kepada kami: Hisyam menceritakan kepada kami dari ayahnya, dari Az-Zubair bin Al-‘Awwam—radhiyallahu ‘anhu—, dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Beliau bersabda, “Salah seorang kalian mengambil talinya, lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya lalu menjualnya sehingga Allah menjaga wajahnya dengan itu, pasti lebih baik baginya daripada dia meminta kepada orang-orang, entah diberi atau tidak.”

١٤٧٢ - وَحَدَّثَنَا عَبۡدَانُ: أَخۡبَرَنَا عَبۡدُ اللهِ: أَخۡبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ عُرۡوَةَ بۡنِ الزُّبَيۡرِ، وَسَعِيدِ بۡنِ الۡمُسَيَّبِ: أَنَّ حَكِيمَ بۡنَ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: سَأَلۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ فَأَعۡطَانِي، ثُمَّ سَأَلۡتُهُ فَأَعۡطَانِي، ثُمَّ سَأَلۡتُهُ فَأَعۡطَانِي، ثُمَّ قَالَ: (يَا حَكِيمُ، إِنَّ هٰذَا الۡمَالَ خَضِرَةٌ حُلۡوَةٌ، فَمَنۡ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفۡسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ، وَمَنۡ أَخَذَهُ بِإِشۡرَافِ نَفۡسٍ لَمۡ يُبَارَكۡ لَهُ فِيهِ، كَالَّذِي يَأۡكُلُ وَلَا يَشۡبَعُ، الۡيَدُ الۡعُلۡيَا خَيۡرٌ مِنَ الۡيَدِ السُّفۡلَى). قَالَ حَكِيمٌ: فَقُلۡتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالۡحَقِّ، لَا أَرۡزَأُ أَحَدًا بَعۡدَكَ شَيۡئًا، حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنۡيَا. فَكَانَ أَبُو بَكۡرٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ يَدۡعُو حَكِيمًا إِلَى الۡعَطَاءِ فَيَأۡبَى أَنۡ يَقۡبَلَهُ مِنۡهُ، ثُمَّ إِنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ دَعَاهُ لِيُعۡطِيَهُ فَأَبَى أَنۡ يَقۡبَلَ مِنۡهُ شَيۡئًا، فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أُشۡهِدُكُمۡ يَا مَعۡشَرَ الۡمُسۡلِمِينَ عَلَى حَكِيمٍ، أَنِّي أَعۡرِضُ عَلَيۡهِ حَقَّهُ مِنۡ هٰذَا الۡفَيۡءِ، فَيَأۡبَى أَنۡ يَأۡخُذَهُ. فَلَمۡ يَرۡزَأۡ حَكِيمٌ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ بَعۡدَ رَسُولِ اللهِ ﷺ حَتَّى تُوُفِّيَ. [الحديث ١٤٧٢ - أطرافه في: ٢٧٥٠، ٣١٤٣، ٦٤٤١].

1472. ‘Abdan telah menceritakan kepada kami: ‘Abdullah mengabarkan kepada kami: Yunus mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri, dari ‘Urwah bin Az-Zubair dan Sa’id bin Al-Musayyab:

Hakim bin Hizam—radhiyallahu ‘anhu—mengatakan: Aku meminta harta kepada Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, lalu beliau memberiku. Kemudian aku meminta beliau, lalu beliau memberiku. Kemudian aku meminta beliau, lalu beliau memberiku. Kemudian beliau bersabda, “Wahai Hakim, sungguh harta ini hijau dan manis. Siapa saja yang mengambilnya dengan kemurahan hati, dia akan diberkahi pada harta itu. Siapa saja yang mengambilnya dengan ketamakan jiwa, dia tidak diberkahi padanya seperti orang yang makan namun tidak bisa kenyang. Tangan yang atas lebih baik daripada tangan yang bawah.”

Hakim berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan mengambil sedikit pun harta seseorang setelah Anda sampai aku berpisah dengan dunia.”

Dahulu, Abu Bakr—radhiyallahu ‘anhu—pernah memanggil Hakim untuk memberikan pemberian, namun Hakim tidak mau menerimanya. Kemudian ‘Umar—radhiyallahu ‘anhu—juga memanggil untuk memberinya harta, namun Hakim tidak mau menerimanya. ‘Umar berkata, “Aku persaksikan kepada kalian wahai kaum muslimin terhadap Hakim, bahwasanya aku telah menawarkan haknya dari harta fai ini lalu dia tidak mau menerimanya.”

Hakim tidak pernah mengurangi harta seorangpun setelah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—sampai wafat.

Shahih Al-Bukhari hadis nomor 1237

١ - بَابٌ فِي الۡجَنَائِزِ وَمَنۡ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ
1. Bab tentang jenazah dan barang siapa yang akhir ucapannya adalah “lā ilāha illallāh (tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah)”


وَقِيلَ لِوَهۡبِ بۡنِ مُنَبِّهٍ: أَلَيۡسَ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مِفۡتَاحُ الۡجَنَّةِ؟ قَالَ: بَلَى، وَلَكِنۡ لَيۡسَ مِفۡتَاحٌ إِلَّا لَهُ أَسۡنَانٌ، فَإِنۡ جِئۡتَ بِمِفۡتَاحٍ لَهُ أَسۡنَانٌ فُتِحَ لَكَ، وَإِلَّا لَمۡ يُفۡتَحۡ لَكَ.

Ada yang bertanya kepada Wahb bin Munabbih, “Bukankah kalimat ‘lā ilāha illallāh’ merupakan kunci janah?”

Beliau menjawab, “Tentu, tetapi tidaklah suatu kunci kecuali memiliki gigi-gigi. Jika engkau membawa kunci yang memiliki gigi-giginya, pintunya akan bisa terbuka, namun jika tidak, pintunya tidak bisa terbuka.”

١٢٣٧ - حَدَّثَنَا مُوسَى بۡنُ إِسۡمَاعِيلَ: حَدَّثَنَا مَهۡدِيُّ بۡنُ مَيۡمُونٍ: حَدَّثَنَا وَاصِلٌ الۡأَحۡدَبُ، عَنِ الۡمَعۡرُورِ بۡنِ سُوَيۡدٍ، عَنۡ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (أَتَانِي آتٍ مِنۡ رَبِّي، فَأَخۡبَرَنِي - أَوۡ قَالَ: بَشَّرَنِي - أَنَّهُ مَنۡ مَاتَ مِنۡ أُمَّتِي لَا يُشۡرِكُ بِاللهِ شَيۡئًا دَخَلَ الۡجَنَّةَ). قُلۡتُ: وَإِنۡ زَنَى وَإِنۡ سَرَقَ؟ قَالَ: (وَإِنۡ زَنَى وَإِنۡ سَرَقَ). [الحديث ١٢٣٧ - أطرافه في: ١٤٠٨، ٢٣٨٨، ٣٢٢٢، ٥٨٢٧، ٦٢٦٨، ٦٤٤٣، ٦٤٤٤، ٧٤٨٧].

