Cari Blog Ini

Shahih Muslim hadits nomor 1426

٧٨ - (١٤٢٦) - حَدَّثَنَا إِسۡحَاقُ بۡنُ إِبۡرَاهِيمَ: أَخۡبَرَنَا عَبۡدُ الۡعَزِيزِ بۡنُ مُحَمَّدٍ: حَدَّثَنِي يَزِيدُ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ أُسَامَةَ بۡنِ الۡهَادِ. (ح) وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ أَبِي عُمَرَ الۡمَكِّيُّ - وَاللَّفۡظُ لَهُ -: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الۡعَزِيزِ، عَنۡ يَزِيدَ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ إِبۡرَاهِيمَ، عَنۡ أَبِي سَلَمَةَ بۡنِ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ، أَنَّهُ قَالَ: سَأَلۡتُ عَائِشَةَ زَوۡجَ النَّبِيِّ ﷺ: كَمۡ كَانَ صَدَاقُ رَسُولِ اللهِ ﷺ؟ قَالَتۡ: كَانَ صَدَاقُهُ لِأَزۡوَاجِهِ ثِنۡتَيۡ عَشۡرَةَ أُوقِيَّةً وَنَشًّا. قَالَتۡ: أَتَدۡرِي مَا النَّشُّ؟ قَالَ: قُلۡتُ: لَا. قَالَتۡ: نِصۡفُ أُوقِيَّةٍ. فَتِلۡكَ خَمۡسُ مِائَةِ دِرۡهَمٍ. فَهٰذَا صَدَاقُ رَسُولِ اللهِ ﷺ لِأَزۡوَاجِهِ.
78. (1426). Ishaq bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami: ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad mengabarkan kepada kami: Yazid bin ‘Abdullah bin Usamah bin Al-Had. (Dalam riwayat lain) Muhammad bin Abu ‘Umar Al-Makki telah menceritakan kepadaku –dan redaksi hadis ini milik beliau-: ‘Abdul ‘Aziz menceritakan kepada kami, dari Yazid, dari Muhammad bin Ibrahim, dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, bahwa beliau berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Berapakah mahar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? ‘Aisyah menjawab: Mahar beliau kepada para istrinya adalah dua belas uqiyyah (empat puluh dirham) dan satu nasysy. ‘Aisyah bertanya: Apakah engkau tahu apakah nasysy itu? Abu Salamah berkata: Aku berkata: Tidak. ‘Aisyah berkata: Nasysy adalah setengah uqiyyah. Sehingga jumlahnya lima ratus dirham. Inilah mahar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para istri beliau.

Shahih Muslim hadits nomor 1425

١٣ - بَابُ الصَّدَاقِ وَجَوَازِ كَوۡنِهِ تَعۡلِيمَ قُرۡآنٍ وَخَاتَمَ حَدِيدٍ وَغَيۡرَ ذَلِكَ مِنۡ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ، وَاسۡتِحۡبَابِ كَوۡنِهِ خَمۡسَمِائَةِ دِرۡهَمٍ لِمَنۡ لَا يُجۡحِفُ بِهِ
13. Bab mahar, bolehnya berupa pengajaran Alquran, cincin besi, dan selain itu baik sedikit atau banyak, serta disukainya berupa lima ratus dirham bagi siapa saja yang tidak terbebani dengannya

٧٦ - (١٤٢٥) - حَدَّثَنَا قُتَيۡبَةُ بۡنُ سَعِيدٍ الثَّقَفِيُّ: حَدَّثَنَا يَعۡقُوبُ - يَعۡنِي ابۡنَ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ الۡقَارِيَّ - عَنۡ أَبِي حَازِمٍ، عَنۡ سَهۡلِ بۡنِ سَعۡدٍ. (ح) وَحَدَّثَنَاهُ قُتَيۡبَةُ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الۡعَزِيزِ بۡنُ أَبِي حَازِمٍ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ سَهۡلِ بۡنِ سَعۡدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ: جَاءَتِ امۡرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقَالَتۡ: يَا رَسُولَ اللهِ، جِئۡتُ أَهَبُ لَكَ نَفۡسِي، فَنَظَرَ إِلَيۡهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأۡطَأَ رَسُولُ اللهِ ﷺ رَأۡسَهُ، فَلَمَّا رَأَتِ الۡمَرۡأَةُ أَنَّهُ لَمۡ يَقۡضِ فِيهَا شَيۡئًا، جَلَسَتۡ. فَقَامَ رَجُلٌ مِنۡ أَصۡحَابِهِ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنۡ لَمۡ يَكُنۡ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجۡنِيهَا. فَقَالَ: (فَهَلۡ عِنۡدَكَ مِنۡ شَيۡءٍ؟) فَقَالَ: لَا، وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ. فَقَالَ: (اذۡهَبۡ إِلَىٰ أَهۡلِكَ فَانۡظُرۡ هَلۡ تَجِدُ شَيۡئًا؟) فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ. فَقَالَ: لَا، وَاللهِ، مَا وَجَدۡتُ شَيۡئًا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (انۡظُرۡ وَلَوۡ خَاتَمًا مِنۡ حَدِيدٍ) فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ. فَقَالَ: لَا، وَاللهِ، يَا رَسُولَ اللهِ، وَلَا خَاتَمًا مِنۡ حَدِيدٍ، وَلَكِنۡ هٰذَا إِزَارِي.- قَالَ سَهۡلٌ: مَا لَهُ رِدَاءٌ - فَلَهَا نِصۡفُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (مَا تَصۡنَعُ بِإِزَارِكَ؟ إِنۡ لَبِسۡتَهُ لَمۡ يَكُنۡ عَلَيۡهَا مِنۡهُ شَيۡءٌ، وَإِنۡ لَبِسَتۡهُ لَمۡ يَكُنۡ عَلَيۡكَ مِنۡهُ شَيۡءٌ) فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّىٰ إِذَا طَالَ مَجۡلِسُهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ مُوَلِّيًا، فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ. فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: (مَاذَا مَعَكَ مِنَ الۡقُرۡآنِ؟) قَالَ: مَعِي سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا - عَدَّدَهَا - فَقَالَ: (تَقۡرَؤُهُنَّ عَنۡ ظَهۡرِ قَلۡبِكَ؟) قَالَ: نَعَمۡ. قَالَ: (اذۡهَبۡ فَقَدۡ مَلَّكۡتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الۡقُرۡآنِ).
هٰذَا حَدِيثُ ابۡنِ أَبِي حَازِمٍ. وَحَدِيثُ يَعۡقُوبَ يُقَارِبُهُ فِي اللَّفۡظِ.
76. (1425). Qutaibah bin Sa’id Ats-Tsaqafi telah menceritakan kepada kami: Ya’qub bin ‘Abdurrahman Al-Qari menceritakan kepada kami dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’d. (Dalam riwayat lain) Qutaibah telah menceritakannya kepada kami: ‘Abdul ‘Aziz bin Abu Hazim menceritakan kepada kami, dari ayahnya, dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi, beliau mengatakan: Seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memandangnya. Beliau menaikkan dan menurunkan pandangannya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepalanya. Ketika wanita tadi melihat bahwa Nabi tidak memberi keputusan apapun tentangnya, wanita itu pun duduk. Seseorang dari kalangan sahabat beliau berdiri seraya berkata: Wahai Rasulullah, jika engkau tidak memiliki kebutuhan terhadapnya, maka nikahkanlah aku dengannya. Nabi bertanya, “Apakah engkau memiliki mahar?” Orang itu menjawab: Tidak punya, demi Allah, wahai Rasulullah. Nabi bersabda, “Pergilah kepada keluargamu lalu lihatlah apakah engkau mendapatkan sesuatu.” Orang itu pergi kemudian kembali dan berkata: Tidak ada, demi Allah, aku tidak mendapatkan apa-apa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Carilah walau sebuah cincin dari besi.” Orang itu pergi lalu kembali dan berkata: Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah. Tidak ada sebuah cincin dari besi, tetapi yang ada kain bawahku ini -Sahl berkata: Orang itu tidak punya kain atas-, setengahnya untuk wanita itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang bisa engkau lakukan dengan kain bawahmu? Jika engkau memakainya, berarti wanita tadi tidak memakainya. Dan jika wanita itu memakainya, engkau tidak memakai apa-apa.” Orang itu duduk. Hingga ketika sudah lama duduk, dia bangkit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya berbalik. Beliau memerintahkan agar dipanggil. Ketika orang itu datang, beliau bertanya, “Apa bacaan Alquran yang ada padamu?” Orang itu menjawab: Padaku ada surah ini dan ini. Dia menyebutkannya satu per satu. Nabi bertanya, “Apakah engkau membacanya di luar kepala?” Orang itu menjawab: Iya. Beliau bersabda, “Pergilah! Karena aku telah nikahkan engkau dengannya dengan hafalan Alquranmu.”
Ini adalah hadis Ibnu Abu Hazim. Dan hadis Ya’qub mirip redaksinya.
٧٧ - (...) - وَحَدَّثَنَاهُ خَلَفُ بۡنُ هِشَامٍ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بۡنُ زَيۡدٍ. (ح) وَحَدَّثَنِيهِ زُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ بۡنُ عُيَيۡنَةَ. (ح) وَحَدَّثَنَا إِسۡحَاقُ بۡنُ إِبۡرَاهِيمَ، عَنِ الدَّرَاوَرۡدِيِّ. (ح) وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ: حَدَّثَنَا حُسَيۡنُ بۡنُ عَلِيٍّ، عَنۡ زَائِدَةَ. كُلُّهُمۡ عَنۡ أَبِي حَازِمٍ، عَنۡ سَهۡلِ بۡنِ سَعۡدٍ، بِهٰذَا الۡحَدِيثِ. يَزِيدُ بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ، غَيۡرَ أَنَّ فِي حَدِيثِ زَائِدَةَ قَالَ: (انۡطَلِقۡ فَقَدۡ زَوَّجۡتُكَهَا فَعَلِّمۡهَا مِنَ الۡقُرۡآنِ).
77. Khalaf bin Hisyam telah menceritakannya kepada kami: Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Zuhair bin Harb telah menceritakannya kepadaku: Sufyan bin ‘Uyainah menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Ishaq bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami, dari Ad-Darawardi. (Dalam riwayat lain) Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami: Husain bin ‘Ali menceritakan kepada kami, dari Zaidah. Mereka semua dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’d dengan hadis ini. Sebagian mereka menambahkan sebagian lainnya, hanya saja di dalam hadis Zaidah, beliau bersabda, “Pergilah, sungguh aku telah nikahkan engkau dengannya, oleh karena itu, ajarilah bacaan Alquran itu kepadanya.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1863

١٨٦٣ - حَدَّثَنَا عَبۡدَانُ: أَخۡبَرَنَا يَزِيدُ بۡنُ زُرَيۡعٍ: أَخۡبَرَنَا حَبِيبٌ الۡمُعَلِّمُ، عَنۡ عَطَاءٍ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا قَالَ: لَمَّا رَجَعَ النَّبِيُّ ﷺ مِنۡ حَجَّتِهِ، قَالَ لِأُمِّ سِنَانٍ الۡأَنۡصَارِيَّةِ: (مَا مَنَعَكِ مِنَ الۡحَجِّ؟) قَالَتۡ: أَبُو فُلاَنٍ، تَعۡنِي زَوۡجَهَا، كَانَ لَهُ نَاضِحَانِ حَجَّ عَلَى أَحَدِهِمَا، وَالۡآخَرُ يَسۡقِي أَرۡضًا لَنَا. قَالَ: (فَإِنَّ عُمۡرَةً فِي رَمَضَانَ تَقۡضِي حَجَّةً مَعِي). رَوَاهُ ابۡنُ جُرَيۡجٍ، عَنۡ عَطَاءٍ: سَمِعۡتُ ابۡنَ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ. وَقَالَ عُبَيۡدُ اللهِ، عَنۡ عَبۡدِ الۡكَرِيمِ، عَنۡ عَطَاءٍ، عَنۡ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ. [طرفه في: ١٧٨٢].
1863. ‘Abdan telah menceritakan kepada kami: Yazid bin Zurai’ mengabarkan kepada kami: Habib Al-Mu’allim mengabarkan kepada kami, dari ‘Atha`, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari hajinya, beliau bertanya kepada Ummu Sinan Al-Anshariyyah, “Apa yang menghalangimu dari berangkat haji?”
Ummu Sinan menjawab, “Abu Fulan (yakni suaminya), memiliki dua ekor unta untuk mengairi, dia berangkat haji menaiki salah satunya, sedangkan yang satu ekor lainnya untuk mengairi tanah kami.”
Nabi bersabda, “Sesungguhnya umrah di bulan Ramadan seperti haji bersamaku.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, dari ‘Atha`: Aku mendengar Ibnu ‘Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Ubaidullah berkata, dari ‘Abdul Karim, dari ‘Atha`, dari Jabir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 3949

١ - بَابُ غَزۡوَةِ الۡعُشَيۡرَةِ، أَوِ الۡعُسَيۡرَةِ
1. Bab perang ‘Usyairah atau ‘Usairah

