Cari Blog Ini

Sunan Abu Dawud hadits nomor 3919

٣٩١٩ – (ضعيف) حَدَّثَنَا أَحۡمَدُ بۡنُ حَنۡبَلٍ وَأبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ، الۡمَعۡنَى، قَالَا: نا وَكِيعٌ، عَنۡ سُفۡيَانَ، عَنۡ حَبِيبِ بۡنِ أَبِي ثَابِتٍ، عَنۡ عُرۡوَةَ بۡنِ عَامِرٍ - قَالَ أَحۡمَدُ: الۡقُرَشِيُّ - قَالَ: ذُكِرَتِ الطِّيَرَةُ عِنۡدَ النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ: (أَحۡسَنُهَا الۡفَأۡلُ، وَلَا تَرُدُّ مُسۡلِمًا، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمۡ مَا يَكۡرَهُ فَلۡيَقُلِ: اللّٰهُمَّ لَا يَأۡتِي بِالۡحَسَنَاتِ إِلَّا أَنۡتَ، وَلَا يَدۡفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلَّا أَنۡتَ، وَلَا حَوۡلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ). 
3919. [Daif] Ahmad bin Hanbal dan Abu Bakr bin Abu Syaibah—secara makna—telah menceritakan kepada kami. Keduanya berkata: Waki’ menceritakan kepada kami dari Sufyan, dari Habib bin Abu Tsabit, dari ‘Urwah bin ‘Amir—Ahmad berkata: Al-Qurasyi—. Beliau berkata: Disebutkan tentang thiyarah (kesialan karena burung atau semisalnya) di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Yang paling baik adalah fa`l (sikap optimis), janganlah thiyarah itu mengurungkan rencana seorang muslim. Jika salah seorang kalian melihat hal yang tidak dia sukai, maka katakanlah: Ya Allah, tidak ada yang mendatangkan kebaikan-kebaikan kecuali Engkau dan tidak ada yang menolak kejelekan-kejelekan kecuali Engkau. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin-Mu.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 5776

٥٧٧٦ - حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ بَشَّارٍ: حَدَّثَنَا ابۡنُ جَعۡفَرٍ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ قَالَ: سَمِعۡتُ قَتَادَةَ، عَنۡ أَنَسِ بۡنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: (لَا عَدۡوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعۡجِبُنِي الۡفَأۡلُ). قَالُوا: وَمَا الۡفَأۡلُ؟ قَالَ: (كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ). [طرفه في: ٥٧٥٦]. 
5776. Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepadaku: Ibnu Ja’far menceritakan kepada kami: Syu’bah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Aku mendengar Qatadah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Tidak ada ‘adwa (penyakit yang menular dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (kesialan karena burung atau semacamnya), dan fa`l membuatku senang.” Mereka bertanya, “Apakah fa`l itu?” Nabi bersabda, “Ucapan yang baik.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 5707

١٩ - بَابُ الۡجُذَامِ 
19. Bab penyakit kusta 

٥٧٠٧ - وَقَالَ عَفَّانُ: حَدَّثَنَا سَلِيمُ بۡنُ حَيَّانَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بۡنُ مِينَاءَ قَالَ: سَمِعۡتُ أَبَا هُرَيۡرَةَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (لَا عَدۡوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الۡمَجۡذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الۡأَسَدِ). 
[الحديث ٥٧٠٧ – أطرافه في: ٥٧١٧، ٥٧٥٧، ٥٧٧٠، ٥٧٧٣، ٥٧٧٥]. 
5707. ‘Affan berkata: Salim bin Hayyan menceritakan kepada kami: Sa’id bin Mina` menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Aku mendengar Abu Hurairah mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada ‘adwa (penyakit yang menular dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (kesialan karena burung atau semacamnya), tidak ada hamah (sejenis burung hantu yang dianggap membawa kesialan), tidak ada shafar (bulan Safar yang dianggap sial), dan larilah dari penderita penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa.”

Sunan Ibnu Majah hadits nomor 2963

٣٦ - بَابُ الۡحَائِضِ تَقۡضِي الۡمَنَاسِكَ إِلَّا الطَّوَافَ 
36. Bab wanita yang sedang haid menunaikan rangkaian ibadah haji kecuali tawaf 

٢٩٦٣ – (صحيح) حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ، وَعَلِيُّ بۡنُ مُحَمَّدٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ بۡنُ عُيَيۡنَةَ، عَنۡ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ بۡنِ الۡقَاسِمِ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ عَائِشَةَ؛ قَالَتۡ: خَرَجۡنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ لَا نَرَى إِلَّا الۡحَجَّ، فَلَمَّا كُنَّا بِسَرِفٍ أَوۡ قَرِيبًا مِنۡ سَرِفٍ حِضۡتُ، فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَأَنَا أَبۡكِي فَقَالَ: (مَا لَكِ أَنَفِسۡتِ؟) قُلۡتُ: نَعَمۡ، قَالَ: (إِنَّ هَٰذَا أَمۡرٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ، فَاقۡضِي الۡمَنَاسِكَ كُلَّهَا غَيۡرَ أَنۡ لَا تَطُوفِي بِالۡبَيۡتِ). قَالَتۡ: وَضَحَّى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنۡ نِسَائِهِ بِالۡبَقَرِ. [(الإرواء)(١٩١)، (الحج الكبير): ق]. 
2963. [Sahih] Abu Bakr bin Abu Syaibah dan ‘Ali bin Muhammad telah menceritakan kepada kami. Keduanya berkata: Sufyan bin ‘Uyainah menceritakan kepada kami dari ‘Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya, dari ‘Aisyah; Beliau mengatakan: Kami keluar bepergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami hanya bermaksud menunaikan haji. Ketika kami tiba di Sarif atau dekat Sarif, aku mengalami haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku dalam keadaan aku menangis. Beliau bertanya, “Kenapa engkau? Apa engkau sedang haid?” Aku menjawab, “Iya.” Nabi bersabda, “Sesungguhnya ini adalah perkara yang Allah telah tetapkan pada putri-putri Adam. Tunaikan semua rangkaian manasik haji, hanya saja engkau jangan tawaf di Kakbah.” 
‘Aisyah mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban seekor sapi dari para istrinya.

'Umdatul Ahkam - Kitab Haji - Bab Hewan yang Boleh Dibunuh

٤١ - بَابُ مَا يَجُوزُ قَتۡلُهُ
41. Bab hewan yang boleh dibunuh

٢٢٧ - عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (خَمۡسٌ مِنَ الدَّوَابِّ كُلُّهُنَّ فَاسِقٌ، يُقۡتَلۡنَ فِي الۡحَرَمِ: الۡغُرَابُ، وَالۡحِدَأَةُ، وَالۡعَقۡرَبُ، وَالۡفَأۡرَةُ، وَالۡكَلۡبُ الۡعَقُورُ).
وَلِمُسۡلِمٍ: (يُقۡتَلُ خَمۡسٌ فَوَاسِقُ فِي الۡحِلِّ وَالۡحَرَمِ).
227. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lima binatang, semuanya fasik, yang boleh dibunuh meski di tanah haram: burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus, dan binatang buas.”[1]
Dalam riwayat Muslim, “Lima binatang fasik yang boleh dibunuh di tanah halal dan di tanah haram.”[2]

Sunan Ibnu Majah hadits nomor 2962

٣٥ - بَابُ الۡمُلۡتَزِمِ 
35. Bab orang yang menempelkan tubuh di Multazam 

٢٩٦٢ – (حسن) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ يَحۡيَى، قَالَ؛ حَدَّثَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: سَمِعۡتُ الۡمُثَنَّى بۡنَ الصَّبَّاحِ يَقُولُ: حَدَّثَنِي عَمۡرُو بۡنُ شُعَيۡبٍ، عَنۡ أَبِيهِ، قَالَ: طُفۡتُ مَعَ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَمۡرٍو، فَلَمَّا فَرَغۡنَا مِنَ السَّبۡعِ رَكَعۡنَا فِي دُبُرِ الۡكَعۡبَةِ، فَقُلۡتُ: أَلَا تَتَعَوَّذُ بِاللهِ مِنَ النَّارِ! قَالَ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ النَّارِ، قَالَ: ثُمَّ مَضَى فَاسۡتَلَمَ الرُّكۡنَ، ثُمَّ قَامَ بَيۡنَ الۡحَجَرِ وَالۡبَابِ فَأَلۡصَقَ صَدۡرَهُ وَيَدَيۡهِ وَخَدَّهُ إِلَيۡهِ، ثُمَّ قَالَ: هَٰكَذَا رَأَيۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَفۡعَلُ. [(الصحيحة)(٢١٣٨)، (الحج الكبير)]. 
2962. [Hasan] Muhammad bin Yahya telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: ‘Abdurrazzaq menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Aku mendengar Al-Mutsanna bin Ash-Shabbah berkata: ‘Amr bin Syu’aib menceritakan kepadaku dari ayahnya. Beliau berkata: Aku melakukan tawaf bersama ‘Abdullah bin ‘Amr. Ketika kami selesai tujuh putaran, kami salat di belakang Kakbah. Aku berkata: Tidakkah engkau berlindung kepada Allah dari neraka? Beliau berkata: Aku berlindung kepada Allah dari neraka. Beliau berkata: Kemudian beliau berlalu lalu menyentuh pojok (hajar Aswad), kemudian beliau berdiri di antara hajar Aswad dengan pintu Kakbah, lalu menempelkan dada, kedua tangan, dan pipi beliau ke Kakbah. Kemudian beliau berkata: Begini aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya.