1237. Musa bin Isma’il telah menceritakan kepada kami: Mahdi bin Maimun menceritakan kepada kami: Washil Al-Ahdab menceritakan kepada kami dari Al-Ma’rur bin Suwaid, dari Abu Dzarr—radhiyallahu ‘anhu—. Beliau mengatakan:

Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Ada (utusan) yang mendatangiku dari Tuhanku. Dia mengabarkan kepadaku—atau beliau berkata: Dia memberi kabar gembira kepadaku—bahwa siapa saja yang meninggal dari umatku dalam keadaan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah, niscaya dia akan masuk janah.”

Aku bertanya, “Walaupun dia berzina dan walaupun dia mencuri?”

Rasulullah menjawab, “Walaupun dia berzina dan walaupun dia mencuri.”

Shahih Al-Bukhari hadis nomor 3267

٣٢٦٧ - حَدَّثَنَا عَلِيٌّ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، عَنِ الۡأَعۡمَشِ، عَنۡ أَبِي وَائِلٍ قَالَ: قِيلَ لِأُسَامَةَ: لَوۡ أَتَيۡتَ فُلَانًا فَكَلَّمۡتَهُ، قَالَ: إِنَّكُمۡ لَتَرَوۡنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ، إِلَّا أُسۡمِعُكُمۡ، إِنِّي أُكَلِّمُهُ فِي السِّرِّ، دُونَ أَنۡ أَفۡتَحَ بَابًا لَا أَكُونُ أَوَّلَ مَنۡ فَتَحَهُ، وَلَا أَقُولُ لِرَجُلٍ أَنۡ كَانَ عَلَيَّ أَمِيرًا، إِنَّهُ خَيۡرُ النَّاسِ، بَعۡدَ شَيۡءٍ سَمِعۡتُهُ مِنۡ رَسُولِ اللهِ ﷺ، قَالُوا: وَمَا سَمِعۡتَهُ يَقُولُ؟ قَالَ: سَمِعۡتُهُ يَقُولُ: (يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ فَيُلۡقَى فِي النَّارِ، فَتَنۡدَلِقُ أَقۡتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الۡحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيَجۡتَمِعُ أَهۡلُ النَّارِ عَلَيۡهِ فَيَقُولُونَ: أَيۡ فُلَانُ مَا شَأۡنُكَ؟ أَلَيۡسَ كُنۡتَ تَأۡمُرُنَا بِالۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَى عَنِ الۡمُنۡكَرِ؟ قَالَ: كُنۡتُ آمُرُكُمۡ بِالۡمَعۡرُوفِ وَلَا آتِيهِ، وَأَنۡهَاكُمۡ عَنِ الۡمُنۡكَرِ وَآتِيهِ).

رَوَاهُ غُنۡدَرٌ، عَنۡ شُعۡبَةَ عَنِ الۡأَعۡمَشِ. [الحديث ٣٢٦٧ - طرفه في: ٧٠٩٨].

3267. ‘Ali telah menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami dari Al-A’masy, dari Abu Wa`il. Beliau berkata: Ada yang berkata kepada Usamah: Andai engkau mendatangi si Polan lalu berbicara dengannya.

Usamah berkata: Sesungguhnya kalian mengira kalau aku tidak berbicara dengannya kecuali kalau aku memperdengarkannya kepada kalian. Sesungguhnya aku berbicara kepadanya secara rahasia sehingga aku tidak membuka sebuah pintu fitnah yang aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membukanya. Aku juga tidak akan mengatakan kepada seseorang walaupun dia pemimpinku bahwa dia adalah orang yang terbaik. Aku bersikap demikian setelah aku mendengar ucapan Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—.

Orang-orang bertanya: Ucapan apa yang engkau dengar dari beliau?

Usamah berkata: Aku mendengar beliau bersabda:

Pada hari kiamat, seseorang akan didatangkan lalu dilemparkan ke dalam neraka. Ususnya akan terburai di neraka lalu dia akan berjalan berputar sebagaimana keledai mengitari batu kilangannya. Penduduk neraka akan mengerumuninya lalu bertanya, “Hai Fulan, ada apa denganmu? Bukankah dahulu engkau memerintahkan kami untuk berbuat kebaikan dan melarang kami dari perbuatan mungkar?”

Orang itu menjawab, “Dahulu aku memerintahkan kalian untuk berbuat kebaikan namun aku sendiri tidak melakukannya dan aku melarang kalian dari perbuatan mungkar, namun justru aku melakukannya.”

Ghundar meriwayatkannya dari Syu’bah, dari Al-A’masy.

Shahih Al-Bukhari hadis nomor 1469 dan 1470

٥١ - بَابُ الۡاِسۡتِعۡفَافِ عَنِ الۡمَسۡأَلَةِ
51. Bab menjaga diri dari perbuatan meminta-minta


١٤٦٩ - حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ يُوسُفَ: أَخۡبَرَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ عَطَاءِ بۡنِ يَزِيدَ اللَّيۡثِيِّ، عَنۡ أَبِي سَعِيدٍ الۡخُدۡرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ: أَنَّ نَاسًا مِنَ الۡأَنۡصَارِ، سَأَلُوا رَسُولَ اللهِ ﷺ فَأَعۡطَاهُمۡ، ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعۡطَاهُمۡ، حَتَّى نَفِدَ مَا عِنۡدَهُ، فَقَالَ: (مَا يَكُونُ عِنۡدِي مِنۡ خَيۡرٍ فَلَنۡ أَدَّخِرَهُ عَنۡكُمۡ، وَمَنۡ يَسۡتَعۡفِفۡ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنۡ يَسۡتَغۡنِ يُغۡنِهِ اللهُ، وَمَنۡ يَتَصَبَّرۡ يُصَبِّرۡهُ اللهُ، وَمَا أُعۡطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيۡرًا وَأَوۡسَعَ مِنَ الصَّبۡرِ). [الحديث ١٤٦٩ - طرفه في: ٦٤٧٠].

1469. ‘Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, dari ‘Atha` bin Yazid Al-Laitsi, dari Abu Sa’id Al-Khudri—radhiyallahu ‘anhu—:

Orang-orang ansar meminta Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Beliau pun memberi mereka. Kemudian mereka meminta beliau, lalu beliau memberi mereka sampai harta beliau habis. Beliau bersabda, “Segala kebaikan yang aku punyai, aku tidak akan menyimpannya dan menahannya dari kalian. Barang siapa yang berusaha menjaga dirinya, niscaya Allah akan berikan ifah kepadanya. Barang siapa yang menampakkan kecukupan, niscaya Allah akan mencukupinya. Barang siapa yang berusaha bersabar, niscaya Allah akan memberinya kesabaran. Tidak ada seorang pun yang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.”