وَقَالَ ابۡنُ إِسۡحَاقَ: أَوَّلُ مَا غَزَا النَّبِيُّ ﷺ الۡأَبۡوَاءَ، ثُمَّ بُوَاطَ، ثُمَّ الۡعُشَيۡرَةَ.
Ibnu Ishaq berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pertama kali mengikuti perang Al-Abwa`, kemudian Buwath, kemudian ‘Usyairah.
٣٩٤٩ - حَدَّثَنِي عَبۡدُ اللهِ بۡنُ مُحَمَّدٍ: حَدَّثَنَا وَهۡبٌ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ، عَنۡ أَبِي إِسۡحَاقَ: كُنۡتُ إِلَى جَنۡبِ زَيۡدِ بۡنِ أَرۡقَمَ، فَقِيلَ لَهُ: كَمۡ غَزَا النَّبِيُّ ﷺ مِنۡ غَزۡوَةٍ؟ قَالَ: تِسۡعَ عَشۡرَةَ، قِيلَ: كَمۡ غَزَوۡتَ أَنۡتَ مَعَهُ؟ قَالَ: سَبۡعَ عَشۡرَةَ، قُلۡتُ: فَأَيُّهُمۡ كَانَتۡ أَوَّلَ؟ قَالَ: الۡعُسَيۡرَةُ أَوِ الۡعُشَيۡرُ، فَذَكَرۡتُ لِقَتَادَةَ، فَقَالَ: الۡعُشَيۡرُ.
[الحديث ٣٩٤٩ – طرفاه في: ٤٤٠٤، ٤٤٧١].
3949. ‘Abdullah bin Muhammad telah menceritakan kepadaku: Wahb menceritakan kepada kami: Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Abu Ishaq: Aku pernah berada di sisi Zaid bin Arqam, lalu ada yang bertanya kepada beliau: Berapa kali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang? Beliau menjawab: Sembilan belas kali. Beliau ditanya: Berapa kali engkau berperang bersama beliau? Zaid menjawab: Tujuh belas kali. Aku bertanya: Perang apa yang paling pertama? Zaid menjawab: Al-‘Usairah atau Al-‘Usyairah. Aku menyebutkan kepada Qatadah, lalu beliau berkata: Al-‘Usyair.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 4396

٤٣٩٦ - حَدَّثَنِي عَمۡرُو بۡنُ عَلِيٍّ: حَدَّثَنَا يَحۡيَى بۡنُ سَعِيدٍ: حَدَّثَنَا ابۡنُ جُرَيۡجٍ قَالَ: حَدَّثَنِي عَطَاءٌ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ: إِذَا طَافَ بِالۡبَيۡتِ فَقَدۡ حَلَّ، فَقُلۡتُ: مِنۡ أَيۡنَ قَالَ هٰذَا ابۡنُ عَبَّاسٍ؟ قَالَ: مِنۡ قَوۡلِ اللهِ تَعَالَى: ﴿ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الۡبَيۡتِ الۡعَتِيقِ﴾ [الحج: ٣٣]. وَمِنۡ أَمۡرِ النَّبِيِّ ﷺ أَصۡحَابَهُ أَنۡ يَحِلُّوا فِي حَجَّةِ الۡوَدَاعِ. فَقُلۡتُ: إِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ بَعۡدَ الۡمُعَرَّفِ، قَالَ: كَانَ ابۡنُ عَبَّاسٍ يَرَاهُ قَبۡلُ وَبَعۡدُ.
4396. ‘Amr bin ‘Ali telah menceritakan kepadaku: Yahya bin Sa’id menceritakan kepada kami: Ibnu Juraij menceritakan kepada kami, beliau berkata: ‘Atha` menceritakan kepadaku dari Ibnu ‘Abbas: Ketika seseorang sudah tawaf di Kakbah, maka ia sudah tahalul. Aku (Ibnu Juraij) bertanya: Dari mana Ibnu ‘Abbas berpendapat seperti ini? ‘Atha` menjawab: Dari firman Allah taala, “kemudian tempat tahalulnya ialah setelah sampai ke Baitullah.” (QS. Al-Hajj: 33). Dan dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya agar tahalul ketika haji wadak. Aku berkata: Tahalul itu hanyalah setelah wukuf di Arafah. ‘Atha` berkata: Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa tahalul bisa sebelum dan sesudah (wukuf).

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 395

٣٠ - بَابُ قَوۡلِ اللهِ تَعَالَى: ﴿وَاتَّخِذُوا مِنۡ مَقَامِ إِبۡرَاهِيمَ مُصَلًّى﴾ [البقرة: ١٢٥]
30. Bab firman Allah taala, “Dan jadikanlah sebagian makam (tempat berdiri ketika membangun Kakbah) Ibrahim sebagai tempat salat.” (QS. Al-Baqarah: 125)

٣٩٥ - حَدَّثَنَا الۡحُمَيۡدِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ قَالَ: حَدَّثَنَا عَمۡرُو بۡنُ دِينَارٍ قَالَ: سَأَلۡنَا ابۡنَ عُمَرَ، عَنۡ رَجُلٍ طَافَ بِالۡبَيۡتِ الۡعُمۡرَةَ، وَلَمۡ يَطُفۡ بَيۡنَ الصَّفَا وَالۡمَرۡوَةِ، أَيَأۡتِي امۡرَأَتَهُ؟ فَقَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ ﷺ، فَطَافَ بِالۡبَيۡتِ سَبۡعًا، وَصَلَّى خَلۡفَ الۡمَقَامِ رَكۡعَتَيۡنِ، وَطَافَ بَيۡنَ الصَّفَا وَالۡمَرۡوَةِ، وَقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ اللهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ. [الحديث ٣٩٥ – أطرافه في: ١٦٢٣، ١٦٢٧، ١٦٤٥، ١٦٤٧، ١٧٩٣].
395. Al-Humaidi telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Sufyan menceritakan kepada kami, beliau berkata: ‘Amr bin Dinar menceritakan kepada kami, beliau berkata: Kami bertanya kepada Ibnu ‘Umar tentang seseorang yang sudah tawaf umrah di Kakbah, namun belum sai antara Shafa dan Marwah, apakah dia boleh mendatangi istrinya? Beliau menjawab: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba, lalu beliau tawaf di Kakbah sebanyak tujuh putaran dan salat dua rakaat di belakang makam (tempat berdiri) Ibrahim. Lalu beliau tawaf antara Shafa dan Marwah dan sungguh ada teladan yang baik untuk kalian pada diri Rasulullah.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 4353 dan 4354

٤٣٥٣، ٤٣٥٤ - حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ: حَدَّثَنَا بِشۡرُ بۡنُ الۡمُفَضَّلِ، عَنۡ حُمَيۡدٍ الطَّوِيلِ: حَدَّثَنَا بَكۡرٌ: أَنَّهُ ذَكَرَ لِابۡنِ عُمَرَ: أَنَّ أَنَسًا حَدَّثَهُمۡ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أَهَلَّ بِعُمۡرَةٍ وَحَجَّةٍ، فَقَالَ: أَهَلَّ النَّبِيُّ ﷺ بِالۡحَجِّ، وَأَهۡلَلۡنَا بِهِ مَعَهُ، فَلَمَّا قَدِمۡنَا مَكَّةَ قَالَ: (مَنۡ لَمۡ يَكُنۡ مَعَهُ هَدۡيٌ فَلۡيَجۡعَلۡهَا عُمۡرَةً). وَكَانَ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ هَدۡيٌ، فَقَدِمَ عَلَيۡنَا عَلِيُّ بۡنُ أَبِي طَالِبٍ مِنَ الۡيَمَنِ حَاجًّا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (بِمَ أَهۡلَلۡتَ فَإِنَّ مَعَنَا أَهۡلَكَ؟) قَالَ: أَهۡلَلۡتُ بِمَا أَهَلَّ بِهِ النَّبِيُّ ﷺ، قَالَ: (فَأَمۡسِكۡ، فَإِنَّ مَعَنَا هَدۡيًا).
4353, 4354. Musaddad telah menceritakan kepada kami: Bisyr bin Al-Mufadhdhal menceritakan kepada kami, dari Humaid Ath-Thawil: Bakr menceritakan kepada kami: Bahwa beliau menyebutkan kepada Ibnu ‘Umar bahwa Anas menceritakan kepada mereka: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai ihram untuk umrah dan haji. Ibnu ‘Umar mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai ihram untuk haji dan kami memulai ihram bersama beliau. Ketika kami tiba di Makkah, beliau bersabda, “Siapa saja yang tidak membawa hewan hady, maka hendaknya ia jadikan hajinya sebagai umrah.” Ketika itu ada hewan hady bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Ali bin Abu Thalib datang kepada kami dari Yaman dalam rangka haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dengan apa engkau memulai ihram? Karena keluargamu ada bersama kami.” ‘Ali menjawab: Aku memulai ihram sama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai ihram. Nabi bersabda, “Kalau begitu, tetaplah dalam keadaan ihram. Karena ada hewan hady bersama kami.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 319

١٩ - بَابٌ كَيۡفَ تُهِلُّ الۡحَائِضُ بِالۡحَجِّ وَالۡعُمۡرَةِ
19. Bab bagaimana wanita haid memulai ihram untuk haji dan umrah

٣١٩ - حَدَّثَنَا يَحۡيَى بۡنُ بُكَيۡرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا اللَّيۡثُ عَنۡ عُقَيۡلٍ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ عُرۡوَةَ، عَنۡ عَائِشَةَ قَالَتۡ: خَرَجۡنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ فِي حَجَّةِ الۡوَدَاعِ، فَمِنَّا مَنۡ أَهَلَّ بِعُمۡرَةٍ، وَمِنَّا مَنۡ أَهَلَّ بِحَجٍّ، فَقَدِمۡنَا مَكَّةَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (مَنۡ أَحۡرَمَ بِعُمۡرَةٍ وَلَمۡ يُهۡدِ فَلۡيُحۡلِلۡ، وَمَنۡ أَحۡرَمَ بِعُمۡرَةٍ وَأَهۡدَى فَلَا يَحِلُّ حَتَّى يَحِلَّ بِنَحۡرِ هَدۡيِهِ، وَمَنۡ أَهَلَّ بِحَجٍّ فَلۡيُتِمَّ حَجَّهُ). قَالَتۡ: فَحِضۡتُ، فَلَمۡ أَزَلۡ حَائِضًا حَتَّى كَانَ يَوۡمُ عَرَفَةَ، وَلَمۡ أُهۡلِلۡ إِلَّا بِعُمۡرَةٍ، فَأَمَرَنِي النَّبِيُّ ﷺ أَنۡ أَنۡقُضَ رَأۡسِي، وَأَمۡتَشِطَ، وَأُهِلَّ بِحَجٍّ، وَأَتۡرُكَ الۡعُمۡرَةَ، فَفَعَلۡتُ ذٰلِكَ، حَتَّى قَضَيۡتُ حَجِّي، فَبَعَثَ مَعِي عَبۡدَ الرَّحۡمٰنِ بۡنَ أَبِي بَكۡرٍ، وَأَمَرَنِي أَنۡ أَعۡتَمِرَ مَكَانَ عُمۡرَتِي مِنَ التَّنۡعِيمِ. [طرفه في: ٢٩٤].
319. Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Al-Laits menceritakan kepada kami dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihab, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, beliau mengatakan: Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji wadak. Di antara kami ada yang memulai ihram untuk umrah dan di antara kami ada pula yang memulai ihram untuk haji. Kami pun tiba di Makkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang berihram untuk umrah dan tidak membawa hewan hady, maka ia tahalul. Dan siapa saja yang berihram untuk umrah dan membawa hewan hady, maka jangan tahalul hingga ia selesai menyembelih hewan hady-nya. Dan siapa saja yang berihram untuk haji, maka hendaknya ia menyempurnakan hajinya.” ‘Aisyah mengatakan: Aku mengalami haid. Aku terus-menerus haid hingga hari Arafah. Aku tidaklah memulai ihram kecuali untuk umrah. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku agar melepas ikatan rambut, bersisir, memulai ihram untuk haji, dan meninggalkan umrah. Aku pun melakukannya. Hingga ketika aku telah menyelesaikan hajiku, Nabi mengutusku bersama ‘Abdurrahman bin Abu Bakr dan menyuruhku untuk umrah dari Tan’im sebagai ganti umrahku.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1267

٢١ - بَابُ كَيۡفَ يُكَفَّنُ الۡمُحۡرِمُ
21. Bab bagaimana orang yang ihram dikafani

١٢٦٧ - حَدَّثَنَا أَبُو النُّعۡمَانِ: أَخۡبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنۡ أَبِي بِشۡرٍ، عَنۡ سَعِيدِ بۡنِ جُبَيۡرٍ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا: أَنَّ رَجُلًا وَقَصَهُ بَعِيرُهُ، وَنَحۡنُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ، وَهُوَ مُحۡرِمٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (اغۡسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدۡرٍ، وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوۡبَيۡنِ، وَلَا تُمِسُّوهُ طِيبًا، وَلَا تُخَمِّرُوا رَأۡسَهُ، فَإِنَّ اللهَ يَبۡعَثُهُ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ مُلَبِّدًا). [طرفه في: ١٢٦٥].
1267. Abu An-Nu’man telah menceritakan kepada kami: Abu ‘Awanah mengabarkan kepada kami, dari Abu Bisyr, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma: Sesungguhnya ada seseorang yang dipatahkan lehernya oleh untanya dalam keadaan kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang tadi sedang ihram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mandikan ia menggunakan air dan sidr (sejenis daun bidara)! Kafanilah ia dengan dua lembar kain! Jangan kalian kenakan wewangian apapun kepadanya dan jangan kerudungi kepalanya karena Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan merekatkan rambut.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1265

