Cari Blog Ini

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 24

١٦ - بَابٌ الۡحَيَاءُ مِنَ الۡإِيمَانِ 
16. Bab malu termasuk iman 

٢٤ - حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ يُوسُفَ قَالَ: أَخۡبَرَنَا مَالِكُ بۡنُ أَنَسٍ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ سَالِمِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ، عَنۡ أَبِيهِ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الۡأَنۡصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الۡحَيَاءِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (دَعۡهُ، فَإِنَّ الۡحَيَاءَ مِنَ الۡإِيمَانِ). 
[الحديث ٢٤ – طرفه في: ٦١١٨]. 
24. ‘Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab, dari Salim bin ‘Abdullah, dari ayahnya: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seseorang dari Ansar ketika dia sedang menasihati saudaranya tentang malu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dia karena malu termasuk keimanan.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 23

٢٣ - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ عُبَيۡدِ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنَا إِبۡرَاهِيمُ بۡنُ سَعۡدٍ، عَنۡ صَالِحٍ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ أَبِي أُمَامَةَ بۡنِ سَهۡلِ: أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الۡخُدۡرِيَّ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (بَيۡنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيۡتُ النَّاسَ يُعۡرَضُونَ عَلَيَّ وَعَلَيۡهِمۡ قُمُصٌ، مِنۡهَا مَا يَبۡلُغُ الثُّدِيَّ، وَمِنۡهَا مَا دُونَ ذٰلِكَ، وَعُرِضَ عَلَيَّ عُمَرُ بۡنُ الۡخَطَّابِ وَعَلَيۡهِ قَمِيصٌ يَجُرُّهُ) قَالُوا: فَمَا أَوَّلۡتَ ذٰلِكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: (الدِّينَ). [الحديث ٢٣ – أطرافه في: ٣٦٩١، ٧٠٠٨، ٧٠٠٩]. 
23. Muhammad bin ‘Ubaidullah telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Ibrahim bin Sa’d menceritakan kepada kami dari Shalih, dari Ibnu Syihab, dari Abu Umamah bin Sahl: Bahwa beliau mendengar Abu Sa’id Al-Khudri mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika aku sedang tidur, aku melihat orang-orang diperlihatkan kepadaku dalam keadaan mereka memakai gamis-gamis. Sebagian gamis itu ada yang sampai dada dan sebagiannya ada yang di bawah itu. Dan ‘Umar bin Al-Khaththab diperlihatkan kepadaku dalam keadaan dia memakai gamis yang ia seret.” Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau takwilkan dari mimpi itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Aku takwilkan) agama.”

Syarh Al-Qawa'idul Arba' - Kaidah Ketiga (2)

وَالدَّلِيلُ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَقَاتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلهِ﴾ [البقرة: ١٩٤].
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah sedikit pun dan sampai agama ini hanya untuk Allah.” (QS. Al-Baqarah: 194)[1].
وَدَلِيلُ الشَّمۡسِ وَالۡقَمَرِ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمِنۡ آيَاتِهِ اللَّيۡلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمۡسُ وَالۡقَمَرُ ۚ لَا تَسۡجُدُوا لِلشَّمۡسِ وَلَا لِلۡقَمَرِ﴾ [فصلت: ٣٧].
Dalil bahwa ada yang menyembah matahari dan bulan dan itu adalah kesyirikan adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan termasuk tanda-tanda-Nya adanya malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah kalian sujud kepada matahari dan jangan pula kepada bulan.” (QS. Fushshilat: 37)[2].
وَدَلِيلُ الۡمَلَائِكَةِ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَلَا يَأۡمُرَكُمۡ أَن تَتَّخِذُوا الۡمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرۡبَابًا﴾ [آل عمران: ٨٠].
Dalil bahwa ada yang menyembah malaikat dan hal tersebut merupakan kesyirikan adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan Dia tidak memerintahkan kalian untuk menjadikan para malaikat dan nabi sebagai rabb-rabb.” (QS. Ali ‘Imran: 80)[3]

[1] قَوۡلُهُ: (وَالدَّلِيلُ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَقَٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٌ﴾) أَيۡ: الدَّلِيلُ عَلَى قِتَالِ الۡمُشۡرِكِينَ مِنۡ غَيۡرِ تَفۡرِيقٍ بَيۡنَهُمۡ حَسَبَ مَعۡبُودَاتِهِمۡ؛ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَقَٰتِلُوهُمۡ﴾، وَهٰذَا عَامٌّ لِكُلِّ الۡمُشۡرِكِينَ، لَمۡ يَسۡتَثۡنِ أَحَدًا، ثُمَّ قَالَ: ﴿حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٌ﴾ وَالۡفِتۡنَةُ: الشِّرۡكُ، أَيۡ: لَا يُوجَدُ شِرۡكٌ، وَهٰذَا عَامٌّ، أَيَّ شِرۡكٍ، سَوَاءً الشِّرۡكُ فِي الۡأَوۡلِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ، أَوۡ بِالۡأَحۡجَارِ، أَوۡ بِالۡأَشۡجَارِ، أَوۡ بِالشَّمۡسِ، أَوۡ بِالۡقَمَرِ. 
Ucapan beliau: (Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah sedikit pun.”) yaitu dalil yang menunjukkan untuk memerangi kaum musyrikin tanpa membeda-bedakan mereka berdasar sembahan-sembahan mereka. Firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan perangilah mereka”, ini umum mencakup seluruh orang musyrik, Allah tidak mengecualikan satu pun. Kemudian Allah berfirman yang artinya, “sampai tidak ada fitnah sedikit pun.” Fitnah di sini adalah kesyirikan. Sehingga artinya: tidak didapati satu kesyirikan pun. Ini juga umum, syirik apa pun itu. Sama saja apakah menyekutukan Allah dengan wali-wali dan orang shalih atau dengan bebatuan dan pepohonan, atau dengan matahari dan bulan. 
﴿وَيَكُونَ الدِّينُ﴾: تَكُونُ الۡعِبَادَةُ كُلُّهَا لِلهِ، لَيۡسَ فِيهَا شَرِكَةٌ لِأَحَدٍ كَائِنًا مَنۡ كَانَ، فَلَا فَرۡقَ بَيۡنَ الشِّرۡكِ بِالۡأَوۡلِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ، أَوۡ بِالۡأَحۡجَارِ أَوۡ بِالۡأَشۡجَارِ، أَوۡ بِالشَّيَاطِينِ أَوۡ غَيۡرِهِمۡ. 
“dan sampai agama ini…” artinya sampai ibadah ini seluruhnya hanya untuk Allah. Tidak ada satu sekutu pun di dalam ibadah ini, apa pun itu. Jadi, tidak ada perbedaan antara syirik dengan wali-wali dan orang shalih atau bebatuan dan pepohonan atau dengan setan-setan atau selain mereka. 
[2] دَلَّ عَلَى أَنَّ هُنَاكَ مَنۡ يَسۡجُدُ لِلشَّمۡسِ وَالۡقَمَرِ، وَلِهٰذَا نَهَى الرَّسُولُ ﷺ عَنِ الصَّلَاةِ عِنۡدَ طُلُوعِ الشَّمۡسِ وَعِنۡدَ غُرُوبِهَا سَدًّا لِلذَّرِيعَةِ، لِأَنَّ هُنَاكَ مَنۡ يَسۡجُدُ لِلشَّمۡسِ عِنۡدَ طُلُوعِهَا وَيَسۡجُدُ لَهَا عِنۡدَ غُرُوبِهَا، فَنُهِينَا أَنۡ نُصَلِّيَ فِي هٰذَيۡنِ الۡوَقۡتَيۡنِ، وَإِنۡ كَانَتۡ الصَّلَاةُ لِلهِ، لَكِنۡ لَمَّا كَانَ فِي الصَّلَاةِ فِي هٰذَا الۡوَقۡتِ مُشَابَهَةٌ لِفِعۡلِ الۡمُشۡرِكِينَ مُنِعَ مِنۡ ذٰلِكَ سَدًّا لِلذَّرِيعَةِ الَّتِي تُفۡضِي إِلَى الشِّرۡكِ، وَالرَّسُولُ ﷺ جَاءَ بِالنَّهۡيِ عَنِ الشِّرۡكِ وَسَدِّ ذَرَائِعِهِ الۡمُفۡضِيَةِ إِلَيۡهِ. 
Ayat tersebut menunjukkan bahwa di sana ada orang-orang yang sujud kepada matahari dan bulan. Untuk itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari shalat ketika matahari terbit dan tenggelam untuk menutup pintu kejelekan. Karena di sana ada orang-orang yang sujud kepada matahari ketika terbit dan sujud kepadanya ketika tenggelam. Sehingga kita dilarang untuk shalat di dua waktu ini, meskipun shalat itu ditujukan untuk Allah, akan tetapi ketika shalat di dua waktu ini menyerupai perbuatan orang-orang musyrik, maka dilarang dari hal tersebut sebagai upaya untuk menutup pintu kejelekan yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang membawa syariat yang melarang dari kesyirikan sekaligus menutup pintu yang dapat menyampaikan kepadanya. 
[3] قَوۡلُهُ: (وَدَلِيلُ الۡمَلَائِكَةِ... إلخ) دَلَّ عَلَى أَنَّ هُنَاكَ مَنۡ عَبَدَ الۡمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ، وَأَنَّ ذٰلِكَ شِرۡكٌ. 
وَعُبَّادُ الۡقُبُورِ الۡيَوۡمَ يَقُولُونَ: الَّذِي يَعۡبُدُ الۡمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ وَالصَّالِحِينَ لَيۡسَ بِكَافِرٍ. 
Ucapan beliau: “Dan dalil malaikat…” dst, menunjukkan bahwa di sana ada orang-orang yang menyembah malaikat dan para nabi dan bahwa hal tersebut adalah kesyirikan. 
Dan para pemuja kuburan pada hari ini mengatakan bahwa orang yang menyembah para malaikat, para nabi, dan orang-orang shalih tidaklah kafir.

Syarh Al-Qawa'idul Arba' - Kaidah Kedua (2)

وَدَلِيلُ الشَّفَاعَةِ: قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَـٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللَّهِ﴾ [يونس: ١٨].
وَالشَّفَاعَةُ شَفَاعَتَانِ: شَفَاعَةٌ مَنۡفِيَّةٌ وَشَفَاعَةٌ مُثۡبَتَةٌ.
فَالشَّفَاعَةُ الۡمَنۡفِيَّةُ: مَا كَانَتۡ تُطۡلَبُ مِنۡ غَيۡرِ اللهِ فِيمَا لَا يَقۡدِرُ عَلَيۡهِ إِلَّا اللهُ، وَالدَّلِيلُ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقۡنَاكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٌ لَّا بَيۡعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ ۗ وَالۡكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴾ [البقرة: ٢٥٤].
Dalil bahwa tujuan mereka untuk mendapatkan syafaat adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan mereka menyembah dari selain Allah sesembahan yang tidak dapat mendatangkan madharat dan tidak dapat memberi manfaat. Dan mereka mengatakan bahwa sesembahan itu pemberi syafaat kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18).
Syafaat itu ada dua macam: syafaat yang ditiadakan dan syafaat yang ditetapkan syariat.
Adapun syafaat yang ditiadakan adalah syafaat yang diminta dari selain Allah pada perkara yang hanya Allah yang bisa melakukannya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, berinfaqlah kalian dari sebagian apa yang telah Kami rezekikan kepada kalian sebelum datang suatu hari yang saat itu tidak ada jual beli, tidak ada lagi persahabatan yang akrab, dan tidak ada pula syafaat. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Baqarah: 254)[1].
وَالشَّفَاعَةُ الۡمُثۡبَتَةُ هِيَ الَّتِي تُطۡلَبُ مِنَ اللهِ.
وَالشَّافِعُ مُكۡرَمٌ بِالشَّفَاعَةِ، وَالۡمَشۡفُوعُ لَهُ هُوَ مَنۡ رَضِيَ اللهُ قَوۡلَهُ وَعَمَلَهُ بَعۡدَ الۡإِذۡنِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿مَن ذَا الَّذِي يَشۡفَعُ عِندَهُ إِلَّا بِإِذۡنِهِ﴾ [البقرة: ٢٥٥].
Syafaat yang ditetapkan adalah syafaat yang diminta dari Allah.
Yang memberi syafaat adalah orang yang dimuliakan dengan syafaat. Sedangkan orang yang disyafaati adalah orang yang Allah ridhai ucapan dan amalannya setelah izin Allah. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah kecuali dengan izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255)[2]