'Umdatul Ahkam - Kitab Haji - Bab Kesucian Makkah

٤٠ - بَابُ حُرۡمَةِ مَكَّةَ 
40. Bab kesucian Makkah 

٢٢٥ - عَنۡ أَبِي شُرَيۡحٍ - خُوَيۡلِدِ بۡنِ عَمۡرٍو الۡخُزَاعِيِّ الۡعَدَوِيِّ - رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ، أَنَّهُ قَالَ لِعَمۡرِو بۡنِ سَعِيدِ بۡنِ الۡعَاصِ - وَهُوَ يَبۡعَثُ الۡبُعُوثَ إلَى مَكَّةَ: ائۡذَنۡ لِي أَيُّهَا الۡأَمِيرُ، أَنۡ أُحَدِّثَكَ قَوۡلًا قَامَ بِهِ رَسُولُ اللهِ ﷺ الۡغَدَ مِنۡ يَوۡمِ الۡفَتۡحِ، فَسَمِعَتۡهُ أُذُنَايَ، وَوَعَاهُ قَلۡبِي، وَأَبۡصَرَتۡهُ عَيۡنَايَ، حِينَ تَكَلَّمَ بِهِ، أَنَّهُ حَمِدَ اللهَ وَأَثۡنَى عَلَيۡهِ، ثُمَّ قَالَ: (إنَّ مَكَّةَ حَرَّمَهَا اللهُ تَعَالَى يَوۡمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالۡأَرۡضَ، وَلَمۡ يُحَرِّمۡهَا النَّاسُ، فَلَا يَحِلُّ لِامۡرِئٍ يُؤۡمِنُ بِاللهِ وَالۡيَوۡمِ الۡآخِرِ أَنۡ يَسۡفِكَ بِهَا دَمًا، وَلَا يَعۡضِدَ بِهَا شَجَرَةً، فَإِنۡ أَحَدٌ تَرَخَّصَ بِقِتَالِ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِيهَا، فَقُولُوا: إنَّ اللهَ قَدۡ أَذِنَ لِرَسُولِهِ، وَلَمۡ يَأۡذَنۡ لَكُمۡ. وَإِنَّمَا أُذِنَ لِرَسُولِهِ سَاعَةً مِنۡ نَهَارٍ، وَقَدۡ عَادَتۡ حُرۡمَتُهَا الۡيَوۡمَ كَحُرۡمَتِهَا بِالۡأَمۡسِ، فَلۡيُبَلِّغۡ الشَّاهِدُ الۡغَائِبَ) فَقِيلَ لأَبِي شُرَيۡحٍ: مَا قَالَ لَكَ عَمۡرٌو؟ قَالَ: أَنَا أَعۡلَمُ بِذٰلِكَ مِنۡكَ يَا أَبَا شُرَيۡحٍ، إنَّ الۡحَرَمَ لا يُعِيذُ عَاصِيًا، وَلَا فَارَّاً بِدَمٍ، وَلَا فَارًّا بِخَرۡبَةٍ. 
الۡخَرۡبَةُ: بِالۡخَاءِ الۡمُعۡجَمَةِ وَالرَّاءِ الۡمُهۡمَلَةِ، قِيلَ: الۡخِيَانَةُ، وَقِيلَ الۡبَلِيَّةُ، وَقِيلَ: التُّهۡمَةُ. وَأَصۡلُهَا فِي سُرۡقَةِ الۡإِبِلِ، قَالَ الشَّاعِرُ: (وَالۡخَارِبُ اللِّصُّ يُحِبُّ الۡخَارِبَا). 
225. Dari Abu Syuraih Khuwailid bin ‘Amr Al-Khuza’i Al-‘Adawi radhiyallahu ‘anhu: Bahwa beliau berkata kepada ‘Amr bin Sa’id bin Al-‘Ash–beliau adalah orang yang mengirimkan pasukan ke Makkah-: Izinkan aku, wahai amir, untuk menceritakan kepadamu suatu ucapan yang pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan pada pagi hari Fathu Makkah. Kedua telingaku mendengarnya, hatiku menghafalnya, dan kedua mataku melihatnya ketika beliau mengucapkannya. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bersabda, “Sesungguhnya Makkah telah Allah sucikan pada hari Allah menciptakan langit-langit dan bumi, dan bukan manusia yang menjadikannya kota suci. Maka, tidak halal bagi seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah di sana dan memotong pohon di sana. Jika ada seseorang yang menganggap bolehnya dengan alasan peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sana, maka katakanlah: Sesungguhnya Allah telah mengizinkan untuk Rasul-Nya dan tidak mengizinkan untuk kalian. Allah hanya mengizinkan untukku sesaat di siang hari, kemudian kesuciannya telah kembali pada hari ini seperti kesuciannya kemarin. Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.” 
Ada yang bertanya kepada Abu Syuraih: Apa yang dikatakan ‘Amr kepadamu? Beliau berkata: Aku lebih tahu daripada engkau wahai Abu Syuraih. (Kesucian Makkah) tidak melindungi orang yang bermaksiat, tidak pula orang yang kabur karena membunuh, dan tidak pula orang yang kabur karena mencuri.[1]
Kharbah dengan huruf kha dengan titik dan huruf ra tanpa titik. Ada yang berkata artinya adalah pengkhianatan dan ada yang berkata artinya adalah cobaan. Ada pula yang berkata bahwa artinya adalah tuduhan. Asalnya pada pencurian unta. Seorang penyair berkata: وَالۡخَارِبُ اللِّصُّ يُحِبُّ الۡخَارِبَا. 
٢٢٦ - عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ - يَوۡمَ فَتۡحِ مَكَّةَ: (لَا هِجۡرَةَ بَعۡدَ الۡفَتۡحِ وَلَكِنۡ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ. وَإِذَا اُسۡتُنۡفِرۡتُمۡ فَانۡفِرُوا)، وَقَالَ يَوۡمَ فَتۡحِ مَكَّةَ: (إنَّ هَٰذَا الۡبَلَدَ حَرَّمَهُ اللهُ يَوۡمَ خَلَقَ اللهُ السَّمَاوَاتِ وَالۡأَرۡضَ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرۡمَةِ اللهِ إِلَى يَوۡمِ الۡقِيَامَةِ، وَإِنَّهُ لَمۡ يَحِلَّ الۡقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبۡلِي، وَلَمۡ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنۡ نَهَارٍ – وَهِيَ سَاعَتِي هَٰذِهِ - فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرۡمَةِ اللهِ إلَى يَوۡمِ الۡقِيَامَةِ، لَا يُعۡضَدُ شَوۡكُهُ، وَلَا يُنَفَّرُ صَيۡدُهُ، وَلَا يَلۡتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنۡ عَرَّفَهَا، وَلَا يُخۡتَلَى خَلَاهُ) فَقَالَ الۡعَبَّاسُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِلَّا الۡإِذۡخِرَ، فَإِنَّهُ لِقَيۡنِهِمۡ وَبُيُوتِهِمۡ، فَقَالَ: (إِلَّا الۡإِذۡخِرَ). 
الۡقَيۡنُ: الۡحَدَّادُ. 
226. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada hari Fathu Makkah, “Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah ini, akan tetapi (yang tetap ada adalah) jihad dan niat. Apabila kalian diminta untuk pergi berjihad (oleh penguasa), maka berangkatlah.” 
Beliau juga bersabda pada hari Fathu Makkah, “Sesungguhnya kota ini telah Allah sucikan pada hari Allah ciptakan langit-langit dan bumi. Maka, kota ini suci karena kesucian yang Allah berikan sampai hari kiamat. Di dalam kota ini, peperangan tidak halal bagi seorang pun sebelumku. Juga tidak dihalalkan untukku kecuali hanya sesaat di siang hari. Yaitu saat ini. Maka, kota ini suci karena kesucian yang Allah berikan sampai hari kiamat. Durinya tidak boleh dipatahkan, binatang buruannya tidak boleh diusir, barang tercecernya tidak boleh diambil kecuali bagi yang mengumumkannya, dan rerumputannya tidak boleh dicabut.” 
Al-‘Abbas mengatakan: Wahai Rasulullah, kecuali idzkhir, karena itu dibutuhkan untuk pandai besi dan rumah-rumah mereka. Beliau bersabda, “Kecuali idzkhir.”[2]
Al-qain adalah pandai besi. 

[2] HR. Al-Bukhari nomor 3189, 2783, 2825, 1587, 1833, 1834, 4313 dan Muslim nomor 1353.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 2825

٢٧ - بَابُ وُجُوبِ النَّفِيرِ، وَمَا يَجِبُ مِنَ الۡجِهَادِ وَالنِّيَّةِ 
27. Bab wajibnya pergi berperang melawan orang kafir dan perkara jihad dan niat yang wajib 

وَقَوۡلِهِ تَعَالَى: ﴿انۡفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمۡوَالِكُمۡ وَأَنۡفُسِكُمۡ فِي سَبِيلِ اللهِ ذٰلِكُمۡ خَيۡرٌ لَكُمۡ إِنۡ كُنۡتُمۡ تَعۡلَمُونَ ۞ لَوۡ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَاتَّبَعُوكَ وَلَكِنۡ بَعُدَتۡ عَلَيۡهِمُ الشُّقَّةُ وَسَيَحۡلِفُونَ بِاللهِ﴾ [التوبة: ٤١، ٤٢] الۡآيَةَ. وَقَوۡلِهِ: ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ انۡفِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ اثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى الۡأَرۡضِ أَرَضِيتُمۡ بِالۡحَيَاةِ الدُّنۡيَا مِنَ الۡآخِرَةِ﴾ إِلَى قَوۡلِهِ: ﴿عَلَى كُلِّ شَيۡءٍ قَدِيرٌ﴾ [التوبة: ٣٨، ٣٩]. 
يُذۡكَرُ عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ: ﴿انۡفِرُوا ثُبَاتٍ﴾ [النساء: ٧١]: سَرَايَا مُتَفَرِّقِينَ؛ يُقَالُ: أَحَدُ الثُّبَاتِ ثُبَةٌ. 
Dan firman Allah azza wajalla (yang artinya), “Berangkatlah kalian baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kalian dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui. Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah.” (QS. At-Taubah: 41-42). 
Dan firman-Nya (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepada kalian: Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah; kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempat kalian? Apakah kalian puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat?” Sampai firman-Nya (yang artinya), “Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Taubah: 38-39). 
Disebutkan dari Ibnu ‘Abbas, “انۡفِرُوا ثُبَاتٍ (QS. An-Nisa`: 71), (tsubaat) artinya pasukan yang berkelompok-kelompok. Dikatakan: Bentuk tunggal dari الثُّبَات adalah ثُبَة. 
٢٨٢٥ - حَدَّثَنَا عَمۡرُو بۡنُ عَلِيٍّ: حَدَّثَنَا يَحۡيَى: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ قَالَ: حَدَّثَنِي مَنۡصُورٌ، عَنۡ مُجَاهِدٍ، عَنۡ طَاوُسٍ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ يَوۡمَ الۡفَتۡحِ: (لَا هِجۡرَةَ بَعۡدَ الۡفَتۡحِ، وَلَكِنۡ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسۡتُنۡفِرۡتُمۡ فَانۡفِرُوا). [طرفه في: ١٣٤٩]. 
2825. ‘Amr bin ‘Ali telah menceritakan kepada kami: Yahya menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Manshur menceritakan kepadaku dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada hari Fathu Makkah, “Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah ini, namun (yang tetap ada adalah) jihad dan niat. Apabila kalian diminta pergi berjihad (oleh penguasa), maka berangkatlah.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 4313

٤٣١٣ - حَدَّثَنَا إِسۡحَاقُ: حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنِ ابۡنِ جُرَيۡجٍ قَالَ: أَخۡبَرَنِي حَسَنُ بۡنُ مُسۡلِمٍ، عَنۡ مُجَاهِدٍ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَامَ يَوۡمَ الۡفَتۡحِ فَقَالَ: (إِنَّ اللهَ حَرَّمَ مَكَّةَ يَوۡمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالۡأَرۡضَ، فَهِيَ حَرَامٌ بِحَرَامِ اللهِ إِلَى يَوۡمِ الۡقِيَامَةِ، لَمۡ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبۡلِي وَلَا تَحِلُّ لِأَحَدٍ بَعۡدِي، وَلَمۡ تَحۡلِلۡ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنَ الدَّهۡرِ، لَا يُنَفَّرُ صَيۡدُهَا، وَلَا يُعۡضَدُ شَوۡكُهَا، وَلَا يُخۡتَلَى خَلَاهَا، وَلَا تَحِلُّ لُقَطَتُهَا إِلَّا لِمُنۡشِدٍ). فَقَالَ الۡعَبَّاسُ بۡنُ عَبۡدِ الۡمُطَّلِبِ: إِلَّا الۡإِذۡخِرَ يَا رَسُولَ اللهِ، فَإِنَّهُ لَا بُدَّ مِنۡهُ لِلۡقَيۡنِ وَالۡبُيُوتِ، فَسَكَتَ ثُمَّ قَالَ: (إِلَّا الۡإِذۡخِرَ، فَإِنَّهُ حَلَالٌ). وَعَنِ ابۡنِ جُرَيۡجٍ: أَخۡبَرَنِي عَبۡدُ الۡكَرِيمِ، عَنۡ عِكۡرِمَةَ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ: بِمِثۡلِ هَٰذَا أَوۡ نَحۡوِ هَٰذَا. رَوَاهُ أَبُو هُرَيۡرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ. 
4313. Ishaq telah menceritakan kepada kami: Abu ‘Ashim menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij. Beliau berkata: Hasan bin Muslim mengabarkan kepadaku dari Mujahid, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri pada hari Fathu Makkah seraya bersabda, “Sesungguhnya Allah telah sucikan Makkah pada hari Dia ciptakan langit-langit dan bumi. Sehingga Makkah merupakan tempat suci karena kesucian yang Allah berikan sampai hari kiamat. Tidak halal bagi seorang pun sebelumku dan tidak halal pula bagi seorang pun setelahku. Tidak pula halal untukku kecuali sesaat saja. Binatang buruannya tidak boleh diusir, durinya tidak boleh dipatahkan, rerumputannya tidak boleh dicabut, dan barang tercecernya tidak halal kecuali bagi orang yang mengumumkannya.” 
Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib mengatakan, “Kecuali idzkhir wahai Rasulullah, karena itu pasti digunakan oleh pandai besi dan rumah-rumah.” 
Nabi diam kemudian bersabda, “Kecuali idzkhir karena itu halal.” 
Dan dari Ibnu Juraij: ‘Abdul Karim mengabarkan kepadaku dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, semisal hadis ini atau mirip ini. Abu Hurairah juga meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pemilik Darunnadwah

