Cari Blog Ini

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1152

١٩ – بَابُ مَا يُكۡرَهُ مِنۡ تَرۡكِ قِيَامِ اللَّيۡلِ لِمَنۡ كَانَ يَقُومُهُ
19. Bab dibencinya meninggalkan salat malam bagi siapa saja yang telah biasa mengerjakannya

١١٥٢ – حَدَّثَنَا عَبَّاسُ بۡنُ الۡحُسَيۡنِ: حَدَّثَنَا مُبَشِّرٌ، عَنِ الۡأَوۡزَاعِيِّ. وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ مُقَاتِلٍ أَبُو الۡحَسَنِ قَالَ: أَخۡبَرَنَا عَبۡدُ اللهِ: أَخۡبَرَنَا الۡأَوۡزَاعِيُّ قَالَ: حَدَّثَنِي يَحۡيَى بۡنُ أَبِي كَثِيرٍ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ قَالَ: حَدَّثَنِي عَبۡدُ اللهِ بۡنُ عَمۡرِو بۡنِ الۡعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ ﷺ: (يَا عَبۡدَ اللهِ، لَا تَكُنۡ مِثۡلَ فُلَانٍ، كَانَ يَقُومُ اللَّيۡلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيۡلِ).
وَقَالَ هِشَامٌ: حَدَّثَنَا ابۡنُ أَبِي الۡعِشۡرِينَ: حَدَّثَنَا الۡأَوۡزَاعِيُّ قَالَ: حَدَّثَنِي يَحۡيَى، عَنۡ عُمَرَ بۡنِ الۡحَكَمِ بۡنِ ثَوۡبَانَ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ: مِثۡلَهُ. وَتَابَعَهُ عَمۡرُو بۡنُ أَبِي سَلَمَةَ، عَنِ الۡأَوۡزَاعِيِّ. [طرفه في: ١١٣١].
1152. ‘Abbas ibnul Husain telah menceritakan kepada kami: Mubasysyir menceritakan kepada kami, dari Al-Auza’i. Muhammad bin Muqatil Abul Hasan telah menceritakan kepadaku, beliau berkata: ‘Abdullah mengabarkan kepada kami: Al-Auza’i mengabarkan kepada kami, beliau berkata: Yahya bin Abu Katsir menceritakan kepadaku, beliau berkata: Abu Salamah bin ‘Abdurrahman menceritakan kepadaku, beliau berkata: ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma menceritakan kepadaku, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau menjadi seperti Polan! Dia dahulu mengerjakan salat malam, lalu meninggalkan salat malam.”
Hisyam berkata: Ibnu Abul ‘Isyrin menceritakan kepada kami: Al-Auza’i menceritakan kepada kami, beliau berkata: Yahya menceritakan kepadaku, dari ‘Umar ibnul Hakam bin Tsauban, beliau berkata: Abu Salamah menceritakan kepadaku: Semisal hadis tersebut. ‘Umar bin Abu Salamah mengiringi Ibnu Abul ‘Isyrin dari Al-Auza’i.

Musnad Ahmad bin Hambal

“Ayahku telah menulis 10 juta hadits. Tidaklah ayahku menuliskan hadits-hadits tersebut, kecuali beliau telah menghafalnya.” Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah. [Al Maqshadul Arsyad Fi Dzikri Ashabil Imam Ahmad, Burhanuddin Ibrahim bin Muhammad rahimahullah].

“Al Imam Ahmad bin Hambal berkeliling dunia (mencari hadits) dua kali, sehingga tersusunlah Al Musnad.” [Shaidul Khatir, Ibnul Jauzi rahimahullah].

Al Musnad, sebuah kitab hadits yang dikumpulkan oleh seorang Imam Ahlu Sunnah Wal Jamaah, Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah rahimahullah. Dikenal dengan Imam Ahmad bin Hambal, salah seorang dari imam yang empat.

Musnad adalah kitab hadits yang dikumpulkan berdasarkan perawi shahabat tersendiri. Hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tersendiri, dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tersendiri, dan seterusnya. Para ahli hadits menempatkan kitab-kitab musnad di derajat ketiga, setelah dua kitab shahih; Shahih Al Bukhari dan Muslim, serta kitab-kitab sunan; Sunan Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah.

Pada awalnya, dalam musnad ini ada 750.000 hadits pilihan dari sekian juta hadits yang dihafal sang Imam. Kemudian diseleksi lagi menjadi 40.000 hadits dengan pengulangan, atau 30.000 hadits tanpa pengulangan.

Oleh karena banyaknya hadits yang termuat, Al Musnad menjadi kitab hadits terbesar, dari kitab-kitab hadits yang pernah ditulis oleh para ulama. Al Imam Ahmad rahimahullah sendiri mengupayakan agar kumpulan hadits beliau dapat dipakai sebagai hujah bagi kaum muslimin. Beliau hanya meriwayatkan hadits dari orang yang kejujurannya dan agamanya telah diakui. Beliau tidak mengambil hadits dari orang yang cacat agama dan amanahnya. Beliau hanya mengambil hadits yang masyhur saja. Beliau rahimhaullah pernah berkata, “Dalam musnad, aku menulis hadits yang masyhur saja.”

Sebenarnya, Musnad Ahmad disusun oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal sepeninggal ayahandanya. Imam Ahmad sendiri hanya menulis bahan hadits yang beliau susun dengan format tertentu. Kemudian beliau perdengarkan hadits-hadits tersebut dalam majelis bersama putra beliau, Abdullah, dan keluarga yang lain.

Abdullah bin Ahmad menyusun kitab ini dengan beberapa tambahan. Tambahan hadits dari selain Imam Ahmad dalam Al Musnad ini hanya segelintir dibanding dari asli tulisan Imam Ahmad. Tambahan ini disebut zawaid. Oleh karenanya, para pembaca harus jeli mengamati pengantar riwayat setiap hadits. Bila tampak jelas bahwa Imam Ahmad sebagai pangkal riwayat, maka potensi menjadi hujah dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimana tidak, syarat hadits yang dinukilkan dalam Musnad ini lebih ketat ketimbang syarat dalam Sunan Abi Dawud.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Syarat yang diterapkan Ahmad dalam Musnadnya lebih kuat daripada syarat yang diterapkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya. Abu Dawud meriwayatkan dari para perawi yang tidak dipakai dalam Al Musnad. Dalam musnadnya, Ahmad menerapkan syarat bahwa beliau tidak meriwayatkan dari para perawi yang menurut beliau terkenal berbuat dusta (kadzdzab), meskipun bisa jadi ada yang berstatus dha’if.”

SUSUNAN KITAB


Sebagaimana kitab musnad yang lain, Musnad Ahmad memiliki susunan penulisan yang berbeda dibanding dengan Shahih Al Bukhari dan Muslim, serta kitab-kitab sunan. Walaupun semuanya berisikan hadits-hadits disertai rantai sanadnya.

Terkhusus Musnad Ahmad, penyusunannya tidak berdasarkan pembahasan bab tertentu, atau urutan abjad. Namun berdasarkan perawi yang mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu para shahabat. Dimulai riwayat hadits dari jalur Abu Bakr Arsh Shiddiq sebagai seorang shahabat yang paling utama. Kemudian disusul sepuluh shahabat yang diberi kabar gembira masuk jannah selain Abu Bakar. Kemudian para shahabat dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ahlul Bait beliau, serta shahabat yang turut serta dalam perang Badar. Demikian seterusnya.

Oleh karenanya, pembaca akan kesusahan bila mencari suatu bab pembahasan tertentu dalam Musnad ini. Sebab, pengelompokan haditsnya berdasar kepada perawi shahabat, bukan berdasar kepada bab tertentu. Namun, pembaca akan lebih mudah mencari bab tertentu bila mengetahui secara persis shahabat yang meriwayatkannya.

Sebagian ulama berinisiatif untuk merubah susunan kitab Musnad ini. Agar mempermudah pembaca dalam menelaahnya. Sebagian merubah penataan urutan hadits dengan susunan huruf hijaiyyah. Sebagian lain menyusunnya berdasarkan bab-bab fiqih. Sebagian lain membuat ringkasan disertai syarah (penjelasan) ringkas. Dan sebagainya.

Segala puji bagi Allah, dengan upaya para ulama, kitab Musnad dapat lebih mudah dipahami. Semoga Allah memberikan pahala yang besar kepada para ulama kita, yang telah berusaha membimbing umat Islam dalam memahami agama mereka.

PUJIAN ULAMA TERHADAP AL MUSNAD


Pujian ulama terhadap kitab ini begitu banyak. Cukuplah kita melihat kesungguhan Imam Ahmad dalam usahanya menyusun kitab ini untuk menilai betapa banyaknya faedah yang akan dipetik kaum muslimin. Demikian pula sikap para ulama yang menjadikannya sebagai referensi dalam penukilan-penukilan hadits, menunjukkan sambutan mereka terhadap kitab ini.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu kitab Musnad pun yang menandingi Musnad Ahmad dalam hal jumlah hadits dan keindahan susunan.”

Demikianlah buah tangan para ulama yang terus dikenang dan menjadi pelita dalam gelapnya kebodohan. Semoga, kita menjadi salah seorang yang dapat mengambil faedah dan pelajaran darinya. Wallahu a’lam.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 6 vol.01 1434H/2013M rubrik Maktabah. Pemateri: Ustadz Abu Abdirrahman Hammam.