[1] الشَّفَاعَةُ لَهَا شُرُوطٌ وَلَهَا قُيُودٌ، لَيۡسَتۡ مُطۡلَقَةً. 
Syafaat itu memiliki syarat-syarat dan ketentuan, tidak mutlak begitu saja. 
فَالشَّفَاعَةُ شَفَاعَتَانِ: شَفَاعَةٌ نَفَاهَا اللهُ –جَلَّ وَعَلَا-، وَهِيَ الشَّفَاعَةُ بَغَيۡرِ إِذۡنِهِ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى، فَلَا يَشۡفَعُ أَحَدٌ عِنۡدَ اللهِ إِلَّا بِإِذۡنِهِ، وَأَفۡضَلُ الۡخَلۡقِ وَخَاتَمُ النَّبِيِّينَ مُحَمَّدٌ ﷺ إِذَا أَرَادَ أَنۡ يَشۡفَعَ لِأَهۡلِ الۡمَوۡقِفِ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ يَخِرُّ سَاجِدًا بَيۡنَ يَدَيۡ رَبِّهِ وَيَدۡعُوهُ وَيَحۡمَدُهُ وَيُثۡنِي عَلَيۡهِ، وَلَا يَزَالُ سَاجِدًا حَتَّى يُقَالُ: (ارۡفَعۡ رَأۡسَكَ، وَقُلۡ تُسۡمَعۡ، وَاشۡفَعۡ تُشَفَّعۡ)، فَلَا يَشۡفَعُ إِلَّا بَعۡدَ الۡإِذۡنِ. 
Syafaat itu ada dua: Syafaat yang Allah ‘jalla wa ‘ala tiadakan, yaitu syafaat yang tidak seizin-Nya subhanahu wa ta’ala. Sehingga, tidak ada seorang pun yang dapat memberi syafaat kecuali dengan izin Allah. Bahkan, makhluk yang paling mulia dan penutup para Nabi –yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika hendak memberi syafaat untuk orang-orang di padang Mahsyar pada hari kiamat, beliau menyungkur sujud di hadapan Rabbnya, lalu berdoa kepada-Nya, memuji-Nya, dan menyanjung-Nya. Dan beliau terus dalam keadaan sujud sampai dikatakan kepada beliau, “Angkat kepalamu! Katakanlah, niscaya ucapanmu akan didengar! Dan berilah syafaat, niscaya syafaatmu diterima!” Jadi, beliau tidak dapat memberi syafaat kecuali setelah izin Allah. 
[2] وَالشَّفَاعَةُ الۡمُثۡبَتَةُ: هِيَ الَّتِي تَكُونُ لِأَهۡلِ التَّوۡحِيدِ، فَالۡمُشۡرِكُ لَا تَنۡفَعُهُ شَفَاعَةٌ، وَالَّذِي يُقَدِّمُ الۡقَرَابِينَ لِلۡقُبُورِ وَالنُّذُورَ لِلۡقُبُورِ هٰذَا مُشۡرِكٌ لَا تَنۡفَعُهُ الشَّفَاعَةُ. 
Syafaat yang ditetapkan adalah syafaat untuk orang yang bertauhid. Adapun orang musyrik, tidak bermanfaat syafaat untuknya. Dan orang yang mempersembahkan kurban dan nadzar kepada kuburan maka ia adalah musyrik. Sehingga syafaat tidak bermanfaat untuknya. 
وَخُلَاصَةُ الۡقَوۡلِ: أَنَّ الشَّفَاعَةَ الۡمَنۡفِيَّةَ هِيَ الَّتِي تُطۡلَبُ بِغَيۡرِ إِذۡنِ اللهِ، أَوۡ تُطۡلَبُ لِمُشۡرِكٍ. 
وَالشَّفَاعَةُ الۡمُثۡبَتَةُ: هِيَ الَّتِي تَكُونُ بَعۡدَ إِذۡنِ اللهِ، وَلِأَهۡلِ التَّوۡحِيدِ. 
Kesimpulannya: bahwa syafaat yang ditiadakan adalah syafaat yang diminta tanpa seizin Allah atau yang diminta untuk orang musyrik. Adapun syafaat yang ditetapkan adalah syafaat setelah izin Allah dan untuk orang yang bertauhid.

Syarh Al-Qawa'idul Arba' - Kaidah Kedua (1)

الۡقَاعِدَةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّهُمۡ يَقُولُونَ: مَا دَعَوۡنَاهُمۡ وَتَوَجَّهۡنَا إِلَيۡهِمۡ إِلاَّ لِطَلَبِ الۡقُرۡبَةِ وَالشَّفَاعَةِ.
فَدَلِيلُ الۡقُرۡبَةِ: قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوۡلِيَاءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلۡفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحۡكُمُ بَيۡنَهُمۡ فِي مَا هُمۡ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهۡدِي مَنۡ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ﴾ [الزمر: ٣].
Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab rahimahullah berkata: Kaidah kedua: bahwa mereka mengatakan: Tidaklah kami berdoa kepada mereka dan menghadapkan wajah kepada mereka kecuali untuk mendapatkan kedekatan dan syafa’at.
Dalil bahwa tujuan mereka untuk mendekatkan adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan orang-orang yang menjadikan selain Dia sebagai wali-wali (mengatakan): Kami tidak menyembah mereka kecuali agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk orang-orang yang pendusta lagi sangat ingkar.” (QS. Az-Zumar: 3). 

الۡقَاعِدَةُ الثَّانِيَةُ: أَنَّ الۡمُشۡرِكِينَ الَّذِينَ سَمَّاهُمُ اللهُ مُشۡرِكِينَ وَحَكَمَ عَلَيۡهِمۡ بِالۡخُلُودِ فِي النَّارِ، لَمۡ يُشۡرِكُوا فِي الرُّبُوبِيَّةِ وَإِنَّمَا أَشۡرَكُوا فِي الۡأُلُوهِيَّةِ، فَهُمۡ لَا يَقُولُونَ إِنَّ آلِهَتَهُمۡ تَخۡلُقُ وَتَرۡزُقُ مَعَ اللهِ، وَأَنَّهُمۡ يَنۡفَعُونَ أَوۡ يَضُرُّونَ أَوۡ يُدَبِّرُونَ مَعَ اللهِ، وَإِنَّمَا اتَّخَذُوهُمۡ شُفَعَاءَ، كَمَا قَالَ اللهُ تَعَالَى عَنۡهُمۡ: ﴿وَيَعۡبُدُونَ مِنۡ دُونِ اللهِ مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنۡفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَٰٓؤُلَآءِ شُفَعَٰٓؤُنَا عِنۡدَ اللهِ﴾ [يونس: ١٨]، ﴿مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنۡفَعُهُمۡ﴾ هُمۡ مَعُتَرِفُونَ بِهٰذَا، إِنَّهُمۡ لَا يَنۡفَعُونَ وَلَا يَضُرُّونَ، وَإِنَّمَا اتَّخَذُوهُمۡ شُفَعَاءَ، يَعۡنِي: وُسَطَاءَ عِنۡدَ اللهِ فِي قَضَاءِ حَوَائِجِهِمۡ، يَذۡبَحُونَ لَهُمۡ، وَيَنۡذُرُونَ لَهُمۡ، لَا لِأَنَّهُمۡ يَخۡلُقُونَ أَوۡ يَرۡزُقُونَ أَوۡ يَنۡفَعُونَ أَوۡ يَضُرُّونَ فِي اعۡتِقَادِهِمۡ، وَإِنَّمَا لِأَنَّهُمۡ يَتَوَسَّطُونَ لَهُمۡ عِنۡدَ اللهِ، وَيَشۡفَعُونَ عِنۡدَ اللهِ، هٰذِهِ عَقِيدَةُ الۡمُشۡرِكِينَ. 
Syaikh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata: Kaidah kedua: Bahwa orang-orang musyrik yang Allah telah namai mereka sebagai orang musyrik dan telah menghukumi mereka kekal di dalam neraka, ternyata mereka tidak menyekutukan Allah di dalam perkara rububiyyah. Mereka menyekutukan Allah hanya di dalam perkara uluhiyyah. Mereka tidak mengatakan bahwa sesungguhnya sesembahan mereka menciptakan dan memberi rezeki bersama Allah. Mereka tidak pula mengatakan bahwa mereka dapat memberi manfaat, mendatangkan madharat, atau mengatur bersama Allah. Mereka hanya menjadikan sesembahan itu sebagai pemberi syafaat, sebagaimana yang telah Allah ta’ala firmankan mengenai mereka yang artinya, “Dan mereka menyembah dari selain Allah sesembahan yang tidak dapat mendatangkan madharat dan tidak dapat memberi manfaat. Dan mereka mengatakan bahwa sesembahan itu adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18). “Sesembahan yang tidak dapat mendatangkan madharat dan tidak dapat memberi manfaat”, orang-orang musyrik itu mengakui hal ini. Yaitu bahwa sesembahan itu tidak dapat memberi manfaat dan mendatangkan madharat. Orang-orang musyrik itu hanya menjadikan sesembahan mereka sebagai pemberi syafaat, yakni perantara di sisi Allah untuk menyampaikan kebutuhan mereka yang orang-orang musyrik itu menyembelih untuk mereka, bernadzar kepada mereka. Bukan karena sesembahan itu menciptakan atau memberi rezeki, memberi manfaat atau mendatangkan madharat menurut keyakinan mereka. Akan tetapi agar sesembahan itu menjadi perantara untuk mereka di sisi Allah dan memberi syafaat di sisi Allah. Inilah akidah orang-orang musyrik. 
وَأَنۡتَ لَمَّا تُنَاقِشِ الۡآنَ قُبُورِيًّا مِنَ الۡقُبُورِيِّينَ يَقُولُ هٰذَا الۡمَقَالَةَ سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَقُولُ: أَنَا أَدۡرِي أَنَّ هٰذَا الۡوَلِيَّ أَوۡ هٰذَا الرَّجُلَ الصَّالِحَ لَا يَضُرُّ وَلَا يَنۡفَعُ، وَلٰكِنۡ هُوَ رَجُلٌ صَالِحٌ وَأُرِيدُ مِنۡهُ الشَّفَاعَةَ لِي عِنۡدَ اللهِ. 
Ketika engkau pada zaman ini mencoba mendebat pemuja kuburan, maka ia akan mengucapkan ucapan yang sama persis. Dia katakan: Saya tahu bahwa wali atau orang shalih ini tidak dapat mendatangkan madharat atau manfaat, namun ia adalah orang shalih dan saya mengharap syafaat darinya untukku di sisi Allah. 
وَالشَّفَاعَةُ فِيهَا حَقٌّ وَفِيهَا بَاطِلٌ، الشَّفَاعَةُ الَّتِي هِيَ حَقٌّ وَصَحِيحَةٌ هِيَ مَا تَوَفَّرَ فِيهَا شَرۡطَانِ: 
الشَّرۡطُ الۡأَوَّلُ: أَنۡ تَكُونَ بِإِذۡنِ اللهِ. 
وَالشَّرۡطُ الثَّانِي: أَنۡ يَكُونَ الۡمَشۡفُوعُ فِيهِ مِنۡ أَهۡلِ التَّوۡحِيدِ، أَيۡ: مِنۡ عُصَاةِ الۡمُوَحِّدِينَ. 
فَإِنِ اخۡتَلَّ شَرۡطٌ مِنَ الشَّرۡطَيۡنِ فَالشَّفَاعَةُ بَاطِلَةٌ، قَالَ تَعَالَى: ﴿مَن ذَا الَّذِي يَشۡفَعُ عِنۡدَهُ إِلَّا بِإِذۡنِهِ﴾ [البقرة: ٢٥٥]، ﴿وَلَا يَشۡفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارۡتَضَىٰ﴾ [الأنبياء: ٢٨]، وَهُمۡ عُصَاةُ الۡمُوَحِّدِينَ، أَمَّا الۡكُفَّارُ وَالۡمُشۡرِكُونَ فَمَا تَنۡفَعُهُمۡ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ: ﴿مَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ﴾ [غافر: ١٨]. 
Syafaat itu ada yang benar dan ada yang batil. Syafaat yang benar adalah yang terpenuhi dua syarat: 
  1. Syafaat itu dengan izin Allah. 
  2. Orang yang disyafaati termasuk dari orang yang bertauhid, yaitu termasuk orang-orang yang bermaksiat dari kalangan orang yang bertauhid. 
Sehingga, jika satu syarat dari dua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka syafaat tersebut batil. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255). “Dan mereka tidak dapat memberi syafaat kecuali untuk orang-orang yang diridhai-Nya.” (QS. Al-Anbiya`: 28), mereka adalah orang bertauhid yang jatuh dalam kemaksiatan. Adapun orang-orang kafir dan musyrik, maka syafaat para pemberi syafaat tidak dapat memberi manfaat kepada mereka, “Orang-orang zhalim itu tidak memiliki seorang pun teman dan tidak pula pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.” (QS. Ghafir: 18). 
فَهٰؤُلَاءِ سَمِعُوا بِالشَّفَاعَةِ وَلَا عَرَفُوا مَعۡنَاهَا، وَرَاحُوا يَطۡلُبُونَهَا مِنۡ هٰؤُلَاءِ بِدُونِ إِذۡنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، بَلۡ طَلَبُوهَا لِمَنۡ هُوَ مُشۡرِكٌ بِاللهِ لَا تَنۡفَعُهُ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ، فَهٰؤُلَاءِ يَجۡهَلُونَ مَعۡنَى الشَّفَاعَةِ الۡحَقَّةِ وَالشَّفَاعَةِ الۡبَاطِلَةِ. 
Mereka itu telah mendengar syafaat namun tidak mengerti maknanya. Dan mereka berangkat mencari syafaat itu dari sesembahan mereka tanpa seizin Allah ‘azza wa jalla. Bahkan mereka mencari syafaat untuk orang yang menyekutukan Allah yaitu orang yang syafaat itu tidak bermanfaat untuknya. Maka, mereka itu tidak mengetahui makna syafaat yang benar dan syafaat yang batil.