Beliau adalah Hakim bin Hizam bin Khuwailid radhiyallahu ‘anhu, masuk Islam pada waktu penaklukan Mekah dan bagus keislamannya kemudian ikut bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perang Hunain dan Thaif. Termasuk pembesar Quraisy dan tokohnya. Ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid adalah bibinya dan Zubair bin Awwam adalah keponakannya. Lahir 13 tahun sebelum tahun gajah dan satu-satunya orang yang lahir di dalam Ka’bah

Berkata Ibrahim bin Mundzir: beliau hidup 120 tahun dan lahir 13 tahun sebelum tahun gajah. Imam Bukhari berkata bahwa beliau radhiyallahu ‘anhu hidup 60 tahun dalam jahiliyyah dan 60 tahun dalam Islam. Berkata Ibnu Mandah rahimahullah, beliau dilahirkan di tengah-tengah Ka’bah dan hidup 120 tahun dan meninggal tahun 54 hijriyyah. Imam Muslim dalam Shahihnya juga meriwayatkan bahwa Hakim bin Hizam dilahirkan di tengah-tengah Ka’bah. 

Berkata Mus’ab bin Utsman, “Dahulu Ka’bah dibuka pada moment-moment tertentu. Ketika saat Ka’bah dibuka maka ibu Hakim bin Hizam masuk Ka’bah bersama perempuan Quraisy lainnya yang waktu itu ibunya sedang hamil. Dia pun merasakan sakit di perut maka dibawakan kepadanya sepotong kulit hewan untuk alas. Tidak lama dari waktu itu lahirlah Hakim bin Hizam di atas alas tersebut.” 

Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku adalah seorang pedagang sukses, aku biasa keluar ke Yaman dan Syam untuk berdagang dan selalu mendapatkan untung yang besar kemudian aku sedekahkan kepada fakir miskin dari kaumku.” Hakim bin Hizam pernah membeli seorang budak yaitu Zaid bin Haritsah kemudian dia hadiahkan kepada bibinya Khadijah

Sungguh Hakim bin Hizam sangat mencintai Rasulullah baik di masa jahiliyyah atau setelah keislamannya. Walaupun jarak umur antara keduanya jauh tetapi dia sangat senang berteman dengan Rasulullah, dan kecintaan keduanya semakin erat saat Rasulullah meminang bibinya-Khadijah radhiyallahu ‘anha-.

Dari Arrok bin Malik berkata Hakim bin Hizam, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling aku cintai di masa jahiliyyah.” (Berkata Arrok), “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi Nabi dan hijrah ke Madinah, Hakim bin Hizam melihat jubah bagus yang dijual, maka dia pun membelinya untuk dihadiahkan kepada Nabi, padahal saat itu dia masih kafir.” Dia pun sengaja pergi ke Madinah untuk bertemu Nabi dan berharap menerima hadiahnya. Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya. Dalam riwayat lain nabi berkata, “Kita tidak menerima apa pun dari orang musyrik. Jika engkau mau aku akan membayarnya.” Maka Hakim mengambil bayaran tersebut ketika nabi menolak hadiahnya. Berkata Hakim, “Kemudian aku melihat jubah tersebut beliau pakai saat di atas mimbar, maka aku tidak pernah melihat yang paling bagus daripadanya saat itu.”

Dari satu sisi, perkara yang cukup mengherankan ketika beliau terlambat memeluk Islam, padahal kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah terjalin sejak masa jahiliyyah. Beliau masuk Islam saat penaklukan Mekah. Dan tentunya hal ini merupakan kehendak Allah yang terdapat di dalamnya hikmah yang berharga. 

Pada waktu penaklukan Mekah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa Hakim bin Hizam sangat mencintai beliau dan Islam. Maka beliau ingin memuliakan Hakim bin Hizam, beliau pun berkata, “Barangsiapa menutup pintunya maka dia aman, barangsiapa masuk rumah Hakim bin Hizam maka dia aman, barangsiapa masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman.”

Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa suatu hari putranya melihat Hakim bin Hizam menangis, kemudian dia bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayahku apa gerangan yang membuatmu menangis?” Ia pun menjawab, “Banyak perkara yang membuatku menangis wahai anakku,” di antaranya:

Yang pertama, terlambatnya keislamanku sehingga aku tertinggal banyak kesempatan beramal saleh sampai andaikan aku berinfak seisi bumi berupa emas niscaya tidak sepadan dengan amalan tersebut. 

Kemudian yang kedua, Allah telah menyelamatkanku saat Perang Badr dan Uhud, saat itu aku berkata dalam hatiku, “Aku tidak akan menolong kaum Quraisy setelah itu untuk memerangi Rasulullah dan aku tidak akan keluar dari Mekah.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Hakim bin Hizam apabila bersumpah dia mengatakan, “Demi Dzat yang menyelamatkanku pada Perang Badr.”

Kemudian yang ketiga, dahulu setiap aku ingin masuk Islam aku pun melihat para tokoh, sesepuh Quraisy yang memiliki umur dan kedudukan lebih tinggi dariku. Mereka tetap berpegang teguh di atas ajaran nenek moyangnya maka aku pun mengikuti mereka. Duhai andaikan aku tidak mengikuti mereka…, padahal tidaklah mereka hancur kecuali karena mengikuti nenek moyang dan pembesar mereka.”

KEDERMAWANANNYA


Hakim bin Hizam adalah seorang yang dermawan saat jahiliyyah dan setelah Islam. Dari Urwah bin Hakim bin Hizam dari Hakim bin Hizam berkata, “Aku telah membebaskan 40 budak di masa jahiliyyah, maka Rasulullah berkata, “Engkau masuk Islam bersama amal baikmu di masa lalu.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Hakim menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak meninggalkan satu pun (kebaikan) yang aku lakukan di masa jahiliyyah kecuali aku lakukan pula hal itu dalam Islam.’ Dan di masa jahiliyyah dia pernah membebaskan budak 100 orang, ketika Islam dia membebaskan semisalnya. Sebelum Islam ia pernah berkurban 100 unta dan di masa Islamnya beliau melakukan semisalnya.

Dalam riwayat lain disebutkan beliau berkata, “Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu dengan beberapa perkara yang aku bertaqarrub kepada Allah di masa jahiliyyah berupa sedekah, memerdekakan budak, silaturrahim?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau masuk Islam bersama amal baikmu di masa lalu.” 

Dalam waktu yang berbeda disebutkan bahwasanya Hakim bin Hizam datang di Arafah membawa 100 unta, 100 sapi, dan 100 kambing, kemudian dia berkata, “Seluruhnya untuk Allah subhanahu wa ta’ala.” Berkata Abu Hazim, “Tidak ada di Madinah orang yang membawa barang bawaan (infak) fi sabilillah lebih banyak daripada Hakim (bin Hizam).” 

Berkata Syu’bah, “Ketika Az Zubair meninggal, maka Hakim bin Hizam menemui Abdullah bin Az Zubair (putra Az Zubair) dan berkata, “Berapa hutang yang ditinggalkan saudaraku?” Ibnu Zubair berkata, “Satu juta dinar.” Kemudian berkata, “500 ribu dinar tanggunganku.” Dalam riwayat lain berkata Ibnu Zubair, “Ayahku telah gugur dan meninggalkan hutang yang banyak, maka aku mendatangi Hakim bin Hizam dan beliau menanggung setengah dari hutang Zubair.” 

Dahulu Darunnadwah (satu tempat berkumpulnya orang-orang kafir Quraisy) adalah milik Hakim bin Hizam, kemudian setelah masuk Islam dia menjualnya dengan harga seratus ribu dinar. Maka Ibnu Zubair berkata, “Engkau telah menjual tempat kehormatan Quraisy?” Dia menjawab, “Telah sirna kehormatan dan kebesaran wahai anak saudaraku kecuali takwa. Sungguh aku menjualnya untuk aku belanjakan rumah di surga, aku persaksikan kepada kalian bahwa dinar ini aku persembahkan untuk Allah subhanahu wa ta’ala.” Satu dinar dahulu kira-kira sebanding dengan 4,25g emas sekarang.

KEFAQIHANNYA 


Diriwayatkan bahwa Hakim bin Hizam melewati Abu Ubaidah (saat itu menjadi pemimpin Syam) sedang menghukum beberapa orang yang tidak membayar jizyah di bawah panas terik matahari, maka dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya orang paling pedih siksanya pada hari kiamat adalah orang yang menyiksa manusia di dunia.’” Kemudian Abu Ubaidah berkata, “Pergilah kalian.” Maka dia membebaskan orang-orang tersebut. [H.R. Ahmad, Baihaqi, dan Hakim dishahihkan Al Albani rahimahullah]. 


Referensi: 
  • Athraf Al Musnad, Ibnu Hajar rahimahullah
  • Siyar, Adz Dzahabi rahimahullah.
  • Tarikh Dimasq, Ibnu Asakir rahimahullah

Sumber: Majalah Qudwah edisi 60 vol.06 1439 H rubrik Khairul Ummah. Pemateri: Al Ustadz Abul Ma’mar Abbas bin Husain.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 3189

٣١٨٩ - حَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنۡ مَنۡصُورٍ، عَنۡ مُجَاهِدٍ، عَنۡ طَاوُسٍ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَوۡمَ فَتۡحِ مَكَّةَ: (لَا هِجۡرَةَ، وَلَكِنۡ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسۡتُنۡفِرۡتُمۡ، فَانۡفِرُوا). وَقَالَ يَوۡمَ فَتۡحِ مَكَّةَ: (إِنَّ هَٰذَا الۡبَلَدَ حَرَّمَهُ اللهُ يَوۡمَ خَلَقَ السَّمَٰوَاتِ وَالۡأَرۡضَ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرۡمَةِ اللهِ إِلَى يَوۡمِ القِيَامَةِ، وَإِنَّهُ لَمۡ يَحِلَّ الۡقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبۡلِي، وَلَمۡ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنۡ نَهَارٍ، فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرۡمَةِ اللهِ إِلَى يَوۡمِ الۡقِيَامَةِ، لَا يُعۡضَدُ شَوۡكُهُ، وَلَا يُنَفَّرُ صَيۡدُهُ، وَلَا يَلۡتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنۡ عَرَّفَهَا، وَلَا يُخۡتَلَى خَلَاهُ). فَقَالَ الۡعَبَّاسُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِلَّا الۡإِذۡخِرَ، فَإِنَّهُ لِقَيۡنِهِمۡ وَلِبُيُوتِهِمۡ، قَالَ: (إِلَّا الۡإِذۡخِرَ). [طرفه في: ١٣٤٩]. 
3189. ‘Ali bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami: Jarir menceritakan kepada kami dari Manshur, dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada hari Fathu Makkah, “Tidak ada lagi hijrah, namun (yang tetap ada adalah) jihad dan niat. Apabila kalian diminta (oleh penguasa) pergi berjihad, maka berangkatlah.” 
Beliau juga bersabda ketika Fathu Makkah, “Sesungguhnya negeri ini telah Allah sucikan pada hari Dia ciptakan langit-langit dan bumi, sehingga negeri ini suci karena kesucian yang Allah berikan hingga hari kiamat. Durinya tidak boleh dipatahkan, binatang buruannya tidak boleh diusir, tidak boleh memungut barang yang tercecer kecuali orang yang mengumumkannya, dan rerumputannya tidak boleh dicabut.” 
Al-‘Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, kecuali idzkhir karena untuk pandai besi dan rumah-rumah mereka.” 
Nabi bersabda, “Kecuali idzkhir.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 2783

٢٧٨٣ - حَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ: حَدَّثَنَا يَحۡيَى بۡنُ سَعِيدٍ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ قَالَ: حَدَّثَنِي مَنۡصُورٌ، عَنۡ مُجَاهِدٍ، عَنۡ طَاوُسٍ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (لَا هِجۡرَةَ بَعۡدَ الۡفَتۡحِ، وَلَكِنۡ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسۡتُنۡفِرۡتُمۡ فَانۡفِرُوا). 
[طرفه في: ١٣٤٩]. 
2783. ‘Ali bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami: Yahya bin Sa’id menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Manshur menceritakan kepadaku dari Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, namun (yang tetap ada adalah) jihad dan niat. Dan jika kalian diminta (oleh penguasa) pergi berjihad, maka berangkatlah.”