Shahih Muslim hadits nomor 1112

٨٥ – (١١١٢) – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ رُمۡحِ بۡنِ الۡمُهَاجِرِ: أَخۡبَرَنَا اللَّيۡثُ، عَنۡ يَحۡيَىٰ بۡنِ سَعِيدٍ، عَنۡ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ بۡنِ الۡقَاسِمِ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ جَعۡفَرِ بۡنِ الزُّبَيۡرِ، عَنۡ عَبَّادِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ الزُّبَيۡرِ، عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا؛ أَنَّهَا قَالَتۡ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقَالَ: احۡتَرَقۡتُ. قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (لِمَ؟) قَالَ: وَطِئۡتُ امۡرَأَتِي فِي رَمَضَانَ نَهَارًا. قَالَ: (تَصَدَّقۡ، تَصَدَّقۡ). قَالَ: مَا عِنۡدِي شَيۡءٌ. فَأَمَرَهُ أَنۡ يَجۡلِسَ، فَجَاءَهُ عَرَقَانِ فِيهِمَا طَعَامٌ، فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنۡ يَتَصَدَّقَ بِهِ.
85. (1112). Muhammad bin Rumh ibnul Muhajir telah menceritakan kepada kami: Al-Laits mengabarkan kepada kami, dari Yahya bin Sa’id, dari ‘Abdurrahman ibnul Qasim, dari Muhammad bin Ja’far ibnuz Zubair, dari ‘Abbad bin ‘Abdullah ibnuz Zubair, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha; Bahwa beliau berkata: Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: Aku telah terbakar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Kenapa?” Orang itu berkata: Aku menggauli istriku di siang hari bulan Ramadan. Nabi bersabda, “Bersedekahlah! Bersedekahlah!” Orang itu berkata: Aku tidak punya apa-apa. Nabi memerintahkannya duduk. Kemudian ada dua keranjang berisi makanan yang datang kepada beliau. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menyedekahkannya.
٨٦ – (...) – وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّى: أَخۡبَرَنَا عَبۡدُ الۡوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ. قَالَ: سَمِعۡتُ يَحۡيَىٰ بۡنَ سَعِيدٍ يَقُولُ: أَخۡبَرَنِي عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ بۡنُ الۡقَاسِمِ؛ أَنَّ مُحَمَّدَ بۡنَ جَعۡفَرِ بۡنِ الزُّبَيۡرِ أَخۡبَرَهُ؛ أَنَّ عَبَّادَ بۡنَ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ الزُّبَيۡرِ حَدَّثَهُ؛ أَنَّهُ سَمِعَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا تَقُولُ: أَتَىٰ رَجُلٌ إِلَىٰ رَسُولِ اللهِ ﷺ. فَذَكَرَ الۡحَدِيثَ.
وَلَيۡسَ فِي أَوَّلِ الۡحَدِيثِ: (تَصَدَّقۡ، تَصَدَّقۡ). وَلَا قَوۡلُهُ: نَهَارًا.
86. Muhammad ibnul Mutsanna telah menceritakan kepada kami: ‘Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi mengabarkan kepada kami. Beliau berkata: Aku mendengar Yahya bin Sa’id mengatakan: ‘Abdurrahman ibnul Qasim mengabarkan kepadaku; Bahwa Muhammad bin Ja’far ibnuz Zubair mengabarkan kepadanya; Bahwa ‘Abbad bin ‘Abdullah ibnuz Zubair menceritakan kepadanya; Bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan: Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menyebutkan hadis tersebut.
Namun di awal hadis tidak ada ucapan, “Bersedekahlah! Bersedekahlah! Tidak ada pula ucapan: siang hari.
٨٧ – (...) – حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ: أَخۡبَرَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي عَمۡرُو بۡنُ الۡحَارِثِ؛ أَنَّ عَبۡدَ الرَّحۡمٰنِ بۡنَ الۡقَاسِمِ حَدَّثَهُ؛ أَنَّ مُحَمَّدَ بۡنَ جَعۡفَرِ بۡنِ الزُّبَيۡرِ حَدَّثَهُ؛ أَنَّ عَبَّادَ بۡنَ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ الزُّبَيۡرِ حَدَّثَهُ؛ أَنَّهُ سَمِعَ عَائِشَةَ زَوۡجَ النَّبِيِّ ﷺ تَقُولُ: أَتَىٰ رَجُلٌ إِلَىٰ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِي الۡمَسۡجِدِ فِي رَمَضَانَ. فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، احۡتَرَقۡتُ، احۡتَرَقۡتُ. فَسَأَلَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (مَا شَأۡنُهُ؟) فَقَالَ: أَصَبۡتُ أَهۡلِي. قَالَ: (تَصَدَّقۡ) فَقَالَ: وَاللهِ، يَا نَبِيَّ اللهِ، مَالِي شَيۡءٌ، وَمَا أَقۡدِرُ عَلَيۡهِ. قَالَ: (اجۡلِسۡ) فَجَلَسَ. فَبَيۡنَا هُوَ عَلَىٰ ذٰلِكَ أَقۡبَلَ رَجُلٌ يَسُوقُ حِمَارًا عَلَيۡهِ طَعَامٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (أَيۡنَ الۡمُحۡتَرِقُ آنِفًا؟) فَقَامَ الرَّجُلُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (تَصَدَّقۡ بِهٰذَا) فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَغَيۡرَنَا؟ فَوَاللّٰهِ إِنَّا لَجِيَاعٌ، مَالَنَا شَيۡءٌ. قَالَ: (فَكُلُوهُ).
87. Abuth Thahir telah menceritakan kepadaku: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami: ‘Amr ibnul Harits mengabarkan kepadaku; Bahwa ‘Abdurrahman ibnul Qasim menceritakan kepadanya; Bahwa Muhammad bin Ja’far ibnuz Zubair menceritakan kepadanya; Bahwa ‘Abbad bin ‘Abdullah ibnuz Zubair menceritakan kepadanya; Bahwa beliau mendengar ‘Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengatakan: Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid di bulan Ramadan. Orang itu berkata: Wahai Rasulullah, aku terbakar, aku terbakar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa perkaranya?” Orang itu menjawab: Aku menggauli istriku. Beliau bersabda, “Bersedekahlah!” Orang itu berkata: Demi Allah, wahai Nabi Allah, aku tidak punya apa-apa dan aku tidak sanggup mengusahakannya. Beliau bersabda, “Duduklah!” Orang itu pun duduk. Sementara dia dalam keadaan itu, ada orang datang menuntun seekor keledai yang membawa makanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di mana orang yang terbakar tadi?” Orang itu pun berdiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedekahkanlah ini!” Orang itu bertanya: Wahai Rasulullah, apakah kepada selain kami? Demi Allah, sungguh kami ini orang-orang yang kelaparan. Kami tidak punya apa-apa. Beliau bersabda, “Kalian makanlah itu!”

Shahih Muslim hadits nomor 1111

١٤ – بَابُ تَغۡلِيظِ تَحۡرِيمِ الۡجِمَاعِ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ عَلَى الصَّائِمِ وَوُجُوبِ الۡكَفَّارَةِ الۡكُبۡرَى فِيهِ وَبَيَانِهَا وَأَنَّهَا تَجِبُ عَلَى الۡمُوسِرِ وَالۡمُعۡسِرِ وَتَثۡبُتُ فِي ذِمَّةِ الۡمُعۡسِرِ حَتَّى يَسۡتَطِيعَ
14. Bab kerasnya pengharaman jimak di siang hari bulan Ramadan bagi orang yang berpuasa, wajibnya kafarat yang besar padanya, dan bahwa kafarat tersebut wajib bagi orang yang memiliki kelapangan maupun kesulitan serta tetap menjadi tanggungan orang yang kesulitan sampai dia mampu

٨١ – (١١١١) – حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ يَحۡيَىٰ وَأَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ وَزُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ وَابۡنُ نُمَيۡرٍ. كُلُّهُمۡ عَنِ ابۡنِ عُيَيۡنَةَ. قَالَ يَحۡيَىٰ: أَخۡبَرَنَا سُفۡيَانُ بۡنُ عُيَيۡنَةَ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ حُمَيۡدِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: هَلَكۡتُ يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: (وَمَا أَهۡلَكَكَ؟) قَالَ: وَقَعۡتُ عَلَى امۡرَأَتِي فِي رَمَضَانَ. قَالَ: (هَلۡ تَجِدُ مَا تُعۡتِقُ رَقَبَةً؟) قَالَ: لَا. قَالَ: (فَهَلۡ تَسۡتَطِيعُ أَنۡ تَصُومَ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ؟) قَالَ: لَا. قَالَ: (فَهَلۡ تَجِدُ مَا تُطۡعِمُ سِتِّينَ مِسۡكِينًا؟) قَالَ: لَا. قَالَ: ثُمَّ جَلَسَ. فَأُتِيَ النَّبِيُّ ﷺ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمۡرٌ، فَقَالَ: (تَصَدَّقۡ بِهٰذَا) قَالَ: أَفۡقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيۡنَ لَابَتَيۡهَا أَهۡلُ بَيۡتٍ أَحۡوَجُ إِلَيۡهِ مِنَّا. فَضَحِكَ النَّبِيُّ ﷺ حَتَّىٰ بَدَتۡ أَنۡيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: (اذۡهَبۡ فَأَطۡعِمۡهُ أَهۡلَكَ).
81. (1111). Yahya bin Yahya, Abu Bakr bin Abu Syaibah, Zuhair bin Harb, dan Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami. Mereka semuanya dari Ibnu ‘Uyainah. Yahya mengatakan: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri, dari Humaid bin ‘Abdurrahman, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: Aku telah binasa, wahai Rasulullah. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu binasa?” Orang itu berkata: Aku menggauli istriku di (siang hari) bulan Ramadan. Beliau bertanya, “Apakah engkau mendapati sesuatu untuk membebaskan seorang budak?” Orang itu menjawab: Tidak. Beliau bertanya, “Apakah engkau mampu untuk berpuasa dua bulan berturut-turut?” Orang itu menjawab: Tidak. Beliau bertanya, “Apakah engkau mendapati sesuatu untuk memberi makan enam puluh orang miskin?” Orang itu menjawab: Tidak. Beliau berkata: Kemudian orang itu duduk. Lalu sekeranjang kurma didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Sedekahkanlah ini!” Orang itu bertanya: Apakah kepada orang yang lebih fakir daripada kami? Tidak ada satu keluarga pun di antara dua tanah berbatu ini yang lebih membutuhkan kurma ini daripada kami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai terlihat gigi-gigi taringnya, kemudian beliau bersabda, “Pergilah dan berilah ini untuk makan keluargamu!” 
(...) – حَدَّثَنَا إِسۡحَاقُ بۡنُ إِبۡرَاهِيمَ: أَخۡبَرَنَا جَرِيرٌ، عَنۡ مَنۡصُورٍ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ مُسۡلِمٍ الزُّهۡرِيِّ، بِهٰذَا الۡإِسۡنَادِ، مِثۡلَ رِوَايَةِ ابۡنِ عُيَيۡنَةَ. وَقَالَ: بِعَرَقٍ فِيهِ تَمۡرٌ: وَهُوَ الزِّنۡبِيلُ. وَلَمۡ يَذۡكُرۡ: فَضَحِكَ النَّبِيُّ ﷺ حَتَّىٰ بَدَتۡ أَنۡيَابُهُ.
Ishaq bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami: Jarir mengabarkan kepada kami, dari Manshur, dari Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, dengan sanad ini, semisal riwayat Ibnu ‘Uyainah. Beliau berkata: satu ‘araq berisi kurma dan ‘araq adalah keranjang besar. Beliau tidak menyebutkan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai terlihat gigi-gigi taringnya.
٨٢ – (...) – حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ يَحۡيَىٰ وَمُحَمَّدُ بۡنُ رُمۡحٍ. قَالَا: أَخۡبَرَنَا اللَّيۡثُ. (ح) وَحَدَّثَنَا قُتَيۡبَةُ: حَدَّثَنَا لَيۡثٌ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ حُمَيۡدِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ بۡنِ عَوۡفٍ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ؛ أَنَّ رَجُلًا وَقَعَ بِامۡرَأَتِهِ فِي رَمَضَانَ، فَاسۡتَفۡتَىٰ رَسُولَ اللهِ ﷺ عَنۡ ذٰلِكَ فَقَالَ: (هَلۡ تَجِدُ رَقَبَةً؟) قَالَ: لَا. قَالَ: (وَهَلۡ تَسۡتَطِيعُ صِيَامَ شَهۡرَيۡنِ؟) قَالَ: لَا. قَالَ: (فَأَطۡعِمۡ سِتِّينَ مِسۡكِينًا).
82. Yahya bin Yahya dan Muhammad bin Rumh telah menceritakan kepada kami. Keduanya berkata: Al-Laits mengabarkan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Qutaibah telah menceritakan kepada kami: Laits menceritakan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari Humaid bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; Bahwa ada seseorang menggauli istrinya di (siang hari) bulan Ramadan. Orang itu meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang itu. Nabi bertanya, “Apakah engkau mendapati seorang budak (untuk dibebaskan)?” Orang itu menjawab: Tidak. Nabi bertanya, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan?” Orang itu menjawab: Tidak. Nabi bersabda, “Berilah makan enam puluh orang miskin!”
٨٣ – (...) – وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ رَافِعٍ: حَدَّثَنَا إِسۡحَاقُ بۡنُ عِيسَىٰ: أَخۡبَرَنَا مَالِكٌ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ بِهٰذَا الۡإِسۡنَادِ؛ أَنَّ رَجُلًا أَفۡطَرَ فِي رَمَضَانَ، فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنۡ يُكَفِّرَ بِعِتۡقِ رَقَبَةٍ، ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثۡلِ حَدِيثِ ابۡنِ عُيَيۡنَةَ.
83. Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepada kami: Ishaq bin ‘Isa menceritakan kepada kami: Malik mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri dengan sanad ini; Bahwa seseorang batal puasanya di bulan Ramadan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk membayar kafarat dengan membebaskan seorang budak, kemudian beliau menyebutkan semisal hadis Ibnu ‘Uyainah.
٨٤ – (...) – حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ رَافِعٍ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ: أَخۡبَرَنَا ابۡنُ جُرَيۡجٍ: حَدَّثَنِي ابۡنُ شِهَابٍ، عَنۡ حُمَيۡدِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ؛ أَنَّ أَبَا هُرَيۡرَةَ حَدَّثَهُ؛ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَمَرَ رَجُلًا أَفۡطَرَ فِي رَمَضَانَ أَنۡ يُعۡتِقَ رَقَبَةً، أَوۡ يَصُومَ شَهۡرَيۡنِ، أَوۡ يُطۡعِمَ سِتِّينَ مِسۡكِينًا.
84. Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepada kami: ‘Abdurrazzaq menceritakan kepada kami: Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami: Ibnu Syihab menceritakan kepadaku, dari Humaid bin ‘Abdurrahman; Bahwa Abu Hurairah menceritakan kepadanya; Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seseorang yang batal puasa di bulan Ramadan untuk membebaskan seorang budak, atau berpuasa dua bulan, atau memberi makan enam puluh orang miskin.
(...) – حَدَّثَنَا عَبۡدُ بۡنُ حُمَيۡدٍ: أَخۡبَرَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ: أَخۡبَرَنَا مَعۡمَرٌ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، بِهٰذَا الۡإِسۡنَادِ، نَحۡوَ حَدِيثِ ابۡنِ عُيَيۡنَةَ.
‘Abd bin Humaid telah menceritakan kepada kami: ‘Abdurrazzaq mengabarkan kepada kami: Ma’mar mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri, dengan sanad ini, semisal hadis Ibnu ‘Uyainah.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1131