١٤٧٠ - حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ يُوسُفَ: أَخۡبَرَنَا مَالِكٌ، عَنۡ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الۡأَعۡرَجِ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (وَالَّذِي نَفۡسِي بِيَدِهِ، لَأَنۡ يَأۡخُذَ أَحَدُكُمۡ حَبۡلَهُ، فَيَحۡتَطِبَ عَلَى ظَهۡرِهِ، خَيۡرٌ لَهُ مِنۡ أَنۡ يَأۡتِيَ رَجُلًا فَيَسۡأَلَهُ، أَعۡطَاهُ أَوۡ مَنَعَهُ). [الحديث ١٤٧٠ - أطرافه في: ١٤٨٠، ٢٠٧٤، ٢٣٧٤].

1470. ‘Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami: Malik mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah—radhiyallahu ‘anhu—:

Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, salah seorang kalian mengambil talinya lalu dia mengumpulkan kayu bakar di atas punggungnya, lebih baik baginya daripada dia mendatangi seseorang lalu memintanya, entah orang itu memberinya atau tidak.”

Ketakjuban Allah

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (wafat 620 H) rahimahullah di dalam kitab Lum'atul I'tiqad berkata,
وَقَوۡلُهُ: (يَعۡجَبُ رَبُّكَ مِنَ الشَّابِّ لَيۡسَتۡ لَهُ صَبۡوَةٌ).
Sabda beliau, “Rabb-mu takjub akan pemuda yang tidak memiliki kecondongan kepada hal yang sia-sia.”[1]


Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin (wafat 1421 H) rahimahullah di dalam syarahnya berkata,

[1] الصِّفَةُ الۡحَادِيَةُ عَشۡرَةَ: الۡعَجَبُ:

الۡعَجَبُ مِنۡ صِفَاتِ اللهِ الثَّابِتَةِ لَهُ بِالۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجۡمَاعِ السَّلَفِ.

Sifat kesebelas: Takjub.

Takjub temasuk sifat-sifat Allah yang pasti bagi-Nya berdasarkan Alquran, sunah, dan ijmak ulama salaf.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿بَلۡ عَجِبۡتَ وَيَسۡخَرُونَ﴾ [الصافات: ١٢] عَلَى قِرَاءَةِ ضَمِّ التَّاءِ.

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (يَعۡجَبُ رَبُّكَ مِنَ الشَّابِّ لَيۡسَتۡ لَهُ صَبۡوَةٌ) رَوَاهُ أَحۡمَدُ وَهُوَ فِي الۡمُسۡنَدِ (٤/١٥١) عَنۡ عُقۡبَةَ بۡنِ عَامِرٍ مَرۡفُوعًا وَفِيهِ ابۡنُ لَهِيعَةَ.

Allah taala berfirman, “Bahkan Aku takjub (akan keingkaran mereka) dan mereka menghinakan kamu.” (QS. Ash-Shaffat: 12) sesuai qiraah dengan mendamah huruf ta.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb-mu takjub akan pemuda yang tidak memiliki kecondongan kepada hal yang sia-sia.” Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam Al-Musnad nomor 17506 dari ‘Uqbah bin ‘Amir secara marfuk. Di dalam sanadnya ada Ibnu Lahi’ah.

وَأَجۡمَعَ السَّلَفُ عَلَى ثُبُوتِ الۡعَجَبِ لِلهِ.

فَيَجِبُ إِثۡبَاتُهُ لَهُ مِنۡ غَيۡرِ تَحۡرِيفٍ وَلَا تَعۡطِيلٍ وَلَا تَكۡيِيفٍ وَلَا تَمۡثِيلٍ.

وَهُوَ عَجَبٌ حَقِيقِيٌّ يَلِيقُ بِاللهِ.

وَفَسَّرَهُ أَهۡلُ التَّعۡطِيلِ بِالۡمُجَازَاةِ وَنَرُدُّ عَلَيۡهِمۡ بِمَا سَبَقَ فِي الۡقَاعِدَةِ الرَّابِعَةِ.

Ulama salaf telah bersepakat akan kepastian sifat takjub bagi Allah. Itu merupakan sifat takjub yang hakiki yang layak bagi Allah.

Para penolak sifat menafsirkannya pemberian balasan. Kita bantah mereka dengan kaidah keeempat yang telah lewat.

وَالۡعَجَبُ نَوۡعَانِ:

أَحَدُهُمَا: أَنۡ يَكُونَ صَادِرًا عَنۡ خَفَاءِ الۡأَسۡبَابِ عَلَى الۡمُتَعَجِّبِ فَيَنۡدَهِشُ لَهُ وَيَسۡتَعۡظِمُهُ وَيَتَعَجَّبُ مِنۡهُ، وَهَٰذَا النَّوۡعُ مُسۡتَحِيلٌ عَلَى اللهِ لِأَنَّ اللهَ لَا يَخۡفَى عَلَيۡهِ شَيۡءٌ.

Takjub ada dua jenis.

Pertama: Rasa takjub yang muncul dari tersembunyinya sebab-sebab takjub tadi bagi pelaku takjub. Sehingga dia terkejut karenanya, menganggapnya besar, dan heran terhadapnya. Takjub ini mustahil bagi Allah, karena tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah.

الثَّانِي: أَنۡ يَكُونَ سَبَبُهُ خُرُوجَ الشَّيۡءِ عَنۡ نَظَائِرِهِ أَوۡ عَمَّا يَنۡبَغِي أَنۡ يَكُونَ عَلَيۡهِ مَعَ عِلۡمِ الۡمُتَعَجِّبُ، وَهَٰذَا هُوَ الثَّابِتُ لِلهِ تَعَالَى.

Kedua: Takjub yang sebabnya adalah perihal yang keluar dari keumuman atau keluar dari keadaan yang semestinya, bersamaan adanya pengetahuan pelaku takjub akan hal itu. Sifat takjub inilah yang pasti Allah taala miliki.

Shahih Al-Bukhari hadis nomor 1468

٥٠ - بَابُ قَوۡلِ اللهِ تَعَالَى: ﴿وَفِي الرِّقَابِ وَالۡغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ﴾ [التوبة: ٦٠]
50. Bab firman Allah taala, “Untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah” (QS. At-Taubah: 60)


وَيُذۡكَرُ عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا: يُعۡتِقُ مِنۡ زَكَاةِ مَالِهِ، وَيُعۡطِي فِي الۡحَجِّ.

Disebutkan dari Ibnu ‘Abbas—radhiyallahu ‘anhuma—: Seseorang boleh membebaskan budak dan membiayai haji (orang fakir) menggunakan zakat malnya.

وَقَالَ الۡحَسَنُ: إِنِ اشۡتَرَى أَبَاهُ مِنَ الزَّكَاةِ جَازَ، وَيُعۡطِي فِي الۡمُجَاهِدِينَ، وَالَّذِي لَمۡ يَحُجَّ، ثُمَّ تَلَا: ﴿إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلۡفُقَرَاءِ﴾ الۡآيَةَ، فِي أَيِّهَا أَعۡطَيۡتَ أَجۡزَأَتۡ.