Sunan Ibnu Majah hadits nomor 2961

٣٤ - بَابُ الۡمَرِيضِ يَطُوفُ رَاكِبًا 
34. Bab orang yang sakit melakukan tawaf dengan berkendara 

٢٩٦١ – (صحيح) حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُعَلَّى بۡنُ مَنۡصُورٍ. (ح) وَحَدَّثَنَا إِسۡحَاقُ بۡنُ مَنۡصُورٍ، وَأَحۡمَدُ بۡنُ سِنَانٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الرَّحۡمَٰنِ ابۡنُ مَهۡدِيٍّ، قَالَا: حَدَّثَنَا مَالِكُ بۡنُ أَنَسٍ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ بۡنِ نَوۡفَلٍ، عَنۡ عُرۡوَةَ، عَنۡ زَيۡنَبَ، عَنۡ أُمِّ سَلَمَةَ؛ أَنَّهَا مَرِضَتۡ فَأَمَرَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنۡ تَطُوفَ مِنۡ وَرَاءِ النَّاسِ وَهِيَ رَاكِبَةٌ، قَالَتۡ: فَرَأَيۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يُصَلِّي إِلَى الۡبَيۡتِ وَهُوَ يَقۡرَأُ: ﴿وَالطُّورِ وَكِتَابٍ مَسۡطُورٍ﴾ [الطور: ١-٢]. قَالَ ابۡنُ مَاجَه: هَٰذَا حَدِيثُ أَبِي بَكۡرٍ. [(صحيح أبي داود)(١٦٤٤)، (الحج الكبير): ق]. 
2961. [Sahih] Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Mu’alla bin Manshur menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Ishaq bin Manshur dan Ahmad bin Sinan telah menceritakan kepada kami. Keduanya berkata: ‘Abdurrahman bin Mahdi menceritakan kepada kami. Keduanya berkata: Malik bin Anas menceritakan kepada kami dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Naufal, dari ‘Urwah, dari Zainab, dari Ummu Salamah; Bahwa beliau sakit lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar melakukan tawaf di belakang orang-orang dengan berkendara. Ummu Salamah berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salat menghadap Kakbah dalam keadaan membaca (yang artinya), “Demi bukit dan Kitab yang ditulis.” (QS. Ath-Thur: 1-2). Ibnu Majah berkata: Ini adalah hadis Abu Bakr.

Sunan Ibnu Majah hadits nomor 2958, 2959, dan 2960

٣٣ - بَابُ الرَّكۡعَتَيۡنِ بَعۡدَ الطَّوَافِ 
33. Bab salat dua rakaat setelah tawaf 

٢٩٥٨ – (ضعيف) حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنِ ابۡنِ جُرَيۡجٍ، عَنۡ كَثِيرِ بۡنِ كَثِيرِ بۡنِ الۡمُطَّلِبِ بۡنِ أَبِي وَدَاعَةَ السَّهۡمِيِّ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنِ الۡمُطَّلِبِ؛ قَالَ: رَأَيۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ إِذَا فَرَغَ مِنۡ سَبۡعِهِ جَاءَ حَتَّى يُحَاذِيَ بِالرُّكۡنِ، فَصَلَّى رَكۡعَتَيۡنِ فِي حَاشِيَةِ الۡمَطَافِ، وَلَيۡسَ بَيۡنَهُ وَبَيۡنَ الطُّوَّافِ أَحَدٌ. قَالَ ابۡنُ مَاجَه: هَٰذَا بِمَكَّةَ خَاصَّةً. [(الضعيفة)(٩٢٨)، (حجة النبيِّ ﷺ)(١٢١)، (تمام المنة)]. 
2958. [Daif] Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Abu Usamah menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari Katsir bin Katsir bin Al-Muththalib bin Abu Wada’ah As-Sahmi, dari ayahnya, dari Al-Muththalib; Beliau berkata: Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika selesai dari tujuh putaran tawaf, beliau berjalan sampai sejajar dengan pojok Kakbah, lalu beliau salat dua rakaat di tepi tempat tawaf dan tidak ada seorang pun antara beliau dengan orang-orang yang melakukan tawaf. Ibnu Majah berkata: Ini khusus di Makkah. 
٢٩٥٩ – (صحيح) حَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ مُحَمَّدٍ وَعَمۡرُو بۡنُ عَبۡدِ اللهِ، قَالَا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ ثَابِتٍ الۡعَبۡدِيِّ، عَنۡ عَمۡرِو بۡنِ دِينَارٍ، عَنِ ابۡنِ عُمَرَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَدِمَ فَطَافَ بِالۡبَيۡتِ سَبۡعًا، ثُمَّ صَلَّى رَكۡعَتَيۡنِ - قَالَ وَكِيعٌ: يَعۡنِي: عِنۡدَ الۡمَقَامِ -، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّفَا. [(الروض النضير)(٥٢٨): خ]. 
2959. [Sahih] ‘Ali bin Muhammad dan ‘Amr bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami. Keduanya berkata: Waki’ menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Tsabit Al-‘Abdi, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar; Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba lalu tawaf di Kakbah sebanyak tujuh putaran. Kemudian beliau salat dua rakaat. Waki’ berkata: Yakni di dekat makam (tempat berdiri Ibrahim). Kemudian beliau keluar menuju bukit Shafa. 
٢٩٦٠ – (صحيح) حَدَّثَنَا الۡعَبَّاسُ بۡنُ عُثۡمَانَ الدِّمَشۡقِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الۡوَلِيدُ بۡنُ مُسۡلِمٍ، عَنۡ مَالِكِ بۡنِ أَنَسٍ، عَنۡ جَعۡفَرِ بۡنِ مُحَمَّدٍ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ جَابِرٍ؛ أَنَّهُ قَالَ: لَمَّا فَرَغَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مِنۡ طَوَافِ الۡبَيۡتِ، أَتَى مَقَامَ إِبۡرَاهِيمَ، فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللهِ! هَٰذَا مَقَامُ أَبِينَا إِبۡرَاهِيمَ الَّذِي قَالَ اللهُ سُبۡحَانَهُ: ﴿وَاتَّخِذُوا مِنۡ مَقَامِ إِبۡرَاهِيمَ مُصَلًّى﴾. قَالَ الۡوَلِيدُ: فَقُلۡتُ لِمَالِكٍ: هَٰكَذَا قَرَأَهَا: ﴿وَاتَّخِذُوا مِنۡ مَقَامِ إِبۡرَاهِيمَ مُصَلًّى﴾؟ قَالَ: نَعَمۡ. [(حجة النبي ﷺ): م]. 
2960. [Sahih] Al-‘Abbas bin ‘Utsman Ad-Dimasyqi telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Al-Walid bin Muslim menceritakan kepada kami dari Malik bin Anas, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir; Bahwa beliau berkata: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai tawaf di Kakbah, beliau mendatangi makam (tempat berdiri) Ibrahim. ‘Umar berkata: Wahai Rasulullah, ini tempat berdiri bapak kita Ibrahim yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan (artinya), “Dan jadikanlah sebagian makam Ibrahim sebagai tempat salat.” Al-Walid berkata: Aku bertanya kepada Malik: Apa demikian beliau membacanya (artinya), “Dan jadikan sebagian makam Ibrahim sebagai tempat salat”? Beliau menjawab: Iya.

Ibunda Kedua

Di Senin pagi yang cerah, bertepatan dengan tanggal 9 Rabi’ul Awwal, di permulaan tahun Gajah, tahun terjadinya peristiwa penyerangan Raja Yaman Abrahah ke Negeri Mekah, yang bertepatan pula dengan runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, dan bertepatan pula dengan padamnya api yang disembah orang-orang Majusi, serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah, di saat itu dilahirkanlah seorang bayi laki-laki dari rahim Aminah binti Wahb bin Abdil Manaf bin Zurah bin Kilab Al Quraisyah, wanita terpandang di kalangan Quraisy, istri dari Abdullah bin Abdil Muthallib bin Hasyim bin Abdil Manaf Al Quraisyah. Ia melahirkan seorang anak yang kelak menegakkan risalah Allah di muka bumi, pembawa panji kebenaran, pembawa agama Islam. Anak laki-laki tersebut diberi nama Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Takdir Allah menentukan… ketika melahirkan bayinya, Abdullah suaminya telah meninggal dunia di tempat perdagangannya di Yatsrib Madinah. Jadilah anak tersebut lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggalkan warisan berupa lima ekor unta, sekumpulan domba, dan seorang budak wanita Habsy bernama Barkah. 

Muhammad kecil shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata tak pula dapat berlama-lama bersama ibunda tercinta. Pada usianya yang ke enam tahun ibundanyapun jatuh sakit dalam perjalanan pulang setelah mengunjungi makan suaminya di Yatsrib. Aminah meninggal dunia dan dimakamkan di Abwa, sebuah tempat antara Mekah dan Madinah. Kemudian Muhammad kecil shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawa ke pangkuan kakeknya oleh budak wanita warisan ayahnya, Barkah. 

Waktu terus bergulir, Muhammad muda shallallahu ‘alaihi wa sallam bertambah dewasa. Hidup berpindah dari satu asuhan ke asuhan yang lain. Kasih sayang sang kakek hanya dinikmatinya kurang lebih dua tahun saja, untuk kemudian berpindah kepada sang paman Abu Thalib. Selama itu pula sang pelayan atau budak wanitanya Barkah, senantiasa menyertai diri beliau. Setia merawat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengerti dan paham benar akan sifat, watak, dan karakter tuan mudanya dari kecil hingga menginjak dewasa, seakan-akan Barkah radhiyallahu ‘anha laksana ibunda kedua bagi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga akhirnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Khadijah bintu Khuwailid bin Asad Al Quraisyah, seorang wanita terpandang dan mempunyai kedudukan mulia di tengah kaumnya. Maka ketika merasa telah mendapatkan pendamping hidup yang menyertai beliau, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Barkah, bahkan menikahkannya dengan seorang laki-laki dari Yatsrib Madinah yaitu Ubaid bin Zaid bin Harits Al Khazrajy. 