٧ – بَابُ مَنۡ نَامَ عِنۡدَ السَّحَرِ
7. Bab barang siapa tidur ketika waktu sahur

١١٣١ – حَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ قَالَ: حَدَّثَنَا عَمۡرُو بۡنُ دِينَارٍ: أَنَّ عَمۡرَو بۡنَ أَوۡسٍ أَخۡبَرَهُ: أَنَّ عَبۡدَ اللهِ بۡنَ عَمۡرِو بۡنِ الۡعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا أَخۡبَرَهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ لَهُ: (أَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيۡهِ السَّلَامُ، وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَكَانَ يَنَامُ نِصۡفَ اللَّيۡلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ، وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَيَصُومُ يَوۡمًا وَيُفۡطِرُ يَوۡمًا).
[الحديث ١١٣١ – أطرافه في: ١١٥٢، ١١٥٣، ١٩٧٤، ١٩٧٥، ١٩٧٦، ١٩٧٧، ١٩٧٨، ١٩٧٩، ١٩٨٠، ٣٤١٨، ٣٤١٩، ٣٤٢٠، ٥٠٥٢، ٥٠٥٤، ٥١٩٩، ٦١٣٤، ٦٢٧٧].
1131. ‘Ali bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Sufyan menceritakan kepada kami, beliau berkata: ‘Amr bin Dinar menceritakan kepada kami: Bahwa ‘Amr bin Aus mengabarkan kepadanya: Bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan kepadanya: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Salat yang paling dicintai Allah adalah salat Dawud ‘alaihis salam dan puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Dawud. Beliau tidur pada setengah malam, bangun salat malam sepertiga malam, lalu tidur seperenam malam. Beliau puasa sehari dan tidak berpuasa sehari.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1141

١١ – بَابُ قِيَامِ النَّبِيِّ ﷺ بِاللَّيۡلِ وَنَوۡمِهِ، وَمَا نُسِخَ مِنۡ قِيَامِ اللَّيۡلِ
11. Bab salat malam dan tidurnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dihapus dari salat malam

وَقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿يَا أَيُّهَا الۡمُزَّمِّلُ ۞ قُمِ اللَّيۡلَ إِلَّا قَلِيلًا ۞ نِصۡفَهُ أَوِ انۡقُصۡ مِنۡهُ قَلِيلًا ۞أَوۡ زِدۡ عَلَيۡهِ وَرَتِّلِ الۡقُرۡآنَ تَرۡتِيلًا ۞ إِنَّا سَنُلۡقِي عَلَيۡكَ قَوۡلًا ثَقِيلًا ۞ إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيۡلِ هِيَ أَشَدُّ وِطَاءً وَأَقۡوَمُ قِيلًا ۞ إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبۡحًا طَوِيلًا﴾ [المزمل: ١-٧] وَقَوۡلِهِ: ﴿عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۖ فَٱقْرَءُوا۟ مَا تَيَسَّرَ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ ۚ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَىٰ ۙ وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ ۙ وَءَاخَرُونَ يُقَـٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ فَٱقْرَءُوا۟ مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ۚ وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَو‌ٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَو‌ٰةَ وَأَقْرِضُوا۟ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا﴾ [المزمل: ٢٠]. قَالَ ابۡنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا: نَشَأَ: قَامَ، بِالۡحَبَشِيَّةِ. ﴿وِطَاءً﴾ قَالَ: مُوَاطَأَةَ الۡقُرۡآنِ، أَشَدُّ مُوَافَقَةً لِسَمۡعِهِ وَبَصَرِهِ وَقِلۡبِهِ. ﴿لِيُوَاطِئُوا﴾ [التوبة: ٣٦]: لِيُوَافِقُوا.
Dan firman Allah taala, “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangi sedikit dari seperdua itu, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).” (QS. Al-Muzzammil: 1-7). Dan firman Allah, “Allah mengetahui bahwa kalian sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepada kalian, karena itu bacalah apa yang mudah (bagi kalian) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kalian orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagi kalian) dari Al Quran dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kalian perbuat untuk diri kalian niscaya kalian memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.” (QS. Al-Muzzammil: 20). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: nasya`a artinya berdiri menurut bahasa Habasyah (Etiopia). Witha`an, beliau berkata: kecocokan dengan Al Quran, yaitu lebih berkesan untuk pendengaran, pandangan, dan hatinya. Liyuwathi`u (QS. At-Taubah: 37) artinya: agar mereka menyesuaikan.
١١٤١ – حَدَّثَنَا عَبۡدُ الۡعَزِيزِ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ جَعۡفَرٍ، عَنۡ حُمَيۡدٍ: أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسًا رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ يَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُفۡطِرُ مِنَ الشَّهۡرِ حَتَّى نَظُنُّ أَنۡ لَا يَصُومَ مِنۡهُ، وَيَصُومُ حَتَّى نَظُنَّ أَنۡ لَا يُفۡطِرَ مِنۡهُ شَيۡئًا، وَكَانَ لَا تَشَاءُ أَنۡ تَرَاهُ مِنَ اللَّيۡلِ مُصَلِّيًا إِلَّا رَأَيۡتَهُ، وَلَا نَئِمًا إِلَّا رَأَيۡتَهُ. تَابَعَهُ سُلَيۡمَانُ وَأَبُو خَالِدٍ الۡأَحۡمَرُ، عَنۡ حُمَيۡدٍ. [الحديث ١١٤١ – أطرافه في: ١٩٧٢، ١٩٧٣، ٣٥٦١].
1141. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Muhammad bin Ja’far menceritakan kepadaku, dari Humaid: Bahwa beliau mendengar Anas radhiyallahu ‘anhu mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak berpuasa di satu bulan sampai kami mengira bahwa beliau tidak pernah berpuasa di bulan itu. Dan beliau pernah berpuasa sampai kami mengira bahwa beliau tidak pernah tidak berpuasa di bulan itu. Dan tidaklah engkau ingin melihat beliau di malam hari dalam keadaan salat kecuali engkau akan dapat melihatnya atau dalam keadaan tidur kecuali engkau akan dapat melihatnya. Sulaiman dan Abu Khalid Al-Ahmad mengiringi Muhammad bin Ja’far dari Humaid.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 6465

٦٤٦٥ – حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ عَرۡعَرَةَ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ، عَنۡ سَعۡدِ بۡنِ إِبۡرَاهِيمَ، عَنۡ أَبِي سَلَمَةَ، عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا أَنَّهَا قَالَتۡ: سُئِلَ النَّبِيُّ ﷺ: أَيُّ الۡأَعۡمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: (أَدۡوَمُهَا وَإِنۡ قَلَّ). وَقَالَ: (اكۡلَفُوا مِنَ الۡأَعۡمَالِ مَا تُطِيقُونَ). [طرفه في: ١٩٦٩].
6465. Muhammad bin ‘Ar’arah telah menceritakan kepadaku: Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Sa’d bin Ibrahim, dari Abu Salamah, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa beliau mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, amal apakah yang paling dicintai Allah? Beliau bersabda, “Yang berkesinambungan meskipun sedikit.” Beliau juga bersabda, “Bebanilah dengan amalan-amalan yang kalian sanggupi.”

Shahih Muslim hadits nomor 1110

٧٩ – (١١١٠) – حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ أَيُّوبَ وَقُتَيۡبَةُ بۡنُ وَابۡنُ حُجۡرٍ. قَالَ ابۡنُ أَيُّوبَ: حَدَّثَنَا إِسۡمَاعِيلُ بۡنُ جَعۡفَرٍ: أَخۡبَرَنِي عَبۡدُ اللهِ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ – وَهُوَ ابۡنُ مَعۡمَرِ بۡنِ حَزۡمٍ الۡأَنۡصَارِيُّ أَبُو طُوَالَةَ – أَنَّ أَبَا يُونُسَ مَوۡلَىٰ عَائِشَةَ أَخۡبَرَهُ، عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا؛ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَىٰ النَّبِيِّ ﷺ يَسۡتَفۡتِيهِ، وَهِيَ تَسۡمَعُ مِنۡ وَرَاءِ الۡبَابِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، تُدۡرِكُنِي الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ، أَفَأَصُومُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (وَأَنَا تُدۡرِكُنِي الصَّلَاةُ وَأَنَا جُنُبٌ، فَأَصُومُ) فَقَالَ: لَسۡتَ مِثۡلَنَا يَا رَسُولَ اللهِ، قَدۡ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنۡ ذَنۡبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. فَقَالَ: (وَاللهِ، إِنِّي لَأَرۡجُو أَنۡ أَكُونَ أَخۡشَاكُمۡ لِلهِ، وَأَعۡلَمَكُمۡ بِمَا أَتَّقِي).
79. (1110). Yahya bin Ayyub, Qutaibah, dan Ibnu Hujr telah menceritakan kepada kami. Ibnu Ayyub mengatakan: Isma’il bin Ja’far menceritakan kepada kami: ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Ma’mar bin Hazm Al-Anshari Abu Thuwalah mengabarkan kepadaku: Bahwa Abu Yunus maula ‘Aisyah mengabarkan kepadanya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha; Bahwa seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta fatwa beliau dalam keadaan ‘Aisyah mendengar dari belakang pintu. Orang itu berkata: Wahai Rasulullah, aku mendapati masuk waktu salat subuh dalam keadaan junub, apakah aku boleh berpuasa? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku pun pernah mendapati sudah masuk waktu salat subuh dalam keadaan junub, lalu aku berpuasa.” Orang itu berkata: Engkau tidak seperti kami, wahai Rasulullah. Allah telah mengampuni dosamu yang dahulu dan yang akan datang. Nabi bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku berharap menjadi orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling berilmu terhadap apa yang aku jauhi.”