Syarh Al-Qawa'idul Arba' - Kaidah Pertama

الۡقَاعِدَةُ الۡأُولَى: أَنۡ تَعۡلَمَ أَنَّ الۡكُفَّارَ الَّذِينَ قَاتَلَهُمۡ رَسُولُ اللهِ ﷺ مُقِرُّونَ بِأَنَّ اللهَ تَعَالَى هُوَ الۡخَالِقُ الۡمُدَبِّرُ، وَأَنَّ ذٰلِكَ لَمۡ يُدۡخِلۡهُمۡ فِي الۡإِسۡلَامِ، وَالدَّلِيلُ قَوۡلُهُ تَعَالَى: ﴿قُلۡ مَن يَرۡزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالۡأَرۡضِ أَمَّن يَمۡلِكُ السَّمۡعَ وَالۡأَبۡصَارَ وَمَن يُخۡرِجُ الۡحَيَّ مِنَ الۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ الۡمَيِّتَ مِنَ الۡحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الۡأَمۡرَ ۚ فَسَيَقُولُونَ اللهُ ۚ فَقُلۡ أَفَلَا تَتَّقُونَ﴾ [يونس: ٣١].
Kaidah pertama: hendaknya engkau mengetahui bahwa orang-orang kafir yang dahulu diperangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakui bahwa Allah ta’ala adalah yang menciptakan dan mengatur. Namun hal itu tidak membuat mereka masuk ke dalam Islam. Dan dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Katakanlah, siapa yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Atau siapakah yang memiliki pendengaran dan penglihatan? Dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Dan siapakah yang mengatur segala urusan? Niscaya mereka akan mengatakan, Allah. Lalu katakanlah, mengapa kalian tidak bertakwa?” (QS. Yunus: 31).

الۡقَاعِدَةُ الۡأُولَى: أَنۡ تَعۡرِفَ أَنَّ الۡكُفَّارَ الَّذِينَ قَاتَلَهُمۡ رَسُولُ اللهِ ﷺ كَانُوا مُقِرُّونَ بِتَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ، وَمَعَ ذٰلِكَ إِقۡرَارِهِمۡ بِتَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ لَمۡ يُدۡخِلۡهُمۡ فِي الۡإِسۡلَامِ، وَلَمۡ يُحَرِّمُ دِمَاءَهُمۡ وَلَا أَمۡوَالَهُمۡ. 
Kaidah pertama: Hendaknya engkau mengetahui bahwa orang-orang kafir yang dahulu diperangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tauhid rububiyyah. Bersamaan dengan penetapan mereka terhadap tauhid rububiyyah, tidak menjadikan mereka masuk ke dalam Islam dan tidak pula menyebabkan darah-darah dan harta-harta mereka terjaga. 
فَدَلَّ عَلَى أَنَّ التَّوۡحِيدَ لَيۡسَ هُوَ الۡإِقۡرَارُ بِالرُّبُوبِيَّةِ فَقَطۡ، وَأَنَّ الشِّرۡكَ لَيۡسَ هُوَ الشِّرۡكُ فِي الرُّبُوبِيَّةِ فَقَطۡ، بَلۡ لَيۡسَ هُنَاكَ أَحَدٌ أَشۡرَكَ فِي الرُّبُوبِيَّةِ إِلَّا شَوَاذٌّ مِنَ الۡخَلۡقِ، وَإِلَّا فَكُلُّ الۡأُمَمِ تُقِرُّ بِتَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ. 
Ini menunjukkan bahwa tauhid itu tidak hanya menetapkan rububiyyah saja dan bahwa syirik itu tidak hanya syirik dalam hal rububiyyah saja. Bahkan di sana tidak ada seorang pun yang mempersekutukan Allah di dalam perkara rububiyyah kecuali orang yang berpemikiran ganjil saja. Bila tidak ada orang seperti ini, maka seluruh umat menetapkan tauhid rububiyyah. 
وَتَوۡحِيدُ الرُّبُوبِيَّةِ هُوَ: الۡإِقۡرَارُ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الۡخَالِقُ الرَّازِقُ الۡمُحۡيِي الۡمُمِيتُ الۡمُدَبِّرُ، أَوۡ بِعِبَارَةٍ أَخۡصَرَ: تَوۡحِيدُ الرُّبُوبِيَّةِ هُوَ: إِفۡرَادُ اللهِ تَعَالَى بِأَفۡعَالِهِ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى. 
Tauhid rububiyyah adalah menetapkan bahwa Allah adalah yang menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur. Atau dengan ungkapan yang lebih ringkas, tauhid rububiyyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya subhanahu wa ta’ala. 
فَلَا أَحَدٌ مِنَ الۡخَلۡقِ ادَّعَى أَنَّ هُنَاكَ أَحَدًا يَخۡلُقُ مَعَ اللهِ تَعَالَى، أَوۡ يَرۡزُقُ مَعَ اللهِ، أَوۡ يُحۡيِي أَوۡ يُمِيتُ، بَلِ الۡمُشۡرِكُونَ مُقِرُّونَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الۡخَالِقُ الرَّازِقُ الۡمُحۡيِي الۡمُمِيتُ الۡمُدَبِّرُ: ﴿وَلَئِنۡ سَأَلۡتَهُمۡ مَنۡ خَلَقَ السَّمَٰوَٰتِ وَالۡأَرۡضَ لَيَقُولُنَّ اللهُ﴾ [لقمان: ٢٥]، ﴿قُلۡ مَن رَّبُّ السَّمَٰوَٰتِ السَّبۡعِ وَرَبُّ الۡعَرۡشِ الۡعَظِيمِ ۝٨٦ سَيَقُولُونَ لِلهِ﴾ [المؤمنون: ٨٦-٨٧]، اقۡرَءُوا الۡآيَاتِ مِنۡ آخِرِ سُورَةِ (المُؤۡمِنُونَ) تَجِدُونَ أَنَّ الۡمُشۡرِكِينَ كَانُوا مُقِرِّينَ بِتَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ، وَكَذٰلِكَ فِي سُورَةِ يُونُسَ ﴿قُلۡ مَنۡ يَرۡزُقُكُمۡ مِنَ السَّمَآءِ وَالۡأَرۡضِ أَمَّنۡ يَمۡلِكُ السَّمۡعَ وَالۡأَبۡصَٰرَ وَمَنۡ يُخۡرِجُ الۡحَيَّ مِنَ الۡمَيِّتِ وَيُخۡرِجُ الۡمَيِّتَ مِنَ الۡحَيِّ وَمَنۡ يُدَبِّرُ الۡأَمۡرَ فَسَيَقُولُونَ اللهُ﴾ [يونس: ٣١]، فَهُمۡ مُقِرُّونَ بِهٰذَا. 
Sehingga, tidak ada satupun makhluk yang menyatakan bahwa di sana ada satu makhluk yang menciptakan bersama Allah atau memberi rezeki bersama Allah atau menghidupkan dan mematikan. Bahkan orang-orang musyrik pun menetapkan bahwa Allah lah yang menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, dan yang mengatur. “Dan sungguh apabila engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit-langit dan bumi. Niscaya mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Luqman: 25). “Katakanlah, siapakah Rabb langit-langit yang tujuh dan Rabb ‘Arsy yang agung? Niscaya mereka mengatakan, milik Allah.” (QS. Al-Mu`minun: 86-87). Bacalah ayat-ayat akhir surah Al-Mu`minun, engkau akan mendapati bahwa orang-orang musyrik menetapkan tauhid rububiyyah. Demikian pula dalam surah Yunus, “Katakanlah, siapa yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Atau siapakah yang memiliki pendengaran dan penglihatan? Dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Dan siapakah yang mengatur segala urusan? Niscaya mereka akan mengatakan, Allah.” (QS. Yunus: 31). Jadi, orang-orang musyrik itu menetapkan perkara tauhid rububiyyah ini. 
فَلَيۡسَ التَّوۡحِيدُ هُوَ الۡإِقۡرَارُ بِتَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ كَمَا يَقُولُ ذٰلِكَ عُلَمَاءُ الۡكَلَامِ وَالنُّظَّارُ فِي عَقَائِدِهِمۡ، فَإِنَّهُمۡ يُقَرِّرُونَ بِأَنَّ التَّوۡحِيدَ هُوَ الۡإِقۡرَارُ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الۡخَالِقُ الرَّازِقُ الۡمُحۡيِي الۡمُمِيتُ، فَيَقُولُونَ: (وَاحِدٌ فِي ذَاتِهِ لَا قَسِيمَ لَهُ، وَاحِدٌ فِي صِفَاتِهِ لَا شَبِيهَ لَهُ، وَاحِدٌ فِي أَفۡعَالِهِ لَا شَرِيكَ لَه) وَهٰذَا هُوَ تَوۡحِيدُ الرُّبُوبِيَّةِ، ارۡجِعُوا إِلَى أَيِّ كِتَابٍ مِنۡ كُتُبِ عُلَمَاءِ الۡكَلَامِ تَجِدُوهُمۡ لَا يَخۡرُجُونَ عَنۡ تَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ، وَهٰذَا لَيۡسَ هُوَ التَّوۡحِيدُ الَّذِي بَعَثَ اللهُ بِهِ الرُّسُلَ، وَالۡإِقۡرَارُ بِهٰذَا وَحۡدَهُ لَا يَنۡفَعُ صَاحِبَهُ، لِأَنَّ هٰذَا أَقَرَّ بِهِ الۡمُشۡرِكُونَ وَصَنَادِيدُ الۡكَفَرَةِ، وَلَمۡ يُخۡرِجُهُمۡ مِنَ الۡكُفۡرِ، وَلَمۡ يُدۡخِلۡهُمۡ فِي الۡإِسۡلَامِ، فَهٰذَا غَلَطٌ عَظِيمٌ، فَمَنِ اعۡتَقَدَ هٰذَا الۡإِعۡتِقَادَ مَا زَادَ عَلَى اعۡتِقَادِ أَبِي جَهۡلٍ وَأَبِي لَهَبٍ، فَالَّذِي عَلَيۡهِ الۡآنَ بَعۡضُ الۡمُثَقَّفِينَ هُوَ تَقۡرِيرُ تَوۡحِيدِ الرُّبُوبِيَّةِ فَقَطۡ، وَلَا يَتَطَرَّقُونَ إِلَى تَوۡحِيدِ الۡأُلُوهِيَّةِ، وَهٰذَا غَلَطٌ عَظِيمٌ فِي مُسَمَّى التَّوۡحِيدِ. 
Sehingga, tauhid itu bukan merupakan tauhid rububiyyah sebagaimana pendapat ulama ahli kalam dan cendekiawan menurut keyakinan mereka. Mereka menetapkan bahwa tauhid adalah pengakuan bahwa Allah lah yang menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan saja. Mereka mengatakan, “(Allah itu) esa dzat-Nya tidak ada pembagian dalam dzat-Nya, esa sifat-sifat-Nya tidak ada yang menyerupai-Nya, esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya.” Ini adalah tauhid rububiyyah. Silakan merujuk kepada kitab manapun dari kitab-kitab ulama ahli kalam. Engkau akan mendapati pemahaman tauhid mereka tidak keluar dari tauhid rububiyyah saja. Padahal bukan tauhid ini yang Allah utus para rasul dengannya. Menetapkan tauhid ini saja tidak bermanfaat baginya karena tauhid rububiyyah ini diakui oleh orang-orang musyrik dan tokoh-tokoh kafir. Akan tetapi hal tersebut tidak mengeluarkan mereka dari kekafiran dan tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam. Jadi, ini merupakan kesalahan yang fatal. Barangsiapa yang meyakini dengan keyakinan ini tidak lebih baik daripada keyakinan Abu Jahl atau Abu Lahab. Sehingga, apa yang ada pada sebagian orang yang berpendidikan sekarang ini berupa penetapan tauhid rububiyyah saja dan tidak sampai mengarah kepada tauhid uluhiyyah, maka ini adalah kekeliruan besar di dalam definisi tauhid. 
وَأَمَّا الشِّرۡكُ فَيَقُولُونَ: (هُوَ أَنۡ تَعۡتَقِدَ أَنَّ أَحَدًا يَخۡلُقُ مَعَ اللهِ أَوۡ يَرۡزُقُ مَعَ اللهِ)، نَقُولُ: هٰذَا مَا قَالَهُ أَبُو جَهۡلٍ وَأَبُو لَهَبٍ، مَا قَالُوا: إِنَّ أَحَدًا يَخۡلُقُ مَعَ اللهِ، وَيَرۡزُقُ مَعَ اللهِ؛ بَلۡ هُمۡ مُقِرُّونَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الۡخَالِقُ الرَّازِقُ الۡمُحۡيِي الۡمُمِيتُ. 
Adapun kesyirikan menurut mereka adalah engkau meyakini bahwa ada satu dzat yang menciptakan selain Allah atau memberi rezeki selain Allah. Maka kita katakan, ini bukanlah ucapan Abu Jahl dan Abu Lahab (padahal mereka itu musyrik). Mereka tidak mengatakan bahwa ada dzat yang mencipta selain Allah dan memberi rezeki selain Allah. Bahkan mereka mengakui bahwa Allah lah yang menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan.