Mendapatkan kemerdekaan bagi seorang budak adalah sebuah keberuntungan dan nikmat yang sangat besar. Terlebih setelahnya dilanjutkan dengan sebuah pernikahan dengan seorang yang merdeka pula. Terasa berat hati Barkah meninggalkan tuan yang telah diasuhnya sejak kecil. Akan tetapi kewajiban terhadap suami membawanya untuk mengiringi suaminya berpindah ke Yatsrib Madinah, kota di mana suaminya bertempat tinggal. Di sanalah ia melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Aiman bin Ubaid. Dan semenjak itu, ia lebih dikenal dengan sebutan Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha.

Kehidupan di Yatsrib Madinah dijalani oleh Ummu Aiman bersama suaminya, akan tetapi ternyata kebersamaan mereka tidak berlangsung terlalu lama. Takdir Allah pasti yang terbaik bagi hamba-Nya. Itulah yang bisa kita lihat dari perjalanan Ummu Aiman. Di masa-masa awal diangkatnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul, suaminya meninggal dunia di Madinah. Tidaklah tebersit dalam pikiran Ummu Aiman untuk tetap bertempat tinggal di Yatsrib Madinah. Yang terlintas dalam pikirannya saat itu adalah kembali mendekat kepada mantan tuannya yang telah dikenal kebaikan dan budi pekertinya. Maka bersegeralah Ummu Aiman membawa anaknya Aiman kembali ke Mekah, mendekat ke kediaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ketika didapatinya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengemban sebuah risalah kenabian, hatinya yang bersih dan fitrahnya yang lurus segera menyambut seruan tersebut. Ummu Aiman berislam dengan keislaman yang baik. 

Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut dengan baik kedatangan Ummu Aiman. Kasih sayang beliau kepada mantan budaknya tersebut tidak tertutupi. Tak akan bisa bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melupakan kasih sayang yang diberikan pelayan setianya tersebut semasa beliau kecil, hingga pernah terucap dari lisan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah ucapan, “Ummu Aiman adalah ibundaku sepeninggal ibunda kandungku.” Bahkan pernah pula terdengar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ummu Aiman dengan sebutan, “Wahai Ibu”. SubhanAllah

Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha pun senantiasa bersikap lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedekatan di antara keduanya sangat terasa. Terkadang didapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggoda Ummu Aiman dengan candaan beliau, akan tetapi Ummu Aiman tidak pernah merasa marah dengan candaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pernah suatu hari Ummu Aiman berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah.. boncengkanlah aku?” Kemudian Rasulullah menjawab, “Aku akan memboncengkanmu di atas anak onta betina.” Lalu Ummu Aiman berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia tidak akan mampu membawaku dan aku tidak menginginkannya.” Tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap berkata demikian untuk menggoda Ummu Aiman, sedang sebenarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memang hendak memboncengkan di atas onta jantan yang kuat, karena setiap onta jantan adalah anak-anak dari onta betina. Kebaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ummu Aiman tetap teringat dalam ingatan para sahabat walaupun sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu, sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, “Marilah kita mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengunjunginya.” 

Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha mempunyai sebuah kekurangan, beliau adalah wanita yang mempunyai kesulitan dalam berbicara sehingga terkadang terjadi kekeliruan dalam melafalkan suatu perkataan. Karena kekurangannya tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan baginya untuk berucap “As Salam” ketika hendak mengucapkan salam, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarangnya untuk banyak bicara. Sekalipun demikian, Ummu Aiman dikenal oleh para sahahabat akan kebaikan dan keimanannya, hingga karena melihat kebaikan dan keimanan Ummu Aiman, pujian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah diucapkan, “Barang siapa ingin menikah dengan seorang wanita ahli surga hendaknya dia menikahi Ummu Aiman.” Maka mendengar pujian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ummu Aiman tersebut, tergeraklah hati Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu maula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahinya. Dari pernikahan kedua orang terkasih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, terlahirlah seorang putra yang diberi nama Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu.

Ketika Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah maka berangkatlah Ummu Aiman beserta suaminya dan kedua anaknya. Bersama mereka adalah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu yang telah menikah dengan Ruqayyah binti Rasulullah, juga Fathimah dan Ummu Khultsum binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyusul bersama Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu.

Selama berislam, Ummu Aiman benar-benar berusaha membuktikan kebenaran keimanannya. Dijumpai beberapa kali beliau mengikuti perang jihad di jalan Allah bersama Rasulullah. Ketika usianya mulai beranjak tua didapati beliau turut serta dalam medan jihad sekalipun bertugas di bagian belakang, mengobati orang yang terluka ataupun menuangkan air. Tidak ditampakkannya kesedihan mendalam sekalipun ia harus kehilangan suaminya Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu pada perang Mu’tah, dan juga putra sulungnya Aiman yang syahid pada perang Hunain. Asalkan semua berjalan di atas syariat-Nya, ia yakin akhir yang akan didapati adalah kebaikan, baik bagi suami dan putranya, maupun bagi dirinya sendiri.

Dan semua ini terbukti. Sekalipun Ummu Aiman diberi usia panjang oleh Allah subhanahu wa ta’ala, ia dapat mengisi masa hidupnya dengan kebaikan bagi dirinya dan kaum muslimin. Bahkan Ummu Aiman didapati melaksanakan prosesi pemandian jenazah beberapa shahabiyah yang meninggal terlebih dahulu sebelum dirinya. Adalah Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha termasuk wanita yang memandikan jasad Zainab binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dua Ummul Mukminin istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Saudah binti Zam’ah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Sementara Ummu Aiman sendiri wafat pada awal masa kepemerintahan khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, 20 hari setelah terbunuhnya Khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu. Semoga Allah memberikan rahmat kepada beliau, sang ibunda kedua bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberikan tempat sebaik-baiknya di sisi-Nya… Amin.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 60 vol.06 1439 H rubrik Niswah. Pemateri: Al Ustadzah Ummu Abdillah Shafa’.

Gurunya Para Ulama

Ulama salaf adalah cerminan peribadatan untuk umat setelahnya. Gelar ahli ibadah terpredikatkan kepada sekian banyak di antara mereka. Seolah-olah diri ini berdiri di bawah gunung yang kokoh menjulang tinggi jika membayangkan berhadapan dengan mereka. Ibadah yang banyak dan rutin tiada henti dari waktu ke waktu menjadi fenomena keseharian mereka. Di antara mereka adalah Tsabit Al Bunani rahimahullah. Nama ini tentu sangat dikenal oleh siapa saja yang berkecimpung dalam ilmu hadis dan periwayatannya. Beliau ini sangat identik dengan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Tsabit Al Bunani termasuk perawi Anas bin Malik yang paling tsiqah (terpercaya). Maklum beliau menemani Anas selama empat puluh tahun lamanya. 

GURU DAN MURID 


Nama panjang beliau adalah Tsabit bin Aslam Abu Muhammad Al Bunani Al Bashri. Al Bunani adalah nisbat kepada Bunanah, nama kabilah Bani Sa’d bin Lu’ay bin Ghalib. Tsabit dilahirkan pada masa pemerintahan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu

Dalam perjalanan ilmiyahnya, Tsabit terdukung dengan keuletannya dalam belajar dan keberadaan para ulama besar di zamannya. Bahkan Allah pun berikan kesempatan kepadanya untuk menimba ilmu kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu selama empat puluh tahun. Tsabit pernah berguru kepada para shahabat yang masih hidup di masanya, sebut saja Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, Abu Barzah Al Aslami radhiyallahu ‘anhu, Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu dan selainnya. Demikian halnya dengan para ulama setelahnya semisal Bakar bin Abdillah Al Muzani, Amr bin Syu’aib, Abul Aliyah, Syahr bin Husyaib rahimahullah dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Dari sekian banyak gurunya yang paling memberi kesan dan berpengaruh adalah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Empat puluh tahun kebersamaannya dengan Anas memberikan dampak yang sangat positif dalam perkembangan ilmunya. Semangatnya dalam meriwayatkan hadis ditunjang dengan antusias ibadah yang sangat mengagumkan. Hingga Anas pernah memberikan rekomendasi yang baik kepada Tsabit dengan mengatakan, “Sesungguhnya kebaikan memiliki kunci-kunci dan Tsabit adalah salah satu kunci kebaikan.” 

Paska perjalanan panjang menuntut ilmu selama puluhan tahun bersama para shahabat, keilmuan Tsabit banyak diakui dan dicari para ulama. Muridnya pun tersebar di berbagai negeri semisal Atha bin Abi Rabah, Qatadah, Yunus bin Ubaid, Humaid Ath Thawil, Sulaiman At Taimi, Ma’mar, Syu’bah rahimahullah, dan masih banyak yang lainnya. 

Tsabit tergolong perawi hadis yang kuat dan tsiqah. Kapasitas keilmuannya banyak dipuji oleh para ulama dari masa ke masa. Semisal Adz Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya memberikan gelar sebagai Syaikhul Islam, Imam dalam ilmu dan amal serta suri tauladan yang baik. Pujian juga terucap oleh Ibnu Adi dalam komentarnya, “Tsabit termasuk ulama tabiin penduduk Bashrah, orang yang sangat zuhud dan ahli hadisnya mereka.” Begitu pula Ahmad Al ‘Ijli dan An Nasai yang telah sepakat bahwa Tsabit adalah seorang perawi hadis yang tsiqah.

AHLI IBADAH 


Satu karakter yang kental melekat pada diri Tsabit adalah ibadahnya yang sangat kuat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bakar Al Muzani, salah seorang muridnya mengatakan, “Barang siapa ingin melihat orang yang paling kuat ibadahnya di zaman ini, maka hendaknya dia melihat Tsabit Al Bunani. Kami belum pernah menjumpai orang lain yang lebih kuat ibadahnya daripada beliau.” Tentu persaksian muridnya tersebut bukan isapan jempol belaka. Syu’bah menuturkan bahwa Tsabit selau membaca Al Quran setiap pagi dan petang serta berpuasa sepanjang tahun.” 

Beliau seorang pribadi yang hatinya lembut dan mudah menangis tatkala mendengar Al Quran. Tsabit begitu sering menangis karena rasa takutnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sampai-sampai Hammad bin Zaid pernah mengatakan, “Aku pernah melihat Tsabit menangis sampai tulang-tulang rusuknya bergetar.” Suatu saat Tsabit pernah mengeluhkan kedua matanya karena terlalu sering banyak menangis. Akibatnya Tsabit hampir saja mengalami kebutaan pada kedua matanya. Orang-orang pun bermaksud memberikan bantuan dengan mendatangkan seorang dokter. Maka Dokter itu berkata kepadanya, “Beri aku satu jaminan yang harus engkau lakukan, pasti matamu akan sembuh.” Tsabit bertanya, “Apa itu?” Dokter menjawab, “Jangan sekali-kali menangis lagi.” Tsabit pun menimpali permintaannya, “Tidak ada kebaikan pada mata yang enggan menangis.” Akhirnya beliau pun menolak untuk diobati dan masih saja sering menangis hingga akhirnya kedua matanya tidak normal. Padahal sebelumnya Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepada Tsabit, “Betapa miripnya matamu dengan mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

KECINTAANNYA KEPADA SALAT 


Tsabit sangat mencintai ibadah salat sunnah dan selalu semangat untuk melakukannya. Beliau menyadari betapa tingginya kedudukan salat dalam Islam. Hingga Tsabit pun sangat memuliakan dan mencintai salat. Di antara untaian nasihatnya adalah, “Seorang hamba tidaklah tergolong sebagai ahli ibadah meskipun dia memiliki seluruh sifat yang terpuji kecuali jika dua perkara ini ada pada dirinya, yaitu salat dan puasa.” 

