Siapakah anak muda itu?
Siapakah dia yang membuat seorang Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah rela meninggalkan shalat-shalat sunnah dan hanya melaksanakan shalat wajib demi ber-mudzakarah (mengulangi hafalan) dengan anak muda itu?
Siapakah anak muda itu?
Siapakah dia yang saat berpamit kepada gurunya di Mesir, Yahya bin Abdillah bin Bukair, untuk kembali ke negeri asalnya, membuat sang guru bersedih dan merasa kehilangan? Sampai-sampai sang guru mengucapkan kata-kata yang begitu menyentuh hati, “Semoga saja Allah menggantikan dengan kebaikan untuk kami (yang engkau tinggalkan).”
Siapakah anak muda itu?
Siapakah dia yang membuat Ar Rabi’ bin Sulaiman, murid terdekat Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Tidak ada ulama yang pernah kami temui semacam dia.”
Siapakah anak muda itu?
Siapakah dia yang disebut-sebut dalam pujian setinggi langit oleh seorang ulama besar di masanya, Yunus bin Abdul A’la rahimahullah, “Terkenal di dunia melebihi dunia itu sendiri”?
Ya, dialah Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah.
DISTRIK RAYY
Khurasan adalah wilayah Islam yang sangat luas. Batas wilayahnya sampai di perbatasan India dan dimulai dari Irak. Khurasan terdiri dari banyak distrik yang nama-namanya sangat tersohor dalam dunia Islam seperti Naisabur, Baihaq, Marwa, Sijistan, Haarah, Balkha, Sarakhsa, Nasa’ dan lain-lainnya. Ulama dan panglima Islam banyak yang berasal dari wilayah-wilayah tersebut.
Rayy termasuk dalam distrik-distrik di Khurasan tersebut. Letaknya hanya kurang lebih lima mil dari kota Teheran (Iran). Pada masa dahulu, Rayy terhitung sebagai kota termegah kedua setelah Baghdad. Dinding-dinding kotanya sangat kuat. Tanahnya yang subur menjadikan Rayy sebagai daerah penghasil macam-macam buah. Populasi penduduknya pun tergolong tinggi.
Dalam peta Islam, Rayy berada pada posisi strategis sehingga kaum muslimin yang hendak berhaji dari wilayah-wilayah gunung memilih Rayy sebagai salah satu titik persinggahan. Menurut sejarah gemilang Islam, kota Rayy berhasil ditaklukkan kaum muslimin dari Imperium Persia pada masa kekhilafahan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu sekitar tahun 19 atau 20 H. Sejak itulah, Rayy menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi dan pendidikan.
Sejumlah ulama besar Islam tercatat pernah mengunjungi Rayy untuk menimba ilmu dari ulama-ulama di sana. Sebut saja nama Sa’id bin Jubair, As Sya’bi, Sufyan Ats Tsauri, Muhammad bin Ishaq bin Yasar, Al Kisa’i, dan Abdullah bin Al Mubarak. Sementara ulama-ulama Islam yang berasal dari Rayy pun cukup banyak, semisal Az Zubair bin Adi, Anbasah bin Sa’id Al Asadi, Syu’aib bin Khalid Ar Razi, Jarir bin Abdul Hamid, Hisyam bin Ubaidullah Ar Razi, dan Ibrahim bin Musa Ar Razi (Ar-Razi adalah nisbat kepada tempat ini).
KELUARGA BERPAYUNG ILMU DARI RAYY
Di distrik Rayy itulah terlahir sang pemuda yang namanya mengharumwangikan dunia dengan ilmunya. Nama lengkapnya adalah Ubaidullah bin Abdul Karim bin Yazid bin Farrukh. Beliau lebih akrab dan lebih dikenal dengan sebutan Abu Zur’ah Ar Razi. Begitu melekatnya sebutan itu, sampai-sampai di kalangan ulama Islam jika disebut nama Abu Zur’ah (tanpa ada tambahan apa pun) maka yang dimaksud adalah beliau. Padahal setidaknya ada 50 orang ulama yang menggunakan sebutan Abu Zur’ah.
Tahun kelahiran Abu Zur’ah menjadi bahan perdebatan di antara ulama sejarah. Sedikitnya ada empat pendapat dalam hal ini. Dari beberapa analisis tersebut, Imam Al Hakim menguatkan pendapat yang menyebutkan bahwa Abu Zur’ah lahir pada tahun 194 H. Wallahu a’lam.