Shahih Muslim hadits nomor 1109

١٣ – بَابُ صِحَّةِ صَوۡمِ مَنۡ طَلَعَ عَلَيۡهِ الۡفَجۡرُ وَهُوَ جُنُبٌ
13. Bab sahnya puasa siapa saja yang masih dalam keadaan junub ketika fajar terbit

٧٥ – (١١٠٩) – حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ سَعِيدٍ، عَنِ ابۡنِ جُرَيۡجٍ. (ح) وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ رَافِعٍ – وَاللَّفۡظُ لَهُ -: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ بۡنُ هَمَّامٍ: أَخۡبَرَنَا ابۡنُ جُرَيۡجٍ: أَخۡبَرَنِي عَبۡدُ الۡمَلِكِ بۡنُ أَبِي بَكۡرِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ، عَنۡ أَبِي بَكۡرٍ، قَالَ: سَمِعۡتُ أَبَا هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ يَقُصُّ، يَقُولُ فِي قَصَصِهِ: مَنۡ أَدۡرَكَهُ الۡفَجۡرُ جُنُبًا فَلَا يَصُمۡ. فَذَكَرۡتُ ذٰلِكَ لِعَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ بۡنِ الۡحَارِثِ – لِأَبِيهِ – فَأَنۡكَرَ ذٰلِكَ. فَانۡطَلَقَ عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ وَانۡطَلَقۡتُ مَعَهُ حَتَّىٰ دَخَلۡنَا عَلَىٰ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا، فَسَأَلَهُمَا عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ عَنۡ ذٰلِكَ، قَالَ: فَكِلۡتَاهُمَا قَالَتۡ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُصۡبِحُ جُنُبًا مِنۡ غَيۡرِ حُلُمٍ ثُمَّ يَصُومُ. قَالَ: فَانۡطَلَقۡنَا حَتَّى دَخَلۡنَا عَلَىٰ مَرۡوَانَ، فَذَكَرَ ذٰلِكَ لَهُ عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ. فَقَالَ مَرۡوَانُ: عَزَمۡتُ عَلَيۡكَ إِلَّا مَا ذَهَبۡتَ إِلَىٰ أَبِي هُرَيۡرَةَ، فَرَدَدۡتَ عَلَيۡهِ مَا يَقُولُ. قَالَ: فَجِئۡنَا أَبَا هُرَيۡرَةَ، وَأَبُو بَكۡرٍ حَاضِرُ ذٰلِكَ كُلِّهِ، قَالَ: فَذَكَرَ لَهُ عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ. فَقَالَ أَبُو هُرَيۡرَةَ: أَهُمَا قَالَتَاهُ لَكَ؟ قَالَ: نَعَمۡ. قَالَ: هُمَا أَعۡلَمُ.
ثُمَّ رَدَّ أَبُو هُرَيۡرَةَ مَا كَانَ يَقُولُ فِي ذٰلِكَ إِلَى الۡفَضۡلِ بۡنِ الۡعَبَّاسِ. فَقَالَ أَبُو هُرَيۡرَةَ: سَمِعۡتُ ذٰلِكَ مِنَ الۡفَضۡلِ، وَلَمۡ أَسۡمَعۡهُ مِنَ النَّبِيِّ ﷺ.
قَالَ: فَرَجَعَ أَبُو هُرَيۡرَةَ عَمَّا كَانَ يَقُولُ فِي ذٰلِكَ.
قُلۡتُ: لِعَبۡدِ الۡمَلِكِ: أَقَالَتَا: فِي رَمَضَانَ؟ قَالَ: كَذٰلِكَ. كَانَ يُصۡبِحُ جُنُبًا مِنۡ غَيۡرِ حُلُمٍ ثُمَّ يَصُومُ.
75. (1109). Muhammad bin Hatim telah menceritakan kepadaku: Yahya bin Sa’id menceritakan kepada kami, dari Ibnu Juraij. (Dalam riwayat lain) Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepadaku –dan redaksi hadis ini milik beliau-: ‘Abdurrazzaq bin Hammam menceritakan kepada kami: Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami: ‘Abdul Malik bin Abu Bakr bin ‘Abdurrahman mengabarkan kepadaku, dari Abu Bakr, beliau berkata: Aku mendengar Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkisah. Beliau mengatakan di dalam kisahnya: Siapa saja yang mendapati waktu fajar dalam keadaan junub, maka jangan puasa. Aku menyebutkan hal itu kepada ‘Abdurrahman ibnul Harits, yaitu ayah Abu Bakr, beliau pun mengingkarinya. ‘Abdurrahman berangkat menemui ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma dan aku ikut pergi bersamanya. ‘Abdurrahman bertanya kepada keduanya mengenai hal itu. Beliau berkata: Masing-masing keduanya mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk waktu subuh dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau berpuasa. Beliau berkata: Kami pergi sampai bertemu Marwan dan ‘Abdurrahman menceritakan hal itu kepadanya. Marwan berkata: Aku menyumpahmu untuk pergi kepada Abu Hurairah, lalu menyanggah ucapannya. Beliau berkata: Kami pun mendatangi Abu Hurairah dalam keadaan Abu Bakr menghadiri semua peristiwa itu. Beliau berkata: ‘Abdurrahman menceritakan kepadanya. Abu Hurairah berkata: Apakah keduanya mengatakan hal itu kepadamu? Beliau berkata: Ya. Abu Hurairah berkata: Keduanya lebih mengetahui.
Kemudian Abu Hurairah menyandarkan ucapannya yang dulu tentang hal itu kepada Al-Fadhl ibnul ‘Abbas. Abu Hurairah berkata: Aku mendengar hal itu dari Al-Fadhl dan aku tidak mendengarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau berkata: Abu Hurairah pun rujuk dari pendapat beliau yang dulu tentang hal itu.
Aku berkata kepada ‘Abdul Malik: Apakah keduanya mengatakan: Di bulan Ramadan? Beliau berkata: Memang begitu. Beliau pernah masuk waktu subuh dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah kemudian beliau berpuasa. 
٧٦ – (...) – وَحَدَّثَنِي حَرۡمَلَةُ بۡنُ يَحۡيَىٰ. قَالَ: أَخۡبَرَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ عُرۡوَةَ بۡنِ الزُّبَيۡرِ وَأَبِي بَكۡرِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ؛ أَنَّ عَائِشَةَ زَوۡجَ النَّبِيِّ ﷺ قَالَتۡ: قَدۡ كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُدۡرِكُهُ الۡفَجۡرُ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ، مِنۡ غَيۡرِ حُلُمٍ فَيَغۡتَسِلُ وَيَصُومُ.
76. Harmalah bin Yahya telah menceritakan kepadaku. Beliau berkata: Ibnu Wahb mengabarkan kepada kami: Yunus mengabarkan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari ‘Urwah ibnuz Zubair dan Abu Bakr bin ‘Abdurrahman; Bahwa ‘Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar di bulan Ramadan dalam keadaan junub. Bukan karena mimpi basah. Lalu beliau mandi dan berpuasa.
٧٧ – (...) – حَدَّثَنِي هَارُونُ بۡنُ سَعِيدٍ الۡأَيۡلِيُّ: حَدَّثَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي عَمۡرٌو - وَهُوَ ابۡنُ الۡحَارِثِ – عَنۡ عَبۡدِ رَبِّهِ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ كَعۡبٍ الۡحِمۡيَرِيِّ؛ أَنَّ أَبَا بَكۡرٍ حَدَّثَهُ؛ أَنَّ مَرۡوَانَ أَرۡسَلَهُ إِلَىٰ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا، يَسۡأَلُ عَنِ الرَّجُلِ يُصۡبِحُ جُنُبًا، أَيَصُومُ؟ فَقَالَتۡ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُصۡبِحُ جُنُبًا مِنۡ جِمَاعٍ، لَا مِنۡ حُلُمٍ، ثُمَّ لَا يُفۡطِرُ وَلَا يَقۡضِي.
77. Harun bin Sa’id Al-Aili telah menceritakan kepadaku: Ibnu Wahb menceritakan kepada kami: ‘Amr ibnul Harits mengabarkan kepadaku dari ‘Abdu Rabbih, dari ‘Abdullah bin Ka’b Al-Himyari; Bahwa Abu Bakr menceritakan kepadanya: Bahwa Marwan mengutusnya kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha untuk bertanya tetang seseorang yang masuk waktu subuh dalam keadaan junub. Apakah dia berpuasa? Ummu Salamah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk subuh dalam keadaan junub karena jimak, bukan karena mimpi basah. Kemudian beliau tidak membatalkan puasa dan tidak pula menggantinya.
٧٨ – (...) – حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ يَحۡيَىٰ قَالَ: قَرَأۡتُ عَلَىٰ مَالِكٍ، عَنۡ عَبۡدِ رَبِّهِ بۡنِ سَعِيدٍ، عَنۡ أَبِي بَكۡرِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ بۡنِ الۡحَارِثِ بۡنِ هِشَامٍ، عَنۡ عَائِشَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ، زَوۡجَيِ النَّبِيِّ ﷺ؛ أَنَّهُمَا قَالَتَا: إِنۡ كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ لَيُصۡبِحُ جُنُبًا مِنۡ جِمَاعٍ، غَيۡرِ احۡتِلَامٍ، فِي رَمَضَانَ، ثُمَّ يَصُومُ.
78. Yahya bin Yahya telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Aku membaca di hadapan Malik, dari ‘Abdu Rabbih bin Sa’id, dari Abu Bakr bin ‘Abdurrahman ibnul Harits bin Hisyam, dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah, yaitu dua istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; Bahwa keduanya mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar pernah masuk waktu subuh dalam keadaan junub akibat jimak, bukan karena mimpi basah, di bulan Ramadan, kemudian beliau tetap berpuasa.
٨٠ – (١١٠٩) – حَدَّثَنَا أَحۡمَدُ بۡنُ عُثۡمَانَ النَّوۡفَلِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ: حَدَّثَنَا ابۡنُ جُرَيۡجٍ: أَخۡبَرَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ يُوسُفَ، عَنۡ سُلَيۡمَانَ بۡنِ يَسَارٍ؛ أَنَّهُ سَأَلَ أُمَّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا: عَنِ الرَّجُلِ يُصۡبِحُ جُنُبًا، أَيَصُومُ؟ قَالَتۡ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُصۡبِحُ جُنُبًا، مِنۡ غَيۡرِ احۡتِلَامٍ، ثُمَّ يَصُومُ.
80. (1109). Ahmad bin ‘Utsman An-Naufali telah menceritakan kepada kami: Abu ‘Ashim menceritakan kepada kami: Ibnu Juraij menceritakan kepada kami: Muhammad bin Yusuf mengabarkan kepadaku, dari Sulaiman bin Yasar; Bahwa beliau bertanya kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha tentang seseorang yang masuk waktu subuh dalam keadaan junub, apakah dia boleh berpuasa? Ummu Salamah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk waktu subuh dalam keadaan junub, bukan karena mimpi basah, kemudian beliau berpuasa.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 6139

٨٦ – بَابُ صُنۡعِ الطَّعَامِ وَالتَّكَلُّفِ لِلضَّيۡفِ
86. Bab membuatkan makanan dan membebani diri untuk menjamu tamu

٦١٣٩ – حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ بَشَّارٍ: حَدَّثَنَا جَعۡفَرُ بۡنُ عَوۡنٍ: حَدَّثَنَا أَبُو الۡعُمَيۡسِ، عَنۡ عَوۡنِ بۡنِ أَبِي جُحَيۡفَةَ، عَنۡ أَبِيهِ قَالَ: آخَى النَّبِيُّ ﷺ بَيۡنَ سَلۡمَانَ وَأَبِي الدَّرۡدَاءِ، فَزَارَ سَلۡمَانُ أَبَا الدَّرۡدَاءِ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرۡدَاءِ مُتَبَذِّلَةً، فَقَالَ لَهَا: مَا شَأۡنُكِ؟ قَالَتۡ: أَخُوكَ أَبُو الدَّرۡدَاءِ لَيۡسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنۡيَا، فَجَاءَ أَبُو الدَّرۡدَاءِ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا، فَقَالَ: كُلۡ فَإِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأۡكُلَ، فَأَكَلَ، فَلَمَّا كَانَ اللَّيۡلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرۡدَاءِ يَقُومُ، فَقَالَ: نَمۡ، فَنَامَ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ، فَقَالَ: نَمۡ، فَلَمَّا كَانَ آخِرُ اللَّيۡلِ، قَالَ سَلۡمَانُ: قُمِ الۡآنَ، قَالَ: فَصَلَّيَا، فَقَالَ لَهُ سَلۡمَانُ: إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيۡكَ حَقًّا، وَلِنَفۡسِكَ عَلَيۡكَ حَقًّا، وَلِأَهۡلِكَ عَلَيۡكَ حَقًّا، فَأَعۡطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَأَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَذَكَرَ ذٰلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (صَدَقَ سَلۡمَانُ). أَبُو جُحَيۡفَةَ وَهۡبٌ السُّوَائِيُّ، يُقَالُ: وَهۡبُ الۡخَيۡرِ. [طرفه في: ١٩٦٨].
6139. Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami: Ja’far bin ‘Aun menceritakan kepada kami: Abul ‘Umais menceritakan kepada kami, dari ‘Aun bin Abu Juhaifah, dari ayahnya, beliau berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dengan Abud Darda`. Suatu ketika, Salman mengunjungi Abud Darda`. Salman melihat Ummud Darda` dalam keadaan memakai pakaian kerja. Salman bertanya kepadanya: Kenapa engkau? Ummud Darda` menjawab: Saudaramu, yaitu Abud Darda`, tidak memiliki kebutuhan apapun terhadap dunia. Abud Darda` datang lalu membuatkan makanan untuk Salman. Abud Darda` berkata: Makanlah! Aku sedang puasa. Salman berkata: Aku tidak akan makan sampai engkau ikut makan. Abud Darda` pun makan. Tatkala malam tiba, Abud Darda` beranjak untuk salat malam, namun Salman berkata: Tidurlah! Abud Darda` tidur lalu beranjak ingin salat. Namun Salman berkata: Tidurlah! Ketika sudah tiba akhir malam, Salman berkata: Bangunlah sekarang! Beliau berkata: Keduanya melakukan salat. Salman berkata kepada Abud Darda`: Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak atasmu, dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu memiliki hak atasmu. Jadi, berikanlah hak kepada setiap yang memiliki hak. Abud Darda` lalu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan hal itu kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salman benar.” Abu Juhaifah adalah Wahb As-Suwa`i, ada yang mengatakan: Wahb Al-Khair.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 7299