Suatu ketika Tsabit tertimpa sakit yang cukup parah hingga tidak mampu melakukan ibadah. Ia pun berkata kepada murid-muridnya, “Wahai saudara-saudaraku, aku tidak mampu melakukan salat semalam sebagaimana aku biasa melakukannya. Tidak pula aku bisa berpuasa sebagaimana biasanya dan aku tidak bisa singgah di tempat sahabat-sahabatku untuk mengingat Allah bersama mereka. Ya Allah, apabila Engkau menahanku dari tiga hal tadi, maka janganlah Engkau membiarkanku hidup di dunia ini meskipun hanya sesaat.” 

Salat malam menjadi sebuah ibadah yang jarang dilakukan pada masa ini. Ibadah yang secara umum terasa berat bagi kaum muslimin saat ini. Betapa tidak, seorang hamba harus bangun di tengah malam tatkala manusia terlelap dalam tidurnya. Bangkit melawan beratnya rasa kantuk dan dinginnya udara malam. Berbagai bisikan pun dihembuskan setan untuk menghalangi hamba dari ibadah mulia ini. Apalagi setan memasang tiga jeratan belenggunya pada tengkuk setiap hamba ketika tidur. Namun tidak demikian halnya dengan Tsabit, baginya salat malam adalah ibadah yang sangat nikmat. Ia pun bisa merasakan kenikmatan bermunajat dan berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam salat malamnya. 

Dalam Qiyamul Lail (salat malam) seorang hamba memang terkondisikan untuk bisa melakukan salat dengan khusyu’ dan penuh konsentrasi. Terbangun dari tidur dalam keadaan fisik prima dan pikiran pun jernih nan jauh dari urusan-urusan duniawi. Qiyamul Lail benar-benar sarana yang sangat efektif untuk memupuk ketenangan jiwa dan kesuciannya. Tsabit benar-benar memaksimalkan kondisi tersebut hingga menjadi penikmat salat malam. Beliau pernah berkata, “Aku menjalani salat selama dua puluh tahun dan aku baru bisa merasakan kenikmatannya setelahnya dua puluh tahun setelahnya.” 

Tsabit adalah seorang hamba yang sangat mencintai salat malam dan penikmatnya. Luar biasa, salat menjadi penyejuk kalbu dan penentram jiwa. 

Satu sisi kehidupan lagi yang ada pada beliau adalah penampilannya yang selalu rapi lagi bersih. Bahkan tidak jarang beliau mengenakan pakaian-pakaian yang mahal. Namun demikian beliau diakui oleh para ulama sebagai pribadi yang zuhud. Memang penampilah lahiriyah bukan standar untuk mengetahui kezuhudan seorang hamba. Inilah pengertian zuhud yang sering disalahpahami oleh kebanyakan kaum muslimin. Zuhud identik dengan pakaian yang lusuh, penampilan sederhana jauh dari gemerlapnya dunia. Tentu persepsi ini muncul karena kedangkalan ilmu agama mereka. Padahal zuhud sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat kelak. Orang zuhud bisa saja berpenampilan rapi dan pakaian yang indah bahkan mahal. Sebatas penampilan demikian juga bukan termasuk kesombongan. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang suka mengenakan pakaian dan sandal yang bagus. Beliau pun menjawab bahwa Allah Maha Indah dan menyukai keindahan. Begitulah Tsabit Al Bunani rahimahullah, seorang ulama yang berpenampilan rapi dan berpakaian mahal namun gelar pribadi yang zuhud melekat pada diri beliau. 

Ulama ahli sejarah berbeda pendapat tentang tahun wafatnya beliau. Satu pendapat menyebutkan bahwa Tsabit meninggal pada tahun 127 H dengan usia 86 tahun. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan ampunan dan rahmat kepada beliau. Allahu A’lam.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 60 vol.06 1439 H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah.

Sunan Ibnu Majah hadits nomor 2956

٣٢ - بَابُ فَضۡلِ الطَّوَافِ 
32. Bab keutamaan tawaf 

٢٩٥٦ – (صحيح) حَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ مُحَمَّدٍ؛ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ الۡفُضَيۡلِ، عَنِ الۡعَلَاءِ بۡنِ الۡمُسَيَّبِ، عَنۡ عَطَاءٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُمَرَ؛ قَالَ: سَمِعۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: (مَنۡ طَافَ بِالۡبَيۡتِ وَصَلَّى رَكۡعَتَيۡنِ كَانَ كَعِتۡقِ رَقَبَةٍ). [(التعليق على ابن ماجه)، (التعليق الرغيب)(٢/١٢٠)]. 
2956. [Sahih] ‘Ali bin Muhammad telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Muhammad bin Al-Fudhail menceritakan kepada kami dari Al-‘Ala` bin Al-Musayyab, dari ‘Atha`, dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang tawaf di Kakbah dan salat dua rakaat, maka itu seperti membebaskan seorang budak.”

Sunan Ibnu Majah hadits nomor 2955

٣١ - بَابُ الطَّوَافِ بِالۡحِجۡرِ 
31. Bab tawaf mengelilingi hijr

٢٩٥٥ – (صحيح) حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُبَيۡدُ اللهِ بۡنُ مُوسَى، قَالَ: حَدَّثَنَا شَيۡبَانُ، عَنۡ أَشۡعَثَ بۡنِ أَبِي الشَّعۡثَاءِ، عَنِ الۡأَسۡوَدِ بۡنِ يَزِيدَ، عَنۡ عَائِشَةَ؛ قَالَتۡ: سَأَلۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ عَنِ الۡحِجۡرِ؟ فَقَالَ: (هُوَ مِنَ الۡبَيۡتِ)، قُلۡتُ: مَا مَنَعَهُمۡ أَنۡ يُدۡخِلُوهُ فِيهِ؟ قَالَ: (عَجَزَتۡ بِهِمُ النَّفَقَةُ)، قُلۡتُ: مَا شَأۡنُ بَابِهِ مُرۡتَفِعًا؛ لَا يُصۡعَدُ إِلَيۡهِ إِلَّا بِسُلَّمٍ؟ قَالَ: (ذٰلِكَ فِعۡلُ قَوۡمِكِ، لِيُدۡخِلُوهُ مَنۡ شَاؤُوا وَيَمۡنَعُوهُ مَنۡ شَاؤُوا، وَلَوۡلَا أَنَّ قَوۡمَكِ حَدِيثُ عَهۡدٍ بِكُفۡرٍ، مَخَافَةَ أَنۡ تَنۡفِرَ قُلُوبُهُمۡ، لَنَظَرۡتُ هَلۡ أُغَيِّرُهُ فَأُدۡخِلَ فِيهِ مَا انۡتَقَصَ مِنۡهُ، وَجَعَلۡتُ بَابَهُ بِالۡأَرۡضِ). [(الصحيحة)(٤٣)، (الإرواء)(١١٠٦): ق]. 
2955. Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: ‘Ubaidullah bin Musa menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Syaiban menceritakan kepada kami dari Asy’ats bin Abu Asy-Sya’tsa`, dari Al-Aswad bin Yazid, dari ‘Aisyah;
Beliau mengatakan: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hijr (tembok berbentuk setengah lingkaran di sebelah utara Kakbah).
Beliau bersabda, “Hijr termasuk Kakbah.”
Aku bertanya, “Apa yang menghalangi mereka untuk memasukannya ke dalam Kakbah?”
Beliau menjawab, “Mereka tidak mampu membiayainya.”
Aku bertanya, “Mengapa pintunya tinggi sehingga tidak bisa naik ke pintu itu kecuali menggunakan tangga?”
Beliau menjawab, “Itu perbuatan kaummu agar mereka bisa memasukkan siapa saja yang mereka inginkan dan menghalangi siapa yang mereka inginkan. Kalau bukan karena kaummu masih dekat dengan masa kekafiran karena khawatir hati-hati mereka akan lari (dari agama Islam), tentu aku akan mengubahnya sehingga menambahkan bangunan yang kurang dari Kakbah dan aku jadikan pintunya rata dengan tanah.”

Sunan Ibnu Majah hadits nomor 2954

٣٠ - بَابُ الۡاضۡطِبَاعِ 
30. Bab idhthiba’ (membuka bahu kanan dan mengumpulkan ujung kain ihram di atas bahu kiri) 

٢٩٥٤ – (حسن) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ يَحۡيَى، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ يُوسُفَ وَقَبِيصَةُ، قَالَا: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، عَنِ ابۡنِ جُرَيۡجٍ، عَنۡ عَبۡدِ الۡحَمِيدِ، عَنۡ ابۡنِ يَعۡلَى بۡنِ أُمَيَّةَ، عَنۡ أَبِيهِ يَعۡلَى؛ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ طَافَ مُضۡطَبِعًا. قَالَ قَبِيصَةُ: وَعَلَيۡهِ بُرۡدٌ. [(صحيح أبي داود)(١٦٤٥)، (الحج الكبير)]. 
2954. [Hasan] Muhammad bin Yahya telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Muhammad bin Yusuf dan Qabishah menceritakan kepada kami. Keduanya berkata: Sufyan menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij, dari ‘Abdul Hamid, dari Ibnu Ya’la bin Umayyah, dari ayahnya, yaitu Ya’la; Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tawaf dalam keadaan idhthiba’. Qabishah berkata: Dalam keadaan beliau memakai kain yang bergaris.

Sunan Ibnu Majah hadits nomor 2953

٢٩٥٣ – (صحيح) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ يَحۡيَى، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ، قَالَ: أَنۡبَأَنَا مَعۡمَرٌ، عَنِ ابۡنِ خُثَيۡمٍ، عَنۡ أَبِي الطُّفَيۡلِ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ؛ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِأَصۡحَابِهِ حِينَ أَرَادُوا دُخُولَ مَكَّةَ فِي عُمۡرَتِهِ بَعۡدَ الۡحُدَيۡبِيَةِ: (إِنَّ قَوۡمَكُمۡ غَدًا سَيَرَوۡنَكُمۡ، فَلَيَرَوُنَّكُمۡ جُلۡدًا). فَلَمَّا دَخَلُوا الۡمَسۡجِدَ اسۡتَلَمُوا الرُّكۡنَ وَرَمَلُوا، وَالنَّبِيُّ ﷺ مَعَهُمۡ، حَتَّى إِذَا بَلَغُوا الرُّكۡنَ الۡيَمَانِيَ، مَشَوۡا إِلَى الرُّكۡنِ الۡأَسۡوَدِ، ثُمَّ رَمَلُوا، حَتَّى بَلَغُوا الرُّكۡنَ الۡيَمَانِيَ، ثُمَّ مَشَوۡا إِلَى الرُّكۡنِ الۡأَسۡوَدِ، فَفَعَلَ ذٰلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ مَشَى الۡأَرۡبَعَ. [(صحيح أبي داود)(١٦٤٨ و١٦٥٠-١٦٥١): خ نحوه]. 
2953. [Sahih] Muhammad bin Yahya telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: ‘Abdurrazzaq menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Ma’mar memberitakan kepada kami dari Ibnu Khutsaim, dari Abu Ath-Thufail, dari Ibnu ‘Abbas; Beliau mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada sahabat-sahabatnya ketika mereka hendak masuk Makkah pada umrah beliau setelah Hudaibiyyah, “Sesungguhnya kaum kalian besok akan melihat kalian, maka buat agar mereka melihat kalian dalam keadaan kuat.” Ketika mereka masuk Masjidilharam, mereka mengusap hajar Aswad dan lari kecil, dalam keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama mereka. Sampai ketika mereka sampai Rukun Yamani, mereka berjalan biasa sampai pojok hajar Aswad. Kemudian mereka berlari kecil sampai Rukun Yamani. Kemudian mereka berjalan biasa sampai pojok hajar Aswad. Beliau melakukan hal itu tiga putaran, kemudian berjalan biasa empat putaran.