Mendalami ilmu agama khususnya bidang hadits menjadi salah satu ciri khas yang dijaga secara turun temurun di dalam keluarga Abu Zur’ah. Ayah beliau, Abdul Karim bin Yazid juga termasuk alim ulama kota Rayy. Mencintai dan menggandrungi ilmu hadits sangat kuat ditanamkan oleh ayahnya kepada Abu Zur’ah. Maka tak heran jika sejak kecil Abu Zur’ah sering dibawa serta oleh ayahnya untuk menghadiri majelis-majelis tahdits (pembacaan riwayat hadits) di seputaran distrik Rayy.
FIRASAT SEORANG ULAMA BESAR
Dalam sebuah kesempatan, sang ayah mengajak Abu Zur’ah yang masih kecil ke majelis Imam Abdurrahman bin Abdillah Ad Dusytaki. Menyaksikan wibawa Ad Dusytaki, Abu Zur’ah kecil tidak berani mendekat. Hanya ayahnya saja yang kemudian menemui Ad Dusytaki. Setelah mengucapkan salam, ayah Abu Zur’ah mengambil posisi duduk di samping Ad Dusytaki. Sementara Abu Zur’ah hanya mencuri-curi pandang ke arah Ad Dusytaki.
“Siapakah anak kecil itu?” Ad Dusytaki bertanya kepada ayahnya.
Ayahnya menjawab, “Dia anakku.”
“Coba panggil dia kemari.” Pinta Ad Dusytaki.
Dengan rasa malu bercampur segan, Abu Zur’ah berangsur mendekat ke arah Ad Dusytaki. Sampai akhirnya Abu Zur’ah dipangku oleh Ad Dusytaki.
“Sungguh, putramu ini kelak akan menjadi orang besar, hafizhul Quran, menguasai ilmu, dan banyak hal.” Ujar Ad Dusytaki setelah memerhatikan Abu Zur’ah dengan saksama.
Subhanallah!
Firasat Ad Dusytaki benar-benar terwujud. Sejak kecil Abu Zur’ah telah tenggelam di dalam lautan ilmu. Tidak ada satu pun ulama di distrik Rayy melainkan telah didatangi oleh Abu Zur’ah kecil. Kecerdasan dan kekuatan hafalan Abu Zur’ah sangat membantu sehingga setiap ulama di Rayy berusaha mewariskan ilmunya kepada Abu Zur’ah.
Guru pertama beliau di dalam meriwayatkan hadits adalah Ibrahim bin Musa Ar Razi. Dari gurunya ini, Abu Zur’ah mencatat riwayat hadits dengan sanad hingga mencapai 100.000 riwayat. Padahal waktu itu usia Abu Zur’ah masih sangat belia.
Setelah menimba ilmu dari alim ulama distrik Rayy, tibalah saatnya Abu Zur’ah remaja menempa diri dalam sebuah tugas suci bertacuk rihlah thalabul ilmi. Tugas suci “rihlah” adalah sebuah proses yang harus ditempuh oleh setiap pemuda yang bercita-cita mulia menjadi seorang hamba kecintaan Allah dengan meninggalkan kampung halaman, menjelajah berbagai negeri demi menghimpun ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya.
Keutamaan dan janji-janji pahala besar melalui wahyu langit untuk seorang ulama memotivasi kaum muda Islam di masa itu untuk berlomba-lomba rihlah thalabul ilmi, tak terkecuali Abu Zur’ah. Banyak riwayat menyebutkan bahwa rihlah pertama yang dijalani oleh Abu Zur’ah adalah perjalanannya ke kota Kufah. Di sana Abu Zur’ah menetap selama sepuluh bulan. Tahukan Anda berapa umur Abu Zur’ah ketika itu? Tiga belas tahun.
Silakan berdecak kagum. Silakan Anda menjawab pertanyaan ini, “Apa yang Anda lakukan pada saat Anda berusia tiga belas tahun?”
BERKELILING DUNIA
Pantas saja juka Abu Zur’ah dimasukkan dalam deretan ulama ar rahhalah al jawwaliin (sering rihlah dan banyak menjelajah). Tak terhitung lagi telah berapa kota dan negeri yang didatangi olehnya dalam proses rihlah. Qazwain, Naisabur, Baghdad, Kufah, Basrah, Wasith, Damaskus, ‘Asqalan, Beirut, dan Mesir hanyalah sebagian saja dari negeri-negeri yang pernah beliau jelajahi.
Perjuangan dan pengorbanan beliau di dalam rihlah tidak usahlah dibayangkan. Sebab, tidak semua orang langsung bisa membayangkannya. Panasnya siang semakin terasa berat jika diiringi oleh malam yang dingin. Ribuan bahkan puluhan ribu kilometer perjalanan dengan kaki ditempuh. Ancaman gangguan dari perampok dan penyamun dihadapi dengan tabah dan tawakal. Rindu kepada keluarga bagi beliau justru menjadi bumbu penyedap tugas rihlah.