٥ – بَابُ مَا يُكۡرَهُ مِنَ التَّعَمُّقِ وَالتَّنَازُعِ فِي الۡعِلۡمِ، وَالۡغُلُوِّ فِي الدِّينِ وَالۡبِدَعِ
5. Bab dibencinya sikap melampaui batas, berdebat dalam masalah ilmu, dan berlebih-lebihan di dalam agama dan bidah

لِقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿يَا أَهۡلَ الۡكِتَابِ لَا تَغۡلُوا فِي دِينِكُمۡ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللهِ إِلَّا الۡحَقَّ﴾ [النساء: ١٧١].
Berdasarkan firman Allah taala, “Wahai ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas di dalam agama kalian dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS. An-Nisa: 171).
٧٢٩٩ – حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ مُحَمَّدٍ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ: أَخۡبَرَنَا مَعۡمَرٌ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ أَبِي سَلَمَةَ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (لَا تُوَاصِلُوا). قَالُوا: إِنَّكَ تُوَاصِلُ، قَالَ: (إِنِّي لَسۡتُ مِثۡلَكُمۡ، إِنِّي أَبِيتُ يُطۡعِمُنِي رَبِّي وَيَسۡقِينِي). فَلَمۡ يَنۡتَهُوا عَنِ الۡوِصَالِ، قَالَ: فَوَاصَلَ بِهِمُ النَّبِيُّ ﷺ يَوۡمَيۡنِ، أَوۡ لَيۡلَتَيۡنِ، ثُمَّ رَأَوُا الۡهِلَالَ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (لَوۡ تَأَخَّرَ الۡهِلَالُ لَزِدۡتُكُمۡ). كَالۡمُنَكِّلِ لَهُمۡ. [طرفه في: ١٩٦٥].
7299. ‘Abdullah bin Muhammad telah menceritakan kepada kami: Hisyam menceritakan kepada kami: Ma’mar mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, beliau berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyambung puasa tanpa berbuka!” Para sahabat berkata: Engkau sendiri menyambung puasa tanpa berbuka. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak seperti kalian. Sesungguhnya aku bermalam dalam keadaan Rabbku memberiku makan dan minum.” Namun, para sahabat tetap tidak berhenti dari menyambung puasa tanpa berbuka. Abu Hurairah berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyambung puasa bersama mereka tanpa berbuka selama dua hari atau dua malam. Kemudian mereka melihat hilal, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya hilal tertunda, niscaya aku tambah kalian.” Seakan-akan beliau menghukum mereka.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 7242

٧٢٤٢ – حَدَّثَنَا أَبُو الۡيَمَانِ: أَخۡبَرَنَا شُعَيۡبٌ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، وَقَالَ اللَّيۡثُ: حَدَّثَنِي عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ بۡنُ خَالِدٍ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ: أَنَّ سَعِيدَ بۡنَ الۡمُسَيَّبِ أَخۡبَرَهُ: أَنَّ أَبَا هُرَيۡرَةَ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنِ الۡوِصَالِ، قَالُوا: فَإِنَّكَ تُوَاصِلُ، قَالَ: (أَيُّكُمۡ مِثۡلِي؟ إِنِّي أَبِيتُ يُطۡعِمُنِي رَبِّي وَيَسۡقِينِ). فَلَمَّا أَبَوۡا أَنۡ يَنۡتَهُوا، وَاصَلَ بِهِمۡ يَوۡمًا ثُمَّ يَوۡمًا، ثُمَّ رَأَوُا الۡهِلَالَ، فَقَالَ: (لَوۡ تَأَخَّرَ لَزِدۡتُكُمۡ). كَالۡمُنَكِّلِ لَهُمۡ. [طرفه في: ١٩٦٥].
7242. Abul Yaman telah menceritakan kepada kami: Syu’aib mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri. Al-Laits mengatakan: ‘Abdurrahman bin Khalid menceritakan kepadaku, dari Ibnu Syihab: Bahwa Sa’id ibnul Musayyab mengabarkan kepadanya: Bahwa Abu Hurairah mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari puasa wishal (menyambung puasa tanpa berbuka). Mereka berkata: Engkau sendiri melakukan puasa wishal. Beliau bersabda, “Adakah di antara kalian seperti aku? Sesungguhnya aku bermalam dalam keadaan Rabbku memberiku makan dan minum.” Ketika mereka enggan untuk berhenti, beliau puasa wishal bersama mereka sehari kemudian sehari lagi. Kemudian mereka melihat hilal. Nabi bersabda, “Seandainya hilal tertunda, niscaya aku tambah kalian untuk puasa wishal.” Seakan-akan beliau memberi hukuman untuk mereka.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 6851

٦٨٥١ – حَدَّثَنَا يَحۡيَى بۡنُ بُكَيۡرٍ: حَدَّثَنَا اللَّيۡثُ، عَنۡ عُقَيۡلٍ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ: حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ: أَنَّ أَبَا هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنِ الۡوِصَالِ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنَ الۡمُسۡلِمِينَ: فَإِنَّكَ يَا رَسُولَ اللهِ تُوَاصِلُ؟! فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (أَيُّكُمۡ مِثۡلِي؟! إِنِّي أَبِيتُ يُطۡعِمُنِي رَبِّي وَيَسۡقِينِ). فَلَمَّا أَبَوۡا أَنۡ يَنۡتَهُوا عَنِ الۡوِصَالِ وَاصَلَ بِهِمۡ يَوۡمًا، ثُمَّ يَوۡمًا، ثُمَّ رَأَوُا الۡهِلَالَ، فَقَالَ: (لَوۡ تَأَخَّرَ لَزِدۡتُكُمۡ). كَالۡمُنَكِّلِ بِهِمۡ حِينَ أَبَوۡا. تَابَعَهُ شُعَيۡبٌ، وَيَحۡيَى بۡنُ سَعِيدٍ، وَيُونُسُ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ. وَقَالَ عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ بۡنُ خَالِدٍ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ سَعِيدٍ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ.
[طرفه في: ١٩٦٥].
6851. Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami: Al-Laits menceritakan kepada kami, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihab: Abu Salamah menceritakan kepada kami: Bahwa Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wishal (menyambung puasa tanpa berbuka). Ada seorang muslim berkata kepada beliau: Namun engkau melakukan wishal, wahai Rasulullah?! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa di antara kalian yang seperti aku?! Sesungguhnya aku bermalam dalam keadaan diberi makan dan minum oleh Rabbku.” Ketika mereka tetap enggan berhenti wishal, beliau pun wishal bersama mereka sehari, kemudian sehari berikutnya. Kemudian mereka melihat hilal. Nabi bersabda, “Seandainya hilal tertunda, tentu aku akan tambah kalian (puasa wishal).” Seakan-akan beliau menghukum mereka karena mereka enggan (berhenti). Syu’aib, Yahya bin Sa’id, dan Yunus mengiringi ‘Uqail dari Az-Zuhri. ‘Abdurrahman bin Khalid mengatakan, dari Ibnu Syihab, dari Sa’id, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 7241

٧٢٤١ – حَدَّثَنَا عَيَّاشُ بۡنُ الۡوَلِيدِ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الۡأَعۡلَى: حَدَّثَنَا حُمَيۡدٌ، عَنۡ ثَابِتٍ، عَنۡ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: وَاصَلَ النَّبِيُّ ﷺ آخِرَ الشَّهۡرِ، وَوَاصَلَ أُنَاسٌ مِنَ النَّاسِ، فَبَلَغَ النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَ: (لَوۡ مُدَّ بِيَ الشَّهۡرُ، لَوَاصَلۡتُ وِصَالًا يَدَعُ الۡمُتَعَمِّقُونَ تَعَمُّقَهُمۡ، إِنِّي لَسۡتُ مِثۡلَكُمۡ، إِنِّي أَظَلُّ يُطۡعِمُنِي رَبِّي وَيَسۡقِينِ). تَابَعَهُ سُلَيۡمَانُ بۡنُ مُغِيرَةَ، عَنۡ ثَابِتٍ، عَنۡ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ. [طرفه في: ١٩٦١].
7241. ‘Ayyasy ibnul Walid telah menceritakan kepada kami: ‘Abdul A’la menceritakan kepada kami: Humaid menceritakan kepada kami, dari Tsabit, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambung puasa tanpa berbuka di akhir bulan (Ramadan). Sebagian orang-orang ikut menyambung puasa tanpa berbuka. Hal itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Seandainya bulan ini dipanjangkan untukku, niscaya aku akan terus menyambung puasa tanpa berbuka sampai orang-orang yang berlebih-lebihan itu meninggalkan sikap berlebihan mereka. Sesungguhnya aku tidak seperti kalian, aku dalam keadaan diberi makan dan minum oleh Rabbku.” Sulaiman bin Mughirah mengiringi Humaid, dari Tsabit, dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Shahih Muslim hadits nomor 1108

٧٤ – (١١٠٨) – حَدَّثَنِي هَارُونُ بۡنُ سَعِيدٍ الۡأَيۡلِيُّ: حَدَّثَنَا ابۡنُ وَهۡبٍ: أَخۡبَرَنِي عَمۡرٌو – وَهُوَ ابۡنُ الۡحَارِثِ – عَنۡ عَبۡدِ رَبِّهِ بۡنِ سَعِيدٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ كَعۡبٍ الۡحِمۡيَرِيِّ، عَنۡ عُمَرَ بۡنِ أَبِي سَلَمَةَ؛ أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللهِ ﷺ: أَيُقَبِّلُ الصَّائِمُ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (سَلۡ هٰذِهِ) – لِأُمِّ سَلَمَةَ – فَأَخۡبَرَتۡهُ؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَصۡنَعُ ذٰلِكَ. فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، قَدۡ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنۡ ذَنۡبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (أَمَا وَاللهِ، إِنِّي لَأَتۡقَاكُمۡ لِلهِ، وَأَخۡشَاكُمۡ لَهُ).
74. (1108). Harun bin Sa’id Al-Aili telah menceritakan kepadaku: Ibnu Wahb menceritakan kepada kami: ‘Amr ibnul Harits mengabarkan kepadaku dari ‘Abdu Rabbih bin Sa’id, dari ‘Abdullah bin Ka’b Al-Himyari, dari ‘Umar bin Abu Salamah; Bahwa beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Apakah orang yang berpuasa boleh mencium (istri)? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Tanyalah kepada wanita ini?” –kepada Ummu Salamah-. Lalu Ummu Salamah mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan itu. Orang itu berkata: Wahai Rasulullah, Allah telah mengampuni dosamu yang telah berlalu dan yang akan datang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar orang yang paling bertakwa kepada Allah di antara kalian dan paling takut kepadaNya.”

Shahih Muslim hadits nomor 1107

٧٣ – (١١٠٧) – وَحَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ يَحۡيَىٰ وَأَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ وَأَبُو كُرَيۡبٍ – قَالَ يَحۡيَىٰ: أَخۡبَرَنَا. وَقَالَ الۡآخَرَانِ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ – عَنِ الۡأَعۡمَشِ، عَنۡ مُسۡلِمٍ، عَنۡ شُتَيۡرِ بۡنِ شَكَلٍ، عَنۡ حَفۡصَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا، قَالَتۡ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ.
73. (1107). Yahya bin Yahya, Abu Bakr bin Abu Syaibah, dan Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami. –Yahya berkata: Telah mengabarkan kepada kami. Dua yang lain mengatakan: Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami- dari Al-A’masy, dari Muslim, dari Syutair bin Syakal, dari Hafshah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium (istri) dalam keadaan sedang berpuasa.
(...) – وَحَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهۡرَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ. (ح) وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ وَإِسۡحَاقُ بۡنُ إِبۡرَاهِيمَ، عَنۡ جَرِيرٍ. كِلَاهُمَا عَنۡ مَنۡصُورٍ، عَنۡ مُسۡلِمٍ، عَنۡ شُتَيۡرِ بۡنِ شَكَلٍ، عَنۡ حَفۡصَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ. بِمِثۡلِهِ.
Abur-Rabi’ Az-Zahrani telah menceritakan kepada kami: Abu ‘Awanah menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami, dari Jarir. Masing-masing keduanya dari Manshur, dari Muslim, dari Syutair bin Syakal, dari Hafshah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semisal hadis tersebut.