١٩ - بَابُ الۡكَفَنِ فِي ثَوۡبَيۡنِ
19. Bab mengafani dengan dua lembar kain

١٢٦٥ - حَدَّثَنَا أَبُو النُّعۡمَانِ: حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنۡ أَيُّوبَ، عَنۡ سَعِيدِ بۡنِ جُبَيۡرٍ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا قَالَ: بَيۡنَمَا رَجُلٌ وَاقِفٌ بِعَرَفَةَ، إِذۡ وَقَعَ عَنۡ رَاحِلَتِهِ فَوَقَصَتۡهُ، أَوۡ قَالَ: فَأَوۡقَصَتۡهُ، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (اغۡسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدۡرٍ، وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوۡبَيۡنِ، وَلَا تُحَنِّطُوهُ، وَلَا تُخَمِّرُوا رَأۡسَهُ، فَإِنَّهُ يُبۡعَثُ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ مُلَبِّيًا). [الحديث ١٢٦٥ – أطرافه في: ١٢٦٦، ١٢٦٧، ١٢٦٨، ١٨٣٩، ١٨٤٩، ١٨٥٠، ١٨٥١].
1265. Abu An-Nu’man telah menceritakan kepada kami: Hammad menceritakan kepada kami, dari Ayyub, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: Ketika ada seseorang sedang wukuf di Arafah, tiba-tiba ia jatuh dari tunggangannya sehingga mematahkan lehernya, atau beliau berkata: sehingga membunuhnya seketika itu juga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mandikanlah ia menggunakan air dan sidr (sejenis daun bidara)! Kafanilah ia dengan dua lembar kain! Jangan kenakan hanuth (wewangian khusus untuk mayat) kepadanya dan jangan kerudungi kepalanya karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai orang yang bertalbiah.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1268

١٢٦٨ - حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بۡنُ زَيۡدٍ، عَنۡ عَمۡرٍو وَأَيُّوبَ، عَنۡ سَعِيدِ بۡنِ جُبَيۡرٍ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا قَالَ: كَانَ رَجُلٌ وَاقِفٌ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ بِعَرَفَةَ، فَوَقَعَ عَنۡ رَاحِلَتِهِ - قَالَ أَيُّوبُ: فَوَقَصَتۡهُ، وَقَالَ عَمۡرٌو: فَأَقۡصَعَتۡهُ - فَمَاتَ، فَقَالَ: (اغۡسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدۡرٍ، وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوۡبَيۡنِ، وَلَا تُحَنِّطُوهُ، وَلَا تُخَمِّرُوا رَأۡسَهُ، فَإِنَّهُ يُبۡعَثُ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ)، قَالَ أَيُّوبُ: (يُلَبِّي)، وَقَالَ عَمۡرٌو: (مُلَبِّيًا). [طرفه في: ١٢٦٥].
1268. Musaddad telah menceritakan keapda kami, Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami, dari ‘Amr dan Ayyub, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: Dahulu ada seseorang berwukuf bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Arafah, lalu ia terjatuh dari tunggangannya. Ayyub berkata: Sehingga mematahkan lehernya. ‘Amr berkata: Sehingga membunuhnya seketika itu juga. Lalu ia meninggal. Nabi bersabda, “Kalian mandikanlah ia menggunakan air dan sidr (sejenis daun bidara)! Kafanilah menggunakan dua lembar kain! Janganlah kalian beri wewangian hanuth dan jangan kerudungi kepalanya karena ia akan dibangkitkan pada hari kiamat.” Ayyub berkata, “Dengan bertalbiah.” ‘Amr berkata, “Sebagai orang yang bertalbiah.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1836

١٨٣٦ - حَدَّثَنَا خَالِدُ بۡنُ مَخۡلَدٍ: حَدَّثَنَا سُلَيۡمَانُ بۡنُ بِلَالٍ، عَنۡ عَلۡقَمَةَ بۡنِ أَبِي عَلۡقَمَةَ، عَنۡ عَبۡدِ الرَّحۡمٰنِ الۡأَعۡرَجِ، عَنِ ابۡنِ بُحَيۡنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: احۡتَجَمَ النَّبِيُّ ﷺ وَهُوَ مُحۡرِمٌ، بِلَحۡيِ جَمَلٍ، فِي وَسَطِ رَأۡسِهِ. [الحديث ١٨٣٦ – طرفه في: ٥٦٩٨].
1836. Khalid bin Makhlad telah menceritakan kepada kami: Sulaiman bin Bilal menceritakan kepada kami, dari ‘Alqamah bin Abu ‘Alqamah, dari ‘Abdurrahman Al-A’raj, dari Ibnu Buhainah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam dalam keadaan sedang ihram di suatu tempat bernama Lahy Jamal pada bagian tengah kepala beliau.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1826

٧ - بَابُ مَا يَقۡتُلُ الۡمُحۡرِمُ مِنَ الدَّوَابِّ
7. Bab binatang yang boleh dibunuh oleh seorang yang berihram

١٨٢٦ - حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ يُوسُفَ: أَخۡبَرَنَا مَالِكٌ، عَنۡ نَافِعٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (خَمۡسٌ مِنَ الدَّوَابِّ لَيۡسَ عَلَى الۡمُحۡرِمِ فِي قَتۡلِهِنَّ جُنَاحٌ). وَعَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ دِينَارٍ عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُمَرَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ. [الحديث ١٨٢٦ – طرفه في: ٣٣١٥].
1826. ‘Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami: Malik mengabarkan kepada kami, dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada lima binatang yang tidak ada dosa apapun atas orang yang berihram membunuhnya.” Juga dari ‘Abdullah bin Dinar dari ‘Abdullah bin ‘Umar: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1827

١٨٢٧ - حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنۡ زَيۡدِ بۡنِ جُبَيۡرٍ قَالَ: سَمِعۡتُ ابۡنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا يَقُولُ: حَدَّثَتۡنِي إِحۡدَى نِسۡوَةِ النَّبِيِّ ﷺ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: (يَقۡتُلُ الۡمُحۡرِمُ).
[الحديث ١٨٢٧ – طرفه في: ١٨٢٨].
1827. Musaddad telah menceritakan kepada kami: Abu ‘Awanah menceritakan kepada kami, dari Zaid bin Jubair, beliau berkata: Aku mendengar Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: Salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kepadaku dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang yang berihram boleh membunuh…”

Shahih Muslim hadits nomor 1424

١٢ - بَابُ نَدۡبِ النَّظَرِ إِلَى وَجۡهِ الۡمَرۡأَةِ وَكَفَّيۡهَا لِمَنۡ يُرِيدُ تَزَوُّجَهَا
12. Bab disukai memandang kepada wajah dan dua telapak tangan wanita bagi siapa saja yang ingin menikahinya

٧٤ - (١٤٢٤) - حَدَّثَنَا ابۡنُ أَبِي عُمَرَ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ عَنۡ يَزِيدَ بۡنِ كَيۡسَانَ، عَنۡ أَبِي حَازِمٍ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ قَالَ: كُنۡتُ عِنۡدَ النَّبِيِّ ﷺ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَأَخۡبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امۡرَأَةً مِنَ الۡأَنۡصَارِ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (أَنَظَرۡتَ إِلَيۡهَا؟) قَالَ: لَا. قَالَ: (فَاذۡهَبۡ فَانۡظُرۡ إِلَيۡهَا، فَإِنَّ فِي أَعۡيُنِ الۡأَنۡصَارِ شَيۡئًا).
74. (1424). Ibnu Abu ‘Umar telah menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami dari Yazid bin Kaisan, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah, beliau mengatakan: Aku pernah di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ada seseorang yang mendatangi beliau dan mengabarkan bahwa dia memutuskan untuk menikahi seorang wanita Ansar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah memandangnya?” Orang itu menjawab: Belum. Nabi bersabda, “Pergilah dan lihatlah ia karena di mata-mata orang Ansar ada sesuatu.”
٧٥ - (...) - وَحَدَّثَنِي يَحۡيَى بۡنُ مَعِينٍ: حَدَّثَنَا مَرۡوَانُ بۡنُ مُعَاوِيَةَ الۡفَزَارِيُّ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بۡنُ كَيۡسَانَ، عَنۡ أَبِي حَازِمٍ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ: إِنِّي تَزَوَّجۡتُ امۡرَأَةً مِنَ الۡأَنۡصَارِ. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: (هَلۡ نَظَرۡتَ إِلَيۡهَا؟ فَإِنَّ فِي عُيُونِ الۡأَنۡصَارِ شَيۡئًا) قَالَ: قَدۡ نَظَرۡتُ إِلَيۡهَا. قَالَ: (عَلَىٰ كَمۡ تَزَوَّجۡتَهَا؟) قَالَ: عَلَىٰ أَرۡبَعِ أَوَاقٍ. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: (عَلَىٰ أَرۡبَعِ أَوَاقٍ؟ كَأَنَّمَا تَنۡحِتُونَ الۡفِضَّةَ مِنۡ عُرۡضِ هٰذَا الۡجَبَلِ. مَا عِنۡدَنَا مَا نُعۡطِيكَ، وَلَكِنۡ عَسَىٰ أَنۡ نَبۡعَثَكَ فِي بَعۡثٍ تُصِيبُ مِنۡهُ) قَالَ: فَبَعَثَ بَعۡثًا إِلَىٰ بَنِي عَبۡسٍ. بَعَثَ ذٰلِكَ الرَّجُلَ فِيهِمۡ.
75. Yahya bin Ma’in telah menceritakan kepadaku: Marwan bin Mu’awiyah Al-Fazari menceritakan kepada kami: Yazid bin Kaisan menceritakan kepada kami, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah, beliau mengatakan: Seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: Sesungguhnya aku memutuskan untuk menikahi seorang wanita Ansar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau sudah melihat kepadanya? Karena di mata-mata orang Ansar ada sesuatu.” Orang itu berkata: Aku sudah melihat kepadanya. Beliau bertanya lagi, “Berapa mahar engkau menikahinya?” Orang itu menjawab: Empat uqiyah (160 dirham). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Empat uqiyah? Seakan-akan kalian memahat perak dari sisi gunung ini. Kami tidak memiliki sesuatu yang bisa kami berikan kepadamu. Akan tetapi, semoga kami dapat mengirim engkau dalam satu pasukan agar engkau bisa mendapat ganimah.” Abu Hurairah berkata: Lalu Nabi mengirim satu pasukan ke Bani ‘Abs. Beliau mengutus lelaki itu dalam pasukan tersebut.

Shahih Muslim hadits nomor 1423

١١ - بَابُ التَّزَوُّجِ وَالتَّزۡوِيجِ فِي شَوَّالٍ وَاسۡتِحۡبَابِ الدُّخُولِ فِيهِ
11. Bab menikahkan dan menikah di bulan Syawal dan disukainya mulai berkeluarga di bulan tersebut

٧٣ - (١٤٢٣) - حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ وَزُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ. -وَاللَّفۡظُ لِزُهَيۡرٍ- قَالَا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، عَنۡ إِسۡمَاعِيلَ بۡنِ أُمَيَّةَ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُرۡوَةَ، عَنۡ عُرۡوَةَ، عَنۡ عَائِشَةَ قَالَتۡ: تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَىٰ بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ ﷺ كَانَ أَحۡظَىٰ عِنۡدَهُ مِنِّي؟
قَالَ: وَكَانَتۡ عَائِشَةُ تَسۡتَحِبُّ أَنۡ تُدۡخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ.
73. (1423). Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami. Redaksi hadis ini milik Zuhair. Keduanya berkata: Waki’ menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami, dari Isma’il bin Umayyah, dari ‘Abdullah bin ‘Urwah, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal dan berumah tangga denganku di bulan Syawwal. Istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mana yang lebih memiliki kedekatan hati di sisi beliau daripada aku?
Beliau berkata: ‘Aisyah senang untuk mempertemukan mempelai wanita (ke tempat mempelai pria) di bulan Syawal.
(...) - وَحَدَّثَنَاهُ ابۡنُ نُمَيۡرٍ: حَدَّثَنَا أَبِي: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، بِهٰذَا الۡإِسۡنَادِ. وَلَمۡ يَذۡكُرۡ فِعۡلَ عَائِشَةَ.
Ibnu Numair telah menceritakannya kepada kami: Ayahku menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami melalui sanad ini. Namun beliau tidak menyebutkan perbuatan ‘Aisyah.

ISTRI ORANG-ORANG MULIA

Jodoh adalah sebuah misteri. Siapapun tidak ada yang mengetahui dengan pasti siapa jodohnya di masa yang akan datang. Jodoh adalah salah satu dari sekian banyak perkara yang Allah subhanahu wa ta'ala saja yang mengetahuinya. Tidak ada daya dan upaya yang dapat menyampaikan seseorang pada harapan akan jodohnya kelak kecuali atas kehendak dan pertolongan Allah.