Syarh Al-Qawa'idul Arba' - Muqaddimah (7)

فَإِذَا عَرَفۡتَ أَنَّ الشِّرۡكَ إِذَا خَالَطَ الۡعِبَادَةَ أَفۡسَدَهَا وَأَحۡبَطَ الۡعَمَلَ وَصَارَ صَاحِبُهُ مِنَ الۡخَالِدِينَ فِي النَّارِ عَرَفۡتَ أَنَّ أَهَمَّ مَا عَلَيۡكَ مَعۡرِفَةُ ذٰلِكَ، لَعَلَّ اللهَ أَنۡ يُخۡلِصَكَ مِنۡ هَٰذِهِ الشَّبَكَةِ وَهِيَ الشِّرۡكُ بِاللهِ.
الَّذِي قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيهِ: (إِنَّ اللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَ‌ٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ) [النساء: ٤٨]. وَذٰلِكَ بِمَعۡرِفَةِ أَرۡبَعِ قَوَاعِدَ ذَكَرَهَا اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ:
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata: Jika engkau telah mengetahui bahwa syirik apabila mencampuri ibadah akan merusaknya dan menghapus amal ibadah serta pelakunya akan menjadi orang-orang yang kekal di dalam neraka, maka engkau mengetahui bahwa perkara terpenting yang wajib atasmu adalah mengenali hal itu. Semoga Allah menyelamatkanmu dari jerat ini, yaitu menyekutukan Allah. Yaitu, yang Allah ta’ala berfirman tentangnya, yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan Allah dan Dia mengampuni dosa di bawah itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa`: 48). Dan perkara tauhid dan syirik itu dikenali dengan cara mengenali empat kaidah yang telah Allah ta’ala sebutkan di dalam Kitab-Nya: 

(فَإِذَا عَرَفۡتَ أَنَّ الشِّرۡكَ إِذَا خَالَطَ الۡعِبَادَةَ أَفۡسَدَهَا وَأَحۡبَطَ الۡعَمَلَ، وَصَارَ صَاحِبُهُ مِنَ الۡخَالِدِينَ فِي النَّارِ...) أَيۡ: مَا دَامَ أَنَّكَ عَرَفۡتَ التَّوۡحِيدَ وَهُوَ: إِفۡرَادُ اللهِ بِالۡعِبَادَةِ، يَجِبُ أَنۡ تَعۡرِفَ مَا هُوَ الشِّرۡكُ، لِأَنَّ الَّذِي لَا يَعۡرِفُ الشَّيۡءَ يَقَعُ فِيهِ، فَلَا بُدَّ أَنَّكَ تَعۡرِفُ أَنۡوَاعَ الشِّرۡكِ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ تَتَجَنَّبَهَا، لِأَنَّ اللهَ حَذَّرَ مِنَ الشِّرۡكِ وَقَالَ: ﴿إِنَّ اللهَ لَا يَغۡفِرُ أَنۡ يُشۡرَكَ بِهِ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنۡ يَشَآءُ﴾ [النساء: ٤٨]، فَهٰذَا الشِّرۡكُ الَّذِي هٰذَا خَطَرُهُ، وَهُوَ أَنَّهُ يَحۡرِمُ مِنَ الۡجَنَّةِ: ﴿إِنَّهُ مَنۡ يُشۡرِكۡ بِاللهِ فَقَدۡ حَرَّمَ اللهُ عَلَيۡهِ الۡجَنَّةَ﴾ [المائدة: ٧٢]، وَيَحۡرِمُ مِنَ الۡمَغۡفِرَةِ: ﴿إِنَّ اللهَ لَا يَغۡفِرُ أَنۡ يُشۡرَكَ بِهِ﴾ [النساء: ٤٨]. 
Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Jika engkau telah mengetahui bahwa syirik apabila mencampuri ibadah akan merusaknya dan menghapus amal ibadah serta pelakunya akan menjadi orang-orang yang kekal di dalam neraka…” maknanya adalah selama engkau telah mengetahui tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah, maka wajib pula atasmu untuk mengetahui apa itu syirik. Karena orang yang tidak mengetahui sesuatu dapat jatuh ke dalamnya. Sehingga engkau harus mengetahui jenis-jenis syirik untuk menjauhinya. Karena sungguh Allah telah memperingatkan dari syirik dan berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukan Allah dan Dia mengampuni dosa di bawah itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa`: 48). Maka, inilah syirik dan inilah bahayanya, yaitu bahwa syirik dapat menyebabkan pelakunya diharamkan dari surga. “Sesungguhnya barangsiapa menyekutukan Allah, maka sungguh Allah telah haramkan surga untuknya.” (QS. Al-Maidah: 72). Dan syirik menyebabkan pelakunya diharamkan dari ampunan, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukan Allah.” (QS. An-Nisa`: 48). 
إِذَنۡ؛ هٰذَا خَطَرٌ عَظِيمٌ، يَجِبُ عَلَيۡكَ أَنۡ تَعۡرِفَهُ قَبۡلَ أَيِّ خَطَرٍ، لِأَنَّ الشِّرۡكَ ضَلَّتۡ فِيهِ أَفۡهَامٌ وَعُقُولٌ؛ لِنَعۡرِفَ مَا هُوَ الشِّرۡكُ مِنَ الۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، اللهُ مَا حَذَّرَ مِنۡ شَيۡءٍ إِلَّا وَيُبَيِّنُهُ، وَمَا أَمَرَ بِشَيۡءٍ إِلَّا وَيُبَيِّنُهُ لِلنَّاسِ، فَهُوَ لَنۡ يُحَرِّمَ الشِّرۡكَ وَيَتۡرُكُهُ مُجۡمَلًا، بَلۡ بَيَّنَهُ فِي الۡقُرۡآنِ الۡعَظِيمِ وَبَيَّنَهُ الرَّسُولُ ﷺ فِي السُّنَّةِ، بَيَانًا شَافِيًا، فَإِذَا أَرَدۡنَا أَنۡ نَعۡرِفَ مَا هُوَ الشِّرۡكُ نَرۡجِعُ إِلَى الۡكِتَابِ وَالسُّنَّةِ حَتَّى نَعۡرِفَ الشِّرۡكَ، وَلَا نَرۡجِعُ إِلَى قَوۡلِ فُلَانٍ. وَهٰذَا سَيَأۡتِي. 
Jika demikian keadaannya, maka ini adalah bahaya yang sangat besar. Wajib bagimu untuk mengetahuinya sebelum bahaya apapun, karena pada kesyirikan itu akan sesat pemahaman dan akal-akal. Supaya kita mengetahui apa itu syirik dari Kitab dan Sunnah. Allah tidaklah memperingatkan dari sesuatu pun kecuali telah menjelaskan dan tidak pula memerintahkan dari sesuatu pun kecuali telah menjelaskannya kepada manusia. Dan Dia tidak mengharamkan syirik lalu membiarkannya dengan gambaran yang masih global. Akan tetapi Dia telah menjelaskannya di dalam Al-Qur`an Al-‘Azhim dan Rasul-Nya juga telah menjelaskannya di dalam As-Sunnah dengan penjelasan yang memuaskan. Oleh karena itu, apabila kita ingin untuk mengetahui apa itu syirik, maka kita kembali kepada Kitab dan Sunnah hingga kita mengetahui kesyirikan. Dan janganlah kita kembali kepada ucapan orang. Akan datang penjelasan ini.

Syarh Al-Qawa'idul Arba' - Muqaddimah (5)

(فَإِذَا عَرَفۡتَ أَنَّ اللهَ خَلَقَكَ لِعِبَادَتِهِ) يَعۡنِي: إِذَا عَرَفۡتَ مِنۡ هٰذِهِ الۡآيَةِ: ﴿وَمَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَالۡإِنۡسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ۝٥٦﴾ [الذاريات: ٥٦]. وَأَنۡتَ مِنَ الۡإِنۡسِ، دَاخِلٌ فِي هٰذِهِ الۡآيَةِ، وَعَرَفۡتَ أَنَّ اللهَ مَا خَلَقَكَ عَبَثًا، أَوۡ خَلَقَكَ لِتَأۡكُلَ وَتَشۡرَبَ فَقَطۡ، تَعِيشَ فِي هٰذِهِ الدُّنۡيَا وَتَسۡرَحَ وَتَمۡرَحَ، لَمۡ يَخۡلُقۡكَ لِهٰذَا، خَلَقَكَ اللهُ لِعِبَادَتِهِ، وَإِنَّمَا سَخَّرَ لَكَ هٰذِهِ الۡمَوۡجُودَاتِ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ تَسۡتَعِينَ بِهَا عَلَى عِبَادَتِهِ، لِأَنَّكَ لَا تَسۡتَطِيعُ أَنۡ تَعِيشَ إِلَّا بِهٰذِهِ الۡأَشۡيَاءِ، وَلَا تَتَوَصَّلُ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ إِلَّا بِهٰذِهِ الۡأِشۡيَاءِ، سَخَّرَهَا اللهُ لَكَ لِأَجۡلِ أَنۡ تَعۡبُدَهُ، لَيۡسَ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ تَفۡرَحَ بِهَا وَتَسۡرَحَ وَتَمۡرَحَ وَتَفۡسُقَ وَتَفۡجُرَ تَأۡكُلَ وَتَشۡرَبَ مَا اشۡتَهَيۡتَ، هٰذَا شَأۡنُ الۡبَهَائِمِ، أَمَّا الۡآدَمِيُّونَ فَاللهُ –جَلَّ وَعَلَا- خَلَقَهُمۡ لِغَايَةٍ عَظِيمَةٍ وَحِكۡمَةٍ عَظِيمَةٍ وَهِي الۡعِبَادَةُ، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَالۡإِنۡسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ۝٥٦ مَآ أُرِيدُ مِنۡهُمۡ مِّن رِّزۡقٍ﴾ [الذاريات: ٥٦-٥٧]
Syaikh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Sehingga, jika engkau mengetahui bahwa Allah menciptakan engkau agar engkau beribadah kepada-Nya”, yakni: Jika engkau telah mengetahui ayat ini, yang artinya, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56) dan engkau termasuk dari jenis manusia yang masuk ke dalam ayat ini dan engkau telah mengetahui bahwa Allah tidak menciptakan engkau sia-sia, Allah tidak menciptakan engkau agar engkau makan dan minum saja, engkau hidup di dunia ini kemudian bebas lagi sombong. Allah tidak menciptakan engkau untuk tujuan ini. Allah menciptakan engkau untuk beribadah kepada-Nya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini Allah tundukkan untuk engkau hanya agar dapat membantumu untuk beribadah kepada-Nya, karena sungguh engkau tidak bisa hidup kecuali dengannya. Dan engkau tidak bisa sampai kepada tujuan beribadah kepada Allah kecuali dengannya. Allah tundukkan ia untukmu agar engkau menyembah-Nya, bukan agar engkau berbangga dengannya, lalu engkau bebas, sombong, berbuat fasik dan fajir. Engkau makan dan minum semaumu sendiri. Yang demikian itu adalah keadaannya binatang ternak. Adapun manusia, maka Allah jalla wa ‘ala menciptakan mereka untuk tujuan dan hikmah yang sangat agung, yaitu ibadah. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menginginkan sedikit pun rezeki dari mereka.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-57).
اللهُ مَا خَلَقَكَ لِتَكۡتَسِبَ لَهُ، أَنۡ تَحۡتَرِفَ وَتَجۡمَعَ لَهُ مَالًا، كَمَا يَفۡعَلُ بَنُو آدَمَ بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٍ يَجۡعَلُونَ عُمَّالًا يَجۡمَعُونَ لَهُمُ الۡمَكَاسِبَ، لَا، اللهُ غَنِيٌّ عَنۡ هٰذَا، وَاللهُ غَنِيٌّ عَنِ الۡعَالَمِينَ، وَلِهٰذَا قَالَ: ﴿مَآ أُرِيدُ مِنۡهُمۡ مِّن رِّزۡقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطۡعِمُونَ ۝٥٧﴾ [الذاريات: ٥٧] اللهُ –جَلَّ وَعَلَا- يُطۡعِمُ وَلَا يُطۡعَمُ، غَنِيٌّ عَنِ الطَّعَامِ، وَغَنِيٌّ –جَلَّ وَعَلَا- بِذَاتِهِ، وَلَيۡسَ هُوَ فِي حَاجَةٍ إِلَى عِبَادَتِكَ، لَوۡ كَفَرۡتَ مَا نَقَصۡتَ مُلۡكَ اللهِ، وَلٰكِنۡ أَنۡتَ الَّذِي بِحَاجَةٍ إِلَيۡهِ، أَنۡتَ الَّذِي بِحَاجَةٍ إِلَى الۡعِبَادَةِ، فَمِنۡ رَحۡمَتِهِ: أَنَّهُ أَمَرَكَ بِعِبَادَتِهِ مِنۡ أَجۡلِ مَصۡلَحَتِكَ، لِأَنَّكَ إِذَا عَبَدۡتَهُ فَإِنَّهُ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى يُكۡرِمُكَ بِالۡجَزَاءِ وَالثَّوَابِ، فَالۡعِبَادَةُ سَبَبٌ لِإِكۡرَامِ اللهِ لَكَ فِي الدُّنۡيَا وَالۡآخِرَةِ، فَمَنِ الَّذِي يَسۡتَفِيدُ مِنَ الۡعِبَادَةِ؟ الۡمُسۡتَفِيدُ مِنَ الۡعِبَادَةِ هُوَ الۡعَابِدُ نَفۡسُهُ، أَمَّا اللهُ –جَلَّ وَعَلَا- فَإِنَّهُ غَنِيٌّ عَنۡ خَلۡقِهِ.
Allah tidak menciptakanmu agar engkau memberi nafkah kepada-Nya, bekerja, dan mengumpulkan harta untuk-Nya. Seperti yang dilakukan sebagian manusia kepada sebagian yang lain. Mereka menjadikan para pekerja yang mengumpulkan penghasilan untuk mereka. Bukan untuk itu. Allah maha kaya dari hal tersebut dan Allah maha kaya dari alam semesta. Oleh karenanya, Allah berfirman yang artinya, “Aku tidak menginginkan sedikit pun rezeki dari mereka dan Aku tidak ingin agar mereka memberi-Ku makan.” (QS. Adz-Dzariyat: 57). Allah jalla wa ‘ala yang memberi makan dan tidak diberi makan, Dia tidak butuh makanan, dan Allah jalla wa ‘ala adalah Dzat yang maha kaya. Allah tidak butuh pula kepada ibadahmu. Seandainya engkau kafir, engkau tidaklah mengurangi kerajaan Allah. Bahkan engkau lah yang butuh kepada-Nya. Engkau yang butuh kepada ibadah. Sehingga, termasuk rahmat Allah adalah bahwa Dia memerintahkan engkau beribadah kepada-Nya untuk kemaslahatanmu sendiri. Karena jika engkau menyembah-Nya, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan memuliakanmu dengan balasan dan pahala. Jadi ibadah adalah sebab pemuliaan Allah kepadamu di dunia dan akhirat. Jadi, siapakah yang sesungguhnya mendapatkan faidah dari ibadah? Pihak yang mendapatkan faidah ibadah adalah hamba itu sendiri. Sedangkan Allah jalla wa ‘ala tidak membutuhkan makhluk-Nya.

