Ketahuilah, Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta`ala mengutus
kita ke muka bumi adalah dalam rangka menjalankan tugas yang mulia. Yaitu
mempersembahkan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala, menegakkan
syariat-Nya, serta memberantas berbagai kemungkaran yang bisa mengundang murka
Allah Subhanahu wa Ta`ala. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦ مَآ أُرِيدُ مِنۡهُم مِّن رِّزۡقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطۡعِمُونِ ٥٧ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku, Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah yang Maha Pemberi rezeki, yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh." (Adz-Dzaariyaat: 56-58)
Demikianlah perjalanan hidup manusia yang telah ditetapkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta`ala. Agar mereka menjalani aktivitas hidup ini
sesuai dengan masyi'ah (kehendak)-Nya. Namun dengan kehendak Allah pulalah maka
di antara manusia itu ada yang beriman lagi taat, dan ada pula yang ingkar lagi
menolak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala. Ini semua merupakan
bukti keadilan Allah Subhanahu wa Ta`ala terhadap segenap hamba-Nya. Dengan
bukti keadilan-Nya Allah hendak menguji para hamba, apakah mereka benar-benar
beriman kepada Allah atau sebaliknya? Dan apakah mereka akan dibiarkan
mengatakan: "Kami beriman," lantas mereka tidak diuji?
Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
الٓمٓ ١ أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ ٢ وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ ۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَـٰذِبِينَ
"Alif Laam Miim, Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan: "kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar. Dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (Al Ankabut: 1-3).
Dan juga Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَ ۖ فَمِنۡهُم مَّنۡ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنۡهُم مَّنۡ حَقَّتۡ عَلَيۡهِ ٱلضَّلَـٰلَةُ
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya." (An Nahl: 36)
Syaikh Abdurahman bin Hasan Alu Syaikh menjelaskan bahwa
ayat di atas menunjukkan tentang hikmah diutusnya para rasul, yaitu untuk
mendakwahi umat agar mereka beribadah kepada Allah semata dan melarang mereka
dari beribadah kepada selain-Nya. Ini merupakan agama para Nabi dan Rasul,
walaupun berbeda syariat mereka.
Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
لِكُلٍّ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةً وَمِنۡهَاجًا
"Untuk tiap tiap umat diantara kamu Kami berikan aturan (syariat) dan jalan yang terang." (Al Maidah : 48)
(Fathul Majid hal 29 ).
Hendaklah setiap muslim mengetahui bahwa perjalanan hidup
mereka di dalam mencari ridho Allah Azza wa Jalla, tidak akan menuju
kesempurnaan kecuali didasari dengan ilmu syariat. Maka ilmu adalah sarana yang
sangat penting bagi kemaslahatan manusia untuk menjalankan aktivitas hidup di
dunia. Karena ilmu merupakan sumber kehidupan jiwa dalam beribadah kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga tidak akan sempurna dan tegak tatanan kehidupan
manusia apabila ilmu tidak lagi dijadikan pedoman dan jalan hidup mereka. Oleh
karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahkan ilmu bagi hati bagaikan
siraman hujan yang turun ke bumi. Jadi sebagaimana tidak ada kehidupan di muka
bumi kecuali dengan turunnya hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi
hati kecuali dengan siraman ilmu.
Di dalam Al Muwaththo -karya Imam Malik- disebutkan: Lukman
berkata kepada anaknya: "Wahai anakku duduklah kamu bersama para ulama
dan dekatilah mereka dengan kedua lututmu (bergaul dengan mereka), maka
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta`ala menghidupkan hati-hati yang mati dengan
cahaya hikmah sebagaimana menghidupkan (menyuburkan) bumi dengan hujan yang
deras." (Kitab Al Ilmu Fadluhu wa Syarfuhu hal 228)
Oleh karena itu kebutuhan hati manusia terhadap cahaya ilmu
merupakan kebutuhan yang mendesak. Sebagaimana kebutuhan bumi terhadap turunnya
hujan tatkala terjadi kekeringan dan paceklik. Maka ilmu merupakan mutiara yang
sangat berharga bagi setiap muslim. Karena dengan ilmu jiwa-jiwa manusia akan
hidup dan sebaliknya jiwa-jiwa mereka akan mati apabila tidak dibekali dengan
ilmu.