Al-Hasan berkata: Jika seseorang membeli ayahnya (yang berstatus budak) dari harta zakat, ini diperbolehkan. Boleh pula untuk membiayai para mujahid dan orang (fakir) yang belum berhaji. Kemudian beliau membaca ayat, “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir...” sampai akhir ayat. Kepada orang mana saja (yang tersebut di ayat) engkau berikan zakat, hal itu sah.

وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (إِنَّ خَالِدًا احۡتَبَسَ أَدۡرَاعَهُ فِي سَبِيلِ اللهِ). وَيُذۡكَرُ عَنۡ أَبِي لَاسٍ: حَمَلَنَا النَّبِيُّ ﷺ عَلَى إِبِلِ الصَّدَقَةِ لِلۡحَجِّ.

Nabi—shallallahu 'alaihi ‘wa sallam—bersabda, “Sesungguhnya Khalid telah mewakafkan baju-baju besinya di jalan Allah.”

Disebutkan dari Abu Las: Nabi—shallallahu 'alaihi ‘wa sallam—membawa kami di atas unta sedekah untuk ibadah haji.

١٤٦٨ - حَدَّثَنَا أَبُو الۡيَمَانِ: أَخۡبَرَنَا شُعَيۡبٌ: حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ، عَنِ الۡأَعۡرَجِ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: أَمَرَ رَسُولُ اللهِ ﷺ بِالصَّدَقَةِ، فَقِيلَ: مَنَعَ ابۡنُ جَمِيلٍ، وَخَالِدُ بۡنُ الۡوَلِيدِ، وَعَبَّاسُ بۡنُ عَبۡدِ الۡمُطَّلِبِ! فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (مَا يَنۡقِمُ ابۡنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغۡنَاهُ اللهُ وَرَسُولُهُ، وَأَمَّا خَالِدٌ: فَإِنَّكُمۡ تَظۡلِمُونَ خَالِدًا، قَدِ احۡتَبَسَ أَدۡرَاعَهُ وَأَعۡتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَأَمَّا الۡعَبَّاسُ بۡنُ عَبۡدِ الۡمُطَّلِبِ: فَعَمُّ رَسُولِ اللهِ ﷺ، فَهِيَ عَلَيۡهِ صَدَقَةٌ وَمِثۡلُهَا مَعَهَا). تَابَعَهُ ابۡنُ أَبِي الزِّنَادِ، عَنۡ أَبِيهِ. وَقَالَ ابۡنُ إِسۡحَاقَ، عَنۡ أَبِي الزِّنَادِ: (هِيَ عَلَيۡهِ وَمِثۡلُهَا مَعَهَا). وَقَالَ ابۡنُ جُرَيۡجٍ: حُدِّثۡتُ عَنِ الۡأَعۡرَجِ: بِمِثۡلِهِ.

1468. Abu Al-Yaman telah menceritakan kepada kami: Syu’aib mengabarkan kepada kami: Abu Az-Zinad menceritakan kepada kami dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah—radhiyallahu ‘anhu—. Beliau mengatakan:

Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—memerintahkan zakat, lalu ada yang berkata, “Ibnu Jamil, Khalid bin Al-Walid, dan ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib tidak mau berzakat.”

Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, "Tidak ada alasan bagi Ibnu Jamil untuk membenci zakat, karena dahulu dia fakir lalu Allah dan Rasul-Nya telah mencukupinya. Adapun Khalid, kalian telah menzalimi Khalid. Dia telah mewakafkan baju dan perlengkapan perangnya di jalan Allah. Adapun Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, beliau adalah paman Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Dia wajib zakat. (Dia akan mengeluarkan zakat) dan yang semisal zakat bersamanya.”

Ibnu Abu Az-Zinad mengiringi Syu’aib, dari ayahnya. Ibnu Ishaq berkata dari Abu Az-Zinad, “Hal itu wajib baginya dan yang semisal itu bersamanya.” Ibnu Juraij berkata: Ada yang menceritakan kepadaku dari Al-A'raj semisal hadis tersebut.

Sunan At-Tirmidzi hadis nomor 3386

١١ - بَابُ مَا جَاءَ فِي رَفۡعِ الۡأَيۡدِي عِنۡدَ الدُّعَاءِ
11. Bab riwayat tentang mengangkat tangan ketika berdoa


٣٣٨٦ - (ضعيف) حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّى وَإِبۡرَاهِيمُ بۡنُ يَعۡقُوبَ وَغَيۡرُ وَاحِدٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بۡنُ عِيسَى الۡجُهَنِيُّ، عَنۡ حَنۡظَلَةَ بۡنِ أَبِي سُفۡيَانَ الۡجُمَحِيِّ، عَنۡ سَالِمِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ، عَنۡ أَبِيهِ عَنۡ عُمَرَ بۡنِ الۡخَطَّابِ - رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ -، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِذَا رَفَعَ يَدَيۡهِ فِي الدُّعَاءِ، لَمۡ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمۡسَحَ بِهِمَا وَجۡهَهُ. قَالَ مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّى فِي حَدِيثِهِ: لَمۡ يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمۡسَحَ بِهِمَا وَجۡهَهُ. هٰذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ لَا نَعۡرِفُهُ إِلَّا مِنۡ حَدِيثِ حَمَّادِ بۡنِ عِيسَى، وَقَدۡ تَفَرَّدَ بِهِ وَهُوَ قَلِيلُ الۡحَدِيثِ، وَقَدۡ حَدَّثَ عَنۡهُ النَّاسُ، وَحَنۡظَلَةُ بۡنُ أَبِي سُفۡيَانَ الۡجُمَحِيُّ هُوَ ثِقَةٌ، وَثَّقَهُ يَحۡيَى بۡنُ سَعِيدٍ الۡقَطَّانُ. [(المشكاة)(٢٢٤٥)، (الإرواء)(٤٣٣)].

3386. [Daif] Abu Musa Muhammad bin Al-Mutsanna, Ibrahim bin Ya’qub, dan lebih dari seorang telah menceritakan kepada kami. Mereka berkata: Hammad bin ‘Isa Al-Juhani menceritakan kepada kami dari Hanzhalah bin Abu Sufyan Al-Jumahi, dari Salim bin ‘Abdullah, dari ayahnya, dari ‘Umar bin Al-Khaththab—radhiyallahu ‘anhu—. Beliau mengatakan: Dahulu apabila Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—mengangkat kedua tangan ketika berdoa, beliau tidak menurunkannya sampai beliau usapkan ke wajah.

Muhammad bin Al-Mutsanna berkata dalam hadisnya: Beliau tidak mengembalikan kedua tangan hingga beliau usapkan ke wajah.

Ini adalah hadis sahih garib yang tidak kami ketahui kecuali dari hadis Hammad bin ‘Isa. Beliau bersendirian meriwayatkan hadis ini dan beliau adalah orang yang sedikit hadisnya, namun orang-orang menceritakan hadis darinya.

Hanzhalah bin Abu Sufyan Al-Jumahi adalah orang yang tepercaya dan dinilai dapat dipercaya oleh Yahya bin Sa’id Al-Qaththan.