Kitab Al Qawaidul Mutsla

Di antara permasalahan yang membedakan ahlussunnah dengan kelompok-kelompok sempalan adalah keistimewaan ahlussunnah dalam perhatiannya terhadap masalah tauhid. Tauhid adalah hal pertama dan utama dalam dakwah ahlussunnah. Ini bisa dibuktikan dalam kajian dan karya para ulama ahlussunnah.

Di antara karya ulama ahlussunnah yang menjadi bukti perhatian mereka kepada tauhid asma wa sifat adalah kitab “Al Qawaidul Mutsla fi Sifatillah waasmaihil Husna”, kitab yang ditulis oleh salah seorang ulama ahlussunnah yang masyhur di zaman kita yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.

Sebagaimana judulnya, kitab ini khusus membahas tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah. Ada tiga pembahasan utama yang beliau paparkan dalam kitab ini:

1. Kaidah-kaidah dalam masalah nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala.

Dalam bab ini beliau menyebutkan tujuh kaidah, di antara kaidah yang beliau sebutkan ialah ‘Nama-nama Allah adalah tauqifiyah, hanya ditetapkan berdasarkan nash (dalil tegas) Al Quran dan As Sunnah, tidak ada tempat buat akal dalam masalah ini’. Ini adalah pembeda antara ahlussunnah dan kelompok sempalan dari kalangan asy’ariyah dan lainnya, karena mereka bersandar kepada akal dalam menetapkan sifat bagi Allah.

Kaidah lain yang beliau sampaikan adalah bahwa ‘Nama-nama Allah tidak terbatas bilangan tertentu

Beliau menjelaskan bahwa hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kecuali satu, barang siapa yang menghafal, memahami, dan beramal dengan kandungannya akan masuk surga.[H.R. Al Bukhari Muslim] tidaklah membatasi nama Allah hanya sembilan puluh sembilan karena ada hadis lain yang menjelaskan bahwa ternyata nama Allah lebih dari itu.

2. Kaidah-kaidah dalam masalah sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala.

Dalam bab ini beliau rahimahullah menyebutkan tujuh kaidah, di antara kaidah yang beliau sebutkan adalah bahwa ‘Sifat-sifat Allah semuanya adalah sifat yang sempurna tidak ada cela sedikitpun.

Allah berfirman yang artinya, “Allah memiliki sifat-sifat yang paling sempurna.[Q.S. An Nahl:60].

Kaidah lain yang beliau sebutkan adalah ‘Dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allah, wajib menjauhkan diri dari dua perkara besar yang terlarang, yaitu tamtsil (memisalkan Allah dengan yang lain) dan tasybih (menyerupakan Allah dengan yang lain)’. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah.[Q.S. Asy Syura:11].

Berikutnya beliau juga menyampaikan kaidah bahwa ‘Sifat-sifat Allah adalah tauqifiyah yaitu kita hanya menetapkan apa yang ada dalam nash Al Quran dan As Sunnah, tidak ada tempat bagi akal dalam masalah ini.

3. Kaidah-kaidah terkait dalil-dalil masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala.

Dalam bab ini beliau sebutkan empat kaidah, di antara kaidah yang beliau sebutkan ialah bahwa ‘Dalil untuk menetapkan nama-nama dan sifat Allah adalah Al Quran dan As Sunnah

Akhirnya, sebelum menutup kitab ini, beliau menyebutkan syubhat-syubhat (kerancuan berfikir) ahlul batil terkait sifat-sifat Allah dan membantahnya satu-persatu. Maka tersingkaplah semua kerancuan tersebut melalui penjelasan beliau yang cukup gamblang.

Di dalam penutup kitabnya, beliau rahimahullah menerangkan beberapa masalah yang penting dalam masalah akidah. Di antara masalah penting yang beliau jelaskan adalah bantahan beliau terhadap ucapan yang menyatakan asy’ariyah adalah 95% dari total jumlah umat Islam di dunia, dan bantahan terhadap orang yang menyatakan asy’ariyah adalah pengikut Abul Hasan Al Asy’ary.

Beliau menerangkan bahwa tidak bisa diterima ucapan yang menyatakan asyariyah merupakan 95% dari umat Islam yang ada, karena ini butuh penghitungan yang teliti. Kalaupun benar demikian jumlah mereka atau lebih banyak, bukanlah penjamin mereka selamat dari kesesatan. Adapun Imam Abul Hasan Al Asy’ary, beliau memiliki tiga fase perjalanan kehidupan yaitu,
  1. Di awalnya beliau berpemahaman mu’tazilah (mengutamakan akal daripada nash)
  2. Pemahaman antara mu’tazilah dan ahlussunnah, mengikuti jalannya Abdullah bin Said bin Kulab (pendiri mazhab kulabiyah).
  3. Di akhir masa hidupnya beliau bermanhaj ahlussunnah, terbukti dengan kitab yang beliau tulis yakni Al Ibanah. Dalam kitab tersebut beliau tegas di atas manhaj ahlussunnah, mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.

Kaum Asy’ariyah yang mengaku mengikuti jalan Imam Abul Hasan Al Asy’ary, pada hakikatnya mengikuti beliau di fase yang kedua, ketika beliau masih berpemahaman antara pemahaman mu’tazilah dan ahlussunnah, ketika masih mengikuti jalannya Abdullah bin Said bin Kulab.

Kitab “Al Qawaidul Mutsla” merupakan kitab yang sangat penting untuk dibaca, telah dipuji oleh para ulama kita, di antaranya pujian yang datang dari Al Allamah Asy syaikh bin Baz rahimahullah. Syaikh bin Baz telah mengakui bagusnya kitab ini, dalam pengantar kitab ini beliau berkata, “… Aku telah menganggapnya sebagai kitab yang bagus, mencakup pembahasan masalah akidah salaf dalam masalah asma’ dan sifat, sebagaimana mencakup kaidah-kaidah yang agung dan faedah yang banyak…”

Asy Syaikh Al Mujahid Fahd bin Salim Al ‘Adeni rahimahullah –mudah-mudahan Allah menjadikannya termasuk syahid fi sabilillah- menulis kitab berjudul “Ittihaf Uli Nuha Bita’liq ala Qawaidil Mutsla”, dalam kitabnya tersebut beliau menerangkan betapa penting dan tingginya kedudukan kitab Al Qawaidul Mutsla. Hal ini karena
  1. Kitab ini (yakni kitab Qawaidul Mutsla) adalah kumpulan dari ucapan-ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang telah banyak disebutkan oleh murid beliau Ibnul Qayim dalam kitabnya “Bada’iul Fawaid.”
  2. Sebab terbaik untuk bisa menguasai satu bidang ilmu adalah dengan mempelajari kaidah-kaidahnya.
  3. Kitab-kitab ini memuat kaidah-kaidah dan dhawabith yang sangat dibutuhkan dalam babnya.
  4. Kitab ini telah ditulis disusun dengan urutan yang rapi oleh penulisnya.
  5. Syaikh menyebutkan dan membantah syubhat-syubhat yang masyhur, yang digunakan ahlul bid’ah dalam melakukan pengaburan pada kaum muslimin terhadap masalah ini.
  6. Menunjukkan keilmuan penulisnya sehingga semakin menambah indah dan bagusnya kitab ini.

Demikian pentingnya isi kitab ini maka marilah membaca dan mengkaji kitab ini, sebagai upaya memperkokoh akidah kita.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 39 vol.04 2016 rubrik Maktabah. Pemateri: Al Ustadz Abdurrahman Mubarak.

Shahih Muslim hadits nomor 1106

١٢ – بَابُ بَيَانِ أَنَّ الۡقُبۡلَةَ فِي الصَّوۡمِ لَيۡسَتۡ مُحَرَّمَةً عَلَى مَنۡ لَمۡ تُحَرِّكۡ شَهۡوَتَهُ
12. Bab penjelasan bahwa mencium ketika puasa tidak diharamkan bagi siapa saja yang tidak terangsang syahwatnya