Sebagian orang-orang yang arif berkata: "Bukankah
orang yang sakit akan mati tatkala tercegah dari makanan, minuman dan obat-obatan?"
Maka dijawab: "Tentu saja," Mereka mengatakan: "Demikian pula
halnya dengan hati jika terhalang dari ilmu dan hikmah maka akan mati."
Maka tepat jika dikatakan bahwa ilmu merupakan makanan dan
minuman hati, serta penyembuh jiwa, karena kehidupan hati bersandar kepada
ilmu. Maka apabila ilmu telah sirna dari hati seseorang berarti hakekatnya dia
telah mati. Akan tetapi dia tidak merasakan kematian tersebut. Orang yang
hatinya telah mati ibarat seorang pemabuk yang hilang akalnya (disebabkan
maksiat yang dia lakukan). (Kitab Al Ilmu Fadluhu wa Syarfuhu hal 144-145).
Sesungguhnya sebab utama yang bisa merusak bahkan mematikan hati adalah
maksiat. Jika hati semakin rusak maka cahaya tersebut akan melemah dan
berkurang. Sebagian salaf berkata: "Tidaklah seseorang yang bermaksiat
kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala sehingga (menyebabkan) hilang akalnya."
Maka tertutupnya hati manusia dari cahaya ilmu, tergantung
dari tingkatan maksiat yang mereka lakukan. Jika semakin banyak dosa yang
dilakukan, maka akan semakin banyak pula celah-celah hati yang tertutup dari
cahaya ilmu, dan semakin sulit terbukanya peluang bagi hati untuk tersirami
dengan cahaya ilmu. Sehingga menyebabkan dia termasuk dari golongan orang orang
yang lalai. Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
كَلَّا ۖ بَلۡ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا۟ يَكۡسِبُونَ
"Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka." (Al Muthaffifin: 14),Sebagian salaf menafsirkan ayat tersebut, yaitu: "Dosa yang dilakukan terus menerus (dosa di atas dosa)."
Berkata Al Hasan: yaitu "Dosa di atas dosa hingga
membutakan hati." (Meriwayatkan darinya (Al Hasan) Abd Ibnu Hamid
sebagaimana dalam (Ad Durul Mantsur: 8/447) (Ad Da`u wad Dawa` hal 95-96)
Oleh karena itu hendaklah kita sebagai muslim senantiasa
menjaga ilmu yang ada di dalam hati dari hal-hal yang akan memadamkannya.
Disertai dengan niat yang ikhlas dan mengamalkan kandungan ilmu tersebut, serta
banyak memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala. Sehingga kita bisa
menepis berbagai pengaruh dosa yang merupakan sebab kelalaian dan kejahilan
manusia. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
فَبِمَا نَقۡضِهِم مِّيثَـٰقَهُمۡ لَعَنَّـٰهُمۡ وَجَعَلۡنَا قُلُوبَهُمۡ قَـٰسِيَةً ۖ يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ ۙ وَنَسُوا۟ حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ
"(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, kami kutuk mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka diperingatkan dengannya." (Al-Ma`idah: 13)
Al Imam Syafi`i pernah mengatakan :
Aku pernah mengeluh kepada Imam Waqi` tentang jeleknya hafalanku
Maka beliau membimbingku untuk meninggalkan maksiat
Dan beliau berkata: "Ketahuilah bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat."
Ucapan Al Imam Syafi`i tersebut merupakan peringatan
sekaligus nasehat yang bermanfaat bagi kita, jika tidak ingin kehilangan
mutiara yang sangat berharga yaitu ilmu yang bermanfaat. Akhir kata, kita
memohon kepada Allah agar menganugerahkan Taufik dan Hidayah-Nya, mengokohkan
iman kita dengan ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat serta tidak
memalingkan hati kita kepada kesesatan dan kebinasaan. Amin Yaa mujiibas
saa`ilin.
Wallahu a`lam bis showab.
Sumber: www.salafy.or.id
Oleh Al Ustadz Abdul Aziz as Salafy
Sumber: Buletin Al Wala` Wal Bara` Edisi ke-33 Tahun ke-1 / 01 Agustus 2003 M / 02 Jumadits Tsani 1424 H.