Cobalah saja merenungi salah satu episode rihlah beliau!
Abu Zur’ah rahimahullah bercerita, “Aku menghabiskan waktu selama empat tahun lebih enam bulan dalam rihlah keduaku ke Syam, Irak, dan Mesir. Selama itu aku tidak pernah memasak barang seperiuk pun dengan tanganku sendiri.”
Masya Allah! Inilah ulama-ulama dunia yang dipilih Allah untuk menjaga kemurnian agama-Nya. Tugas yang berat nan suci membuat mereka bertekad untuk mengusir godaan-godaan dunia sejauh mungkin. Sebab dunia dan ilmu agama sulit dipersatukan.
TOKOH-TOKOH BESAR DI BALIK ABU ZUR’AH
Untuk memastikan bilangan dari jumlah ulama yang beliau pilih sebagai guru memang cukup sulit. Wajar saja hal ini sulit dilakukan jika membayangkan semangat dan kesungguhan beliau untuk menuntut ilmu. Sebagian guru, beliau ceritakan. Sebagian yang lain tidak dapat kita ketahui. Sejumlah pencatat sejarah menyebutkan ada 500 lebih guru beliau yang riwayatnya disampaikan kepada umat.
Berikut ini beberapa nama besar dalam kalangan ulama Islam yang menjadi guru Abu Zur’ah: Muhammad bin Sabiq, Abu Nu’aim, Ahmad bin Hanbal, Qurrah bin Habib, Al Qa’nabi, Khallad bin Yahya, ‘Amr bin Hasyim, Isa bin Mina Qalun, Ishaq bin Muhammad Al Farawi, Abdul Aziz bin Abdullah Al Uwaisi, Yahya bin Bukair, Abdul Hamid bin Bakkar, Shafwan bin Shalih, dan lain-lain.
KEAJAIBAN HAFALAN
Imam Ahmad terhitung sebagai guru terdekat Abu Zur’ah. Seorang guru tentu sangat memahami keistimewaan dan kelebihan murid-muridnya. Inilah salah satu pengakuan Imam Ahmad kepada muridnya Abu Zur’ah.
Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Hadits shahih jumlahnya ada 700.000 lebih. Sementara pemuda ini –yaitu Abu Zur’ah- telah menghafal 600.000 hadits.”
Tidak perlu heran! Jangan terkejut! 600.000 hadits bukanlah sesuatu yang sulit bagi Abu Zur’ah untuk menghafalnya. Cobalah simak penuturan Abu Zur’ah berikut ini.
“Setiap kali telingaku mendengar ilmu, hatiku pasti langsung mengukirkannya dengan kuat. Seringkali aku harus menutup kedua telingaku jika melewati pasar kota Baghdad karena melintas di depan toko-toko yang memperdengarkan suara kaum perempuan yang menyanyi. Aku khawatir jika aku mendengarnya, hatiku pun langsung mengukirkannya dengan kuat.”
Subhanallah!
Silakan juga Anda menakar diri dengan kisah Abu Zur’ah yang lain.
Abu Zur’ah rahimahullah bercerita, “Sungguh, di dalam rumahku ada beberapa buah kitab yang aku tulis sejak lima puluh tahun yang lalu. Hingga hari ini tidak pernah sekali pun aku membukanya kembali. Meskipun demikian aku mampu mengingat (tulisan itu) berada pada kitab yang mana, pada kertas ke berapa, halaman berapa, dan baris yang ke berapa.”
Luar biasa bukan? Demikianlah Allah menjaga kemurnian Islam dengan membangkitkan kaum ulama yang mempunyai banyak keajaiban. Simak juga sebuah pengakuan dari Abu Zur’ah berikut ini.
Abu Zur’ah rahimahullah mengatakan, “Aku hafal 600.000 hadits shahih, 14.000 sanad khusus dalam bidang tafsir dan qira’ah, dan 10.000 hadits yang dipalsukan.” Ada yang bertanya, “Apa manfaatnya Anda menghafal hadits-hadits palsu?” “Jika suatu saat aku menemukannya, aku akan segera mengetahuinya.”
PENGAKUAN KAUM ALIM ULAMA
Pengakuan ulama atas keilmuan dan kehebatan Abu Zur’ah tentu menjadi sesuatu yang bersifat niscaya. Untuk menukil pujian dan sanjungan ulama terhadap beliau tentulah tidak cukup jika hanya dalam beberapa halaman saja. Namun berikut ini sekelumit dari sanjungan ulama sengaja penulis pilihkan untuk pembaca agar bersam kita mengakui kedudukan beliau di dalam Islam.