٦٢ – (١١٠٦) – حَدَّثَنِي عَلِيُّ بۡنُ حُجۡرٍ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، عَنۡ هِشَامِ بۡنِ عُرۡوَةَ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا قَالَتۡ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُقَبِّلُ إِحۡدَىٰ نِسَائِهِ وَهُوَ صَائِمٌ. ثُمَّ تَضۡحَكُ.
62. (1106). ‘Ali bin Hujr telah menceritakan kepadaku: Sufyan menceritakan kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium salah seorang istrinya ketika beliau sedang berpuasa. Kemudian ‘Aisyah tertawa.
٦٣ – (...) – حَدَّثَنِي عَلِيُّ بۡنُ حُجۡرٍ السَّعۡدِيُّ وَابۡنُ أَبِي عُمَرَ. قَالَا: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ قَالَ: قُلۡتُ لِعَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ بۡنِ الۡقَاسِمِ: أَسَمِعۡتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا؛ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ؟ فَسَكَتَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ: نَعَمۡ.
63. ‘Ali bin Hujr As-Sa’di dan Ibnu Abu ‘Umar telah menceritakan kepadaku. Keduanya berkata: Sufyan menceritakan kepada kami, beliau berkata: Aku mengatakan kepada ‘Abdurrahman ibnul Qasim: Apakah engkau mendengan ayahmu menceritakan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha; Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menciumnya ketika Nabi sedang berpuasa? ‘Abdurrahman diam sejenak kemudian beliau berkata: Ya.
٦٤ – (...) – حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ مُسۡهِرٍ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ بۡنِ عُمَرَ، عَنِ الۡقَاسِمِ، عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا. قَالَتۡ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُقَبِّلُنِي وَهُوَ صَائِمٌ، وَأَيُّكُمۡ يَمۡلِكُ إِرۡبَهُ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَمۡلِكُ إِرۡبَهُ؟
64. Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami: ‘Ali bin Mushir menceritakan kepada kami, dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Al-Qasim, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menciumkan ketika beliau sedang puasa. Siapa di antara kalian yang bisa mengendalikan nafsunya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengendalikan nafsunya?
٦٥ – (...) – حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ يَحۡيَىٰ وَأَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ وَأَبُو كُرَيۡبٍ – قَالَ يَحۡيَىٰ: أَخۡبَرَنَا وَقَالَ الۡآخَرَانِ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ – عَنِ الۡأَعۡمَشِ، عَنۡ إِبۡرَاهِيمَ، عَنِ الۡأَسۡوَدِ وَعَلۡقَمَةَ، عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا. (ح) وَحَدَّثَنَا شُجَاعُ بۡنُ مَخۡلَدٍ: حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ أَبِي زَائِدَةَ: حَدَّثَنَا الۡأَعۡمَشُ، عَنۡ مُسۡلِمٍ، عَنۡ مَسۡرُوقٍ، عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا قَالَتۡ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَلَكِنَّهُ أَمۡلَكُكُمۡ لِإِرۡبِهِ.
65. Yahya bin Yahya, Abu Bakr bin Abu Syaibah, dan Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami. –Yahya mengatakan: Telah mengabarkan kepada kami. Dua orang lainnya mengatakan: Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami- dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad dan ‘Alqamah, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. (Dalam riwayat lain) Syuja’ bin Makhlad telah menceritakan kepada kami: Yahya bin Abu Zaidah menceritakan kepada kami: Al-A’masy menceritakan kepada kami, dari Muslim, dari Masruq, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium ketika sedang berpuasa dan bermesraan tanpa jimak ketika sedang berpuasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa mengendalikan nafsunya di antara kalian.
٦٦ – (...) – حَدَّثَنِي عَلِيُّ بۡنُ حُجۡرٍ وَزُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ. قَالَا: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، عَنۡ مَنۡصُورٍ، عَنۡ إِبۡرَاهِيمَ، عَنۡ عَلۡقَمَةَ، عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَكَانَ أَمۡلَكُكُمۡ لِإِرۡبِهِ.
66. ‘Ali bin Hujr dan Zuhair bin Harb telah menceritakan kepadaku. Keduanya mengatakan: Sufyan menceritakan kepada kami, dari Manshur, dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha; Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium dalam keadaan berpuasa dan beliau adalah orang yang paling bisa mengendalikan nafsunya di antara kalian.
٦٧ – (...) – وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّى وَابۡنُ بَشَّارٍ. قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ جَعۡفَرٍ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ، عَنۡ مَنۡصُورٍ، عَنۡ إِبۡرَاهِيمَ، عَنۡ عَلۡقَمَةَ، عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ يُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ.
67. Muhammad ibnul Mutsanna dan Ibnu Basysyar telah menceritakan kepada kami. Keduanya mengatakan: Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami: Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Manshur, dari Ibrahim, dari ‘Alqamah, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha; Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermesraan tanpa jimak dalam keadaan berpuasa.
٦٨ – (...) – وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّى: حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ. قَالَ: سَمِعۡتُ ابۡنَ عَوۡنٍ، عَنۡ إِبۡرَاهِيمَ، عَنِ الۡأَسۡوَدِ، قَالَ: انۡطَلَقۡتُ أَنَا وَمَسۡرُوقٌ إِلَىٰ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا. فَقُلۡنَا لَهَا: أَكَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ؟ قَالَتۡ: نَعَمۡ. وَلَكِنَّهُ كَانَ أَمۡلَكَكُمۡ لِإِرۡبِهِ أَوۡ مِنۡ أَمۡلَكِكُمۡ لِإِرۡبِهِ.
شَكَّ أَبُو عَاصِمٍ.
68. Muhammad ibnul Mutsanna telah menceritakan kepada kami: Abu ‘Ashim menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Aku mendengar Ibnu ‘Aun, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, beliau mengatakan: Aku dan Masruq berangkat menemui ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Kami bertanya kepadanya: Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bermesraan tanpa jimak dalam keadaan berpuasa? ‘Aisyah berkata: Ya, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya di antara kalian atau termasuk orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya di antara kalian.
Abu ‘Ashim ragu.
(...) – وَحَدَّثَنِيهِ يَعۡقُوبُ الدَّوۡرَقِيُّ: حَدَّثَنَا إِسۡمَاعِيلُ، عَنِ ابۡنِ عَوۡنٍ، عَنۡ إِبۡرَاهِيمَ، عَنِ الۡأَسۡوَدِ وَمَسۡرُوقٍ؛ أَنَّهُمَا دَخَلَا عَلَىٰ أُمِّ الۡمُؤۡمِنِينَ يَسۡأَلَانِهَا. فَذَكَرَ نَحۡوَهُ.
Ya’qub Ad-Dauraqi telah menceritakan hadis tersebut kepadaku: Isma’il menceritakan kepada kami, dari Ibnu ‘Aun, dari Ibrahim, dari Al-Aswad dan Masruq; Bahwa keduanya masuk menemui ibunda kaum mukminin untuk bertanya kepadanya. Lalu beliau menyebutkan semisal hadis tersebut.
٦٩ – (...) – حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ: حَدَّثَنَا الۡحَسَنُ بۡنُ مُوسَىٰ: حَدَّثَنَا شَيۡبَانُ، عَنۡ يَحۡيَىٰ بۡنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنۡ أَبِي سَلَمَةَ؛ أَنَّ عُمَرَ بۡنَ عَبۡدِ الۡعَزِيزِ أَخۡبَرَهُ؛ أَنَّ عُرۡوَةَ بۡنَ الزُّبَيۡرِ أَخۡبَرَهُ؛ أَنَّ عَائِشَةَ أُمَّ الۡمُؤۡمِنِينَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا أَخۡبَرَتۡهُ؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ يُقَبِّلُهَا وَهُوَ صَائِمٌ.
69. Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami: Al-Hasan bin Musa menceritakan kepada kami: Syaiban menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Abu Katsir, dari Abu Salamah; Bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengabarkan kepadanya; Bahwa ‘Urwah ibnuz Zubair mengabarkan kepadanya; Bahwa ‘Aisyah ibunda orang-orang yang beriman radhiyallahu ‘anha mengabarkan kepadanya; Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menciumnya dalam keadaan berpuasa.
(...) – وَحَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ بِشۡرٍ الۡحَرِيرِيُّ: حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ –يَعۡنِي ابۡنَ سَلَّامٍ- عَنۡ يَحۡيَىٰ بۡنِ أَبِي كَثِيرٍ، بِهٰذَا الۡإِسۡنَادِ، مِثۡلَهُ.
Yahya bin Bisyr Al-Hariri telah menceritakan kepada kami: Mu’awiyah bin Sallam menceritakan kepada kami dari Yahya bin Abu Katsir, dengan sanad ini, semisal hadis tersebut.
٧٠ – (...) – حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ بۡنُ يَحۡيَىٰ، وَقُتَيۡبَةُ بۡنُ سَعِيدٍ، وَأَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ – قَالَ يَحۡيَىٰ: أَخۡبَرَنَا، وَقَالَ الۡآخَرَانِ: حَدَّثَنَا أَبُو الۡأَحۡوَصِ – عَنۡ زِيَادِ بۡنِ عِلَاقَةَ، عَنۡ عَمۡرِو بۡنِ مَيۡمُونٍ، عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا قَالَتۡ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُقَبِّلُ فِي شَهۡرِ الصَّوۡمِ.
70. Yahya bin Yahya, Qutaibah bin Sa’id, dan Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami. –Yahya berkata: Telah mengabarkan kepada kami, dan dua orang lainnya mengatakan: Abul Ahwash menceritakan kepada kami- dari Ziyad bin ‘Ilaqah, dari ‘Amr bin Maimun, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium di bulan puasa.
٧١ – (...) – وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا بَهۡزُ بۡنُ أَسَدٍ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرٍ النَّهۡشَلِيُّ: حَدَّثَنَا زِيَادُ بۡنُ عِلَاقَةَ، عَنۡ عَمۡرِو بۡنِ مَيۡمُونٍ، عَنۡ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا، قَالَتۡ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يُقَبِّلُ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ صَائِمٌ.
71. Muhammad bin Hatim telah menceritakan kepadaku: Bahz bin Asad menceritakan kepada kami: Abu Bakr An-Nahsyali menceritakan kepada kami: Ziyad bin ‘Ilaqah menceritakan kepada kami, dari ‘Amr bin Maimun, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium di bulan Ramadan ketika sedang berpuasa.
٧٢ – (...) – وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ بَشَّارٍ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، عَنۡ أَبِي الزِّنَادِ، عَنۡ عَلِيِّ بۡنِ الۡحُسَيۡنِ، عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا؛ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ.
72. Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami: ‘Abdurrahman menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abuz Zinad, dari ‘Ali ibnul Husain, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha; Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium dalam keadaan berpuasa.

Al Qasim bin Muhammad

Kota Madinah pernah menjadi saksi keberadaan fuqaha sab’ah (ahli fikih yang berjumlah 7 orang) yang mewarnai masa-masa keemasan Islam. Merekalah tujuh ahli fikih dari generasi tabiin yang menjadi penghulu para ulama dan rujukan kaum muslimin di masanya. Mereka adalah penerus tongkat estafet dakwah yang sebelumnya dibawa oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kapasitas keilmuan mereka tidak hanya diakui dan diperhitungkan oleh para ulama di kota tersebut namun juga para ulama di berbagai penjuru negeri.

Di antara ketujuh ahli fikih Madinah tersebut adalah Al Qasim bin Muhammad, cucu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu manusia terbaik dalam umat ini setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Al Qasim adalah cucu Abu Bakar yang secara fisik paling mirip dengan kakeknya tersebut sebagaimana penuturan Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu. Beliau dilahirkan pada masa pemerintahan Ali radhiyallahu ‘anhu dari pasangan Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq dan putri raja persia yang terakhir.

Al-Qasim kecil tumbuh dan berkembang ketika terjadi gejolak fitnah di tengah kaum muslim setelah terbunuhnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Muncul perselisihan antara pihak Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dengan pihak Muawiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu yang berada di Syam. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dibawalah Al Qasim bersama saudara perempuannya ke Mesir. Yang demikian ini karena ayahanda beliau telah diangkat oleh Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin Mesir.

Namun saat itu kondisi fitnah semakin memanas dan berujung kepada terbunuhnya ayahanda beliau. Akhirnya datanglah paman Al Qasim yaitu Abdurrahman bin Abu Bakar untuk membawa beliau dan saudara perempuannya kembali ke Madinah. Di kota Nabi tersebut, Al Qasim diasuh dan dirawat oleh bibinya Aisyah radhiyallahu ‘anha sepeninggal ayahandanya. Al Qasim menjalani hidup sebagai seorang anak yatim dan diasuh oleh Ummul Mukminin Aisyah.

Qosim kecil diasuh dalam buaian Ummul Mukminin Aisyah sehingga ia pun mendalami ilmu agama dan banyak meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. Seiring dengan perjalanan waktu, Al Qasim benar-benar terdidik oleh curahan kasih sayang dan ilmu dari bibinya tersebut. Al Qasim menuturkan bahwa Aisyah adalah seorang mufti (pemberi fatwa) semenjak dari zamannya Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu ‘anhum hingga beliau meninggal. Tidak mengherankan jika akhirnya Al Qasim menjadi seorang imam, panutan, Hafizh, Hujjah, seorang alim di Kota Madinah pada zamannya di samping Salim dan Ikrimah rahimahullah.

GURU-GURU DAN MURID-MURIDNYA


Menginjak usia dewasa, Al Qasim rahimahullah benar-benar menjelma menjadi seorang pemuda yang cerdas dan bertalenta tinggi. Waktu demi waktu pun berjalan sementara Al Qasim semakin matang ilmu dan kepribadiannya karena berkesempatan untuk menghadiri majelisnya para sahabat. Selain kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia juga berguru dan meriwayatkan hadis dari sekian banyak sahabat yang pernah beliau temui sepanjang hidupnya. Di antara mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Zainab bintu Jahsy, Fatimah bintu Qais, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Asma’ bintu ‘Umais yang merupakan nenek beliau sendiri, Abu Hurairah, Rafi’ bin Khadij, Abdullah bin Khabbab, Abdullah bin Amr, Mu’awiyah dan sahabat yang lainnya radhiyallahu ‘anhum. Al Qasim juga menegaskan bahwa beliau juga menimba ilmu dari lautan ilmu, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Beliau pun bermulazamah (menuntut ilmu) kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma untuk memperbanyak riwayat dari keduanya. Sementara Ibnu Umar dikenal sebagai seorang sahabat mulia yang wara’ (berhati-hati dari dosa dan kesalahan), luas keilmuannya dan mengambil sikap diam terhadap berbagai hal yang tidak beliau ketahui ilmunya. Sehingga sifat-sifat gurunya tersebut melekat dan mewarnai kepribadaian Al Qasim bin Muhammad rahimahullah.

Tidak membutuhkan waktu yang panjang akhirnya Al Qasim menjadi seorang ulama besar di Kota Madinah. Tidak hanya keilmuannya yang mendalam yang membuat Al Qasim dicari dan disegani oleh kaum muslimin, namun juga karena ketakwaan dan sifat wara’ yang ada pada dirinya. Sehingga wajar jika murid-murid beliau sangat banyak dan di antaranya adalah putra beliau sendiri yang bernama Abdurrahman. Murid beliau yang lain adalah sederetan nama ulama-ulama besar seperti, Asy Sya’bi, Nafi’ Al Umari, Salim bin Abdillah, Abu Bakr bin Hazm, Az-Zuhri, Ibnu Abi Mulaikah, Humaid Ath Thawil, Ayyub As Sikhtiyani, Rabi’ah Ar Ray, Ubaidullah bin Umar, Ibnu ‘Aun, Rabi’ah bin Atha, Yahya bin Said Al Anshari, Abu Zinad, Ja’far bin Muhammad, Shalih bin Kaisan, dan masih banyak yang lainnya.

