Beliau adalah lautan ilmu dan lambang kokohnya kekuatan hafalan di masanya. Tak pelak ulama pun bersepakat akan kekuatan hafalannya dan bahkan predikat ‘penghulu para hufazh’ (para penghafal) melekat pada dirinya. Nama panjangnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Al Qadhi Abi Syaibah Ibrahim bin Utsman bin Khuwasta rahimahullah. Sangat populer dengan kunyahnya Abu Bakar yang merupakan nisbat kepada kakeknya. Beliau lahir pada tahun 159 H atau bertepatan dengan 775 M.
Sejak kecil Abu Bakar tumbuh di lingkungan religius dan keluarga berbasic agama. Ayahnya adalah Muhammad yang merupakan seorang qadhi (hakim) di Persia. Sang ayahanda adalah orang yang tsiqah (tepercaya) sebagaimana ditegaskan oleh Yahya bin Ma’in rahimahullah dan yang lainnya. Bayangkan saja saudara kandungnya merupakan seorang hafizh yang bernama Utsman bin Abi Syaibah dan satu lagi bernama Al Qasim bin Abi Syaibah. Adapun Ibrahim bin Abu Bakar adalah putranya dan Al Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin Utsman adalah keponakannya. Kakeknya yang bernama Ibrahim dengan kunyah Abu Syaibah adalah seorang qadhi di Wasith. Bahkan putra-putranya adalah para ulama yang senantiasa memenuhi majlis-majlis ilmu para ahli hadis. Yahya bin Abdul Hamid Al Himami rahimahullah mengatakan, “Anak-anak Ibnu Abi Syaibah adalah para ulama. Mereka berdesak-desakan dengan kami setiap kali belajar dari ahli hadis.”
Mereka semua adalah para perbendaharaan ilmu dan hadis, namun yang paling terhormat lagi terkenal di antara mereka adalah Abu Bakar bin Abi Syaibah rahimahullah. Sejatinya Abu Bakar berasal dari Wasith, sebuah kota tua yang berada di Irak antara Kota Baghdad dan Kota Basrah. Namun kemudian beliau singgah di Kufah dan meninggal di sana. Di kota itulah ia meriwayatkan banyak hadis dari sekian banyak ulama. Namun ia belum merasa puas dengan hanya menimba ilmu dari ulama di Kota Kufah. Hingga ia pun melakukan safari perjalanan menuju Bashrah dan Baghdad. Kedua kota ini merupakan pusatnya ilmu dan ulama di Irak saat itu. Sampai akhirnya ia melanjutkan perjalanan ilmiahnya menuju ke Hijaz.
GURU DAN MURIDNYA
Sejak kecil beliau telah belajar ilmu agama dengan berbagai disiplin ilmunya. Gurunya yang paling senior dari sekian banyak yang ada adalah Syarik bin Abdillah Al Qadhi rahimahullah. Dalam hal usia dan hafalan beliau selevel dengan ulama-ulama besar seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dan Ali bin Al Madini. Yahya bin Ma’in lebih tua beberapa tahun di antara mereka.
Kondusifnya lingkungan sangat mendukung perjalanan ilmiyah Abu Bakar dalam belajar ilmu agama. Pada usia empat belas tahun Abu Bakar telah mendengarkan hadis dari Syarik bin Abdillah. Di samping itu juga meriwayatkan dari ulama-ulama ternama seperti Abul Ahwash, Abdullah bin Idris, Abu Bakar bin Ayyasy, Abdullah bin Mubarak, Sufyan bin Uyainah, Waki’ bin Al Jarrah, Yahya Al Qaththan, Ismail bin Iyasy, dan yang lainnya.
Sejumlah ulama besar pernah mengambil riwayat darinya semisal Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah, Abu Bakar bin Abi Ashim, Baqiy bin Makhlad, Muhammad bin Wadhdah, beliau adalah seorang pakar hadis dari negeri Andalus, Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Hatim Ar Razi, Ya’qub bin Syaibah, Ibnu Majah, dan lain-lainnya.