Syarh Al-Qawa'idul Arba' - Muqaddimah (4)

إِعۡلَمۡ - أَرۡشَدَكَ اللهُ لِطَاعَتِهِ -:أَنَّ الۡحَنِيفِيَّةَ مِلَّةَ إِبۡرَاهِيمَ أَنۡ تَعۡبُدَ اللهَ وَحۡدَهُ مُخۡلِصًا لَهُ الدِّينَ.كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَالۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ﴾ [الذاريات: ٥٦].
Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk mentaatiNya, bahwa agama yang lurus -agama Ibrahim- adalah bahwa engkau menyembah Allah saja dengan mengikhlaskan agama ini untukNya. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).

(اعۡلَمۡ أَرۡشَدَكَ اللهُ) هٰذَا دُعَاءٌ مِنَ الشَّيۡخِ رَحِمَهُ اللهُ، وَهٰكَذَا يَنۡبَغِي لِلۡمُعَلِّمِ أَنۡ يَدۡعُوَ لِلۡمُتَعَلِّمِ.
وَطَاعَةُ اللهِ مَعۡنَاهَا: امۡتِثَالُ أَوَامِرِهِ وَاجۡتِنَابُ نَوَاهِيهِ.
“Ketahuilah, semoga Allah membimbing engkau” ini adalah doa dari Syaikh rahimahullah. Dan demikianlah selayaknya bagi pengajar untuk mendoakan kebaikan untuk para pelajar. Dan taat kepada Allah maknanya adalah melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
(أَنَّ الۡحَنِيفِيَّةَ مِلَّةَ إِبۡرَاهِيمَ) اللهُ –جَلَّ وَعَلَا- أَمَرَ نَبِيَّنَا بِاتِّبَاعِ مِلَّةِ إِبۡرَاهِيمَ، قَالَ تَعَالَى: ﴿ثُمَّ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ أَنِ اتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الۡمُشۡرِكِينَ ۝١٢٣﴾ [النحل: ١٢٣].
الۡحَنِيفِيَّةُ: مِلَّةُ الۡحَنِيفِ وَهُوَ إِبۡرَاهِيمُ –عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ-، وَالۡحَنِيفُ هُوَ: الۡمُقۡبِلُ عَلَى اللهِ الۡمُعۡرِضُ عَمَّا سِوَاهُ، هٰذَا هُوَ الۡحَنِيفُ: الۡمُقۡبِلُ عَلَى اللهِ بِقَلۡبِهِ وَأَعۡمَالِهِ وَنِيَّاتِهِ وَمَقَاصِدِهِ كُلِّهَا لِلهِ، الۡمُعۡرِضُ عَمَّا سِوَاهُ، وَاللهُ أَمَرَنَا بِاتِّبَاعِ مِلَّةِ إِبۡرَاهِيمَ: ﴿وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي الدِّينِ مِنۡ حَرَجٍ ۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمۡ إِبۡرَاهِيمَ ۚ﴾ [الحج: ٧٨].
وَمِلَّةُ إِبۡرَاهِيمَ: (أَنۡ تَعۡبُدَ اللهَ وَحۡدَهُ مُخۡلِصًا لَهُ الدِّينَ) هٰذِهِ الۡحَنِيفِيَّةُ، مَا قَالَ: (أَنۡ تَعۡبُدَ اللهَ) فَقَطۡ، بَلۡ قَالَ: (مُخۡلِصًا لَهُ الدِّينَ) يَعۡنِي: وَتَجۡتَنِبَ الشِّرۡكَ، لِأَنَّ الۡعِبَادَةَ إِذَا خَالَطَهَا الشِّرۡكُ بَطَلَتۡ، فَلَا تَكُونُ عِبَادَةً إِلَّا إِذَا كَانَتۡ سَالِمَةً مِنَ الشِّرۡكِ الۡأَكۡبَرِ وَالۡأَصۡغَرِ.
كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعۡبُدُوا اللَّـهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ﴾ [البينة: ٥] جَمۡعُ: حَنِيفٌ، وَهُوَ: الۡمُخۡلِصُ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ.
وَهٰذِهِ الۡعِبَادَةُ أَمَرَ اللهُ بِهَا جَمِيعَ الۡخَلۡقِ (كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَالۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ۝٥٦﴾ [الذاريات: ٥٦])، وَمَعۡنَى يَعۡبُدُونِ: يُفۡرِدُونِي بِالۡعِبَادَةِ، فَالۡحِكۡمَةُ مِنۡ خَلۡقِ الۡخَلۡقِ: أَنَّهُمۡ يَعۡبُدُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ مُخۡلِصِينَ لَهُ الدِّينَ، مِنۡهُمۡ مَنِ امۡتَثَلَ وَمِنۡهُمۡ مَنۡ لَمۡ يَمۡتَثِلۡ، لَٰكِنَّ الۡحِكۡمَةَ مِنۡ خَلۡقِهِمۡ هِيَ هٰذِهِ، فَالَّذِي يَعۡبُدُ غَيۡرَ اللهِ مُخَالِفٌ لِلۡحِكۡمَةِ مِنۡ خَلۡقِ الۡخَلۡقِ، وَمُخَالِفٌ لِلۡأَمۡرِ وَالشَّرۡعِ.
“Bahwa al-hanifiyyah, agama Ibrahim”, Allah jalla wa ‘ala memerintahkan Nabi kita untuk mengikuti agama Ibrahim, Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Ibrahim yang lurus dan tidaklah Ibrahim termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. An-Nahl: 123).
Al-hanifiyyah adalah agama al-hanif dan beliau adalah Ibrahim ‘alaihish shalatu was salam. Al-hanif adalah yang menghadap kepada Allah dan berpaling dari selainNya. Inilah makna al-hanif, yaitu: yang menghadap kepada Allah dengan hatinya, amalan-amalannya, niat-niatnya, dan tujuan-tujuannya. Seluruhnya untuk Allah. Dan berpaling dari selain Dia. Dan Allah telah memerintahkan kita untuk mengikuti agama Ibrahim, “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tua kalian Ibrahim.” (QS. Al-Hajj: 78).
Agama Ibrahim adalah agar engkau beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama ini untuk-Nya. Inilah al-hanifiyyah. Tidak cukup untuk dikatakan “agar engkau menyembah Allah” saja, namun harus dengan menambahkan perkataan “dengan mengikhlaskan agama ini untukNya”. Yakni: engkau juga harus menjauhi kesyirikan, karena sesungguhnya jika kesyirikan mencampuri ibadah, maka akan membatalkannya. Sehingga tidak bisa dikatakan sebagai ibadah kecuali jika selamat dari kesyirikan, baik syirik besar maupun syirik kecil. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama ini dengan hanif.” (QS. Al-Bayyinah: 5). Hunafa` adalah bentuk jamak dari hanif, yaitu: ikhlas untuk Allah ‘azza wa jalla.
Ibadah inilah yang Allah perintahkan seluruh makhluk untuk melakukannya. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Dan makna beribadah kepadaKu adalah mengesakanKu dalam ibadah. Jadi, hikmah dari penciptaan makhluk adalah agar mereka menyembah Allah ‘azza wa jalla dengan mengikhlaskan agama untukNya. Memang, sebagian mereka ada yang melaksanakannya dan ada yang tidak melaksanakannya. Akan tetapi inilah hakikat hikmah penciptaan mereka. Sehingga, orang yang beribadah kepada selain Allah, maka orang ini hakikatnya menyelisihi hikmah penciptaan makhluk dan menyelisihi perintah dan syariat.
وَإِبۡرَاهِيمُ هُوَ: أَبُو الۡأَنۡبِيَاءِ الَّذِينَ جَاءُوا مِنۡ بَعۡدِهِ، فَكُلُّهُمۡ مِنۡ ذُرِّيَّتِهِ، وَلِهٰذَا قَالَ –جَلَّ وَعَلَا-: ﴿وَجَعَلۡنَا فِي ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالۡكِتَابَ﴾ [العنكبوت: ٢٧]، فَكُلُّهُمۡ مِنۡ بَنِي إِسۡرَائِيلَ –حَفِيدِ إِبۡرَاهِيمَ عَلَيۡهِ السَّلَامُ-، إِلَّا مُحَمَّدًا ﷺ فَإِنَّهُ مِنۡ ذُرِّيَّةِ إِسۡمَاعِيلَ، فَكُلُّ الۡأَنۡبِيَاءِ مِنۡ أَبۡنَاءِ إِبۡرَاهِيمَ –عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ-، تَكۡرِيمًا لَهُ.
وَجَعَلَهُ اللهُ إِمَامًا لِلنَّاسِ –يَعۡنِي: قُدۡوَةً- ﴿قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ﴾ [البقرة: ١٢٤]. يَعۡنِي: قُدۡوَةً ﴿إِنَّ إِبۡرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً﴾ [النحل: ١٢٠] يَعۡنِي: إِمَامًا يُقۡتَدَى بِهِ.
وَبِذٰلِكَ أَمَرَ اللهُ جَمِيعَ الۡخَلۡقِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَا خَلَقۡتُ الۡجِنَّ وَالۡإِنۡسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ۝٥٦﴾ [الذاريات: ٥٦]، فَإِبۡرَاهِيمُ دَعَا النَّاسَ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ كَغَيۡرِهِ مِنَ النَّبِيِّينَ، كُلُّ الۡأَنۡبِيَاءِ دَعَوُا النَّاسَ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ وَتَرۡكِ عِبَادَةِ مَا سِوَاهُ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعۡبُدُوا اللهَ وَاجۡتَنِبُوا الطَّٰغُوتَ﴾ [النحل: ٣٦].
Ibrahim adalah bapak para nabi yang datang setelah beliau. Mereka seluruhnya termasuk keturunan beliau. Oleh karena inilah, Allah jalla wa ‘ala berfirman yang artinya, “Dan telah Kami jadikan kenabian dan kitab pada keturunannya.” (QS. Al-Ankabut: 27). Mereka seluruhnya dari Bani Israil –cucu Ibrahim ‘alaihis salam-, kecuali Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau dari keturunan Isma’il. Jadi, setiap nabi dari anak-anak Ibrahim ‘alaihish shalatu was salam sebagai kemuliaan bagi beliau.
Allah telah menjadikan beliau sebagai pemimpin manusia. Yakni, teladan. “Allah berkata, sesungguhnya Aku menjadikan seorang pemimpin bagi manusia.” (QS. Al-Baqarah: 124), yaitu: teladan. “Sesungguhnya Ibrahim adalah ummah.” (QS. An-Nahl: 120) yaitu: pemimpin yang dicontoh.
Untuk perkara itulah Allah memerintahkan seluruh makhluk. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Maka, Ibrahim pun menyeru manusia untuk beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana para nabi yang lain. Seluruh para nabi mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan peribadahan kepada selain Allah. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh telah Kami utus seorang rasul pada setiap umat, agar (menyeru) beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36).
وَأَمَّا الشَّرَائِعُ الَّتِي هِيَ الۡأَوَامِرُ وَالنَّوَاهِي وَالۡحَلَالُ وَالۡحَرَامُ فَهٰذِهِ تَخۡتَلِفُ بِاخۡتِلَافِ الۡأُمَمِ حَسَبِ الۡحَاجَاتِ، يَشۡرَعُ اللهُ شَرِيعَةً ثُمَّ يَنۡسَخُهَا بِشَرِيعَةٍ أُخۡرَى إِلَى أَنۡ جَاءَتۡ شَرِيعَةُ الۡإِسۡلَامِ فَنَسَخَتۡ جَمِيعَ الشَّرَائِعِ وَبَقِيَتۡ هِيَ إِلَى أَنۡ تَقُومَ السَّاعَةُ، أَمَّا أَصۡلُ دِينِ الۡأَنۡبِيَاءِ –وَهُوَ التَّوۡحِيدُ- فَهُوَ لَمۡ يُنۡسَخۡ وَلَنۡ يُنۡسَخَ، دِينُهُمۡ وَاحِدٌ وَهُوَ دِينُ الۡإِسۡلَامِ بِمَعۡنَى: الۡإِخۡلَاصِ لِلهِ بِالتَّوۡحِيدِ.
أَمَّا الشَّرَائِعُ فَقَدۡ تَخۡتَلِفُ، تُنۡسَخُ، لَٰكِنَّ التَّوۡحِيدَ وَالۡعَقِيدَةَ مِنۡ آدَمَ إِلَى آخِرِ الۡأَنۡبِيَاءِ كُلِّهِمۡ يَدۡعُونَ إِلَى التَّوۡحِيدِ وَإِلَى عِبَادَةِ اللهِ، وَعِبَادَةُ اللهِ طَاعَتُهُ فِي كُلِّ وَقۡتٍ بِمَا أَمَرَ بِهِ مِنَ الشَّرَائِعِ، فَإِذَا نُسِخَتۡ صَارَ الۡعَمَلُ بِالنَّاسِخِ هُوَ الۡعِبَادَةُ، وَالۡعَمَلُ بَالۡمَنۡسُوخِ لَيۡسَ عِبَادَةً لِلهِ.
Adapun syariat yang merupakan perintah, larangan, dan halal haram, maka syariat ini berbeda-beda dengan berbedanya umat-umat sesuai kebutuhan. Allah menetapkan suatu syariat kemudian menghapusnya dengan syariat lain. Hingga syariat Islam datang. Maka syariat Islam ini menghapus seluruh syariat-syariat sebelumnya. Dan tetaplah syariat Islam ini sampai hari kiamat tiba. Adapun pokok agama para nabi –yaitu tauhid-, maka tidak dihapus dan tidak akan dihapus. Agama mereka satu yaitu agama Islam dengan makna ikhlas kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya.
Adapun syariat tiap umat memang berbeda-beda dan dihapus. Akan tetapi tauhid dan akidah dari Nabi Adam sampai nabi terakhir semuanya mengajak kepada tauhid dan kepada menyembah Allah. Dan ibadah kepada Allah adalah mentaati-Nya dengan apa yang telah Dia perintahkan dalam syariat, kapan pun itu. Namun, apabila syariat itu telah dihapus, maka mengamalkan syariat yang menghapus adalah ibadah. Adapun mengamalkan syariat yang telah dihapus bukan merupakan ibadah kepada Allah.