Ahmad bin Hanbal memuji, “Tidak pernah ada seorang pun yang pernah melintasi Jisr (jembatan penghubung antara Irak dan Khurasan) lebih fakih dibandingkan Ishaq dan lebih hafizh dibandingkan Abu Zur’ah.”
“Aku tidak pernah menyaksikan orang sehebat dia.” Demikian Abu Mush’ab menyanjung Abu Zur’ah.
Ar Rabi’ bin Sulaiman menyatakan, “Abu Zur’ah termasuk tanda-tanda kebesaran Allah.”
Simak juga pengakuan seorang ulama besar bernama Ishaq bin Rahawaih tentang keilmuan Abu Zur’ah, “Sebuah hadits yang tidak diketahui oleh Abu Zur’ah, maka hadits tersebut pasti tidak memiliki dasar riwayat.”
Salah seorang muridnya yang bernama Abu Ya’la Al Maushili bercerita, “Setiap kali kami mendengar kehebatan seseorang di dalam kekuatan hafalan, pasti hanya lebih besar ceritanya daripada yang sesungguhnya. Kecuali Abu Zur’ah. Sungguh, bisa melihatnya saja lebih berharga dari sekadar mendengar namanya.”
Kawan akrabnya di dalam rihlah thalabul ilmi, Abu Hatim Ar Razi menegaskan, “Jika engkau melihat seseorang dari penduduk Rayy atau dari tempat lain membenci Abu Zur’ah, maka yakinlah bahwa orang itu adalah seorang ahli bid’ah.”
Imam Ahmad pernah berdoa dengan mengangkat kedua tangannya. Di dalam doa tersebut Imam Ahmad mendoakan kebaikan untuk Abu Zur’ah. “Ya Allah tolonglah dirinya dari setiap orang yang hendak berbuat jahat kepadanya. Ya Allah berikanlah ‘afiyah untuk dirinya. Ya Allah jauhkanlah bala dari dirinya.” Dan masih banyak lagi doa yang diucapkan Imam Ahmad untuk Abu Zur’ah.
Salah seorang murid Imam Ahmad yang mendengarkan doa tersebut lalu menceritakannya kepada Abu Zur’ah saat tiba di Rayy.
“Setiap kali ditimpa cobaan, aku selalu mengingat doa Imam Ahmad. Dan aku selalu berprasangka baik. Bahkan dengan sebab doa Imam Ahmad, Allah pun memberikan jalan keluar untukku dari cobaan tersebut.”
Sebagian ulama Salaf menyatakan, “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu seringkali disebut sebagai orang yang paling mirip dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal akhlak dan perilaku. Abdullah (Ibnu Mas’ud) sendiri menilai bahwa orang yang paling mirip dengannya dalam hal akhlak dan perilaku adalah ‘Alqamah. Yang dinilai ‘Alqamah sebagai orang yang paling mirip dengannya adalah Ibrahim An Nakha’i. Kemudian begitu seterusnya, dari Ibrahim An Nakha’i kemudian Manshur bin Al Mu’tamir lalu Sufyan At Tsauri kemudian Waki’ bin Al Jarrah lalu Ahmad bin Hanbal kemudian Abu Zur’ah Ar Razi. Sementara Abu Zur’ah menilai Abdurrahman bin Abi Hatim sebagai orang yang paling mirip dengannya.”
WARISAN MURID DAN KARYA TULIS
Ketenaran Abu Zur’ah di dalam ilmu hadits telah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Tak heran, ribuan para penuntut ilmu sengaja datang ke Rayy untuk menimba ilmu secara langsung dari beliau. Tidak sedikit pula murid-murid beliau yang akhirnya menjadi ulama besar seperti sang guru rahimahullah.
Dari deretan murid-murid beliau tercatat nama Imam Muslim, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ishaq bin Musa, Abu Hatim, Abu Zur’ah Ad Dimasyqi, Ibrahim Al Harbi, Muhammad bin ‘Auf, Sa’id bin ‘Amr Al Adzru’i, Shalih Jazarah, Abdurrahman bin Abi Hatim, Abu ‘Awanah, dan lain-lain.
Keilmuan Abu Zur’ah benar-benar diakui oleh ulama Islam. Sebagai buktinya adalah beberapa guru beliau juga meriwayatkan hadits dari Abu Zur’ah semisal Ar Rabi’ bin Sulaiman, Harmalah bin Yahya, Muhammad bin Humaid Ar Razi, ‘Amr bin Ali, dan Yunus bin Abdul A’la.