Para ulama pemilik kitab Shahih dan Sunan meriwayatkan hadis-hadis beliau kecuali At Tirmidzi. Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Bakar tanpa perantara. Adapun An Nasai meriwayatkan darinya melalui perantara. Imam Muslim banyak meriwayatkan hadis dari Abu Bakar bahkan lebih dari seribu hadis. Dalam Shahihnya Muslim selalu menyebutkan kunyahnya dan kunyah kakeknya. Sedangkan Imam Al Bukhari meriwayatkan dari beliau tiga puluh hadis dengan menyebutkan namanya dan kunyah kakeknya. Jika disebutkan nama Abdullah bin Muhammad di antara gurunya Al Bukhari, maka yang dimaksud adalah Abu Bakar bin Abi Syaibah.
AKIDAH DAN PUJIAN ULAMA
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah adalah ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan akidah yang lurus. Salah satu pembuktian tentang hal itu adalah berbagai karya tulisnya yang syarat dengan faidah ilmiyah. Seperti Kitabul Iman yang kemudian ditahqiq oleh Syaikh Al Albani rahimahullah. Kitab ini bertemakan definisi iman yang benar menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sekaligus bantahan terhadap kelompok menyimpang seperti Khawarij dan Murji’ah.
Kitabnya yang lain adalah Kitabus Sunnah sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Fatwa Hamawiyah nya. Al Lalikai, Ibnul Qayyim, dan yang lainnya menyebutkan beliau dalam deretan ulama ahlus sunnah yang istiqamah di atas jalan salaf. Demikian pula dalam berbagai pernyataannya, Abu Bakar menegaskan bahwa siapa saja yang tidak meyakini bahwa Al Quran adalah kalamullah dan bukan makhluk, maka dia adalah seorang ahli bid’ah.
Keilmuan dan kekuatan hafalannya menuai pujian ulama dari masa ke masa. Secara global ulama sepakat tentang keadilan dan kekuatan hafalannya dalam meriwayatkan hadis. Adz Dzahabi rahimahullah menyatakan dalam Siyar A’lamin Nubala, “Ibnu Abi Syaibah adalah pemimpin ulama di masanya, penghulunya para hufazh, penulis kitab-kitab besar, lautan ilmu dan menjadi suri tauladan yang baik dalam kekuatan hafalan.”
Abdan Al Ahwazi berkisah, “Suatu saat Abu Bakar duduk bersandar di sebuah tiang, sementara saudaranya Masybudanah, Abdullah bin Barrad, dan lain-lain semuanya diam kecuali Abu Bakar bin Abi Syaibah. Beliau lah satu-satunya yang berbicara saat itu dengan bersandar pada tiang tersebut. Tiang itu, kata Ibnu Adi adalah tiang yang biasa diduduki oleh Ibnu Uqdah. Ibnu Uqdah pernah mengatakan kepadaku, bahwa inilah tiang tempat Ibnu Mas’ud mengajar kemudian diganti oleh Alqamah kemudian diganti Ibrahim, Manshur, Sufyan Ats Tsauri, Waqi’, Ibnu Abi Syaibah lalu Muthayyin dan Ibnu Sa’id.
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Abu Bakar adalah seorang Shaduq (jujur), dia lebih aku sukai daripada saudaranya yang bernama Utsman.” Al ‘Ijli menyatakan, “Abu Bakar adalah seorang yang tsiqah (tepercaya) dan penghafal hadis.” Al Fallas menuturkan, “Aku belum pernah melihat ada seorang ulama yang lebih kuat hafalannya daripada Abu Bakar bin Abi Syaibah. Ia pernah menemui kami bersama Ali bin Al Madini lalu menyebutkan 400 hadis kepada Asy Syaibani dengan hafalannya lantas bangkit dan pergi.”
Imam Abu Ubaid rahimahullah mengatakan, “Hadis berakhir kepada empat orang, yaitu Abu Bakar bin Abi Syaibah yang paling mampu menyebutkan hadis (satu persatu), Ahmad bin Hanbal yang paling faqih tentang hadis, Yahya bin Ma’in yang paling banyak mengumpulkan hadis, dan Ali Al Madini yang paling berilmu tentangnya.” Hal senada juga diungkapkan oleh Shalih bin Muhammad Al Hafizh, “Orang paling berilmu tentang hadis dan cacatnya yang pernah aku jumpai adalah Ali bin Al Madini dan yang paling kuat dalam mengingat hadis adalah Abu Bakar bin Abi Syaibah.”