Syarh Al-Qawa'idul Arba' - Muqaddimah (3)

قَالَ: (وَإِذَا ابۡتُلِيَ صَبَرَ) اللهُ -جَلَّ وَعَلَا- يَبۡتَلِي الۡعِبَادَ، يَبۡتَلِيهِمۡ بِالۡمَصَائِبِ، يَبۡتَلِيهِمۡ بِالۡمَكَارِهِ، يَبۡتَلِيهِمۡ بِالۡأَعۡدَاءِ مِنَ الۡكُفَّارِ وَالۡمُنَافِقِينَ، فَيَحۡتَاجُّونَ إِلَى الصَّبۡرِ وَعَدَمِ الۡيَأۡسِ وَعَدَمِ الۡقُنُوطِ مِنۡ رَحۡمَةِ اللهِ، وَيَثۡبُتُونَ عَلَى دِينِهِمۡ، وَلَا يَتَزَحۡزَحُونَ مَعَ الۡفِتَنِ، أَوۡ يَسۡتَسۡلِمُونَ لِلۡفِتَنِ، بَلۡ يَثۡبُتُونَ عَلَى دِينِهِمۡ، وَيَصۡبِرُونَ عَلَى مَا يُقَاسُونَ مِنَ الۡأَتۡعَابِ فِي سَبِيلِهَا، بِخِلَافِ الَّذِي إِذَا ابۡتُلِيَ جَزِعَ وَتَسَخَّطَ وَقَنِطَ مِنۡ رَحۡمَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهَٰذَا يُزَادُ ابۡتِلَاءٌ إِلَى إِبۡتِلَاءٍ وَمَصَائِبُ إِلَى مَصَائِبَ، قَالَ ﷺ: (إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوۡمًا ابۡتَلَاهُمۡ، فَمَنۡ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنۡ سَخِطَ فَعَلَيۡهِ السُّخۡطُ).
(وَأَعۡظَمُ النَّاسِ بَلَاءً: الۡأَنۡبِيَاءُ، ثُمَّ الۡأَمۡثَلُ فَالۡأَمۡثَلُ)، ابۡتُلِيَ الرُّسُلُ، وَابۡتُلِيَ الصِّدِّيقُونَ، وَابۡتُلِيَ الشُّهَدَاءُ، وَابۡتُلِيَ عِبَادُ اللهِ الۡمُؤۡمِنُونَ، لَٰكِنَّهُمۡ صَبَرُوا، أَمَّا الۡمُنَافِقُ فَقَدۡ قَالَ اللهُ فِيهِ: ﴿وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعۡبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرۡفٍ﴾ يَعۡنِي: طَرۡفٍ ﴿فَإِنۡ أَصَابَهُۥ خَيۡرٌ ٱطۡمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنۡ أَصَابَتۡهُ فِتۡنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجۡهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡءَاخِرَةَ ۚ ذٰلِكَ هُوَ ٱلۡخُسۡرَانُ ٱلۡمُبِينُ﴾ [الحج: ١١].
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Dan bila ia diberi cobaan, maka ia sabar.” Allah jalla wa ‘ala memberi cobaan kepada para hamba. Dia menguji mereka dengan musibah-musibah, dengan perkara yang tidak disukai, dengan musuh-musuh dari kalangan orang kafir dan munafik. Sehingga mereka butuh untuk bersabar, tidak pesimis, dan tidak putus asa dari rahmat Allah. Dan mereka tetap kokoh di atas agama mereka. Mereka tidak menjauh dari agama bersama fitnah-fitnah atau pasrah terhadap ujian-ujian. Bahkan mereka tetap kokoh di atas agama mereka dan sabar terhadap penderitaan berupa keletihan-keletihan di jalan agama itu. Beda dengan orang yang jika diberi cobaan, dia tidak sabar, marah, dan putus asa dari rahmat Allah ‘azza wa jalla. Justru ini adalah cobaan yang ditambah di atas cobaan dan musibah di atas musibah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka ia akan memberi cobaan kepada mereka. Barangsiapa ridha, maka ridha Allah baginya dan barangsiapa marah, maka kemurkaan Allah untuknya.”
“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi kemudian yang semisal mereka, lalu yang semisal mereka.” Para rasul diberi cobaan, para shiddiqun diberi cobaan, para syuhada diberi cobaan, dan orang-orang mukmin pun diberi cobaan. Namun mereka bersabar. Adapun orang munafik, maka sungguh Allah telah berfirman mengenai mereka yang artinya, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;” Yakni di pinggiran. “maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 11).
فَالدُّنۡيَا لَيۡسَتۡ دَائِمًا نَعِيمًا وَتَرَفًا وَمَلَذَّاتٍ وَسُرُورًا وَنَصۡرًا، لَيۡسَتۡ دَائِمًا هَٰكَذَا، اللهُ يُدَاوِلُهَا بَيۡنَ الۡعِبَادِ، الصَّحَابَةُ أَفۡضَلُ الۡأُمَّةِ مَاذَا جَرَى عَلَيۡهِمۡ مِنَ الۡإِبۡتِلَاءِ وَالۡإِمۡتِحَانِ؟، قَالَ تَعَالَى: ﴿وَتِلۡكَ ٱلۡأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيۡنَ ٱلنَّاسِ﴾ [آل عمران: ١٤٠]، فَلۡيُوَطِّنِ الۡعَبۡدُ نَفۡسَهُ أَنَّهُ إِذَا ابۡتُلِيَ فَإِنَّ هَٰذَا لَيۡسَ خَاصًّا بِهِ، فَهَٰذَا سَبَقٌ لِأَوۡلِيَاءِ اللهِ، فَيُوَطِّنُ نَفۡسَهُ وَيَصۡبِرُ وَيَنۡتَظِرُ الۡفَرۡجَ مِنَ اللهِ تَعَالَى، وَالۡعَاقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ.
Jadi, dunia itu tidak selamanya nikmat, mewah, lezat, bahagia, dan ditolong. Tidak selamanya seperti itu. Allah menggilirnya di antara para hamba. Para sahabat itu adalah seutama-utama umat. Ternyata terjadi pada mereka cobaan-cobaan dan ujian-ujian. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Itulah hari-hari yang Kami pergilirkan di antara manusia.” (QS. Ali ‘Imran: 140). Sehingga, hendaklah seorang hamba menenangkan jiwanya. Bahwa apabila dia diberi cobaan, sesungguhnya itu tidak hanya terjadi pada dirinya saja. Bahkan cobaan itu dahulu sudah menimpa para wali Allah. Maka hendaknya dia tenangkan jiwanya, sabar, dan menunggu kelapangan dari Allah ta’ala. Dan akibat yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.
قَالَ: (وَإِذَا أَذۡنَبَ اسۡتَغۡفَرَ) أَمَّا الَّذِي إِذَا أَذۡنَبَ لَا يَسۡتَغۡفِرُ وَيَسۡتَزِيدُ مِنَ الذُّنُوبِ فَهَٰذَا شَقِيٌّ -وَالۡعِيَاذُ بِاللهِ-، لَٰكِنۡ الۡعَبۡدُ الۡمُؤۡمِنُ كُلَّمَا صَدَرَ مِنۡهُ ذَنۡبٌ بَادَرَ بِالتَّوۡبَةِ ﴿وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا۟ فَـٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُوا۟ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ﴾ [آل عمران: ١٣٥]، ﴿إِنَّمَا ٱلتَّوۡبَةُ عَلَى ٱللَّهِ لِلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَـٰلَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ﴾ [النساء: ١٧]، وَالۡجَهَالَةُ لَيۡسَ مَعۡنَاهَا عَدَمُ الۡعِلۡمِ، لِأَنَّ الۡجَاهِلَ لَا يُؤَاخَذُ، لَٰكِنۡ الۡجَهَالَةُ هُنَا هِيَ ضِدُّ الۡحِلۡمِ، فَكُلُّ مَنۡ عَصَى اللهَ فَهُوَ جَاهِلٌ بِمَعۡنَى نَاقِصِ الۡحِلۡمِ، وَنَاقِصِ الۡعَقۡلِيَّةِ، وَنَاقِصِ الۡإِنۡسَانِيَّةِ، وَقَدۡ يَكُونُ عَالِمًا لَٰكِنَّهُ جَاهِلٌ مِنۡ نَاحِيَةٍ أُخۡرَى، مِنۡ نَاحِيَةِ أَنَّهُ لَيۡسَ عِنۡدَهُ حِلۡمٌ وَلَا ثَبَاتٌ فِي الۡأُمُورِ: ﴿ثُمَّ يَتُوبُونُ مِنۡ قَرِيبٍ﴾ يَعۡنِي: كُلَّمَا أَذۡنَبُوا اسۡتَغۡفَرُوا، مَا هُنَاكَ أَحَدٌ مَعۡصُومٌ مِنَ الذُّنُوبِ، وَلَٰكِنۡ الۡحَمۡدُ لِلهِ أَنَّ اللهَ فَتَحَ بَابَ التَّوۡبَةِ، فَعَلَى الۡعَبۡدِ إِذَا أَذۡنَبَ أَنۡ يُبَادِرَ بِالتَّوۡبَةِ، لَٰكِنۡ إِذَا لَمۡ يَتُبۡ وَلَمۡ يَسۡتَغۡفِرۡ فَهَٰذِهِ عَلَامَةُ الشَّقَاءِ.
وَقَدۡ يَقۡنَطُ مِنۡ رَحۡمَةِ اللهِ وَيَأۡتِيهِ الشَّيۡطَانُ وَيَقُولُ لَهُ: لَيۡسَ لَكَ تَوۡبَةٌ.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Dan apabila ia berbuat dosa, maka ia pun memohon ampun kepada Allah.” Adapun orang yang berbuat dosa lalu tidak meminta ampun, malah menambah dosa-dosa, maka ia celaka –wal ‘iyadzu billah-. Akan tetapi seorang yang beriman itu apabila muncul dosa dari dirinya, ia segera bertaubat. “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?” (QS. Ali ‘Imran: 135). “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera.” (QS. An-Nisa`: 17). Makna kejahilan bukanlah tidak adanya ilmu, karena orang yang tidak mengetahui ilmu itu tidak disiksa. Akan tetapi kejahilan di sini adalah tidak adanya penguasaan diri. Setiap orang yang bermakisat kepada Allah maka ia jahil yang bermakna kurang penguasaan diri, kurang akal, dan kurang peri kemanusiaannya. Terkadang seorang itu berilmu, akan tetapi ia jahil dari sisi yang lain. Dari sisi bahwa ia tidak memiliki penguasaan diri dan kekokohan di dalam beberapa perkara. “Kemudian mereka bertaubat dengan segera” yakni setiap mereka berbuat dosa, lantas mereka memohon ampun. Tidak ada seorang pun yang ma’shum (terjaga) dari perbatan dosa. Akan tetapi, segala puji bagi Allah, bahwa Allah membuka pintu taubat. Maka, wajib bagi hamba jika ia berbuat dosa untuk segera bertaubat. Namun, apabila hamba itu tidak bertaubat dan tidak memohon ampun, maka ini adalah tanda kecelakaan baginya. Kemudian terkadang ia berputus asa dari rahmat Allah, lalu setan mendatanginya seraya mengatakan padanya: Tidak ada taubat untukmu.
هَٰذِهِ الۡأُمُورُ الثَّلَاثُ: إِذَا أُعۡطِيَ شَكَرَ، وَإِذَا ابۡتُلِيَ صَبَرَ، وَإِذَا أَذۡنَبَ اسۡتَغۡفَرَ هِيَ عُنۡوَانُ السَّعَادَةِ، مَنۡ وُفِّقَ لَهَا نَالَ السَّعَادَةَ، وَمَنۡ حُرِمَ مِنۡهَا -أَوۡ مِنۡ بَعۡضِهَا- فَإِنَّهُ شَقِيٌّ.
Inilah ketiga perkara itu, yaitu: Jika ia diberi, ia bersyukur. Jika ia diberi cobaan, ia bersabar. Dan apabila ia berbuat dosa, lantas ia meminta ampun. Inilah tanda kebahagian. Barangsiapa yang diberi taufik oleh Allah di dalam tiga perkara ini, niscaya ia akan meraih kebahagiaan. Adapun orang yang dihalangi dari perkara tersebut atau sebagiannya, maka ia celaka.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 5640

١ - بَابُ مَا جَاءَ فِي كَفَّارَةِ الۡمَرَضِ 
1. Bab hadis tentang dihapuskannya dosa karena sakit 

وَقَوۡلِ اللهِ تَعَالَى: ﴿مَنۡ يَعۡمَلۡ سُوءًا يُجۡزَ بِهِ﴾ [النساء: ١٢٣]. 
Dan firman Allah taala, “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” (QS. An-Nisa`: 123). 
٥٦٤٠ - حَدَّثَنَا أَبُو الۡيَمَانِ الۡحَكَمُ بۡنُ نَافِعٍ: أَخۡبَرَنَا شُعَيۡبٌ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ قَالَ: أَخۡبَرَنِي عُرۡوَةُ بۡنُ الزُّبَيۡرِ: أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا، زَوۡجَ النَّبِيِّ ﷺ، قَالَتۡ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (مَا مِنۡ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ المُسۡلِمَ إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنۡهُ، حَتَّى الشَّوۡكَةِ يُشَاكُهَا). 
5640. Abu Al-Yaman Al-Hakam bin Nafi’ telah menceritakan kepada kami: Syu’aib mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri. Beliau berkata: ‘Urwah bin Az-Zubair mengabarkan kepadaku: Bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah satu musibah pun yang menimpa seorang muslim kecuali dengan sebab itu Allah akan menghapuskan dosa darinya. Sampai pun duri yang menusuknya.”