Putra Tokoh Munafik

Tak selamanya, orang tua yang kafir menurunkan kekafiran kepada anak-anaknya. Sebab hidayah taufik adalah milik Allah, Ialah yang memberikan hidayah Islam kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Oleh karenanya, janganlah kita berputus asa untuk senantiasa mengharap hidayah kepada siapapun, selama ia masih hidup. Sebab masih ada kesempatan bagi setiap orang untuk berubah, selama nyawa masih dikandung badan. Sebagaimana harapan datangnya hidayah juga telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk penduduk Thaif saat beliau diusir dan dilempari batu oleh para penduduk Thaif. Sedangkan Allah telah mengizinkan beliau untuk mendoakan keburukan untuk mereka. Namun, justru beliau memaafkan mereka dan mengatakan: 
بَلۡ أَرۡجُو أَنۡ يُخۡرِجَ اللهُ مِنۡ أَصۡلَابِهِمۡ مَنۡ يَعۡبُدُ اللهَ وَحۡدَهُ لَا يُشۡرِكُ بِهِ شَيۡئًا 
“(Tidak), namun aku berharap supaya Allah subhanahu wa ta’ala melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim].

Pembaca, figur kita kali ini adalah seorang shahabat yang mulia Abdullah bin Abdillah bin Ubay radhiyallahu ‘anhu. Salah seorang shahabat Rasul dari kalangan Anshar. Nama beliau adalah Abdullah bin Abdillah bin Ubay bin Abi Malik bin Al Harits bin Ubaid bin Malik bin Salim bin Ghanam bin Auf bin Al Khazraj Al Anshari. Putra-putra Salim sejak lama mereka memiliki kedudukan yang mulia di suku Khazraj. Hingga kemuliaan nasab ini turun pula kepada ayah beliau Abdullah bin Ubay yang tersohor dengan sebutan Ibnu Salul. Salul adalah nama seorang wanita dari bani Khuza’ah yang merupakan nenek dari Abdullah bin Abdillah bin Ubay. 

Ayah beliau, Abdullah bin Ubay adalah seorang yang dikenal sebagai pemimpinnya kaum munafik. Sekian ayat turun berkenaan dengan kemunafikan ayah beliau ini. Ayahnya adalah juga putra dari bibi (Khalah) dari Abu Amir Ar Rahib yang disebut oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ‘Al Fasiq’. Abu Amir adalah seorang yang dahulunya telah mengetahui akan kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke negeri Yatsrib, mengingatkan kaumnya akan kedatangan Nabi tersebut dan agar mengimaninya. Namun saat datang nabi tersebut, ia justru berbuat dengki dan hasad kepada beliau, dan justru membantu kaum musyrikin dalam memerangi muslimin dalam Perang Badar. Adapun ibu beliau bernama Khaulah bintu Al Mundzir bin Haram bin Amr bin Zaid manaat bin ‘Ady bin Amr bin Malik bin Najjar dari kabilah Maghalah. 

Dahulu, beliau bernama Al Hubaab, lalu Rasulullah pun menggantinya menjadi Abdullah. Beliau adalah seorang shahabat yang mulia dan memiliki kedudukan mulia juga di kaumnya. Dengan nama beliau pulalah ayahnya berkuniah (Abul Hubaab). Sebelum kedatangan Islam, suku Al Khazraj telah menentukan calon kepemimpinan suku mereka kepada Abdullah bin Ubay. Namun tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, maka suku Khazraj pun tidak jadi menjadikannya sebagai pemimpin mereka, namun justru tunduk dan mendukung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah di antara sebab munculnya sikap hasad dari Abdullah bin Ubay terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat Muhajirin dan seluruh shahabat pada umumnya. Ia pun membanggakan dirinya dan menyembunyikan sikap munafik dalam kalbunya. Namun sepandai-pandainya seorang menyimpan bangkai, tetap saja bau busuknya tercium oleh manusia. Sikap munafiknya tersebut terkadang tampak saat terjadi peristiwa-peristiwa tertentu. Demikianlah Allah menampakkan kepada manusia apa yang disembunyikan dalam dada sang munafik ini. Dalam surat Al Munafikun Allah berfirman: 
يَقُولُونَ لَئِن رَّجَعۡنَآ إِلَى ٱلۡمَدِينَةِ لَيُخۡرِجَنَّ ٱلۡأَعَزُّ مِنۡهَا ٱلۡأَذَلَّ ۚ وَلِلَّهِ ٱلۡعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِۦ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ وَلَـٰكِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ لَا يَعۡلَمُونَ 
“Mereka berkata: ‘Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya’. Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” [Q.S. Al Munafiqin: 8] 

Ayat yang mulia ini ditujukan kepada ucapan Abdullah bin Ubay, saat kembali dari perang Tabuk. Tahulah kaum muslimin, akan keadaan Abdullah bin Ubay, termasuk putranya. Tidaklah kekerabatan dan hubungan dengan orang tuanya, menyebabkan Abdullah bin Abdillah bin Ubay radhiyallahu ‘anhu terhambat dari bersikap tegas walaupun dengan ayahnya sendiri. Mendengar ucapan sang ayah tersebut Abdullah tegas berkata di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
هُوَ وَاللهِ الذَّلِيلُ وَأَنۡتَ الۡعَزِيزُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنۡ أَذِنۡتَ لِي فِي قَتۡلِهِ قَتَلۡتُهُ فَوَاللهِ لَقَدۡ عَلِمَتۡ الۡخَزۡرَجُ مَا كَانَ بِهَا أَحَدٌ أَبَرُّ بِوَالِدِهِ مِنِّي وَلَكِنِّي أَخۡشَى أَنۡ تَأۡمُرَ بِهِ رَجُلًا مُسۡلِمًا فَيَقۡتُلُهُ فَلَا تَدَعَنِي نَفۡسِي أَنۡظُرُ إِلَى قَاتِلِ أَبِي يَمۡشِي عَلَى الۡأَرۡضِ حَيًّا حَتَّى أَقۡتُلَهُ فَأَقۡتُلُ مُؤۡمِنًا بِكَافِرٍ فَأَدۡخُلُ النَّارَ 
“Demi Allah, dialah yang rendahan dan engkaulah yang mulia. Wahai Rasulullah, jika engkau mengizinkanku untuk membunuhnya, akulah yang akan membunuhnya. Demi Allah, semua orang Khazraj telah mengetahui bahwa tiada seorang pun di kalangan mereka yang lebih berbakti kepada orang tuanya selain aku. Sesungguhnya aku merasa khawatir jika engkau perintahkan seorang muslim untuk membunuhnya, lalu ia pun membunuhnya maka aku tidak dapat menahan diri melihat pembunuh ayahku berjalan bebas di atas bumi hingga aku pun membunuhnya, sehingga aku pun membunuh seorang mukmin karena dia membunuh seorang yang kafir, lalu aku pun masuk ke neraka.” 

Demikianlah sikap tegas shahabat ini saat Rasulullah disakiti, walau yang menyakitinya adalah orang yang paling ia taati. Bahkan ketegasan Abdullah pun beliau tampakkan sepulang dari pertempuran Tabuk. Dengan tegas, ia hunuskan pedangnya di samping pintu masuk kota Madinah. Hingga tatkala sang ayah hendak masuk ia pun mengatakan, “Demi Allah, engkau tidak boleh melewati pintu gerbang ini sebelum Rasulullah mengizinkan dirimu masuk, karena sesungguhnya dialah orang yang menang dan engkau adalah orang yang kalah.” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, Abdullah bin Ubay mengadu kepada beliau tentang perlakuan putranya. Dan Abdullah putranya berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah, dia tidak boleh masuk sebelum engkau mengizinkannya masuk.” Maka Rasulullah mengizinkannya untuk memasuki Madinah. Dan putranya berkata, “Sekarang Rasulullah telah memberimu izin untuk masuk, maka silakan masuk.” 

Selain ketegasan beliau dalam berislam, beliau pun senantiasa mengikuti pertempuran antara muslimin dan musyrikin. Di antara sepak terjang Abdullah bin Abdillah bin Ubay adalah beliau mengikuti perang Badar, perang Uhud, dan seluruh pertempuran bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan pujiannya kepada beliau.

Tercatat putra-putri beliau bernama Ubadah, Julaikhah, Khaitsamah, Khawaliy, dan Umamah.

Sebagian ulama menyebutkan di antara yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah Ummul Mukminin Aisyah tentang pemberian izin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Abdullah bin Abdullah bin Ubay untuk menggunakan hidung palsu yang terbuat dari emas. Hal ini dikarenakan beliau tertimpa musibah saat pertempuran Uhud pada batang hidung beliau. 

Abdullah radhiyallahu ‘anhu syahid saat Perang Yamamah untuk memerangi Musailamah Al Kadzdzab. Di masa kepemimpinan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tepatnya di tahun 12 Hijriyah. Semoga Allah meridhainya. 

[Ustadz Hammam] 

Sumber: Majalah Tashfiyah vol.07 1439H-2018H edisi 79 rubrik Figur.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 4295

٤٢٩٥ – حَدَّثَنَا سَعِيدُ بۡنُ شُرَحۡبِيلٍ: حَدَّثَنَا اللَّيۡثُ، عَنِ الۡمَقۡبُرِيِّ، عَنۡ أَبِي شُرَيۡحٍ الۡعَدَوِيِّ: أَنَّهُ قَالَ لِعَمۡرِو بۡنِ سَعِيدٍ، وَهُوَ يَبۡعَثُ الۡبُعُوثَ إِلَى مَكَّةَ: ائۡذَنۡ لِي أَيُّهَا الۡأَمِيرُ، أُحَدِّثۡكَ قَوۡلًا قَامَ بِهِ رَسُولُ اللهِ ﷺ الۡغَدَ يَوۡمَ الۡفَتۡحِ، سَمِعَتۡهُ أُذُنَايَ وَوَعَاهُ قَلۡبِي، وَأَبۡصَرَتۡهُ عَيۡنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ بِهِ: حَمِدَ اللهَ وَأَثۡنَى عَلَيۡهِ، ثُمَّ قَالَ: (إِنَّ مَكَّةَ حَرَّمَهَا اللهُ، وَلَمۡ يُحَرِّمۡهَا النَّاسُ، لَا يَحِلُّ لِامۡرِىءٍ يُؤۡمِنُ بِاللهِ وَالۡيَوۡمِ الۡآخِرِ أَنۡ يَسۡفِكَ بِهَا دَمًا، وَلَا يَعۡضِدَ بِهَا شَجَرًا، فَإِنۡ أَحَدٌ تَرَخَّصَ لِقِتَالِ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِيهَا، فَقُولُوا لَهُ: إِنَّ اللهَ أَذِنَ لِرَسُولِهِ وَلَمۡ يَأۡذَنۡ لَكُمۡ، وَإِنَّمَا أَذِنَ لِي فِيهَا سَاعَةً مِنۡ نَهَارٍ، وَقَدۡ عَادَتۡ حُرۡمَتُهَا الۡيَوۡمَ كَحُرۡمَتِهَا بِالۡأَمۡسِ، وَلِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الۡغَائِبَ). فَقِيلَ لِأَبِي شُرَيۡحٍ: مَاذَا قَالَ لَكَ عَمۡرٌو؟ قَالَ: قَالَ: أَنَا أَعۡلَمُ بِذٰلِكَ مِنۡكَ يَا أَبَا شُرَيۡحٍ، إِنَّ الۡحَرَمَ لَا يُعِيذُ عَاصِيًا، وَلَا فَارًّا بِدَمٍ، وَلَا فَارًّا بِخَرۡبَةٍ. 
قَالَ أَبُو عَبۡدِ اللهِ: الۡخَرۡبَةُ الۡبَلِيَّةُ. [طرفه: ١٠٤]. 
4295. Sa’id bin Syurahbil telah menceritakan kepada kami: Al-Laits menceritakan kepada kami dari Al-Maqburi, dari Abu Syuraih Al-‘Adawi: Bahwa beliau berkata kepada ‘Amr bin Sa’id ketika mengirim pasukan ke Makkah: Izinkan aku wahai pemimpin, untuk aku ceritakan kepadamu suatu perkataan yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di pagi hari Fathu Makkah. Kedua telingaku mendengarnya, hatiku menghafalnya, dan kedua mataku melihat beliau ketika mengucapkannya. Beliau memuji dan menyanjung Allah kemudian bersabda, “Sesungguhnya Makkah telah Allah jadikan sebagai tempat suci dan bukan manusia yang menjadikannya tempat suci. Tidak halal bagi seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah di sana dan memotong pohon di sana. Jika ada orang yang menganggap boleh beralasan dengan peperangan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan di sana, maka katakan kepadanya: Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kepada Rasul-Nya dan tidak mengizinkan kalian. Allah mengizinkan aku sesaat saja di siang hari dan hari ini kesuciannya telah kembali seperti kesucian kemarin. Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Ada yang bertanya kepada Abu Syuraih: Apa yang dikatakan ‘Amr kepadamu? Abu Syuraih menjawab: ‘Amr berkata: Aku lebih mengetahui hal itu daripada engkau wahai Abu Syuraih, sesungguhnya kesucian (Makkah) itu tidak dapat melindungi orang yang bermaksiat, orang yang kabur karena membunuh, dan orang yang kabur karena mencuri. 
Abu ‘Abdullah berkata: Kharbah adalah baliyyah (cobaan).