Abu Zur’ah rahimahullah mengatakan, “Aku belum pernah melihat ada manusia yang lebih kuat hafalannya daripada Abu Bakar bin Abi Syaibah.” Maka Abdurrahman bin Khirasy bertanya, “Hai Abu Zur’ah bagaimana dengan teman-teman kami dari Baghdad?” Beliau menjawab, “Tinggalkan teman-temanmu mereka adalah orang-orang yang gersang. Aku belum pernah melihat orang yang hafalannya lebih kuat daripada Ibnu Abi Syaibah.”
Al Khatib rahimahullah mengatakan, “Abu Bakar adalah seorang yang kokoh hafalannya dan seorang Hafizh (penghafal). Dia menulis musnad, hukum-hukum Islam, tafsir dan meriwayatkan hadis di Baghdad beserta dengan kedua saudaranya, yaitu Al Qasim dan Utsman.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam Al Bidayah wan Nihayah, “Ibnu Abi Syaibah adalah seorang ulama besar Islam dan penulis kitab Mushannaf. Tidak ada seorang pun yang mampu menulis kitab itu, sebelum dan sesudahnya.”
Pada tahun 234 H, Al Mutawakkil mengadakan pertemuan dengan para ahli fikih dan pakar hadis. Di antara mereka adalah Mush’ab bin Abdillah Az Zubairi, Ishaq bin Abi Israil, Ibrahim bin Abdillah Al Harawi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, dan saudaranya Utsman bin Abi Syaibah. Al Mutawakkil memerintahkan mereka agar menyampaikan hadis-hadis yang berisi bantahan terhadap kaum Mu’tazilah dan Jahmiyah. Maka Abu Bakar duduk bermajelis di Masjid Rushafah dan menyampaikan hadis kepada kaum muslimin. Para pendengar yang hadis saat itu jumlahnya mencapai tiga puluh ribu orang.”
KARYA TULISNYA
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah sangat produktif dalam menghasilkan berbagai karya tulis. Di antara karya monumentalnya adalah Mushannaf Ibnu Abi Syaibah. Kitab ini terdiri dari 15 jilid dan terhitung sebagai kitab induk pengetahuan hadis dan atsar. Penulis menyusun kitab ini dengan sistematika ilmu fikih setiap bab beserta dengan hadis-hadisnya. Dimulai dengan kitab Thaharah dan diakhiri dengan kitab Al Jamal wa Shifiin wal Khawarij. Kitab ini mencakup 37251 hadis musnad, di antaranya ada yang marfu’, mauquf, dan maqthu’.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang kitab ini, “Tidak ada seorang pun yang menyusun kitab seperti ini sebelum dan sesudahnya.” Pujian Ibnu Katsir ini menggambarkan betapa kitab ini memiliki nilai lebih dan keistimewaan dibanding kitab lainnya. Tidaklah Ibnu Katsir menyandangkan pujian tersebut melainkan kepada kitab yang memang berhak mendapatkan pujian seperti itu. Selain itu beliau juga memiliki kitab musnad, dengan nama Musnad Ibnu Abi Syaibah. Kitab ini terdiri dari 2 juz dan memuat 999 hadis shahih, hasan, dan dhaif. Kitab musnad ini hanya mencantumkan hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lain halnya dengan kitab Mushannaf yang juga memuat atsar shahabat dan ulama generasi setelahnya. Termasuk di antara karyanya adalah Kitab Al Iman, kitab Tafsir Ibnu Abi Syaibah, kitab Tsawabul Qur’an, kitab Taariikh, kitab Al Awail, kitab As Sunnah, kitab Al Maghazi, kitab Al Futuh, kitab Al Fitan, dan lain-lainnya.
Imam Bukhari rahimahullah menjelaskan bahwa Ibnu Abi Syaibah wafat pada bulan Muharram tahun 235 H. Menurut penuturan sebagian ulama beliau wafat pada waktu Isya yang terakhir. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat dan keutamaan-Nya kepada beliau rahimahullah.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 70 vol.06 1440 H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafiy Abdullah.