Meskipun demikian, di dalam perkara ini sebenarnya Allah subhanahu wa ta'ala telah memberikan sebuah janji dan gambaran tentang keadaan jodoh seseorang secara keumumannya. Bahwasanya jodoh seseorang tidaklah akan berbanding jauh dengan keadaan orang tersebut. Artinya, seseorang -in syaa Allah- akan mendapatkan jodoh yang sepadan kebaikan atau keburukannya dengan dirinya sendiri. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam Al Quran Surat An Nur: 26
ٱلْخَبِيثَـٰتُ لِلْخَبِيثِينَ وَٱلْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَـٰتِ ۖ وَٱلطَّيِّبَـٰتُ لِلطَّيِّبِينَ وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَـٰتِ
"Dan orang-orang yang jelek dari kalangan wanita hanya untuk orang-orang yang jelek dari kalangan laki-laki, dan orang-orang yang jelek dari kalangan laki-laki hanya untuk orang-orang yang jelek dari kalangan wanita. (Begitu pula) orang-orang yang baik dari kalangan wanita hanyalah untuk orang-orang yang baik dari kalangan laki-laki, dan orang-orang yang baik dari kalangan laki-laki hanyalah untuk orang-orang yang baik dari kalangan wanita."

SubhanAllah... betapa adilnya ketentuan Allah tersebut. Setiap orang akan mendapatkan hasil dari kebaikan yang dilakukannya jika ia melakukan kebaikan tadi ikhlas karena Allah semata. Tentunya definisi baik dan buruk di sini bukanlah dari sisi pandang dan kacamata zhahir (yang terlihat) manusia. Akan tetapi kebaikan dan keburukan menurut pandangan Allah subhanahu wa ta'ala. Sehingga kalaulah yang terlihat secara zhahir adalah sebaliknya, maka mestilah padanya ada sebab mengapa bisa demikian? Atau mestilah padanya ada sebuah hikmah yang kadang hanya Allah yang mengetahuinya. Yang terpenting harus kita yakini adalah bahwa janji Allah mesti akan didapatkan oleh seseorang. Yaitu ketika pada diri orang tersebut tidak ada penghalang yang dapat menghalanginya untuk mendapatkan janji Allah tersebut. Mengapa demikian? Karena Allah adalah Dzat yang Maha Menepati Janji.

Jika demikian, tidak ada salahnya jika kita hendak melihat keutamaan seseorang, maka kita melihat juga siapa jodoh yang Allah takdirkan menemani hari-harinya. Apalagi Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam juga bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah,
الۡمَرۡءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلۡيَنۡظُرۡ أَحَدُكُمۡ مَنۡ يُخَالِلۡ
"Seseorang itu di atas agama kekasihnya, maka salah seorang dari kalian hendaknya melihat siapa orang yang dia kasihi."
Inilah yang akan kita coba tengok dari kisah niswah pada kali ini. Kisah sahabiyah yang satu ini mungkin tidak terlalu banyak untuk diungkapkan. Akan tetapi, jikalau kita mau melihat siapa saja jodohnya dalam kehidupan dunia ini, maka kita tidak akan meragukan keutamaan dan kebagusan agamanya. Beliau adalah Asma' binti Umais radhiyallahu 'anha, seorang sahabiyah yang Allah takdirkan menjadi istri para fudhalaa (orang-orang yang memiliki keutamaan dalam agama).

Nama beliau adalah Ummu Abdillah Asma' binti Umais bin Ma'ad bin Tamim bin Al Harist bin Ka'ab bin Malik bin Qahafah. Beliau termasuk orang-orang pertama yang menyambut seruan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk berislam ketika cahaya Islam baru saja menyinari kota Mekkah. Kala itu Asma' sudah menikah. Siapakah gerangan suami pertama beliau?

Suami pertama Asma' adalah sepupu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Ja'far juga termasuk orang-orang pertama yang bersegera menyambut cahaya Islam yang datang ke Kota Mekkah. Cukup banyak kisah bertutur tentang suami pertama Asma' ini. Ia dikenal sebagai seorang laki-laki yang memiliki banyak keutamaan. Bahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya yang artinya, "Engkau seorang yang sangat serupa dengan bentuk tubuhku dan akhlakku."

Keutamaan Ja'far bin Abi Thalib dapat kita perhatikan ketika berbagai tekanan dan rintangan diberikan oleh kafir Quraisy kepada siapa saja yang mengikuti agama Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau termasuk orang-orang yang tetap tegar dalam keislamannya. Hingga akhirnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan sebagian kaum muslimin untuk berhijrah ke Negeri Habasyah agar dapat lebih mudah menjalankan agamanya. Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu membawa serta istrinya Asma' berhijrah ke sana.

Habasyah adalah sebuah negeri yang dipimpin oleh seorang raja Nasrani yang terkenal adil dan bijaksana yaitu Raja Najasy. Sesampainya di Habasyah pun kafir Quraisy tidak hentinya tetap berusaha menghalangi keberadaan kaum muslimin di negeri tersebut. Diutuslah Amr bin Ash (yang kala itu belum masuk Islam) untuk menghasut raja Najasy dan pemerintahannya agar membenci kaum muslimin. Akibatnya, Raja Najasy memanggil utusan kaum muslimin untuk berdialog dengannya. Ja'far bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu adalah sosok yang dipilih kaum muslimin untuk urusan tersebut. Dengan kehendak Allah, kemudian penjelasan-penjelasan yang disampaikan Ja'far tentang Islam kepada raja Najasy akhirnya membuat kaum muslimin dimudahkan untuk tinggal dengan tenang di Habasyah. Alhamdulillah... Sungguh jika kita simak dialog mereka, kita akan mendapati bahwa suami pertama Asma' binti Umais adalah seorang laki-laki yang berjiwa pemberani, kokoh dalam memegang kebenaran, serta fasih dalam bahasa, dan tutur kata.

Tidak cukup sampai di situ, Ja'far bin Abi Thalib ketika mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum muslimin telah berhijrah menuju Madinah, ia pun bersegera membawa Asma' beserta anak-anak mereka menyusul ke Madinah. Ja'far juga termasuk salah seorang sahabat yang mempunyai andil besar dalam berbagai peperangan kaum muslimin bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Hingga akhirnya dalam salah satu peperangan yang dikenal dengan nama Perang Mu'tah, peperangan pertama antara pasukan Romawi dengan kaum muslimin, Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu mendapatkan syahid.

Seakan mendapatkan pertanda jalannya peperangan tersebut, sebelum memberangkatkan pasukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan agar komando pasukan dipimpin oleh Zaid bin Haritsah radhiyallahu 'anhu, apabila dia gugur maka diambil oleh Ja'far bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, jika dia gugur juga maka diambil oleh Abdullah bin Rawahah radhiyallahu 'anhu. Dan benarlah apa yang sabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihu wa sallam. Peperangan yang sangat dahsyat tersebut membuat 3 komandan pasukan syahid di medan pertempuran, hingga kemudian akhirnya bendera kaum muslimin dibawa oleh Khalid bin Walid yang kala itu telah masuk Islam. Allah kemudian takdirkan mereka memperoleh kemenangan. Adapun Ja'far bin Abi Thalib, tidak kurang dari 70 luka ada di tubuhnya ketika jasadnya ditemukan. Semuanya ada di bagian depan dan tidak ada satu lukapun di bagian punggungnya. Jasadnya dalam keadaan tertebas kedua lengannya karena berusaha mempertahankan bendera kaum muslimin. Itulah karenanya ia dijuluki Dzul Janahain (yang memiliki dua sayap), karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa akibat tertebas kedua tangannya dalam peperangan Mu'tah tersebut Allah mengaruniakan kepada Ja'far dua sayap di surga. SubhanAllah...

Kehilangan suami tercinta dihadapi Asma' bintu Umais dengan penuh keimanan. Dibesarkannya putra Ja'far dengan sepenuh kemampuannya. Hingga akhirnya Allah takdirkan datang kepadanya lelaki kedua dalam kehidupannya. Yang kedua inipun tak kalah keutamaannya. Bahkan beliau adalah seorang sahabat yang dikatakan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam akan dijadikan sebagai kekasihnya jika Allah memperkenankan ada kekasih bagi Nabi dari kalangan sahabatnya. Dia adalah sahabat yang telah disepakati oleh seluruh ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah sebagai manusia terbaik setelah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu.

Asma' binti Umais radhiyallahu 'anha memdampingi suami keduanya ini hingga pada masa-masa sulit, yaitu pada masa diangkatnya beliau radhiyallahu 'anhu sebagai khalifah pertama bagi kaum muslimin. Beban sebagai seorang khalifah tidaklah ringan. Asma' binti Umais radhiyallahu 'anha berusaha menjalankan khidmatnya sebagai seorang istri bagi suaminya. Kedekatan dan kasih sayang di antara keduanya nampak terlihat terutama di saat-saat akhir kehidupan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu 'anhu. Ketika ditimpa sakit yang sangat berat beliau berpesan agar Asma' binti Umais radhiyallahu 'anha yang memandikan jasad beliau apabila beliau wafat. Agar Asma' membatalkan puasanya jika memang ditakdirkan kematian terjadi pada hari itu karena ketika Abu Bakar Ash Shiddiq berwasiat demikian Asma' dalam keadaan berpuasa.

Tak lama kemudian wafatlah khalifah pertama kaum muslimin di hadapannya. Dengan tegar, sekalipun berurai air mata ia berusaha menjalankan wasiat suaminya. Kemudian sekalipun ia sempat terlupa untuk membatalkan puasanya, ketika ia teringat di waktu sore ia bersegera membatalkan puasanya dalam rangka tetap ingin menjalankan ketaatan kepada suaminya. SubhanAllah... Dari suami keduanya ini Asma' binti Umais radhiyallahu 'anha juga mendapatkan seorang putra.

Pesona dan daya tarik diri Asma' sebagai seorang muslimah tidaklah pudar. Sepeninggal suami keduanya, Allah subhanahu wa ta'ala kembali menakdirkan datang lelaki ketiga dalam kehidupannya. Beliau adalah sahabat yang dikatakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada dirinya bahwa kedudukannya di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa 'alaihimas salam. Dia adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Ali menikahi Asma' sepeninggal istrinya Fathimah binti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Keberadaan Asma' di sisi Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pun meninggalkan kesan-kesan yang baik bagi suaminya. Asma' berhasil menumbuhkan kekaguman suaminya atas keamanahan dan kepandaiannya mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Sebuah atsar teriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu bahwa beliau pernah berkata, "Tidak ada seorang yang aku percaya dari kalangan wanita kecuali Asma' binti Umais." Juga sebuah atsar yang menceritakan bagaimana Asma' berusaha melerai perdebatan di antara putra-putra suaminya terdahulu. Ketika putra Ja'far dan Abu Bakar Ash Shiddiq berdebat tentang siapa yang lebih mulia di antara bapak-bapak mereka, maka berkata Asma' untuk menenangkan mereka, "Tidaklah aku melihat seorang pemuda dari kalangan Arab yang lebih baik daripada Ja'far dan tidaklah aku melihat seseorang dari kalangan tengah baya yang lebih baik daripada Abu Bakar." SubhanAllah... ternyata -dengan izin Allah- perkataannya mampu membuat kedua putranya tersenyum dan kembali bergandengan tangan. Ali bin Abi Thalib yang ketika itu melihat hal tersebut memujinya seraya berkata sambil sedikit merajuk, "Engkau tidak menyisakan sedikitpun untuk kami wahai Asma'!" Maka mendengar tanggapan suaminya tersebut Asma' tidak kalah cerdiknya. Ia menimpali, "Sesungguhnya engkau yang ketiga, tidak kurang kebaikannya daripada mereka." Maka Ali tersenyum ridha akan jawaban istrinya tersebut dan berkata, "Jikalau engkau mengatakan selain apa yang engkau katakan, sungguh aku akan memarahimu." SubhanAllah... sungguh sebuah jawaban yang menggambarkan kecerdikan dan kebagusan akhlak seorang istri kepada seorang suami.

Beban Asma' ketika bersuamikan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu tidak kalah beratnya. Terlebih suami ketiga Asma' ini, Allah takdirkan mendapat amanah sebagai khalifah ke empat kaum muslimin. Pada masa pemerintahannya, mereka dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar yang sangat menguji keimanan. Asma' harus kembali kehilangan suami tercinta, bahkan kehilangan salah seorang putranya yaitu Muhammad bin Abu Bakar. Namun Asma' berusaha melewati masa-masa sulit tersebut dengan kekuatan iman. Ia berusaha menahan gejolak hatinya untuk tetap sabar dan tidak melanggar apa-apa yang Allah larang. Sampai-sampai kedua puting susunya mengeluarkan darah akibat emosi yang berusaha ditahannya. SubhanAllah...