Sosok Tinggi Hitam

PIMPINAN UTUSAN YANG MENAKUTKAN 


Dalam kisah pertempuran di Babilonia, pemimpin imperialis Romawi di Mesir Muqauqis berpesan, “Kirim utusan dari kalian, kami akan mengajak kepada perkara untuk kebaikan kalian dan kami.” 

Maka Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu Komandan Tertinggi pasukan Muslim saat itu mengutus sepuluh orang dan salah satunya adalah Ubadah bin As Shamit radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah seorang yang berperawakan tinggi. Tinggi beliau 10 hasta atau sekitar 2 meter lebih, dan memiliki coklat kehitaman. Amr menunjuknya sebagai juru bicara dan memesan agar tidak menerima pilihan selain tiga perkara yang telah disampaikan yakni masuk Islam, membayar upeti, atau perang. 

Delegasi pun bertemu Muqauqis. Tatkala Muqauqis melihat Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, dia merasa takut dan berkata kepada utusan kaum muslimin, “Jauhkan dariku orang hitam ini dan hadapkan kepadaku selainnya.” Maka mereka menjawab, “Sesungguhnya orang hitam ini adalah orang yang paling utama di antara kami pendapat dan ilmunya. Dia adalah orang mulia dan orang terbaik kami, dan kami mengembalikan semua pendapat kepadanya dan pemimpin kami telah memerintahkan supaya tidak menyelisihinya dan tidak memutuskan suatu perkara kecuali seizinnya.” 

Maka dia berkata, “Bagaimana kalian rida orang hitam ini sebagai orang utama kalian, padahal seharusnya dia adalah bawahan kalian?” Mereka menjawab, “Tentu tidak, walaupun dia hitam seperti kamu lihat, sesungguhnya dia adalah orang yang paling utama kedudukannya dan senior baik dalam kebijakan dan pendapatnya. Kulit hitam bukan suatu perkara yang diingkari pada agama kami.” Kemudian Muqauqis berkata kepada Ubadah, “Majulah wahai hitam! Dan bicaralah dengan lembut, sesungguhnya aku takut kulit hitammu, apabila kamu bicara dengan kasar maka bertambah rasa takutku.” 

Kemudian Ubadah maju dan berkata, “Aku telah mendengar ucapanmu, sesungguhnya di belakangku ada seribu orang-orang hitam lebih hitam dariku dan lebih mengerikan penampilannya. Andaikan engkau melihatnya pasti akan lebih takut. Sementara aku sudah tua dan telah berlalu masa mudaku, walaupun demikian – Alhamdulillah – aku tidak gentar berhadapan dengan 100 orang dari musuhku walaupun mereka menyerangku sekaligus, begitu pula teman-temanku. Hal ini karena kami tidaklah mengharapkan kecuali jihad karena Allah dan mendambakan rida-Nya.” 

“Bukan tujuan kami dalam memerangi musuh Allah untuk mendapatkan dunia dan tidak ada kepentingan bagi kami memperbanyak dunia, kecuali dari perkara yang telah Allah halalkan kepada kami. Dan kami tidak peduli apakah memiliki harta atau tidak memiliki kecuali satu dirham, karena tujuan kami di dunia hanyalah cukup untuk sesuap makanan yang menutup rongga kami siang dan malamnya. Jika salah satu dari kami tidak memiliki harta kecuali itu maka harta itu cukup baginya. Dan jika memiliki harta yang lebih, maka mereka infakkan dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mencukupkan dengan harta yang sekadar memenuhi kebutuhan di dunia, karena kenikmatan dunia bukan kenikmatan yang hakiki, dan kesenangannya bukan kesenangan yang hakiki. Sesungguhnya kenikmatan dan kesenangan yang hakiki adalah di akhirat. Dengan hal inilah Allah dan nabi memerintahkan, dan kami berjanji setia di atasnya yaitu hendaknya tidak ada tujuan kami di dunia kecuali suapan yang menghilangkan lapar kami dan baju yang menutupi aurat kami. Dan menjadikan tujuan utama kami adalah rida Rabb kami dan berjihad melawan musuh-Nya.” 

Maka ketika Muqauqis mendengar ucapan Ubadah, dia berpaling berkata kepada para menterinya, “Apakah kalian pernah mendengar ucapan seperti ini sebelumnya? Sungguh penampilannya telah membuat aku takut, dan ternyata ucapannya sungguh lebih aku takuti. Apa mungkin orang ini dan shahabatnya telah Allah keluarkan untuk menghancurkan dunia?! Aku mengira pasti kerajaan mereka akan menguasai dunia.” 

Kemudian Muqauqis kembali dan berkata kepada Ubadah, “Wahai orang Saleh! Aku telah mendengar ucapanmu yaitu apa yang engkau sampaikan tentangmu dan shahabatmu, maka tidaklah apa yang tampak padamu dan shahabatmu dari keberanian dan kesabaran kecuali keinginan kalian untuk meraih harta dunia. Dan sungguh jumlah besar dari pasukan Romawi telah siap bertempur melawan kalian, mereka adalah satu kaum yang dikenal keberanian dan kegarangannya, tidak peduli siapapun musuh yang dihadapinya dan aku sangat yakin bahwa kalian tidak akan mampu melawannya. Karena kalian lemah dan sedikit. Sungguh kalian telah tinggal di negeri kami berbulan-bulan dan kalian dalam keadaan sempit dan kekurangan logistik. Sementara kami sekarang bermurah hati kepada kalian untuk melakukan perdamaian dengan imbalan yang akan kami berikan kepada kalian yaitu untuk setiap prajurit dua dinar dan untuk setiap komandan seratus dinar dan untuk khalifah kalian seribu dinar. Setelah kalian mendapatkannya, kembalilah ke negeri kalian sebelum kekuatan besar membinasakan kalian.”

Berkata Ubadah, “Wahai Anda! Janganlah terbuai dengan dirimu dan pasukanmu. Adapun perkara yang engkau sebutkan untuk menakut-nakuti dan melemahkan kami, demi Allah –kalau itu benar- sungguh itu lebih kami cintai dan kami harapkan. Karena hal ini menjadikan kami memiliki udzur yang kuat di hadapan Allah ketika kami terbunuh dan semakin kuat harapan kami mendapatkan rida dan surga-Nya, dan tentunya tidak ada sesuatu pun yang kami dambakan kecuali ini. Dan sesungguhnya kami dalam berperang dengan kalian menantikan salah satu dari dua kebaikan, yaitu mendapatkan ghanimah dunia jika kami meraih kemenangan atau ghanimah akhirat jika kalian yang meraih kemenangan. Dan yang terakhir ini tentunya lebih kami cintai, selain itu pula Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Berapa banyak golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah dan Allah bersama orang-orang yang sabar.” 

“Tidak ada seorang pun dari kami kecuali berdoa setiap pagi dan petang untuk mendapatkan mati syahid dan berharap tidak kembali ke negerinya bahkan kepada anak dan istrinya. Tidak ada sedikit pun kekhawatiran pada kami setelah itu. Sungguh masing-masing kami telah menitipkan anak dan istrinya kepada Allah.”

“Adapun ucapanmu, ‘Kami berada dalam kesempitan dan kekurangan,’ maka ketahuilah! Bahwa kami berada dalam keleluasaan dan kemudahan. Andaikan seisi dunia berada di genggaman kami, maka kami tidak menginginkan lebih banyak darinya kecuali yang kami berada sekarang ini.”

“Maka pertimbangkanlah tiga tawaran yang telah kami sampaikan, dan ketahuilah bahwa kami tidak meneriman kecuali tiga perkara tersebut. Begitulah kami diajarkan, inilah agama Islam yang Allah tidak menerima selainnya.”

Berkata Muqauqis, “Ini tidak mungkin terjadi, kalian tidak menginginkan kecuali kami menjadi budak selamanya.” Berkata Ubadah, “Iya begitulah, maka pilihlah yang engkau sukai.” Berkata Muqauqis, “Adakah pilihan lain selain itu?” Maka Ubadah mengangkat tangannya dan berkata, “Tidak ada, demi Rabbnya langit dan bumi dan Rabb segala sesuatu, kalian tidak memiliki pilihan selain itu, pertimbangkanlah!”

Maka Muqauqis bermusyawarah dengan para menterinya dan berkata, “Mereka telah selesai menyampaikan tujuannya, lalu bagaimana pendapat kalian?” Mereka menjawab, “Apakah kita rela dengan kehinaan ini? Adapun keinginan mereka supaya kita masuk agamanya maka ini tidak mungkin selamanya, meninggalkan agama Al Masih bin Maryam dan masuk agama yang kita tidak mengenalnya, dan adapun keinginan mereka menjadikan kita sebagai budak maka kematian lebih ringan bagi kita. Andaikan mereka rela dilipat gandakan imbalannya, maka ini lebih mudah.”

Kemudian berkata Muqauqis kepada Ubadah, “Mereka telah menolak tawaranmu, bagaimana pendapatmu jika kami berikan harta berlipat-lipat dari yang kami janjikan?” Maka Ubadah dan para utusan yang bersamanya bangkit dan kembali tanpa menanggapi permintaan terakhirnya.

Pertempuran hebat pun tak terelakkan. Walaupun jumlah pasukan tidak seimbang, namun keberadaan kaum muslimin bagai singa raksasa di hadapan ribuan mangsanya. Keperkasaan dan keberanian para pemburu syahid itu begitu tampak dan mendominasi medan laga. Dengan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala kemenangan diraih kaum muslimin dan benteng kuat Babilonia bisa ditaklukkan. Korban pertempuran dari musuh sangat banyak dan sebagiannya tertawan.” 

Saat itu Muqauqis berkata kepada menteri-menterinya, “Sudah aku katakan bahwa kalian akan mendapatkan perkara yang lebih kalian benci.” Maka tatkala mereka mengetahui benarnya pendapat sang raja, akhirnya mereka menerimanya. Kemudian Muqauqis berkata kepada Amr, “Sungguh kaumku telah menolak tawaran kalian dan mereka menyesal dengan hal itu. Maka berilah kesempatan kepada kami untuk menerima tawaran tersebut.” Maka Amr radhiyallahu ‘anhu pun bermusyawarah dengan para petinggi shahabat, akhirnya Amr berpendapat untuk menerima perdamaian dan menetapkan jizyah 12 ribu dinar per tahun bagi mereka.

Babilonia jatuh ke tangan kaum muslimin. Agama Allah semakin tersebar dan tegak di seantero penjuru dunia. Tentara-tentara Allah dan utusan-utusan yang saleh dan mulia telah membebaskan berbagai negeri dari kehinaan kesyirikan kepada cahaya kemuliaan tauhid. Adalah Ubadah bin Shamit sang sosok hitam tinggi, salah satu utusan yang terkemuka dan termulia. 

SHAHABAT YANG MULIA 


Beliau, Ubadah bin As Shamit bin Qais Al Anshari Al Khazraji Abul Walid radhiyallahu ‘anhu termasuk orang yang pertama masuk Islam. Salah satu tokoh yang ikut berbai’at di Aqabah. Setelah masuk Islam tidak pernah tertinggal satu jihad pun bersama Nabi. 

Ayahnya, Shamit, wafat dalam keadaan kafir yaitu di atas agama kaumnya. Sementara ibunya, Qurratul ‘Ain, masuk Islam dan berbai’at kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Berkata Al Auza’i rahimahullah, “Orang pertama yang menjadi hakim di Palestina adalah Ubadah, dan dia adalah orang yang utama, dan mulia, tampan, tinggi, dan tegap. Beliau meninggal di Baitul Maqdis, dalam riwayat lain di Ramlah tahun 34 H, saat itu umurnya 72 tahun. Dalam riwayat lain disebutkan Beliau wafat saat umurnya 45 tahun. Namun pendapat pertama lebih shahih dan masyhur. 