'Umdatul Ahkam - Kitab Haji - Bab Fidiah

٣٩ – بَابُ الۡفِدۡيَةِ 
39. Bab fidiah 

٢٢٤ - عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ مَعۡقِلٍ قَالَ: جَلَسۡتُ إلَى كَعۡبِ بۡنِ عُجۡرَةَ فَسَأَلۡتُهُ عَنِ الۡفِدۡيَةِ، فَقَالَ: نَزَلَتۡ فِيَّ خَاصَّةً، وَهِيَ لَكُمۡ عَامَّةً! حُمِلۡتُ إلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَالۡقَمۡلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجۡهِي. فَقَالَ: (مَا كُنۡتُ أُرَى الۡوَجَعَ بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى - أَوۡ مَا كُنۡتُ أُرَى الۡجَهۡدَ بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى - أَتَجِدُ شَاةً؟) فَقُلۡتُ: لَا، قَالَ: (فَصُمۡ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوۡ أَطۡعِمۡ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، لِكُلِّ مِسۡكِينٍ نِصۡفَ صَاعٍ). 
وَفِي رِوَايَةٍ: فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنۡ يُطۡعِمَ فَرَقًا بَيۡنَ سِتَّةِ مَسَاكِينَ، أَوۡ يُهۡدِيَ شَاةً، أَوۡ يَصُومَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ. 
224. Dari ‘Abdullah bin Ma’qil, beliau mengatakan: Aku duduk bertemu Ka’b bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, lalu aku bertanya kepadanya tentang fidiah. Beliau mengatakan: Suatu ayat telah turun untukku secara khusus dan ayat itu berlaku bagi kalian secara umum. Aku pernah dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kutu bertebaran di wajahku. Beliau bersabda, “Aku tadinya tidak menyangka penyakit telah menimpamu seperti yang aku lihat.” Atau, “Aku tadinya tidak menyangka kesusahan telah menimpamu seperti yang aku lihat. Apakah engkau mendapati seekor kambing?” Aku menjawab: Tidak. Lalu beliau bersabda, “Puasalah selama tiga hari atau berilah makan enam orang miskin, setiap satu orang miskin seukuran setengah sha’.”[1] 
Di dalam riwayat lain: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memberi makan satu faraq (tiga sha’) untuk enam orang miskin, menyembelih seekor kambing, atau berpuasa selama tiga hari.[2]

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 4517

٣٢ - بَابُ ﴿فَمَنۡ كَانَ مِنۡكُمۡ مَرِيضًا أَوۡ بِهِ أَذًى مِنۡ رَأۡسِهِ﴾ ۝١٩٦ 
32. Bab “Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya” (QS. Al-Baqarah: 196) 

٤٥١٧ - حَدَّثَنَا آدَمُ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ، عَنۡ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ بۡنِ الۡأَصۡبَهَانِيِّ قَالَ: سَمِعۡتُ عَبۡدَ اللهِ بۡنَ مَعۡقِلٍ قَالَ: قَعَدۡتُ إِلَى كَعۡبِ بۡنِ عُجۡرَةَ فِي هَٰذَا الۡمَسۡجِدِ - يَعۡنِي مَسۡجِدَ الۡكُوفَةِ - فَسَأَلۡتُهُ عَنۡ: فِدۡيَةٌ مِنۡ صِيَامٍ. فَقَالَ: حُمِلۡتُ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ وَالۡقَمۡلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجۡهِي، فَقَالَ: (مَا كُنۡتُ أُرَى أَنَّ الۡجَهۡدَ قَدۡ بَلَغَ بِكَ هَٰذَا، أَمَا تَجِدُ شَاةً؟) قُلۡتُ: لَا، قَالَ: (صُمۡ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، أَوۡ أَطۡعِمۡ سِتَّةَ مَسَاكِينَ لِكُلِّ مِسۡكِينٍ نِصۡفُ صَاعٍ مِنۡ طَعَامٍ، وَاحۡلِقۡ رَأۡسَكَ). فَنَزَلَتۡ فِيَّ خَاصَّةً، وَهِيَ لَكُمۡ عَامَّةً. [طرفه في: ١٨١٤]. 
4517. Adam telah menceritakan kepada kami: Syu’bah menceritakan kepada kami dari ‘Abdurrahman bin Al-Ashbahani. Beliau berkata: Aku mendengar ‘Abdullah bin Ma’qil berkata: Aku duduk menghadap Ka’b bin ‘Ujrah di dalam masjid ini, yakni masjid Kufah. Lalu aku bertanya kepada beliau tentang fidiah berupa puasa (yaitu di ayat ke-196 surah Al-Baqarah). Beliau berkata: Aku pernah dibawa menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kutu bertebaran di wajahku. Lalu beliau bersabda, “Aku tadinya tidak mengira bahwa engkau tertimpa kesulitan seperti ini. Apakah engkau mendapatkan seekor kambing?” Aku menjawab, “Tidak.” Nabi bersabda, “Berpuasalah selama tiga hari atau berilah makan enam orang miskin, tiap orang miskin mendapatkan setengah sha’ makanan. Dan gundulilah kepalamu.” Sehingga ayat tersebut turun khusus untukku, namun berlaku umum untuk kalian.

'Umdatul Ahkam - Kitab Haji - Bab pakaian yang boleh dikenakan oleh orang yang berihram

٣٨ – بَابُ مَا يَلۡبِسُ الۡمُحۡرِمُ مِنَ الثِّيَابِ 
38. Bab pakaian yang boleh dikenakan oleh orang yang berihram 

٢٢٠ – عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا يَلۡبَسُ الۡمُحۡرِمُ مِنَ الثِّيَابِ؟ قَالَ: (لَا تَلۡبَسُوا الۡقُمُصَ، وَلَا الۡعَمَائِمَ، وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ، وَلَا الۡبَرَانِسَ، وَلَا الۡخِفَافَ، إِلَّا أَحَدٌ لَا يَجِدُ نَعۡلَيۡنِ فَلۡيَلۡبَسِ الۡخُفَّيۡنِ، وَلۡيَقۡطَعۡهُمَا أَسۡفَلَ مِنَ الۡكَعۡبَيۡنِ، وَلَا تَلۡبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيۡئًا مَسَّهُ زَعۡفَرَانٌ أَوۡ وَرۡسٌ). 
وَلِلۡبُخَارِيِّ: (وَلَا تَنۡتَقِبُ الۡمُحۡرِمَةُ وَلَا تَلۡبَسُ الۡقُفَّازَيۡنِ). 
220. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, pakaian apa yang boleh dikenakan oleh orang yang berihram? Rasulullah menjawab, “Orang yang berihram tidak boleh mengenakan gamis, serban, sirwal (celana panjang longgar), burnus (jubah yang ada tutup kepala), dan khuff (sejenis sepatu). Kecuali apabila seseorang tidak mendapatkan sandal, maka silakan ia memakai khuff, dan ia potong khuff tersebut di bawah dua mata kaki. Jangan pula memakai pakaian yang diberi safron atau wars (pewarna kuning dari tanaman).”[1]
Dalam riwayat Al-Bukhari[2], “Wanita yang berihram tidak boleh memakai cadar dan tidak boleh memakai sarung tangan.” 
٢٢١ – عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا قَالَ:سَمِعۡتُ النَّبِيَّ ﷺ يَخۡطُبُ بِعَرَفَاتٍ: (مَنۡ لَمۡ يَجِدۡ نَعۡلَيۡنِ فَلۡيَلۡبَسۡ خُفَّيۡنِ، وَمَنۡ لَمۡ يَجِدۡ إِزَارًا فَلۡيَلۡبَسۡ سَرَاوِيلَ) يَعۡنِي لِلۡمُحۡرِمِ. 
221. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau khotbah di ‘Arafah, “Siapa saja yang tidak mendapatkan sandal, dia boleh memakai khuff (sejenis sepatu). Siapa saja yang tidak mendapatkan izar (kain yang disarungkan), dia boleh memakai sirwal (celana panjang longgar).” Yakni bagi orang yang berihram.[3]
٢٢٢ - عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا أَنَّ تَلۡبِيَةَ رَسُولِ اللهِ ﷺ: (لَبَّيۡكَ اللَّٰهُمَّ لَبَّيۡكَ، لَبَّيۡكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيۡكَ. إِنَّ الۡحَمۡدَ وَالنِّعۡمَةَ لَكَ، وَالۡمُلۡكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ). 
222. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma: Bahwa bacaan talbiah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat, dan kerajaan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.”[4]
قَالَ: وَكَانَ عَبۡدُ اللهِ بۡنُ عُمَرَ يَزِيدُ فِيهَا: لَبَّيۡكَ لَبَّيۡكَ وَسَعۡدَيۡكَ، وَالۡخَيۡرُ بِيَدَيۡكَ، وَالرَّغۡبَاءُ إلَيۡكَ وَالۡعَمَلُ. 
Dia berkata: ‘Abdullah bin ‘Umar menambahkan di dalam kalimat talbiah itu: Aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu dengan senang hati dan seluruh kebaikan di kedua tangan-Mu. Segala harapan dan amalan adalah untuk-Mu. 
٢٢٣ - عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (لَا يَحِلُّ لِامۡرَأَةٍ تُؤۡمِنُ بِاللهِ وَالۡيَوۡمِ الۡآخِرِ، أَنۡ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوۡمٍ وَلَيۡلَةٍ لَيۡسَ مَعَهَا حُرۡمَةٌ). وَفِي لَفۡظٍ لِلۡبُخَارِيِّ: (لَا تُسَافِرۡ يَوۡمًا وَلَا لَيۡلَةً، إِلَّا مَعَ ذِي مَحۡرَمٍ). 
223. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan safar sejauh perjalanan sehari semalam dengan tanpa mahram.”[5] Di dalam lafal hadis milik Al-Bukhari, “Janganlah seorang wanita melakukan perjalanan selama sehari atau semalam kecuali bersama mahram.”[6]