Adapun warisan ilmu dari Abu Zur’ah dalam bentuk karya tulis sangat banyak. Al Hafizh Al Khalili menggambarkannya dengan kata-kata indah, “Kelebihan Abu Zur’ah terlalu banyak untuk dihitung. Karya-karya yang dihasilkanya tidak ada yang mampu menyainginya.”
Karya-karya beliau antara lain: Fawaid Ar Raziyin, Al Fawaid, Al Fadhail, Dalail Nubuwwah, As Siyar, Al Mukhtashar, Az Zuhd, Al Ath’imah, Al Faraidh, As Shaum, Al Adab, Al Wudhu’, As Syuf’ah, Al Afrad, Al ‘Ilal, Al Jarh wat Ta’dil, At Tafsir, As Shahabah, Al Musnad, dan lain-lain
USIA MANUSIA ADA BATASNYA
Hari-hari di dunia memang terasa sangat pendek jika kita memandangnya jauh ke belakang. Namun bagi para perindu surga, hari-hari di dunia amatlah terasa panjang. Apalagi mereka yang sangat-sangat merindukan perjumpaan dengan Allah.
Tahukah Anda bagaimana keadaan Abu Zur’ah kala menghadapi kematian?
Lisannya terus menerus berdzikir kepada Allah. Begitu tenangnya beliau menghadapi kematian. Nampak sekali kerinduannya untuk segera berjumpa dengan Allah. Abu Zur’ah mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya hamba Mu ini sangat rindu untuk memandang Mu. Jika Allah bertanya kepadaku, ‘Amalan apa yang engkau punya hingga merindukan diri Ku?’ ‘Dengan mengharap akan rahmat Mu.’ Demikian akan aku jawab.”
Subhanallah!
Seperti itulah seorang hamba yang mukmin. Saat ajal datang adalah saat yang menentukan. Semua amal usaha seorang hamba sepanjang hidupnya akan terlihat jelas saat nafas terakhir berhembus.
Ya. Abu Zur’ah menghadapi kematian dengan husnuzhan! Beliau meninggal dunia dalam keadaan menderita sakit perut. Dan kening beliau dibasahi oleh keringat-keringat dingin. Ini mengingatkan kita pada sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu riwayat Tirmidzi:
مَوۡتُ الۡمُؤۡمِنِ بِعَرَقِ الۡجَبِينِ
“Kematian seorang mukmin itu diiringi oleh keringat di kening.”
Sejumlah ulama besar turut berkumpul di kediaman Abu Zur’ah pada detik-detik menjelang wafatnya. Di hadapan Abu Zur’ah mereka teringat hadits Rasulullah yang menganjurkan agar mentalqinkan kalimat syahadat untuk seseorang yang akan meninggal dunia. Namun mereka segan untuk melakukannya kepada Abu Zur’ah. Bagaimana tidak? Abu Zur’ah adalah seorang ulama besar!
Akhirnya, mereka yang hadir menggunakan sebuah cara yang dipandang halus. Ada yang mengatakan, “Marilah kita membaca hadits tentang keutamaan kalimat syahadat.”
Namun, setiap orang yang membaca sanad hadits tersebut selalu terhenti dan tidak mampu untuk melanjutkannya sampai selesai.
Pada saat itulah Abu Zur’ah membaca hadits Mu’adz bin Jabal dengan sanad yang lengkap sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
مَنۡ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الۡجَنَّةَ
“Siapa saja yang ucapan terakhirnya adalah “Laa Ilaaha Illallah”, maka ia akan masuk surga.” [H.R. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah].
Setelah selesai membaca hadits tersebut. Abu Zur’ah pun meninggal dunia. Seketika itu juga!
Duhai manis dan indahnya kehidupan beliau! Hari-hari dihiasi dengan ilmu dan ibadah. Kemudian pada saat nafas terakhir berhembus, hadits tentang keutamaan kalimat syahadat yang beliau ucapkan!
Ah, bagaimana dengan kita nantinya? Ya Allah, karuniakanlah husnul khatimah untuk kami. Ya Allah kami berlindung kepada Mu dari su’ul khatimah. Amin yaa Arhamar Raahimiin.
Referensi:
Juhud Abi Zur’ah, cetakan Ibnul Qayyim.
Mu’jamul Buldan, karya Yaqut Al Hamawi rahimahullah.
Tahdzibut Tahdzib, karya Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 8 vol. 01 1433H / 2013M, rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Nasim Mukhtar.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 8 vol. 01 1433H / 2013M, rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Nasim Mukhtar.