Motivasi untuk Mengamalkan Sunah dan Peringatan untuk Menjauhi Bidah

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah di dalam kitab Lum'atul I'tiqad berkata,

فَصۡلٌ فِي التَّرۡغِيبِ فِي السُّنَّةِ وَالتَّحۡذِيرِ مِنَ الۡبِدۡعَةِ

Pasal tentang Motivasi untuk Mengamalkan Sunah dan Peringatan untuk Menjauhi Bidah


٩ - وَقَدۡ أُمِرۡنَا بِاقۡتِفَاءِ آثَارِهِمۡ وَالۡاِهۡتِدَاءِ بِمَنَارِهِمۡ، وَحُذِّرۡنَا الۡمُحۡدَثَاتِ، وَأُخۡبِرۡنَا أَنَّهَا مِنَ الضَّلَالَاتِ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (عَلَيۡكُمۡ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الۡخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الۡمَهۡدِيِّينَ مِنۡ بَعۡدِي عَضُّوا عَلَيۡهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمۡ وَمُحۡدَثَاتِ الۡأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحۡدَثَةٍ بِدۡعَةٌ، وَكُلَّ بِدۡعَةٍ ضَلَالَةٌ).

Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka dan mengambil petunjuk dengan bimbingan mereka. Kita diperingatkan dari perbuatan yang diada-adakan dan kita dikabari bahwa hal tersebut termasuk kesesatan. Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Kalian wajib berpegang dengan sunahku dan sunah khulafaurasyidin yang diberi petunjuk sepeninggalku. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham! Waspadalah kalian dari perbuatan yang diada-adakan! Karena setiap perbuatan yang diada-adakan adalah bidah dan setiap bidah adalah kesesatan.”[1]

وَقَالَ عَبۡدُ اللهِ بۡنُ مَسۡعُودٍ - رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ -: (اتَّبِعُوا وَلَا تَبۡتَدِعُوا فَقَدۡ كُفِيتُمۡ).

‘Abdullah bin Mas’ud—radhiyallahu ‘anhu—berkata, “Ikutilah (sunah) dan jangan berbuat bidah! Sungguh, kalian telah tercukupi.”

وَقَالَ عُمَرُ بۡنُ عَبۡدِ الۡعَزِيزِ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ كَلَامًا مَعۡنَاهُ: قِفۡ حَيۡثُ وَقَفَ الۡقَوۡمُ، فَإِنَّهُمۡ عَنۡ عِلۡمٍ وَقَفُوا، وَبِبَصَرٍ نَافِذٍ كَفُّوا، وَلَهُمۡ عَلَى كَشۡفِهَا كَانُوا أَقۡوَى، وَبِالۡفَضۡلِ لَوۡ كَانَ فِيهَا أَحۡرَى، فَلَئِنۡ قُلۡتُمۡ حَدَثَ بَعۡدَهُمۡ، فَمَا أَحۡدَثَهُ إِلَّا مَنۡ خَالَفَ هَدۡيَهُمۡ، وَرَغِبَ عَنۡ سُنَّتِهِمۡ، وَلَقَدۡ وَصَفُوا مِنۡهُ مَا يَشۡفِي، وَتَكَلَّمُوا مِنۡهُ بِمَا يَكۡفِي، فَمَا فَوۡقَهُمۡ مُحَسِّرٌ، وَمَا دُونَهُمۡ مُقَصِّرٌ، لَقَدۡ قَصَّرَ عَنۡهُمۡ قَوۡمٌ فَجَفَوۡا، وَتَجَاوَزَهُمۡ آخَرُونَ فَغَلَوۡا، وَإِنَّهُمۡ فِيمَا بَيۡنَ ذٰلِكَ لَعَلَى هُدًى مُسۡتَقِيمٍ.

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz—radhiyallahu ‘anhu—mengucapkan perkataan yang maknanya,

Berhentilah mendalami suatu permasalahan di tempat para salaf berhenti! Karena mereka berhenti karena ilmu dan mereka menahan diri karena pandangan yang jauh ke depan. Mereka lebih mampu untuk menyingkap permasalahan tersebut dan mereka lebih bersemangat jika dalam mendalami permasalahan tersebut ada keutamaan.

Jika kalian mengatakan: orang yang setelah mereka telah membicarakannya; tidaklah yang membicarakannya kecuali orang yang menyelisihi petunjuk mereka dan membenci sunah mereka. Padahal para salaf sudah memberi gambaran yang memuaskan dan mengucapkan perkataan yang mencukupi.

Orang yang di atas mereka adalah orang yang akan menyesal, sedangkan yang di bawah mereka adalah orang yang kurang usahanya. Sungguh ada orang-orang yang kurang usaha dari mengikuti para sahabat, sehingga mereka bersikap kasar, sedangkan yang lain melebihi mereka sehingga mereka justru melampaui batas. Adapun orang yang berada di antara itulah yang pasti di atas petunjuk yang lurus.

وَقَالَ الۡإِمَامُ أَبُو عَمۡرٍو الۡأَوۡزَاعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ: عَلَيۡكَ بِآثَارِ مَنۡ سَلَفَ وَإِنۡ رَفَضَكَ النَّاسُ، وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ وَإِنۡ زَخۡرَفُوهُ لَكَ بِالۡقَوۡلِ.

Imam Abu ‘Amr Al-Auza’i semoga Allah meridainya, “Engkau wajib berpegang dengan ajaran para salaf walaupun orang-orang menentangmu. Waspadalah engkau dari pemikiran-pemikiran manusia walaupun mereka menghiasinya dengan berbagai ucapan!”[2]

وَقَالَ مُحَمَّدُ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ الۡأَدۡرَمِيُّ لِرَجُلٍ تَكَلَّمَ بِبِدۡعَةٍ وَدَعَا النَّاسَ إِلَيۡهَا: هَلۡ عَلِمَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ وَأَبُو بَكۡرٍ وَعُمَرُ وَعُثۡمَانُ وَعَلِيٌّ أَوۡ لَمۡ يَعۡلَمُوهَا؟ قَالَ: لَمۡ يَعۡلَمُوهَا، قَالَ: فَشَيۡءٌ لَمۡ يَعۡلَمۡهُ هَؤُلَاءِ عَلِمۡتَهُ؟ قَالَ الرَّجُلُ: فَإِنِّي أَقُولُ قَدۡ عَلِمُوهَا، قَالَ: أَفَوَسِعَهُمۡ أَنۡ لَا يَتَكَلَّمُوا بِهِ وَلَا يَدۡعُوا النَّاسَ إِلَيۡهِ، أَمۡ لَمۡ يَسَعۡهُمۡ؟ قَالَ: بَلَى وَسِعَهُمۡ، قَالَ: فَشَيۡءٌ وَسَعَ رَسُولَ اللهِ ﷺ وَخُلَفَاؤُهُ، لَا يَسَعُكَ أَنۡتَ؟ فَانۡقَطَعَ الرَّجُلُ، فَقَالَ الۡخَلِيفَةُ، وَكَانَ حَاضِرًا: لَا وَسَّعَ اللهُ عَلَى مَنۡ لَمۡ يَسَعۡهُ مَا وَسِعَهُمۡ.