Ketika saat akan wafat beliau berkata, “Keluarkan kasurku ke shahn (halaman tengah rumah).” Kemudian dia berkata, “Kumpulkan di hadapanku para budakku, pembantuku, dan tetanggaku. Dan orang yang pernah bermuamalah denganku…” Maka mereka pun dikumpulkan di hadapannya. Setelah itu beliau berkata, “Sungguh hari ini aku tidak melihat kecuali hari terakhirku di dunia dan awal malam di alam akhirat. Aku tidak tahu, mungkin aku pernah menzalimi kalian dengan tanganku atau dengan lisanku. Demi Dzat yang jiwa Ubadah berada di tangannya! (Aku takut) Qishash di hari kiamat! Dan aku meminta dengan sangat dari kalian yang pernah terzalimi untuk mengqishas ku sebelum nyawaku keluar.” Orang-orang itu pun menimpali, “Bahkan engkau adalah orang tua kami dan pembimbing kami, tidak pernah engkau berbicara jelek sedikit pun kepada pembantumu.” Ubadah berkata, “Apakah kalian memaafkanku?” Mereka menjawab, “Ya tentu.” Ubadah berkata, “Ya Allah persaksikanlah.” 

Kemudian dia berkata, “Jika tidak, maka laksanakanlah wasiatku. Aku merasa berat bila ada di antara kalian menangisiku. Apabila nyawaku keluar, maka berwudhulah kalian dengan sebaik-baik wudhu kemudian masuklah kalian ke masjid dan salatlah dan meminta ampun untukku dan untuk kalian. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mintalah tolong kalian dengan sabar dan salat.” [Q.S. Al Baqarah: 45]. Kemudian bersegeralah menguburkanku. Jangan kalian iringi janazahku dengan api dan jangan letakkan di bawahku urjuwan (sebuah bunga berwarna merah).” Ubadah bin Shamit, semoga Allah meridainya. 

Sumber: Majalah Qudwah edisi 59 vol.05 1439 H rubrik Khairul Ummah. Pemateri: Ustadz Abu Ma’mar Abbas bin Husein.

Shahih Muslim hadits nomor 117

٥٠ - بَابٌ فِي الرِّيحِ الَّتِي تَكُونُ قُرۡبَ الۡقِيَامَةِ تَقۡبِضُ مَنۡ فِي قَلۡبِهِ شَيۡءٌ مِنَ الۡإِيمَانِ 
50. Bab tentang angin yang akan ada saat mendekati hari kiamat yang akan mematikan siapa saja yang ada sedikit saja iman di dalam hatinya 

١٨٥ - (١١٧) - حَدَّثَنَا أَحۡمَدُ بۡنُ عَبۡدَةَ الضَّبِّيُّ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الۡعَزِيزِ بۡنُ مُحَمَّدٍ وَأَبُو عَلۡقَمَةَ الۡفَرۡوِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا صَفۡوَانُ بۡنُ سُلَيۡمٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ سَلۡمَانَ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (إِنَّ اللهَ يَبۡعَثُ رِيحًا مِنَ الۡيَمَنِ، أَلۡيَنَ مِنَ الۡحَرِيرِ، فَلَا تَدَعُ أَحَدًا فِي قَلۡبِهِ - قَالَ أَبُو عَلۡقَمَةَ: مِثۡقَالُ حَبَّةٍ. وَقَالَ عَبۡدُ الۡعَزِيزِ: مِثۡقَالُ ذَرَّةٍ - مِنۡ إِيمَانٍ إِلَّا قَبَضَتۡهُ). 
185. (117). Ahmad bin ‘Abdah Adh-Dhabbi telah menceritakan kepada kami: ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad dan Abu ‘Alqamah Al-Farwi menceritakan kepada kami. Keduanya berkata: Shafwan bin Sulaim menceritakan kepada kami dari ‘Abdullah bin Salman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengirim angin dari Yaman yang lebih lembut daripada sutra. Angin itu tidak akan meninggalkan satu orang pun yang di dalam hatinya—Abu ‘Alqamah berkata: seberat biji; ‘Abdul ‘Aziz berkata: seberat zarah—keimanan kecuali akan mematikannya.”

Shahih Muslim hadits nomor 116

٤٩ - بَابُ الدَّلِيلِ عَلَى أَنَّ قَاتِلَ نَفۡسِهِ لَا يُكَفَّرُ 
49. Bab dalil bahwa orang yang membunuh dirinya tidak dikafirkan 

١٨٤ - (١١٦) - حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ وَإِسۡحَاقُ بۡنُ إِبۡرَاهِيمَ، جَمِيعًا عَنۡ سُلَيۡمَانَ، قَالَ أَبُو بَكۡرٍ: حَدَّثَنَا سُلَيۡمَانُ بۡنُ حَرۡبٍ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بۡنُ زَيۡدٍ، عَنۡ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ، عَنۡ أَبِي الزُّبَيۡرِ، عَنۡ جَابِرٍ، أَنَّ الطُّفَيۡلَ بۡنَ عَمۡرٍو الدَّوۡسِيَّ أَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَلۡ لَكَ فِي حِصۡنٍ حَصِينٍ وَمَنَعَةٍ؟ - قَالَ: حِصۡنٌ كَانَ لِدَوۡسٍ فِي الۡجَاهِلِيَّةِ - فَأَبَىٰ ذٰلِكَ النَّبِيُّ ﷺ، لِلَّذِي ذَخَرَ اللهُ لِلۡأَنۡصَارِ، فَلَمَّا هَاجَرَ النَّبِيُّ ﷺ إِلَى الۡمَدِينَةِ، هَاجَرَ إِلَيۡهِ الطُّفَيۡلُ بۡنُ عَمۡرٍو، وَهَاجَرَ مَعَهُ رَجُلٌ مِنۡ قَوۡمِهِ، فَاجۡتَوَوُا الۡمَدِينَةَ، فَمَرِضَ، فَجَزِعَ، فَأَخَذَ مَشَاقِصَ لَهُ، فَقَطَعَ بِهَا بَرَاجِمَهُ، فَشَخَبَتۡ يَدَاهُ حَتَّى مَاتَ، فَرَآهُ الطُّفَيۡلُ بۡنُ عَمۡرٍو فِي مَنَامِهِ، فَرَآهُ وَهَيۡئَتُهُ حَسَنَةٌ، وَرَآهُ مُغَطِّيًا يَدَيۡهِ. فَقَالَ لَهُ: مَا صَنَعَ بِكَ رَبُّكَ؟ فَقَالَ: غَفَرَ لِي بِهِجۡرَتِي إِلَى نَبِيِّهِ ﷺ. فَقَالَ: مَا لِي أَرَاكَ مُغَطِّيًا يَدَيۡكَ؟ قَالَ: قِيلَ لِي: لَنۡ نُصۡلِحَ مِنۡكَ مَا أَفۡسَدۡتَ، فَقَصَّهَا الطُّفَيۡلُ عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (اللّٰهُمَّ وَلِيَدَيۡهِ فَاغۡفِرۡ). 
184. (116). Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami. Semuanya dari Sulaiman. Abu Bakr berkata: Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami: Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami dari Hajjaj Ash-Shawwaf, dari Abu Az-Zubair, dari Jabir, bahwa Ath-Thufail bin ‘Amr Ad-Dausi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin berada di sebuah benteng yang kokoh dan kuat? Dia berkata: Suatu benteng milik suku Daus di jaman jahiliah. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghendaki hal itu, karena Allah telah menyimpan (keutamaan tujuan hijrah Nabi) untuk orang-orang Ansar (yaitu Madinah). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berhijrah ke Madinah, Ath-Thufail bin ‘Amr ikut berhijrah bersama beliau. Besertanya ikut pula seseorang dari kaumnya. Namun mereka tidak menyukai tinggal di Madinah (karena ada wabah), lalu orang yang ikut tadi jatuh sakit dan tidak sabar. Dia mengambil beberapa anak panahnya, lalu dia gunakan untuk memotong ruas-ruas jarinya sehingga darah mengucur deras dari kedua tangannya sampai dia meninggal. Ath-Thufail bin ‘Amr bermimpi. Beliau melihat orang itu dan keadaannya baik. Dia melihat orang itu dalam keadaan menutupi kedua tangannya. Ath-Thufail bertanya kepada orang itu: Apa yang dilakukan Rabb-mu terhadapmu? Orang itu menjawab: Dia mengampuniku dengan sebab hijrahku kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ath-Thufail bertanya: Mengapa aku melihat engkau dalam keadaan menutupi kedua tanganmu? Orang itu berkata: Ada yang berkata kepadaku: Kami tidak akan memperbaiki apa yang telah engkau rusak dari dirimu. Lalu Ath-Thufail mengisahkan itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, ampunilah (dia dan) kedua tangannya.”

Shahih Muslim hadits nomor 115

١٨٣ - (١١٥) - حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، قَالَ: أَخۡبَرَنِي ابۡنُ وَهۡبٍ، عَنۡ مَالِكِ بۡنِ أَنَسٍ، عَنۡ ثَوۡرِ بۡنِ زَيۡدٍ الدُّؤَلِيِّ، عَنۡ سَالِمٍ أَبِي الۡغَيۡثِ، مَوۡلَى ابۡنِ مُطِيعٍ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ. (ح) وَحَدَّثَنَا قُتَيۡبَةُ بۡنُ سَعِيدٍ. وَهَٰذَا حَدِيثُهُ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الۡعَزِيزِ - يَعۡنِي ابۡنَ مُحَمَّدٍ - عَنۡ ثَوۡرٍ، عَنۡ أَبِي الۡغَيۡثِ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ قَالَ: خَرَجۡنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ إِلَى خَيۡبَرَ، فَفَتَحَ اللهُ عَلَيۡنَا، فَلَمۡ نَغۡنَمۡ ذَهَبًا وَلَا وَرِقًا، غَنِمۡنَا الۡمَتَاعَ وَالطَّعَامَ وَالثِّيَابَ. 
183. (115). Abu Ath-Thahir telah menceritakan kepadaku. Beliau berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepadaku dari Malik bin Anas, dari Tsaur bin Zaid Ad-Du`ali, dari Salim Abu Al-Ghaits maula Ibnu Muthi’, dari Abu Hurairah. (Dalam riwayat lain) Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami. Ini adalah hadisnya. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad menceritakan kepada kami dari Tsaur, dari Abu Al-Ghaits, dari Abu Hurairah. Beliau mengatakan: Kami keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Khaibar. Lalu Allah menguasakannya untuk kami. Kami tidak mendapatkan rampasan perang berupa emas maupun perak, namun kami mendapatkan rampasan perang berupa barang, makanan, dan pakaian. 
ثُمَّ انۡطَلَقۡنَا إِلَى الۡوَادِي، وَمَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ عَبۡدٌ لَهُ، وَهَبَهُ لَهُ رَجُلٌ مِنۡ جُذَامٍ، يُدۡعَى رِفَاعَةَ بۡنَ زَيۡدٍ مِنۡ بَنِي الضُّبَيۡبِ، فَلَمَّا نَزَلۡنَا الۡوَادِيَ قَامَ عَبۡدُ رَسُولِ اللهِ ﷺ يَحُلُّ رَحۡلَهُ، فَرُمِيَ بِسَهۡمٍ، فَكَانَ فِيهِ حَتۡفُهُ. فَقُلۡنَا: هَنِيئًا لَهُ الشَّهَادَةُ يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (كَلَّا، وَالَّذِي نَفۡسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الشِّمۡلَةَ لَتَلۡتَهِبُ عَلَيۡهِ نَارًا، أَخَذَهَا مِنَ الۡغَنَائِمِ يَوۡمَ خَيۡبَرَ، لَمۡ تُصِبۡهَا الۡمَقَاسِمُ). قَالَ: فَفَزِعَ النَّاسُ، فَجَاءَ رَجُلٌ بِشِرَاكٍ أَوۡ شِرَاكَيۡنِ. فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَصَبۡتُ يَوۡمَ خَيۡبَرَ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (شِرَاكٌ مِنۡ نَارٍ أَوۡ شِرَاكَانِ مِنۡ نَارٍ). 
[البخاري: كتاب المغازي، باب غزوة خيبر، رقم: ٣٩٩٣]. 
Kemudian kami berangkat menuju Wadi Al-Qura. Bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang budak milik beliau. Budak itu dihibahkan oleh seseorang dari Judzam yang bernama Rifa’ah bin Zaid dari Bani Adh-Dhabib kepada beliau. Ketika kami singgah di Wadi Al-Qura, budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bangkit untuk melepas pelananya. Lalu dia terkena lemparan anak panah dan ternyata dia meninggal karenanya. Kami berkata: Semoga dia syahid wahai Rasulullah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sekali-kali tidak. Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya pakaian yang menyelimutinya akan menyulutkan api padanya. Dia mengambilnya dari harta rampasan perang pada hari Khaibar namun bukan jatahnya.” Abu Hurairah berkata: Orang-orang pun ketakutan, sehingga ada seseorang yang datang membawa seutas atau dua utas tali sandal seraya berkata: Wahai Rasulullah, aku mendapatkannya pada hari Khaibar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seutas tali sandal dari neraka atau dua utas tali sandal dari neraka.”