PUJIAN PARA ULAMA


Ibnu Sa’d rahimahullah memberikan sederet pujian kepada beliau dengan mengatakan, “Al Qasim adalah seorang yang terpercaya, berilmu, tinggi kedudukannya, ahli fikih, imam, wara’ dan banyak meriwayatkan hadis.” Yahya bin Said rahimahullah mengatakan, “Kami belum pernah mendapati seorang pun di Kota Madinah yang lebih kami utamakan daripada Al Qasim.” Ini menggambarkan tingginya kedudukan Al Qasim dalam pandangan para ulama mengingat di sana masih ada tokoh tabi’in senior seperti Said bin Al Musayyib atau yang lain.

Sikap wara’ juga sangat mewarnai kehidupan Al Qasim dalam bermuamalah. Salah satu buktinya adalah ucapan Ayyub As Sakhtiyani berikut ini, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih utama daripada Al Qasim. Sungguh ia pernah meninggalkan uang seratus ribu dinar padahal uang tersebut halal baginya.” Dalam kesempatan lain Umar bin Ubaidullah At Taimi mengutus seseorang untuk menghadiahkan uang sebanyak seratus lima puluh dinar kepada Al Qasim namun beliau menolaknya.

Berkata Abu Zinad rahimahullah, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih mengetahui tentang sunnah daripada Al Qasim bin Muhammad. Seseorang tidaklah dianggap sebagai seorang lelaki hingga dia mengetahui Sunnah dan belum pernah melihat seorang lelaki yang lebih cemerlang akalnya daripada Al Qasim.” Ibnu Uyainah rahimahullah berkata, “Orang yang paling mengetahui hadisnya Aisyah ada tiga orang, “Al Qasim, Urwah, dan Amrah.”

Keilmuan beliau yang luas dengan ketenaran dan berbagai pujian di atas tidak membuat Al Qasim sombong dan bangga diri. Justru beliau sangat jauh dari sifat tersebut dan penuh dengan ketawadhuan. Simak penuturan Ibnu Ishaq berikut ini, “Aku pernah melihat Al Qasim bin Muhammad mengerjakan salat dan setelah selesai datanglah seorang Arab badui lantas dia bertanya, “Siapa di antara kalian berdua yang lebih berilmu. Engkau atau Salim?” Al Qasim pun menjawab, “Subhanallah, masing-masing akan memberikan jawaban kepadamu sesuai dengan pengetahuannya.” Orang itu kembali bertanya, “Siapa di antara kalian berdua yang lebih berilmu?” Ia menjawab, “Subhanallah!” Badui itu terus mengulangi pertanyaannya hingga akhirnya Al Qasim berkata, “Itu Salim, pergi dan bertanyalah kepadanya.” Ia pun bangkit dan pergi meninggalkannya. Ibnu Ishaq mengomentari kisah ini, “Al Qasim tidak suka mengatakan, ‘Aku lebih berilmu’ sehingga menjadi tazkiyah (rekomendasi) untuk diri beliau sendiri. Beliau juga tidak suka mengatakan, ‘Salim lebih berilmu daripada aku.’ Karena dengan demikian Al Qasim telah berdusta karena ia lebih berilmu daripada Salim.”

Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Al Qasim adalah ahli fikihnya umat ini.” Al ‘Ijli rahimahullah berkata, “Al Qasim termasuk salah satu tabi’in dan ahli fikih terbaik. Ahli Madinah, tabi’in, terpercaya, sosok yang bersih dari hal-hal yang tidak baik, dan lelaki yang saleh.”

UNTAIAN NASIHATNYA


Yahya bin Sa’id rahimahullah berkata bahwa aku pernah mendengar Al Qasim bin Muhammad berkata, “Seseorang hidup dalam keadaan bodoh setelah mengetahui hak Allah subhanahu wa ta’ala itu lebih baik baginya daripada dia mengucapkan sesuatu yang tidak dia ketahui.” Suatu hari ada seorang pembesar Kota Madinah yang datang menemui Al Qasim lantas menanyakan sesuatu kepadanya. Maka Al Qasim pun berkata, “Sesungguhnya di antara bentuk pemuliaan seseorang terhadap dirinya sendiri adalah dia tidak berucap melainkan apa yang dia ketahui ilmunya.” Beliau juga mengatakan, “Allah telah menjadikan pada diri seorang teman yang baik lagi dekat dengan kita sebagai pengganti dari kerabat yang durhaka lagi berpaling.”

Beliau juga memiliki akidah yang lurus dan kokoh dalam menegakkan amar makruf nahi munkar. Ikrimah bin Ammar mengatakan, “Aku pernah mendengar Al Qasim dan Salim melaknat orang-orang Qadariyah.”

AKHIR HAYATNYA


Al Qasim meninggal pada tahun 108 H dalam usia 70 tahun di sebuah wilayah yang bernama Qudaid. Yaitu sebuah tempat di jalan antara Mekkah-Madinah, yang berjarak sekitar 27 mil dari Juhfah (Miqat penduduk Syam). Beliau sempat mengalami kebutaan di akhir hayatnya dan meninggal pada masa pemerintahan Yazid bin Abdul Malik bin Marwan. Beliau berwasiat supaya beliau dikuburkan dengan baju yang biasa digunakan untuk salat bersama dengan gamis dan rida’nya sebagaimana kakek beliau Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu dikafani dan dimakamkan. Al Qasim juga berwasiat agar kuburannya tidak dibangun. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat dan ampunan kepada Al Qasim bin Muhammad rahimahullah serta kita semua. Aamiin.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 39 vol.04 2016 rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafiy Abdullah.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 304

٧ – بَابُ تَرۡكِ الۡحَائِضِ الصَّوۡمَ
7. Bab wanita yang sedang haid meninggalkan puasa

٣٠٤ – حَدَّثَنَا سَعِيدُ بۡنُ أَبِي مَرۡيَمَ قَالَ: أَخۡبَرَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ جَعۡفَرٍ قَالَ: أَخۡبَرَنِي زَيۡدٌ، هُوَ ابۡنُ أَسۡلَمَ، عَنۡ عِيَاضِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ، عَنۡ أَبِي سَعِيدٍ الۡخُدۡرِيِّ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي أَضۡحًى أَوۡ فِطۡرٍ، إِلَى الۡمُصَلَّى، فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ: (يَا مَعۡشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقۡنَ، فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكۡثَرَ أَهۡلِ النَّارِ). فَقُلۡنَ: وَبِمَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: (تُكۡثِرۡنَ اللَّعۡنَ، وَتَكۡفُرۡنَ الۡعَشِيرَ، مَا رَأَيۡتُ مِنۡ نَاقِصَاتِ عَقۡلٍ وَدِينٍ أَذۡهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الۡحَازِمِ مِنۡ إِحۡدَاكُنَّ). قُلۡنَ: وَمَا نُقۡصَانُ دِينِنَا وَعَقۡلِنَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: (أَلَيۡسَ شَهَادَةُ الۡمَرۡأَةِ مِثۡلَ نِصۡفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟) قُلۡنَ: بَلَى، قَالَ: (فَذٰلِكَ مِنۡ نُقۡصَانِ عَقۡلِهَا، أَلَيۡسَ إِذَا حَاضَتۡ لَمۡ تُصَلِّ وَلَمۡ تَصُمۡ؟) قُلۡنَ: بَلَى، قَالَ: (فَذٰلِكَ مِنۡ نُقۡصَانِ دِينِهَا).
[الحديث ٣٠٤ – أطرافه في: ١٤٦٢، ١٩٥١، ٢٦٥٨].
304. Sa’id bin Abu Maryam telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Muhammad bin Ja’far mengabarkan kepada kami, beliau berkata: Zaid bin Aslam mengabarkan kepadaku, dari ‘Iyadh bin ‘Abdullah, dari Abu Sa’id Al-Khudri, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar di hari Iduladha atau Idulfitri ke tanah lapang. Beliau berjalan menuju para wanita, beliau bersabda, “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah! Karena aku diperlihatkan bahwa kalian adalah penghuni neraka yang terbanyak.” Para wanita itu bertanya: Karena apa, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Kalian banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suami. Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang lebih dapat menghilangkan kecerdasan seorang lelaki yang teguh pendiriannya daripada salah seorang dari kalian.” Para wanita itu bertanya: Apa kekurangan agama dan akal kami, wahai Rasulullah? Beliau bersabda, “Bukankah persaksian seorang wanita seperti setengah persaksian lelaki?” Para wanita itu menjawab: Benar. Beliau bersabda, “Itu dari kekurangan akalnya. Bukankah apabila wanita sedang haid, dia tidak salat dan tidak puasa?” Para wanita itu menjawab: Benar. Beliau bersabda, “Itu dari kekurangan agamanya.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 4279

٤٢٧٩ – حَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنۡ مَنۡصُورٍ، عَنۡ مُجَاهِدٍ، عَنۡ طَاوُسٍ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ قَالَ: سَافَرَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي رَمَضَانَ، فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ عُسۡفَانَ، ثُمَّ دَعَا بِإِنَاءٍ مِنۡ مَاءٍ، فَشَرِبَ نَهَارًا لِيُرِيَهُ النَّاسَ، فَأَفۡطَرَ حَتَّى قَدِمَ مَكَّةَ.
قَالَ: وَكَانَ ابۡنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ: صَامَ رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي السَّفَرِ وَأَفۡطَرَ، فَمَنۡ شَاءَ صَامَ، وَمَنۡ شَاءَ أَفۡطَرَ.
4279. ‘Ali bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami: Jarir menceritakan kepada kami, dari Manshur, dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan safar di bulan Ramadan. Beliau berpuasa sampai tiba di ‘Usfan. Kemudian beliau meminta didatangkan satu bejana air lalu beliau minum di siang hari agar manusia melihatnya. Maka, beliau tidak lagi berpuasa sampai tiba di Makkah.
Beliau mengatakan: Ibnu ‘Abbas pernah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa di perjalanan dan pernah tidak berpuasa. Sehingga, siapa saja mau, silakan berpuasa. Dan siapa saja ingin, silakan tidak berpuasa.

Sunan Abu Dawud hadits nomor 1951

٧٠ – بَابُ النُّزُولِ بِمِنًى
70. Bab singgah di Mina

١٩٥١ – (صحيح) حَدَّثَنَا أَحۡمَدُ بۡنُ حَنۡبَلٍ، نا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ، أنا مَعۡمَرٌ، عَنۡ حُمَيۡدٍ الۡأَعۡرَجِ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ إِبۡرَاهِيمَ التَّيۡمِيِّ، عَنۡ عَبۡدُ الرَّحۡمٰنِ بۡنِ مُعَاذٍ، عَنۡ رَجُلٍ مِنۡ أَصۡحَابِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: خَطَبَ النَّبِيُّ ﷺ النَّاسَ بِمِنًى، وَنَزَّلَهُمۡ مَنَازِلَهُمۡ، فَقَالَ: (لِيَنۡزِلِ الۡمُهَاجِرُونَ هَا هُنَا) وَأَشَارَ إِلَى مَيۡمَنَةِ الۡقِبۡلَةِ، (وَالۡأَنۡصَارُ هَا هُنَا)، وَأَشَارَ إِلَى مَيۡسَرَةِ الۡقِبۡلَةِ، (ثُمَّ لِيَنۡزِلِ النَّاسُ حَوۡلَهُمۡ).
1951. Ahmad bin Hanbal telah menceritakan kepada kami, ‘Abdurrazzaq menceritakan kepada kami, Ma’mar mengabarkan kepada kami, dari Humaid Al-A’raj, dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, dari ‘Abdurrahman bin Mu’adz, dari seseorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah kepada orang-orang di Mina, lalu beliau memerintahkan mereka singgah di tempat persinggahan mereka. Beliau bersabda, “Kaum Muhajirin singgah di sini.” Beliau mengisyaratkan sebelah kanan kiblat. “Dan kaum Ansar di sini.” Beliau mengisyaratkan sebelah kiri kiblat. “Kemudian orang-orang lain singgah di sekitar mereka.”