Demikianlah sosok Asma' binti Umais radhiyallahu 'anha. Seorang sahabiyah dengan kebaikan keimanan dan agama. Tidaklah Allah menyandingkannya dengan orang-orang yang memiliki banyak keutamaan, kecuali pada dirinya juga tersimpan keutamaan yang besar pula. Apalagi kebaikannya diakui oleh para suaminya. Menjadi seorang istri yang mendampingi suami yang memiliki peran-peran besar dalam dakwah dan agama bukanlah perkara yang mudah. Istri dengan tugas demikian dituntut menjadi orang yang paham akan kesulitan, kebutuhan, dan keadaan suami. Menjadi tempat bermusyawarah, yang dapat menenangkan hati dan pikiran, yang pandai dalam mengurus keadaan rumah beserta anak-anaknya. Sehingga tidak menjadikan beban yang justru memperberat langkah suaminya. Sungguh bukan tugas yang ringan. Akan tetapi ketika semuanya dijalankan semata dengan mengharap keridaan Allah subhanahu wa ta'ala, janji Allah akan terbukti, yang baik akan mendapatkan yang baik pula. Hilang yang pertama, bukan tidak mungkin Allah gantikan dengan yang baik lainnya. Sekarang... tinggal bagaimana kita? Apakah kita cukup baik untuk mendapatkan janji Allah tersebut? Allahu A'lam, hanya Allah yang mengetahuinya. Semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk senantiasa memperbaiki keimanan dan peribadatan kita kepada-Nya. Amin...


Sumber: Majalah Qudwah edisi 43 vol.04 2016 rubrik Niswah. Pemateri: Al Ustadzah Ummu Abdillah Shafa.

Shahih Muslim hadits nomor 1422

١٠ - بَابُ تَزۡوِيجِ الۡأَبِ الۡبِكۡرَ الصَّغِيرَةَ
10. Bab seorang ayah menikahkan anak gadisnya yang masih kecil

٦٩ - (١٤٢٢) - حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيۡبٍ مُحَمَّدُ بۡنُ الۡعَلَاءِ: حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ. (ح) وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ قَالَ: وَجَدۡتُ فِي كِتَابِي عَنۡ أَبِي أُسَامَةَ، عَنۡ هِشَامٍ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ عَائِشَةَ قَالَتۡ: تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ ﷺ لِسِتِّ سِنِينَ، وَبَنَىٰ بِي وَأَنَا بِنۡتُ تِسۡعِ سِنِينَ.
قَالَتۡ: فَقَدِمۡنَا الۡمَدِينَةَ فَوُعِكۡتُ شَهۡرًا، فَوَفَىٰ شَعۡرِي جُمَيۡمَةً، فَأَتَتۡنِي أُمُّ رُومَانَ، وَأَنَا عَلَىٰ أُرۡجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبِي، فَصَرَخَتۡ بِي فَأَتَيۡتُهَا، وَمَا أَدۡرِي مَا تُرِيدُ بِي. فَأَخَذَتۡ بِيَدِي فَأَوۡقَفَتۡنِي عَلَى الۡبَابِ. فَقُلۡتُ: هَهۡ هَهۡ، حَتَّىٰ ذَهَبَ نَفَسِي، فَأَدۡخَلَتۡنِي بَيۡتًا، فَإِذَا نِسۡوَةٌ مِنَ الۡأَنۡصَارِ فَقُلۡنَ: عَلَى الۡخَيۡرِ وَالۡبَرَكَةِ، وَعَلَىٰ خَيۡرِ طَائِرٍ، فَأَسۡلَمَتۡنِي إِلَيۡهِنَّ، فَغَسَلۡنَ رَأۡسِي وَأَصۡلَحۡنَنِي. فَلَمۡ يَرُعۡنِي إِلَّا وَرَسُولُ اللهِ ﷺ ضُحًى، فَأَسۡلَمۡنَنِي إِلَيۡهِ.
[البخاري: كتاب مناقب الأنصار، باب تزويج النبي ﷺ عائشة...، رقم: ٣٨٩٦].
69. (1422). Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Ala` telah menceritakan kepada kami: Abu Usamah menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Aku mendapati dalam kitabku dari Abu Usamah, dari Hisyam, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi aku ketika aku berumur enam tahun dan berumah tangga denganku ketika aku berumur sembilan tahun.
‘Aisyah mengatakan: Kami tiba di Madinah, lalu aku sakit demam selama sebulan. Rambutku seleher. Ummu Ruman datang kepadaku ketika aku berada di ayunan bersama para sahabat kecilku. Ia berteriak memanggilku lalu aku pun mendatanginya. Aku tidak tahu apa yang dia inginkan terhadapku. Dia menggandeng tanganku lalu memberhentikanku di depan sebuah pintu. Aku terengah-engah: Hah, hah. Hingga nafasku kembali lega lalu dia memasukkanku ke dalam sebuah rumah. Ternyata ada wanita-wanita Ansar, mereka berkata: Semoga engkau di atas kebaikan dan keberkahan. Dan semoga engkau mendapatkan nasib yang baik. Ia menyerahkanku kepada mereka. Mereka mengeramasi rambutku dan mendandaniku. Tidak ada yang mengejutkanku kecuali kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu duha. Lalu wanita-wanita Ansar tadi menyerahkanku kepada beliau.
٧٠ - (...) - وَحَدَّثَنَا يَحۡيَى بۡنُ يَحۡيَىٰ: أَخۡبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنۡ هِشَامِ بۡنِ عُرۡوَةَ. (ح) وَحَدَّثَنَا ابۡنُ نُمَيۡرٍ - وَاللَّفۡظُ لَهُ -: حَدَّثَنَا عَبۡدَةُ - هُوَ ابۡنُ سُلَيۡمَانَ - عَنۡ هِشَامٍ، عَنۡ أَبِيهِ، عَنۡ عَائِشَةَ، قَالَتۡ: تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ ﷺ وَأَنَا بِنۡتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَىٰ بِي وَأَنَا بِنۡتُ تِسۡعِ سِنِينَ.
70. Yahya bin Yahya telah menceritakan kepada kami: Abu Mu’awiyah mengabarkan kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah. (Dalam riwayat lain) Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami –redaksi hadis ini milik beliau-: ‘Abdah bin Sulaiman menceritakan kepada kami dari Hisyam, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, beliau mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku ketika aku berumur enam tahun dan berumah tangga denganku ketika aku berumur sembilan tahun.
٧١ - (...) - وَحَدَّثَنَا عَبۡدُ بۡنُ حُمَيۡدٍ: أَخۡبَرَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ: أَخۡبَرَنَا مَعۡمَرٌ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ عُرۡوَةَ، عَنۡ عَائِشَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنۡتُ سَبۡعِ سِنِينَ، وَزُفَّتۡ إِلَيۡهِ وَهِيَ بِنۡتُ تِسۡعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا، وَمَاتَ عَنۡهَا وَهِيَ بِنۡتُ ثَمَانَ عَشۡرَةَ.
71. ‘Abd bin Humaid telah menceritakan kepada kami: ‘Abdurrazzaq mengabarkan kepada kami: Ma’mar mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya ketika berumur tujuh tahun. ‘Aisyah diboyong ke tempat beliau ketika berumur sembilan tahun dalam keadaan masih membawa bonekanya. Beliau meninggal ketika ‘Aisyah berumur delapan belas tahun.
٧٢ - (...) - حَدَّثَنَا يَحۡيَى بۡنُ يَحۡيَىٰ وَإِسۡحَاقُ بۡنُ إِبۡرَاهِيمَ وَأَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ وَأَبُو كُرَيۡبٍ - قَالَ يَحۡيَىٰ وَإِسۡحَاقُ: أَخۡبَرَنَا. وَقَالَ الۡآخَرَانِ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ - عَنِ الۡأَعۡمَشِ، عَنۡ إِبۡرَاهِيمَ، عَنِ الۡأَسۡوَدِ، عَنۡ عَائِشَةَ قَالَتۡ: تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ وَهِيَ بِنۡتُ سِتٍّ، وَبَنَىٰ بِهَا وَهِيَ بِنۡتُ تِسۡعٍ، وَمَاتَ عَنۡهَا وَهِيَ بِنۡتُ ثَمَانَ عَشۡرَةَ.
72. Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakr bin Abu Syaibah, dan Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami. Yahya dan Ishaq berkata: Telah mengabarkan kepada kami. Dua perawi yang lain berkata: Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari ‘Aisyah, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi ‘Aisyah ketika ‘Aisyah berumur enam tahun, berumah tangga dengannya ketika berumur sembilan tahun, dan meninggal ketika ‘Aisyah berumur delapan belas tahun.

Shahih Muslim hadits nomor 1419

٩ - بَابُ اسۡتِئۡذَانِ الثَّيِّبِ فِي النِّكَاحِ بِالنُّطۡقِ وَالۡبِكۡرِ بِالسُّكُوتِ
9. Bab meminta persetujuan nikah janda dengan ucapan dan gadis dengan diam

٦٤ - (١٤١٩) - حَدَّثَنِي عُبَيۡدُ اللهِ بۡنُ عُمَرَ بۡنِ مَيۡسَرَةَ الۡقَوَارِيرِيُّ: حَدَّثَنَا خَالِدُ بۡنُ الۡحَارِثِ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنۡ يَحۡيَى بۡنِ أَبِي كَثِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ: حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيۡرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (لَا تُنۡكَحُ الۡأَيِّمُ حَتَّىٰ تُسۡتَأۡمَرَ، وَلَا تُنۡكَحُ الۡبِكۡرُ حَتَّىٰ تُسۡتَأۡذَنَ) قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيۡفَ إِذۡنُهَا؟ قَالَ: (أَنۡ تَسۡكُتَ).
[البخاري: كتاب النكاح، باب لا ينكح الأب وغيره البكر...، رقم: ٥١٣٦].
64. (1419). ‘Ubaidullah bin ‘Umar bin Maisarah Al-Qawariri telah menceritakan kepadaku: Khalid bin Al-Harits menceritakan kepada kami: Hisyam menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Abu Katsir: Abu Salamah menceritakan kepada kami: Abu Hurairah menceritakan kepada kami, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janda tidak boleh dinikahi hingga dimintai pendapatnya dan gadis tidak boleh dinikahi hingga dimintai izin.” Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya? Beliau menjawab, “Diamnya.”
(...) - وَحَدَّثَنِي زُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ: حَدَّثَنَا إِسۡمَاعِيلُ بۡنُ إِبۡرَاهِيمَ: حَدَّثَنَا الۡحَجَّاجُ بۡنُ أَبِي عُثۡمَانَ. (ح) وَحَدَّثَنِي إِبۡرَاهِيمُ بۡنُ مُوسَىٰ: أَخۡبَرَنَا عِيسَىٰ - يَعۡنِي ابۡنَ يُونُسَ - عَنِ الۡأَوۡزَاعِيِّ. (ح) وَحَدَّثَنِي زُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ: حَدَّثَنَا حُسَيۡنُ بۡنُ مُحَمَّدٍ: حَدَّثَنَا شَيۡبَانُ. (ح) وَحَدَّثَنِي عَمۡرٌو النَّاقِدُ وَمُحَمَّدُ بۡنُ رَافِعٍ. قَالَا: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ، عَنۡ مَعۡمَرٍ. (ح) وَحَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ الدَّارِمِيُّ: أَخۡبَرَنَا يَحۡيَى بۡنُ حَسَّانَ: حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ. كُلُّهُمۡ عَنۡ يَحۡيَى بۡنِ أَبِي كَثِيرٍ، بِمِثۡلِ مَعۡنَىٰ حَدِيثِ هِشَامٍ وَإِسۡنَادِهِ.
وَاتَّفَقَ لَفۡظُ حَدِيثِ هِشَامٍ وَشَيۡبَانَ وَمُعَاوِيَةَ بۡنِ سَلَّامٍ فِي هٰذَا الۡحَدِيثِ.
[البخاري: كتاب الحيل، باب في النكاح، رقم: ٦٩٧٠].
Zuhair bin Harb telah menceritakan kepadaku: Isma’il bin Ibrahim menceritakan kepada kami: Al-Hajjaj bin Abu ‘Utsman menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Ibrahim bin Musa telah menceritakan kepadaku: ‘Isa bin Yunus mengabarkan kepada kami dari Al-Auza’i. (Dalam riwayat lain) Zuhair bin Harb telah menceritakan kepadaku: Husain bin Muhammad menceritakan kepada kami: Syaiban menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) ‘Amr An-Naqid dan Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepadaku. Keduanya berkata: ‘Abdurrazzaq menceritakan kepada kami, dari Ma’mar. (Dalam riwayat lain) ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Ad-Darimi telah menceritakan kepada kami: Yahya bin Hassan mengabarkan kepada kami: Mu’awiyah menceritakan kepada kami. Mereka semua dari Yahya bin Abu Katsir semisal makna hadis Hisyam dan sanadnya.
Redaksi hadis Hisyam, Syaiban, dan Mu’awiyah bin Sallam bersesuaian dalam hadis ini.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 3314

١٦ – بَابٌ خَمۡسٌ مِنَ الدَّوَابِّ فَوَاسِقُ، يُقۡتَلۡنَ فِي الۡحَرَمِ
16. Bab ada lima binatang yang fasik, boleh dibunuh di tanah suci