Muhammad bin ‘Abdurrahman Al-Adrami bertanya kepada seseorang yang berpendapat dengan suatu kebidahan dan mengajak manusia kepadanya, “Apakah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali mengetahuinya atau tidak?”

Dia menjawab, “Mereka tidak mengetahuinya.”

Al-Adrami berkata, “Sesuatu yang tidak diketahui oleh mereka tetapi kamu mengetahuinya?”

Dia menjawab, “Sekarang aku ralat. Mereka mengetahuinya.”

Al-Adrami berkata, “Apakah mereka sengaja tidak membicarakannya dan tidak mengajak manusia kepadanya ataukah sebaliknya?”

Dia menjawab, “Ya. Mereka sengaja tidak melakukannya.”

Al-Adrami berkata, “Lalu mengapa engkau malah sengaja melakukan hal yang tidak dilakukan oleh Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, tidak pula oleh para khalifah beliau?”

Orang itu terdiam. Khalifah yang saat itu hadir berkata, “Semoga Allah tidak memberi kelapangan hati kepada orang yang tidak merasa lapang terhadap perkara yang melapangkan hati para salaf.”

وَهَكَذَا مَنۡ لَمۡ يَسَعۡهُ مَا وَسِعَ رَسُولَ اللهِ ﷺ وَأَصۡحَابَهُ وَالتَّابِعِينَ لَهُمۡ بِإِحۡسَانٍ، وَالۡأَئِمَّةَ مِنۡ بَعۡدِهِمۡ، وَالرَّاسِخِينَ فِي الۡعِلۡمِ، مِنۡ تِلَاوَةِ آيَاتِ الصِّفَاتِ وَقِرَاءَةِ أَخۡبَارِهَا، وَإِمۡرَارِهَا كَمَا جَاءَتۡ، فَلَا وَسَّعَ اللهُ عَلَيۡهِ.

Demikian pula, orang yang tidak merasa lapang dengan perkara yang melapangkan hati Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, para sahabat, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, para imam setelah mereka, dan orang-orang yang mendalam ilmunya berupa membaca ayat sifat Allah, membaca riwayat tentangnya, dan membiarkannya sebagaimana datangnya, maka semoga Allah tidak melapangkan hatinya.[3]




Syekh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah di dalam syarahnya berkata,

[1] السُّنَّةُ وَالۡبِدۡعَةُ وَحُكۡمُ كُلٍّ مِنۡهُمَا:

Sunah, Bidah, dan Masing-masing Hukumnya

(السُّنَّةُ) لُغَةً: الطَّرِيقَةُ.

وَاصۡطِلَاحًا: مَا كَانَ عَلَيۡهِ النَّبِيُّ ﷺ وَأَصۡحَابُهُ مِنۡ عَقِيدَةٍ أَوۡ عَمَلٍ.

وَاتِّبَاعُ السُّنَّةِ وَاجِبٌ لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرۡجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡـَٔاخِرَ﴾ [الۡأحزاب: ٢١]، وَقَوۡلِهِ ﷺ: (عَلَيۡكُمۡ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الۡخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الۡمَهۡدِيِّينَ مِنۡ بَعۡدِي عَضُّوا عَلَيۡهَا بِالنَّوَاجِذِ).

Sunah dalam bahasa Arab artinya adalah jalan. Secara istilah artinya aturan agama yang dijalani oleh Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para sahabat beliau berupa akidah atau amalan.

Mengikuti sunah merupakan kewajiban berdasarkan firman Allah taala, “Sungguh pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagi siapa saja yang mengharapkan Allah dan hari akhir.” (QS. Al-Ahzab: 21).

Juga sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Kalian wajib berpegang dengan sunahku dan sunah khulafaurasyidin yang diberi petunjuk sepeninggalku. Gigitlah ia dengan gigi geraham!”

وَ (الۡبِدۡعَةُ) لُغَةً: الشَّيۡءُ الۡمُسۡتَحۡدَثُ.

وَاصۡطِلَاحًا: مَا أُحۡدِثَ فِي الدِّينِ عَلَى خِلَافِ مَا كَانَ عَلَيۡهِ النَّبِيُّ ﷺ وَأَصۡحَابُهُ مِنۡ عَقِيدَةٍ أَوۡ عَمَلٍ.

Bidah dalam bahasa Arab artinya sesuatu yang diadakan. Secara istilah artinya segala yang diada-adakan dalam agama yang menyelisihi akidah atau amalan yang dahulu diyakini dan dilakukan oleh Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para sahabatnya.

وَهِيَ حَرَامٌ لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا﴾ [النساء: ١١٥]، وَقَوۡلِهِ ﷺ: (وَإِيَّاكُمۡ وَمُحۡدَثَاتِ الۡأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحۡدَثَةٍ بِدۡعَةٌ، وَكُلَّ بِدۡعَةٍ ضَلَالَةٌ).

Hukum bidah adalah haram berdasarkan firman Allah taala, “Barang siapa yang menyelisihi Rasul setelah petunjuk jelas baginya dan mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan dia larut dalam kesesatannya dan Kami masukkan dia ke neraka Jahanam. Neraka Jahanam adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa`: 115).

Dan sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Waspadalah kalian dari perkara agama yang diada-adakan! Karena setiap perkara agama yang diada-adakan adalah bidah dan setiap bidan adalah kesesatan.”


[2] الۡآثَارُ الۡوَارِدَةُ فِي التَّرۡغِيبِ بِالسُّنَّةِ وَالتَّحۡذِيرِ مِنَ الۡبِدۡعَةِ:

Riwayat-riwayat yang disebutkan tentang motivasi berpegang dengan sunah dan waspada dari bidah

١ - مِنۡ أَقۡوَالِ الصَّحَابَةِ:

قَالَ ابۡنُ مَسۡعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ الصَّحَابِيُّ الۡجَلِيلُ الۡمُتَوَفَّى سَنَةَ ٣٢هـ عَنۡ بِضۡعٍ وَسِتِّينَ سَنَةً:

(اتَّبِعُوا): أَيۡ الۡتَزِمُوا آثَارَ النَّبِيِّ ﷺ مِنۡ غَيۡرِ زِيَادَةٍ وَلَا نَقۡصٍ.

(وَلَا تَبۡتَدِعُوا): لَا تَحَدَّثُوا بِدۡعَةً فِي الدِّينِ.

(فَقَدۡ كُفِيتُمۡ): أَيۡ كَفَاكُمُ السَّابِقُونَ مُهِمَّةَ الدِّينِ، حَيۡثُ أَكۡمَلَ اللهُ تَعَالَى الدِّينَ لِنَبِيِّهِ ﷺ وَأَنۡزَلَ قَوۡلَهُ: ﴿ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ﴾ [المائدة: ٣] فَلَا يَحۡتَاجُ الدِّينُ إِلَى تَكۡمِيلٍ.