٣٣١٤ - حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بۡنُ زُرَيۡعٍ: حَدَّثَنَا مَعۡمَرٌ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ عُرۡوَةَ، عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: (خَمۡسٌ فَوَاسِقُ، يُقۡتَلۡنَ فِي الۡحَرَمِ: الۡفَأۡرَةُ، وَالۡعَقۡرَبُ، وَالۡحُدَيَّا، وَالۡغُرَابُ، وَالۡكَلۡبُ الۡعَقُورُ). [طرفه في: ١٨٢٩].
3314. Musaddad telah menceritakan kepada kami: Yazid bin Zurai’ menceritakan kepada kami: Ma’mar menceritakan kepada kami, dari Az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Lima binatang yang fasik, boleh dibunuh di tanah haram: tikus, kalajengking, burung elang, burung gagak, dan binatang buas yang suka melukai.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 2570

٢٥٧٠ - حَدَّثَنَا عَبۡدُ الۡعَزِيزِ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ جَعۡفَرٍ، عَنۡ أَبِي حَازِمٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ أَبِي قَتَادَةَ السَّلَمِيِّ، عَنۡ أَبِيهِ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: كُنۡتُ يَوۡمًا جَالِسًا مَعَ رِجَالٍ مِنۡ أَصۡحَابِ النَّبِيِّ ﷺ فِي مَنۡزِلٍ فِي طَرِيقِ مَكَّةَ، وَرَسُولُ اللهِ ﷺ نَازِلٌ أَمَامَنَا، وَالۡقَوۡمُ مُحۡرِمُونَ وَأَنَا غَيۡرُ مُحۡرِمٍ، فَأَبۡصَرُوا حِمَارًا وَحۡشِيًّا، وَأَنَا مَشۡغُولٌ أَخۡصِفُ نَعۡلِي، فَلَمۡ يُؤۡذِنُونِي بِهِ، وَأَحَبُّوا لَوۡ أَنِّي أَبۡصَرۡتُهُ، فَالۡتَفَتُّ فَأَبۡصَرۡتُهُ، فَقُمۡتُ إِلَى الۡفَرَسِ فَأَسۡرَجۡتُهُ، ثُمَّ رَكِبۡتُ وَنَسِيتُ السَّوۡطَ وَالرُّمۡحَ، فَقُلۡتُ لَهُمۡ: نَاوِلُونِي السَّوۡطَ وَالرُّمۡحَ، فَقَالُوا: لَا وَاللهِ لَا نُعِينُكَ عَلَيۡهِ بِشَىۡءٍ، فَغَضِبۡتُ فَنَزَلۡتُ فَأَخَذۡتُهُمَا، ثُمَّ رَكِبۡتُ فَشَدَدۡتُ عَلَى الۡحِمَارِ فَعَقَرۡتُهُ، ثُمَّ جِئۡتُ بِهِ وَقَدۡ مَاتَ، فَوَقَعُوا فِيهِ يَأۡكُلُونَهُ، ثُمَّ إِنَّهُمۡ شَكُّوا فِي أَكۡلِهِمۡ إِيَّاهُ وَهُمۡ حُرُمٌ، فَرُحۡنَا وَخَبَأۡتُ الۡعَضُدَ مَعِي، فَأَدۡرَكۡنَا رَسُولَ اللهِ ﷺ فَسَأَلۡنَاهُ عَنۡ ذٰلِكَ، فَقَالَ: (مَعَكُمۡ مِنۡهُ شَىۡءٌ؟). فَقُلۡتُ: نَعَمۡ، فَنَاوَلۡتُهُ الۡعَضُدَ فَأَكَلَهَا حَتَّى نَفَّدَهَا وَهُوَ مُحۡرِمٌ. فَحَدَّثَنِي بِهِ زَيۡدُ بۡنُ أَسۡلَمَ، عَنۡ عَطَاءِ بۡنِ يَسَارٍ، عَنۡ أَبِي قَتَادَةَ. [طرفه في: ١٨٢١].
2570. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Muhammad bin Ja’far menceritakan kepadaku, dari Abu Hazim, dari ‘Abdullah bin Abu Qatadah As-Salami, dari ayahnya radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Aku pernah pada suatu hari duduk bersama beberapa orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di suatu tempat persinggahan di jalan menuju Makkah. Adapun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam singgah di depan kami. Para sahabat itu sedang ihram, sementara aku tidak ihram. Mereka melihat seekor zebra ketika aku sedang sibuk memasang tali sandal. Mereka tidak memberitahuku tentang zebra tersebut. Padahal sebenarnya mereka senang seandainya aku melihatnya. Lalu, aku menoleh dan melihatnya. Aku bangkit menuju kuda, aku pasang pelananya, kemudian aku naiki. Namun aku lupa membawa cambuk dan tombak, maka aku berkata kepada mereka: Tolong ambilkan cambuk dan tombak! Namun mereka berkata: Tidak, demi Allah, kami tidak mau membantumu sedikitpun. Aku kesal, lalu aku turun dan aku ambil cambuk dan tombak sendiri. Kemudian aku kembali naik kuda, lalu aku memburu zebra itu dan aku menyembelihnya. Kemudian aku membawanya dalam keadaan zebra itu sudah mati. Para sahabat mengambil dan memakannya. Kemudian mereka ragu tentang kebolehan memakannya dalam keadaan ihram. Ketika masuk waktu sore, kami berangkat dan aku menyimpan sepotong daging lengan atas bersamaku. Kami dapat menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kami menanyakannya kepada beliau. Beliau bertanya, “Apakah kalian membawa sebagiannya?” Aku menjawab: Ya. Lalu aku memberikan potongan daging tadi kepada beliau lalu beliau memakannya sampai habis padahal beliau sedang berihram. Zaid bin Aslam menceritakannya kepadaku dari ‘Atha` bin Yasar, dari Abu Qatadah.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1824

٥ - بَابٌ لَا يُشِيرُ الۡمُحۡرِمُ إِلَى الصَّيۡدِ لِكَيۡ يَصۡطَادَهُ الۡحَلَالُ
5. Bab seorang yang berihram tidak boleh memberi isyarat ke arah binatang buruan supaya diburu oleh orang yang tidak berihram

١٨٢٤ - حَدَّثَنَا مُوسَى بۡنُ إِسۡمَاعِيلَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ: حَدَّثَنَا عُثۡمَانُ، هُوَ ابۡنُ مَوۡهَبٍ، قَالَ: أَخۡبَرَنِي عَبۡدُ اللهِ بۡنُ أَبِي قَتَادَةَ: أَنَّ أَبَاهُ أَخۡبَرَهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ خَرَجَ حَاجًّا، فَخَرَجُوا مَعَهُ، فَصَرَفَ طَائِفَةً مِنۡهُمۡ فِيهِمۡ أَبُو قَتَادَةَ، فَقَالَ: (خُذُوا سَاحِلَ الۡبَحۡرِ حَتَّى نَلۡتَقِيَ). فَأَخَذُوا سَاحِلَ الۡبَحۡرِ، فَلَمَّا انۡصَرَفُوا، أَحۡرَمُوا كُلُّهُمۡ إِلَّا أَبَا قَتَادَةَ لَمۡ يُحۡرِمۡ، فَبَيۡنَمَا هُمۡ يَسِيرُونَ إِذۡ رَأَوۡا حُمُرَ وَحۡشٍ، فَحَمَلَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَى الۡحُمُرِ فَعَقَرَ مِنۡهَا أَتَانًا، فَنَزَلُوا فَأَكَلُوا مِنۡ لَحۡمِهَا، وَقَالُوا: أَنَأۡكُلُ لَحۡمَ صَيۡدٍ وَنَحۡنُ مُحۡرِمُونَ؟ فَحَمَلۡنَا مَا بَقِيَ مِنۡ لَحۡمِ الأَتَانِ، فَلَمَّا أَتَوۡا رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا أَحۡرَمۡنَا، وَقَدۡ كَانَ أَبُو قَتَادَةَ لَمۡ يُحۡرِمۡ، فَرَأَيۡنَا حُمُرَ وَحۡشٍ فَحَمَلَ عَلَيۡهَا أَبُو قَتَادَةَ فَعَقَرَ مِنۡهَا أَتَانًا، فَنَزَلۡنَا فَأَكَلۡنَا مِنۡ لَحۡمِهَا، ثُمَّ قُلۡنَا: أَنَأۡكُلُ لَحۡمَ صَيۡدٍ وَنَحۡنُ مُحۡرِمُونَ؟ فَحَمَلۡنَا مَا بَقِيَ مِنۡ لَحۡمِهَا. قَالَ: (مِنۡكُمۡ أَحَدٌ أَمَرَهُ أَنۡ يَحۡمِلَ عَلَيۡهَا أَوۡ أَشَارَ إِلَيۡهَا؟) قَالُوا: لَا. قَالَ: (فَكُلُوا مَا بَقِيَ مِنۡ لَحۡمِهَا). [طرفه في: ١٨٢١].
1824. Musa bin Isma’il telah menceritakan kepada kami: Abu ‘Awanah menceritakan kepada kami: ‘Utsman bin Mauhab menceritakan kepada kami, beliau berkata: ‘Abdullah bin Abu Qatadah mengabarkan kepadaku: Bahwa ayahnya mengabarkan kepadanya: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pergi untuk haji (umrah). Maka, para sahabat pergi bersama beliau. Beliau memisahkan satu kelompok, di antara mereka ada Abu Qatadah. Nabi bersabda, “Ambillah jalan di tepi pantai sampai kita bertemu.” Mereka pun mengambil jalan tepi pantai. Ketika mereka telah meninggalkan tepi pantai, mereka semuanya berihram kecuali Abu Qatadah tidak berihram. Ketika mereka sedang berjalan, tiba-tiba mereka melihat ada beberapa zebra. Abu Qatadah pun memburu zebra-zebra itu, lalu ia berhasil membunuh seekor zebra betina di antaranya. Mereka singgah dan memakan sebagian dagingnya. Mereka bertanya-tanya: Apakah kita boleh makan daging binatang buruan padahal kita sedang ihram? Kami pun membawa sisa daging zebra betina itu. Ketika mereka telah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami berihram, sementara Abu Qatadah tidak berihram. Lalu kami melihat ada beberapa zebra. Kemudian Abu Qatadah memburunya dan berhasil membunuh seekor zebra betina di antaranya. Kami pun singgah dan makan sebagian dagingnya. Kemudian kami bertanya-tanya: Apakah kita boleh makan daging binatang buruan padahal kita sedang ihram? Lalu kami membawa sisa dagingnya. Beliau bersabda, “Apakah ada seorang di antara kalian yang ikut memburunya atau memberi isyarat ke arahnya?” Mereka menjawab: Tidak. Beliau bersabda, “Makanlah sisa dagingnya!”

Shahih Muslim hadits nomor 1418

٨ - بَابُ الۡوَفَاءِ بِالشُّرُوطِ فِي النِّكَاحِ
8. Bab memenuhi syarat-syarat dalam pernikahan

٦٣ - (١٤١٨) - حَدَّثَنَا يَحۡيَى بۡنُ أَيُّوبَ: حَدَّثَنَا هُشَيۡمٌ. (ح) وَحَدَّثَنَا ابۡنُ نُمَيۡرٍ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ. (ح) وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ: حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الۡأَحۡمَرُ. (ح) وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّى: حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ - وَهُوَ الۡقَطَّانُ - عَنۡ عَبۡدِ الۡحَمِيدِ بۡنِ جَعۡفَرٍ، عَنۡ يَزِيدَ بۡنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنۡ مَرۡثَدِ بۡنِ عَبۡدِ اللهِ الۡيَزَنِيِّ، عَنۡ عُقۡبَةَ بۡنِ عَامِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (إِنَّ أَحَقَّ الشَّرۡطِ أَنۡ يُوفَىٰ بِهِ، مَا اسۡتَحۡلَلۡتُمۡ بِهِ الۡفُرُوجَ).
هٰذَا لَفۡظُ حَدِيثِ أَبِي بَكۡرٍ وَابۡنِ الۡمُثَنَّى. غَيۡرَ أَنَّ ابۡنَ الۡمُثَنَّى قَالَ: (الشُّرُوطِ).
[البخاري: كتاب الشروط، باب في المهر عند عقدة النكاح، رقم: ٢٧٢١].
63. (1416). Yahya bin Ayyub telah menceritakan kepada kami: Husyaim menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami: Waki’ menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami: Abu Khalid Al-Ahmar menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Muhammad bin Al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami: Yahya Al-Qaththan menceritakan kepada kami dari ‘Abdul Hamid bin Ja’far, dari Yazid bin Abu Habib, dari Martsad bin ‘Abdullah Al-Yazani, dari ‘Uqbah bin ‘Amir, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya syarat yang paling pantas untuk dipenuhi adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan.”
Ini adalah redaksi hadis Abu Bakr dan Ibnu Al-Mutsanna. Hanya saja Ibnu Al-Mutsanna berkata, “Syarat-syarat.”

Shahih Muslim hadits nomor 1417

٦٢ - (١٤١٧) - وَحَدَّثَنِي هَارُونُ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ: حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بۡنُ مُحَمَّدٍ. قَالَ: قَالَ ابۡنُ جُرَيۡجٍ. (ح) وَحَدَّثَنَاهُ إِسۡحَاقُ بۡنُ إِبۡرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بۡنُ رَافِعٍ، عَنۡ عَبۡدِ الرَّزَّاقِ: أَخۡبَرَنَا ابۡنُ جُرَيۡجٍ: أَخۡبَرَنِي أَبُو الزُّبَيۡرِ، أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بۡنَ عَبۡدِ اللهِ يَقُولُ: نَهَىٰ رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنِ الشِّغَارِ.
62. (1417). Harun bin ‘Abdullah telah menceritakan kepadaku: Hajjaj bin Muhammad menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Ibnu Juraij berkata. (Dalam riwayat lain) Ishaq bin Ibrahim dan Muhammad bin Rafi’ telah menceritakannya kepada kami, dari ‘Abdur Razzaq: Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami: Abu Az-Zubair mengabarkan kepadaku, bahwa beliau mendengar Jabir bin ‘Abdullah mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari nikah sigar.

Shahih Muslim hadits nomor 1416

٦١ - (١٤١٦) - حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرِ بۡنُ أَبِي شَيۡبَةَ: حَدَّثَنَا ابۡنُ نُمَيۡرٍ وَأَبُو أُسَامَةَ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ، عَنۡ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الۡأَعۡرَجِ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ قَالَ: نَهَىٰ رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنِ الشِّغَارِ.
زَادَ ابۡنُ نُمَيۡرٍ: وَالشِّغَارُ: أَنۡ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجۡنِي ابۡنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابۡنَتِي، أَوۡ زَوِّجۡنِي أُخۡتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخۡتِي.
61. (1416). Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami: Ibnu Numair dan Abu Usamah menceritakan kepada kami, dari ‘Ubaidullah, dari Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari nikah sigar.
Ibnu Numair menambahkan: Nikah sigar adalah seorang laki-laki mengatakan kepada laki-laki lain: Nikahkan aku dengan putrimu dan aku nikahkan kamu dengan putriku. Atau nikahkan aku dengan saudarimu dan aku nikahkan engkau dengan saudariku.
(...) - وَحَدَّثَنَاهُ أَبُو كُرَيۡبٍ: حَدَّثَنَا عَبۡدَةُ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ - وَهُوَ ابۡنُ عُمَرَ - بِهٰذَا الۡإِسۡنَادِ. وَلَمۡ يَذۡكُرۡ زِيَادَةَ ابۡنِ نُمَيۡرٍ.
Abu Kuraib telah menceritakannya kepada kami: ‘Abdah menceritakan kepada kami, dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar melalui sanad ini. Namun beliau tidak menyebutkan tambahan Ibnu Numair.

Shahih Muslim hadits nomor 1415

٧ - بَابُ تَحۡرِيمِ نِكَاحِ الشِّغَارِ وَبُطۡلَانِهِ
7. Bab pengharaman nikah sigar dan kebatilannya

٥٧ - (١٤١٥) - حَدَّثَنَا يَحۡيَى بۡنُ يَحۡيَىٰ قَالَ: قَرَأۡتُ عَلَىٰ مَالِكٍ، عَنۡ نَافِعٍ، عَنِ ابۡنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ نَهَىٰ عَنِ الشِّغَارِ.
وَالشِّغَارُ: أَنۡ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابۡنَتَهُ، عَلَىٰ أَنۡ يُزَوِّجَهُ ابۡنَتَهُ، وَلَيۡسَ بَيۡنَهُمَا صَدَاقٌ.
[البخاري: كتاب النكاح، باب الشغار، رقم: ٥١١٢].
57. (1415). Yahya bin Yahya telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Aku membaca di hadapan Malik, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari nikah sigar.
Nikah sigar adalah seseorang menikahkan putrinya dengan syarat pria yang menikahi mau menikahkannya dengan putrinya dan tidak ada mahar antara keduanya.
٥٨ - (...) - وَحَدَّثَنِي زُهَيۡرُ بۡنُ حَرۡبٍ وَمُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّى وَعُبَيۡدُ اللهِ بۡنُ سَعِيدٍ. قَالُوا: حَدَّثَنَا يَحۡيَىٰ، عَنۡ عُبَيۡدِ اللهِ، عَنۡ نَافِعٍ، عَنِ ابۡنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، بِمِثۡلِهِ.
غَيۡرَ أَنَّ فِي حَدِيثِ عُبَيۡدِ اللهِ قَالَ: قُلۡتُ لِنَافِعٍ: مَا الشِّغَارُ؟
[البخاري: كتاب الحيل، باب الحيلة في النكاح، رقم: ٦٩٦٠].
58. Zuhair bin Harb, Muhammad bin Al-Mutsanna, dan ‘Ubaidullah bin Sa’id telah menceritakan kepadaku. Mereka berkata: Yahya menceritakan kepada kami, dari ‘Ubaidullah, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semisal hadis tersebut.
Hanya saja di hadis ‘Ubaidullah, beliau berkata: Aku bertanya kepada Nafi’: Apa nikah sigar itu?
٥٩ - (...) - وَحَدَّثَنَا يَحۡيَى بۡنُ يَحۡيَىٰ: أَخۡبَرَنَا حَمَّادُ بۡنُ زَيۡدٍ، عَنۡ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ السَّرَّاجِ، عَنۡ نَافِعٍ، عَنِ ابۡنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ نَهَىٰ عَنِ الشِّغَارِ.
59. Yahya bin Yahya telah menceritakan kepada kami: Hammad bin Zaid mengabarkan kepada kami, dari ‘Abdurrahman As-Sarraj, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari nikah sigar.
٦٠ - (...) - وَحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بۡنُ رَافِعٍ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ: أَخۡبَرَنَا مَعۡمَرٌ، عَنۡ أَيُّوبَ، عَنۡ نَافِعٍ، عَنِ ابۡنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (لَا شِغَارَ فِي الۡإِسۡلَامِ).
60. Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepadaku: ‘Abdur Razzaq menceritakan kepada kami: Ma’mar mengabarkan kepada kami, dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada nikah sigar di dalam Islam.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1821

١ – بَابُ جَزَاءِ الصَّيۡدِ وَنَحۡوِهِ، وَقَوۡلِ اللهِ تَعَالَى:
1. Bab denda binatang buruan dan yang semacamnya serta firman Allah taala:

﴿لَا تَقْتُلُوا۟ ٱلصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَن قَتَلَهُۥ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ ٱلنَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِۦ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًۢا بَـٰلِغَ ٱلْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّـٰرَةٌ طَعَامُ مَسَـٰكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَ‌ٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِۦ ۗ عَفَا ٱللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ ٱللَّهُ مِنْهُ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ ذُو ٱنتِقَامٍ ۞ أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ ٱلْبَحْرِ وَطَعَامُهُۥ مَتَـٰعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ ٱلْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ﴾ [المائدة: ٩٥ – ٩٦].
“Janganlah kalian membunuh binatang buruan, ketika kalian sedang ihram. Barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadyu (kurban) yang dibawa sampai ke Kakbah atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa. Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat, selama kalian dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepadaNya-lah kalian akan dikumpulkan.” (QS. Al-Maidah: 95-96).

٢ - بَابٌ إِذَا صَادَ الۡحَلَالُ فَأَهۡدَى لِلۡمُحۡرِمِ الصَّيۡدَ أَكَلَهُ
2. Bab apabila orang yang tidak berihram berburu, lalu menghadiahkan kepada orang yang berihram, maka boleh memakannya

وَلَمۡ يَرَ ابۡنُ عَبَّاسٍ وَأَنَسٌ بِالذَّبۡحِ بَأۡسًا، وَهُوَ غَيۡرُ الصَّيۡدِ، نَحۡوُ الۡإِبِلِ وَالۡغَنَمِ وَالۡبَقَرِ وَالدَّجَاجِ وَالۡخَيۡلِ. يُقَالُ: عَدۡلُ ذٰلِكَ: مِثۡلُ، فَإِذَا كُسِرَتۡ عِدۡلٌ فَهُوَ زِنَةُ ذٰلِكَ. ﴿قِيَامًا﴾ [المائدة: ٩٧]: قِوَامًا. ﴿يَعۡدِلُونَ﴾ [الأنعام: ١]: يَجۡعَلُونَ عَدۡلًا.
Ibnu ‘Abbas dan Anas berpendapat tidak mengapa orang yang ihram menyembelih, yaitu selain binatang buruan. Semisal menyembelih unta, kambing, sapi, ayam, dan kuda. Ada yang mengatakan ‘adlu dzaalika adalah semisal. Apabila dikasrah, yaitu ‘idl, maka artinya seberat itu. “Qiyaaman” (QS. Al-Maidah: 97) artinya qiwaaman (tonggak). “Ya’diluun” (QS. Al-An’am: 1) artinya menjadikan tandingan.
١٨٢١ - حَدَّثَنَا مُعَاذُ بۡنُ فَضَالَةَ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنۡ يَحۡيَى، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ: انۡطَلَقَ أَبِي عَامَ الۡحُدَيۡبِيَةِ، فَأَحۡرَمَ أَصۡحَابُهُ وَلَمۡ يُحۡرِمۡ، وَحُدِّثَ النَّبِيُّ ﷺ أَنَّ عَدُوًّا يَغۡزُوهُ، فَانۡطَلَقَ النَّبِيُّ ﷺ، فَبَيۡنَمَا أَنَا مَعَ أَصۡحَابِهِ تَضَحَّكَ بَعۡضُهُمۡ إِلَى بَعۡضٍ،فَنَظَرۡتُ فَإِذَا أَنَا بِحِمَارِ وَحۡشٍ، فَحَمَلۡتُ عَلَيۡهِ فَطَعَنۡتُهُ فَأَثۡبَتُّهُ، وَاسۡتَعَنۡتُ بِهِمۡ فَأَبَوۡا أَنۡ يُعِينُونِي، فَأَكَلۡنَا مِنۡ لَحۡمِهِ، وَخَشِينَا أَنۡ نُقۡتَطَعَ، فَطَلَبۡتُ النَّبِيَّ ﷺ، أَرۡفَعُ فَرَسِي شَأۡوًا وَأَسِيرُ شَأۡوًا، فَلَقِيتُ رَجُلًا مِنۡ بَنِي غِفَارٍ فِي جَوۡفِ اللَّيۡلِ، قُلۡتُ: أَيۡنَ تَرَكۡتَ النَّبِيَّ ﷺ؟ قَالَ: تَرَكۡتُهُ بِتَعۡهِنَ، وَهُوَ قَائِلٌ السُّقۡيَا، فَقُلۡتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَهۡلَكَ يَقۡرَءُونَ عَلَيۡكَ السَّلَامَ وَرَحۡمَةَ اللهِ، إِنَّهُمۡ قَدۡ خَشُوا أَنۡ يُقۡتَطَعُوا دُونَكَ فَانۡتَظِرۡهُمۡ. قُلۡتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَصَبۡتُ حِمَارَ وَحۡشٍ، وَعِنۡدِي مِنۡهُ فَاضِلَةٌ. فَقَالَ لِلۡقَوۡمِ: (كُلُوا). وَهُمۡ مُحۡرِمُونَ.
[الحديث ١٨٢١ – أطرافه في: ١٨٢٢، ١٨٢٣، ١٨٢٤، ٢٥٧٠، ٢٨٥٤، ٢٩١٤، ٤١٤٩، ٥٤٠٦، ٥٤٠٧، ٥٤٩٠، ٥٤٩١، ٥٤٩٢].
1821. Mu’adz bin Fadhalah telah menceritakan kepada kami: Hisyam menceritakan kepada kami, dari Yahya, dari ‘Abdullah bin Abu Qatadah, beliau berkata: Ayahku berangkat pergi pada tahun Hudaibiyah. Para sahabatnya beliau berihram, sementara beliau sendiri tidak berihram. Diceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada musuh yang akan memerangi beliau, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertolak terlebih dahulu. Ketika aku bersama para sahabatnya, mereka saling tertawa. Aku melihat ternyata ada seekor zebra, lalu aku memburunya sehingga aku bisa menusuk dan menangkapnya. Aku meminta tolong kepada mereka namun mereka tidak mau menolongku. Kemudian kami makan dagingnya, lalu kami khawatir terpisah. Aku pun mencari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesekali aku memacu kencang kudaku dan terkadang berjalan biasa. Aku bertemu dengan seseorang dari bani Ghifar ketika larut malam. Aku bertanya: Di mana engkau meninggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau menjawab: Aku meninggalkan beliau di Ta’hin, beliau hendak istirahat siang di Suqya. Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya sahabatmu menyampaikan salam dan rahmat Allah kepadamu. Sesungguhnya mereka khawatir akan terpisah darimu, oleh karena itu, tunggulah mereka. Aku berkata: Wahai Rasulullah, aku menangkap seekor zebra dan aku membawa sisa dagingnya. Beliau bersabda kepada orang-orang, “Kalian makanlah.” Padahal mereka sedang ihram.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 5490 dan 5491