1. Dari ucapan sahabat Nabi:

Ibnu Mas’ud—radhiyallahu ‘anhu—sahabat yang mulia (wafat tahun 32 H, umur enam puluh sekian tahun) berkata:

“Ikutilah”, maksudnya: peganglah selalu ajaran Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—tanpa ditambahi dan dikurangi.

“Janganlah berbuat bidah”: jangan kalian membuat bidah dalam agama.

“Sungguh kalian telah tercukupi”, maksudnya: Para pendahulu sudah mencukupi kalian dalam perkara agama yang penting. Yaitu, Allah taala telah menyempurnakan agama ini bagi Nabi-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan menurunkan firman-Nya, “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan agama kalian bagi kalian.” (QS. Al-Ma`idah: 3). Sehingga agama ini tidak membutuhkan penyempurnaan.

٢ - مِنۡ أَقۡوَالِ التَّابِعِينَ:

قَالَ أَمِيرُ الۡمُؤۡمِنِينَ عُمَرُ بۡنُ عَبۡدِ الۡعَزِيزِ، الۡمَوۡلُودُ سَنَةَ ٦٣ الۡمُتَوَفَّى سَنَةَ ١٠١هـ، قَوۡلًا يَتَضَمَّنُ مَا يَأۡتِي:

أ - وُجُوبُ الۡوُقُوفِ حَيۡثُ وَقَفَ الۡقَوۡمُ - يَعۡنِي بِهِمۡ - النَّبِيَّ ﷺ وَأَصۡحَابَهُ فِيمَا كَانُوا عَلَيۡهِ مِنَ الدِّينِ عَقِيدَةً وَعَمَلًا لِأَنَّهُمۡ وَقَفُوا عَنۡ عِلۡمٍ وَبَصِيرَةٍ، وَلَوۡ كَانَ فِيمَا حَدَثَ بَعۡدَهُمۡ خَيۡرٌ لَكَانُوا بِهِ أَحۡرَى.

ب - إِنَّ مَا أَحۡدَثَ بَعۡدَهُمۡ فَلَيۡسَ فِيهِ إِلَّا مُخَالَفَةُ هَدۡيِهِمۡ وَالزُّهۡدُ فِي سُنَّتِهِمۡ، وَإِلَّا فَقَدۡ وَصَفُوا مِنَ الدِّينِ مَا يَشۡفِي وَتَكَلَّمُوا فِيهِ بِمَا يَكۡفِي.

جـ - إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَنۡ قَصَّرَ فِي اتِّبَاعِهِمۡ فَكَانَ جَافِيًا وَمِنَ النَّاسِ مَنۡ تَجَاوَزَهُمۡ فَكَانَ غَالِيًا، وَالصِّرَاطُ الۡمُسۡتَقِيمُ مَا بَيۡنَ الۡغُلُوِّ وَالتَّقۡصِيرِ.

2. Dari ucapan tabiin:

Amirulmukminin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (lahir tahun 63 H, wafat tahun 101 H) mengucapkan ucapan yang mengandung makna berikut:

a. Wajib berhenti mendalami suatu permasalahan yang mereka pun berhenti darinya. Yang beliau maksudkan dengan mereka adalah Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para sahabatnya. Yaitu dalam perkara agama yang dahulu mereka jalani baik dalam masalah akidah atau amalan. Alasannya adalah karena mereka berhenti atas dasar ilmu. Andai pada pemikiran baru orang setelah mereka ada kebaikan, tentu mereka lebih pantas memeloporinya.

b. Sesungguhnya pada pemikiran orang setelah mereka tidaklah mengandung kecuali penyelisihan terhadap bimbingan mereka dan perasaan tidak butuh dari sunah mereka. Padahal mereka sebenarnya telah memberikan gambaran agama ini dengan gambaran yang memuaskan dan berbicara dengan ucapan yang mencukupi.

c. Sesungguhnya di antara manusia ada yang kurang berupaya mengikuti mereka, sehingga dia menjadi kasar. Di antara manusia ada yang melebihi mereka, sehingga dia melebihi batas. Jalan yang lurus adalah jalan di antara sikap melampaui batas dan kurang berupaya.

٣ - مِنۡ أَقۡوَالِ تَابِعِي التَّابِعِينَ:

3. Dari ucapan tabi’ut tabi’in (pengikut tabiin):

قَالَ الۡأَوۡزَاعِيُّ، عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ بۡنُ عَمۡرٍو الۡمُتَوَفَّى سَنَةَ ١٥٧:

(عَلَيۡكَ بِآثَارِ مَنۡ سَلَفَ): الۡزَمۡ طَرِيقَةَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ لَهُمۡ بِإِحۡسَانٍ لِأَنَّهَا مَبۡنِيَّةٌ عَلَى الۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.

(وَإِنۡ رَفَضَكَ النَّاسُ): أَبۡعَدُوكَ وَاجۡتَنَبُوكَ.

(وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالَ): احۡذَرۡ آرَاءَ الرِّجَالِ وَهِيَ مَا قِيلَ بَمُجَرَّدِ الرَّأۡيِ مِنۡ غَيۡرِ اسۡتِنَادٍ إِلَى كِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ ﷺ.

(وَإِنۡ زَخۡرَفُوهُ): جَمَّلُوا اللَّفۡظَ وَحَسَّنُوهُ فَإِنَّ الۡبَاطِلَ لَا يَعُودُ حَقًّا بِزَخۡرَفَتِهِ وَتَحۡسِينِهِ.

Al-Auza’i ‘Abdurrahman bin ‘Amr (wafat tahun 157 H) berkata, “Engkau wajib mengikuti ajaran salaf.” Artinya: Teruslah ikuti jalan sahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik karena jalan tersebut terbangun di atas Alquran dan sunah.

“Walaupun manusia menentangmu,” maksudnya walau mereka mengucilkanmu dan menjauhimu.

“Hati-hatilah engkau dari pemikiran orang-orang!” maksudnya: waspadailah pemikiran orang-orang yang dilontarkan hanya berdasar pikiran tanpa disandarkan kepada Alquran dan sunah Rasul-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—.

“Walaupun mereka menghiasinya” maksudnya mereka memperindah dan memperhalus bahasanya, karena kebatilan tidaklah lantas berubah menjadi kebenaran dengan sebab keindahan dan kehalusan bahasanya.


[3] مُنَاظَرَةٌ جَرَّتۡ عِنۡدَ خَلِيفَةٍ بَيۡنَ الۡأَدۡرَمِيِّ وَصَاحِبِ بِدۡعَةٍ:

Perdebatan ini terjadi di hadapan khalifah antara Al-Adrami dengan pengusung bidah:

لَمۡ أَطَّلِعۡ عَلَى تَرۡجَمَةٍ لِلۡأَدۡرَمِيِّ وَمَنۡ مَعَهُ وَلَا أَعۡلَمُ نَوۡعَ الۡبِدۡعَةِ الۡمَذۡكُورَةِ، وَالۡمُهِمُّ أَنۡ نَعۡرِفَ مَرَاحِلَ هٰذِهِ الۡمُنَاظَرَةِ لِنَكۡتَسِبَ مِنۡهَا طَرِيقًا لِكَيۡفِيَةِ الۡمُنَاظَرَةِ بَيۡنَ الۡخَصُومِ، وَقَدۡ بَنَى الۡأَدۡرَمِيُّ - رَحِمَهُ اللهُ - مُنَاظَرَتَهُ هٰذِهِ عَلَى مَرَاحِلَ لِيَعۡبُرَ مِنۡ كُلِّ مَرۡحَلَةٍ إِلَى الَّتِي تَلِيهَا حَتَّى يُفۡحِمَ خَصۡمَهُ.

Saya belum melihat biografi Al-Adrami dan orang yang bersamanya. Saya juga tidak mengetahui jenis bidah yang disebutkan. Yang penting kita mengetahui tahapan-tahapan perdebatan ini agar kita mendapatkan gambaran tata cara berdebat dengan lawan debat.

Al-Adrami—rahimahullah—telah mendasari debatnya di atas beberapa tahapan agar beliau bisa beralih dari satu tahap ke tahap berikutnya hingga beliau membungkam lawan debatnya.

الۡمَرۡحَلَةُ الۡأُولَى: الۡعِلۡمُ فَقَدۡ سَأَلَهُ الۡأَدۡرَمِيُّ هَلۡ عَلِمَ هٰذِهِ الۡبِدۡعَةَ النَّبِيُّ ﷺ وَخُلَفَاؤُهُ؟ قَالَ الۡبِدۡعِيُّ: لَمۡ يَعۡلَمُوهَا.

وَهٰذَا النَّفۡيُ يَتَضَمَّنُ انۡتِقَاصَ النَّبِيِّ ﷺ وَخُلَفَائِهِ حَيۡثُ كَانُوا جَاهِلِينَ بِمَا هُوَ مِنۡ أَهَمِّ أُمُورِ الدِّينِ وَمَعَ ذٰلِكَ فَهُوَ حُجَّةٌ عَلَى الۡبِدۡعِيِّ إِذَا كَانُوا لَا يَعۡلَمُونَهُ.

وَلِذٰلِكَ انۡتَقَلَ بِهِ الۡأَدۡرَمِيُّ إِلَى:

Tahapan pertama: ilmu. Al-Adrami menanyainya, “Apakah bidah ini diketahui oleh Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para khalifahnya?”

Pengusung bidah itu menjawab, “Mereka tidak mengetahuinya.”

Penafian ini mengandung perendahan terhadap Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para khalifahnya. Yaitu bahwa mereka tidak mengetahui ada perkara agama yang penting. Bersamaan dengan itu, penafian tersebut justru menjadi argumen terhadap pengusung bidah itu. Yaitu, ketika Nabi dan para khalifahnya tidak mengetahuinya. Karena itu, Al-Adrami berpindah ke tahapan berikutnya.

الۡمَرۡحَلَةُ الثَّانِيَةُ: إِذَا كَانُوا لَا يَعۡلَمُونَهَا فَكَيۡفَ تَعۡلَمُهَا أَنۡتَ؟ هَلۡ يُمۡكِنُ أَنۡ يَحۡجُبَ اللهُ عَنۡ رَسُولِهِ ﷺ وَخُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ عِلۡمَ شَيۡءٍ مِنَ الشَّرِيعَةِ وَيَفۡتَحَهُ لَكَ؟ فَتَرَاجَعَ الۡبِدۡعِيُّ وَقَالَ: أَقُولُ قَدۡ عَلِمُوهَا.

فَانۡتَقَلَ بِهِ إِلَى:

Tahapan kedua: jika mereka tidak mengetahuinya lantas bagaimana engkau bisa mengetahuinya? Apakah mungkin Allah menutupi sebagian ilmu syariat dari Rasul-Nya—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan khulafaurasyidin, namun membukanya untukmu? Pengusung bidah itu meralat jawabannya dan mengatakan bahwa mereka mengetahuinya. Al-Adrami pindah ke tahapan berikutnya.

الۡمَرۡحَلَةُ الثَّالِثَةُ: إِذَا كَانُوا قَدۡ عَلِمُوهَا فَهَلۡ وَسِعَهُمۡ أَيۡ: أَمۡكَنَهُمۡ أَنۡ لَا يَتَكَلَّمُوا بِذٰلِكَ وَلَا يَدۡعُوا النَّاسَ إِلَيۡهِ أَمۡ لَمۡ يَسَعۡهُمۡ؟ فَأَجَابَ الۡبِدۡعِيُّ بِأَنَّهُمۡ وَسِعَهُمُ السُّكُوتُ وَعَدَمُ الۡكَلَامِ. فَقَالَ لَهُ الۡأَدۡرَمِيُّ: فَشَيۡءٌ وَسِعَ رَسُولَ اللهِ ﷺ وَخُلَفَاؤُهُ لَا يَسَعُكَ أَنۡتَ، فَانۡقَطَعَ الرَّجُلُ وَامۡتَنَعَ عَنِ الۡجَوَابِ؛ لِأَنَّ الۡبَابَ انۡسَدَّ أَمَامَهُ.

Tahapan ketiga: Apabila para salaf telah mengetahuinya, apakah mungkin mereka tidak berbicara tentang itu dan tidak mengajak orang-orang kepadanya ataukah sebaliknya?

Pengusung bidah itu menjawab bahwa mereka memang sengaja diam dan tidak bicara.

Al-Adrami berkata kepadanya, “Lalu mengapa engkau malah sengaja melakukan hal yang tidak dilakukan oleh Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, tidak pula oleh para khalifah beliau?!”

Orang itu terdiam dan tidak bisa menjawab karena pintu di depannya sudah tertutup.

فَصَوَّبَ الۡخَلِيفَةُ رَأۡيَ الۡأَدۡرَمِيِّ وَدَعَا بِالضِّيقِ عَلَى مَنۡ لَمۡ يَسَعۡهُ مَا وَسِعَ النَّبِيُّ ﷺ وَخُلَفَاؤُهُ.

وَهَكَذَا كُلُّ صَاحِبِ بَاطِلٍ مِنۡ بِدۡعَةٍ أَوۡ غَيۡرِهَا فَلَا بُدَّ أَنۡ يَكُونَ مَآلُهُ الۡاِنۡقِطَاعَ عَنِ الۡجَوَابِ.

Khalifah membenarkan pendapat Al-Adrami dan mendoakan kesempitan untuk orang yang tidak merasa lapang dengan hal yang melapangkan hati Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan para khalifahnya.

Demikianlah seluruh pengusung kebatilan berupa bidah atau selainnya. Pasti ujung-ujungnya tidak mampu menjawab.