٥٤٩٠ - حَدَّثَنَا إِسۡمَاعِيلُ قَالَ: حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنۡ أَبِي النَّضۡرِ مَوۡلَى عُمَرَ بۡنِ عُبَيۡدِ اللهِ، عَنۡ نَافِعٍ مَوۡلَى أَبِي قَتَادَةَ، عَنۡ أَبِي قَتَادَةَ: أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ، حَتَّى إِذَا كَانَ بِبَعۡضِ طَرِيقِ مَكَّةَ، تَخَلَّفَ مَعَ أَصۡحَابٍ لَهُ مُحۡرِمِينَ، وَهۡوَ غَيۡرُ مُحۡرِمٍ، فَرَأَى حِمَارًا وَحۡشِيًّا، فَاسۡتَوَى عَلَى فَرَسِهِ، ثُمَّ سَأَلَ أَصۡحَابَهُ أَنۡ يُنَاوِلُوهُ سَوۡطًا فَأَبَوۡا، فَسَأَلَهُمۡ رُمۡحَهُ فَأَبَوۡا، فَأَخَذَهُ ثُمَّ شَدَّ عَلَى الۡحِمَارِ فَقَتَلَهُ، فَأَكَلَ مِنۡهُ بَعۡضُ أَصۡحَابِ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَأَبَى بَعۡضُهُمۡ، فَلَمَّا أَدۡرَكُوا رَسُولَ اللهِ ﷺ سَأَلُوهُ عَنۡ ذٰلِكَ، فَقَالَ: (إِنَّمَا هِيَ طُعۡمَةٌ أَطۡعَمَكُمُوهَا اللهُ). [طرفه في: ١٨٢١].
5490. Isma’il telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Malik menceritakan kepadaku, dari Abu An-Nadhr maula ‘Umar bin ‘Ubaidullah, dari Nafi’ maula Abu Qatadah, dari Abu Qatadah: Bahwa beliau pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga ketika Abu Qatadah sudah berada di sebagian jalan Makkah, Abu Qatadah tertinggal bersama para sahabatnya yang sedang ihram, namun Abu Qatadah sendiri tidak ihram. Beliau melihat seekor zebra, lalu ia menaiki kudanya. Beliau meminta para sahabatnya agar mengambilkan cambuk untuknya, namun mereka tidak mau. Lalu beliau meminta tombaknya kepada mereka, namun mereka juga tidak mau. Lalu beliau pun mengambilnya sendiri kemudian memburu zebra itu dan membunuhnya. Sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang memakannya dan ada yang tidak mau. Ketika mereka sudah menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya kepada beliau tentang kejadian itu. Lantas beliau bersabda, “Ia adalah makanan yang Allah berikan kepada kalian.”
٥٤٩١ - حَدَّثَنَا إِسۡمَاعِيلُ قَالَ: حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنۡ زَيۡدِ بۡنِ أَسۡلَمَ، عَنۡ عَطَاءِ بۡنِ يَسَارٍ، عَنۡ أَبِي قَتَادَةَ: مِثۡلَهُ، إِلَّا أَنَّهُ قَالَ: (هَلۡ مَعَكُمۡ مِنۡ لَحۡمِهِ شَيۡءٌ؟). [طرفه في: ١٨٢١].
5491. Isma’il telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Malik menceritakan kepadaku, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha` bin Yasar, dari Abu Qatadah: Semisal hadis tersebut, hanya saja beliau bersabda, “Apakah masih ada sebagian dagingnya bersama kalian?”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 1823

٤ - بَابٌ لَا يُعِينُ الۡمُحۡرِمُ الۡحَلَالَ فِي قَتۡلِ الصَّيۡدِ
4. Bab orang yang berihram tidak boleh membantu orang yang sedang tidak berihram untuk membunuh binatang buruan

١٨٢٣ - حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ مُحَمَّدٍ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ: حَدَّثَنَا صَالِحُ بۡنُ كَيۡسَانَ، عَنۡ أَبِي مُحَمَّدٍ نَافِعٍ مَوۡلَى أَبِي قَتَادَةَ: سَمِعَ أَبَا قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ بِالۡقَاحَةِ، مِنَ الۡمَدِينَةِ عَلَى ثَلَاثٍ. (ح) وَحَدَّثَنَا عَلِيُّ بۡنُ عَبۡدِ اللهِ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ: حَدَّثَنَا صَالِحُ بۡنُ كَيۡسَانَ، عَنۡ أَبِي مُحَمَّدٍ، عَنۡ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ الله عَنۡهُ قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ بِالۡقَاحَةِ، وَمِنَّا الۡمُحۡرِمُ وَمِنَّا غَيۡرُ الۡمُحۡرِمِ، فَرَأَيۡتُ أَصۡحَابِي يَتَرَاءَوۡنَ شَيۡئًا، فَنَظَرۡتُ، فَإِذَا حِمَارُ وَحۡشٍ، يَعۡنِي وَقَعَ سَوۡطُهُ، فَقَالُوا: لَا نُعِينُكَ عَلَيۡهِ بِشَىۡءٍ، إِنَّا مُحۡرِمُونَ، فَتَنَاوَلۡتُهُ فَأَخَذۡتُهُ، ثُمَّ أَتَيۡتُ الۡحِمَارَ مِنۡ وَرَاءِ أَكَمَةٍ فَعَقَرۡتُهُ، فَأَتَيۡتُ بِهِ أَصۡحَابِي، فَقَالَ بَعۡضُهُمۡ: كُلُوا، وَقَالَ بَعۡضُهُمۡ: لَا تَأۡكُلُوا، فَأَتَيۡتُ النَّبِيَّ ﷺ، وَهُوَ أَمَامَنَا فَسَأَلۡتُهُ فَقَالَ: (كُلُوهُ حَلَالٌ). قَالَ لَنَا عَمۡرٌو: اذۡهَبُوا إِلَى صَالِحٍ فَسَلُوهُ عَنۡ هٰذَا وَغَيۡرِهِ، وَقَدِمَ عَلَيۡنَا هَا هُنَا. [طرفه في: ١٨٢١].
1823. ‘Abdullah bin Muhammad telah menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami: Shalih bin Kaisan menceritakan kepada kami, dari Abu Muhammad Nafi’ maula Abu Qatadah: Beliau mendengar Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu mengatakan: Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Qahah yang jaraknya tiga hari perjalanan (dari Madinah). (Dalam riwayat lain) ‘Ali bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami: Shalih bin Kaisan menceritakan kepada kami, dari Abu Muhammad, dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Qahah. Di antara kami ada yang berihram dan ada yang tidak. Aku melihat para sahabatku melihat sesuatu, aku pun ikut melihat. Ternyata ada zebra, lalu cambuknya jatuh. Mereka berkata: Kami tidak akan membantumu sedikitpun karena kami sedang ihram. Aku pun meraih dan mengambil cambuk itu sendiri. Kemudian aku mendatangi zebra itu dari belakang gundukan batu, lalu aku menyembelihnya. Lalu aku membawanya kepada para sahabatku. Sebagian mereka berkata: Kalian makanlah! Sebagian yang lain berkata: Jangan kalian makan! Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berada di depan kami, lalu aku bertanya kepada beliau. Beliau menjawab, “Makanlah itu! Halal.” ‘Amr berkata kepada kami: Pergilah kepada Shalih lalu tanyakan kepadanya tentang hal ini dan selainnya. Shalih datang ke tempat kami di sini.

INDUK ILMU FIKIH

Ketika kita sedang membahas masalah fikih, sudah barang tentu kita memerlukan kitab-kitab fikih induk yang telah ditulis oleh para ulama kita. Kita telah mengenal kitab-kitab fikih besar yang telah ditulis para ulama kita semisal Al Umm karya Imam Asy Syafii rahimahullah, Al Majmu Syarhul Muhadzab karya Imam An Nawawi rahimahullah, At Tamhid karya Ibnu Abdilbar rahimahullah, Almuhalla karya Ibnu Hazm rahimahullah dan karya ulama-ulama yang lainnya. Di antara kitab fikih yang besar dan luas pembahasannya adalah kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah Al Maqdisy rahimahullah.

Kitab Al Mughni adalah kitab fikih rujukan yang penting dalam membahas masalah-masalah fikih. Bagaimana tidak? Seorang alim Izzudin bin Abdus salam saja berkata, “Belum tentram hatiku untuk berfatwa sampai ada naskah kitab Al Mughni di hadapanku.”

PENULIS KITAB


Beliau bernama lengkap Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al Maqdisy rahimahullah. Beliau dikenal dengan Muwafaqudin Ibnu Qudamah. Beliau lahir di bulan Sya’ban 541 H, meninggal tahun 620 H. Beliau seorang yang sangat diakui keilmuannya, terbukti dengan banyaknya pujian ulama kepada beliau.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Tidak ada yang masuk ke Negeri Syam setelah Al Auza’i seorang yang lebih faqih dari Almuwaffaq (yakni Ibnu Qudamah)”. Imam Adz Dzahabi rahimahullah juga berkata, “Beliau adalah alim Negeri Syam di masanya.”

Di antara yang menunjukkan luasnya keilmuan beliau adalah banyaknya karya tulis beliau dalam berbagai bidang disiplin ilmu agama, di antaranya: Lumatul Itiqad, Dzammu Ta’wil dalam masalah akidah. Al Muqni dan Al Umdah fil fiqhi dalam masalah fikih.

TUJUAN PENULISAN KITAB AL MUGHNI


Kitab ini termasuk kitab induk Madzhab Hambali. Namun penulis juga menyebutkan pendapat madzhab yang lain dalam kitabnya ini, hingga kitab ini termasuk kitab terbesar dalam fikih Islam. Dalam mukadimah kitab beliau menjelaskan alasan menulis kitab ini adalah karena ingin menjelaskan mazhab Imam Ahmad dan pilihan beliau dalam permasalahan fikih. Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa beliau ingin menjelaskan Madzhab Imam Ahmad karena Imam Ahmad adalah termasuk di antara ulama yang paling berilmu, paling zuhud, dan paling mengikuti sunnah Rasulullah.

METODE PENULISAN


Dalam mukadimah penulis menjelaskan bahwa metode penulisan kitab ini adalah sebagai berikut:
  1. Beliau susun berdasarkan urutan permasalahan yang terdapat dalam kitab syarah Al Mukhtashar Al Hiraqi.
  2. Beliau menyebutkan permasalahan yang diperselisihkan dan masalah yang telah ada ijma’ padanya.
  3. Dalam masalah yang ada padanya perselisihan, beliau sebutkan pendapat para imam dan sebagian dalil mereka dengan ringkas.
  4. Menyandarkan setiap atsar kepada kitab-kitab para ulama.

FAEDAH KITAB


Seorang yang membaca kitab ini akan mendapatkan banyak faedah, antara lain:
  1. Mengetahui secara luas masalah-masalah fikih, karena dalam 15 jilid kitab ini Ibnu Qudamah menguraikan masalah-masalah fikih secara detail.
  2. Mengetahui pendapat-pendapat ulama di setiap madzhab beserta dalil masing-masing, karena Ibnu Qudamah menyebutkan pendapat-pendapat ulama ketika ada permasalahan.
  3. Mengetahui masalah-masalah yang telah ada ijma para ulama, karena ibnu Qudamah seringkali menukil ijma para ulama.
  4. Mengetahui dalil-dalil, ucapan sahabat, tabiin dan pendapat para imam dalam setiap permasalahannya.
  5. Bisa merujuk ke kitab-kitab induk untuk meneliti keabsahan dalil yang beliau bawakan.

PUJIAN ULAMA


Berkata ‘Izzudin bin Abdusalam, “Jiwaku belum merasa tenteram untuk berfatwa sampai ada di tanganku kitab Al Mughni. Beliau juga berkata, “Aku tidak pernah melihat kitab yang ditulis seperti Al Muhalla dan Al Mujalla karya ibnu Hazm dan Al Mughni karya Syaikh Muwaffaq, yakni karena bagus isi keduanya dan tahqiq (penelitian) yang ada pada kedua kitab tersebut.”

Imam Adz Dzahabi memberikan catatan tambahan, “Telah benar Syaikh Izzudin, dan yang ketiganya adalah Sunan Kubra karya Imam Baihaqi, yang keempatnya At Tamhid karya Ibnu Abdilbar. Barangsiapa yang memiliki kitab-kitab ini dan dia termasuk mufti yang cerdas serta terus membaca dan menelaah kitab-kitab tersebut, maka dia adalah seorang alim yang sebenarnya.”

Satu hal yang perlu diingat, keharusan bagi seorang penuntut ilmu untuk bertahap dalam belajar. Seorang thalibul ilmi (penuntut ilmu) yang baru hendaknya mempelajari kitab-kitab fikih yang lain sebelum masuk ke kitab yang besar seperti ini.

Sebagai contoh, syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menyebutkan kitab-kitab fikih yang perlu dimiliki thalibul ilmi dan tentunya mempelajari dan mendalaminya:
  1. Adabul Masyyi ila Shalaah karya Syaikh Muhammad bin Abdul wahhab.
  2. Zaadul mustaqni karya Al Hajawi.
  3. Arraudhal Murbi’ Syarah Zaadul Mustaqni karya Syaikh Manshur Bahuti.
  4. Umdatul fiqhi karya Ibnu Qudamah (Lihat kitab Al ilmu: hal 95).

Kita bisa banyak mendapatkan manfaat dari kitab-kitab besar semisal Al Mughni, ketika kita telah kokoh dalam ilmu-ilmu dasar yang harus dilewati tahapannya oleh thalibul ilmi. Semoga bermanfaat.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 43 vol.04 2016 rubrik Maktabah. Pemateri: Al Ustadz Abdurrahman Mubarak.