Cari Blog Ini

Ma Hiya As-Salafiyyah? - Keutamaan Mengikuti Salaf (2)

4. Selamat dari jalan-jalan setan. 

Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi berkata di dalam kitab As-Sunnah

Allah azza wajalla berfirman: 
وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَٰطِى مُسۡتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذَ‌ٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ 
Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah itu. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain sehingga akan memisahkan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Dia wasiatkan kepada kalian. (Q.S. Al-An’am: 153). 

Allah mengabarkan kepada kita bahwa jalan-Nya yang lurus hanya satu dan bahwa jalan yang lain ada banyak. Jalan itu menghalangi orang yang mengikutinya dari jalan-Nya yang lurus. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan hal itu kepada kita melalui sunahnya… Kemudian beliau menyebutkan sanad hadis ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan selain beliau. Hadis ini sahih. 
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللهِ ﷺ فَقَالَ: هَٰذَا سَبِيلُ اللهِ، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنۡ شِمَالِهِ وَعَنۡ يَمِينِهِ، ثُمَّ قَالَ: هَٰذِهِ سُبُلٌ، عَلَىٰ كُلِّ سَبِيلٍ مِنۡهَا شَيۡطَانٌ يَدۡعُو إِلَيۡهِ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَٰطِى مُسۡتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ﴾ [الأنعام: ١٥٣] 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis seraya bersabda, “Ini adalah jalan Allah.” Kemudian beliau membuat banyak garis di samping kiri dan kanan, lalu bersabda, “Ini adalah jalan-jalan. Pada setiap jalan ini ada setan yang mengajak padanya.” Kemudian beliau membaca ayat yang artinya, “Bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah itu. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain yang akan memisahkan kalian dari jalan-Nya.” (Q.S. Al-An’am: 153) 

Kemudian Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi menyebutkan sebagian jalur periwayatan hadis itu. Lalu berkata, “Maka Allah, kemudian Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kita dari perbuatan yang diada-adakan dan hawa nafsu yang akan menghalangi kita dari mengikuti perintah Allah dan sunah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” 

Hadis ini jelas bahwa siapa saja yang menetapi jalan kenabian, maka dia akan aman dari terjatuh pada perangkap jalan-jalan setan dan jalan kesesatan. Dan siapa saja yang melenceng dari jalan kaum mukminin, maka dia akan jatuh ke dalam jerat-jerat setan. Kita berlindung kepada Allah. 

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata di dalam kitab Al-Fawa`id

Ketika orang-orang 
  • berpaling dari menjadikan kitab dan sunah sebagai hakim serta berhukum kepada keduanya, 
  • meyakini tidak cukup dengan keduanya, 
  • berpindah kepada pendapat, kias, anggapan baik, dan ucapan para syekh, 
maka pada mereka akan muncul kerusakan pada fitrah mereka, kegelapan pada hati mereka, kotoran pada pemahaman mereka, kebodohan pada akal mereka. Perkara ini akan semakin menjamur pada mereka dan mendominasi mereka sampai anak kecil semakin banyak dan orang tua semakin renta namun mereka tidak dapat melihatnya sebagai suatu kemungkaran. 

Lalu, suatu lingkungan yang lain akan datang kepada mereka. Di situ akan muncul bidah yang menggantikan sunah, syahwat menggantikan akal, hawa nafsu menggantikan bimbingan, kesesatan menggantikan petunjuk, kemungkaran menggantikan kemakrufan, kebodohan menggantikan ilmu, ria menggantikan ikhlas, kebatilan menggantikan kebenaran, dusta menggantikan kejujuran, sikap menjilat menggantikan sikap menasihati, dan kezaliman menggantikan keadilan. Sehingga lingkungan dan yang mendominasi akan menjadi perkara-perkara tersebut, tidak bisa tidak. Orang-orang zalimlah yang akan diminta pendapatnya padahal sebelumnya tidak. Ketika engkau melihat suatu masyarakat yang perkara-perkara ini telah menuju ke sana, panji-panjinya telah dipancangkan, tentara-tentaranya telah ditunggangi, maka perut bumi—demi Allah—lebih baik dari punggungnya, puncak-puncak gunung lebih baik daripada datarannya, dan berkumpul dengan binatang-binatang lebih selamat daripada berkumpul dengan manusia. 

5. Bahwa orang yang selalu menetapi jalan salaf saleh akan mendapat pahala orang yang mengikutinya. 

Hal ini berdasarkan riwayat Imam Muslim dari hadis Jarir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنۡ سَنَّ فِي الۡإِسۡلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجۡرُهَا، وَأَجۡرُ مَنۡ عَمِلَ بِهَا بَعۡدَهُ مِنۡ غَيۡرِ أَنۡ يَنۡقُصَ مِنۡ أُجُورِهِمۡ شَيۡءٌ
“Siapa saja yang mencontohkan dalam Islam suatu sunah yang baik, maka baginya pahalanya dan pahala siapa saja yang beramal dengannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.”[1]

Ini adalah hadis yang sangat jelas menunjukkan besarnya pahala orang yang menghidupkan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, petunjuk para sahabatnya ridhwanallahu ‘alaihim, dan pendahulu yang saleh dari umat ini. Juga besarnya pahala orang yang menyebarkannya di tengah-tengah manusia sehingga orang lain bisa meneladaninya. Maka, dia mendapat pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun. 

Al-Hafizh An-Nawawi berkata di dalam kitab Syarh Muslim[2], “Dalam hadis ini ada anjuran untuk memelopori berbagai kebaikan, memberi teladan yang baik, dan memperingatkan dari membuat bidah yang batil dan jelek…” 

6. Bahwa orang yang selalu menetapi jalan salaf saleh akan mendapatkan kebahagiaan di dua negeri. 

Sebab dia mendapatkan kebahagiaan ini karena dia melaksanakan perintah Allah azza wajalla dan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berbeda dengan orang yang menentangnya yang diancam oleh Allah dengan firmannya, 
وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ أَعۡمَىٰ 
Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (QS. Thaha: 124). 

Berdasar ayat ini, apakah orang yang berpegang teguh dengan jalan salaf saleh merupakan orang yang berpaling atau orang yang mengikuti? Orang yang berpegang teguh dengan jalan salaf saleh adalah orang yang mengikuti, bukan orang yang berpaling. Dia adalah orang yang mengingat Rabbnya, mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, orang ini dijanjikan dengan kenikmatan yang kekal dan pahala yang banyak. Allah taala berfirman, 
تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدۡخِلۡهُ جَنَّـٰتٍ تَجۡرِى مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَ‌ٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ 
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa`: 13). 

Allah taala berfirman, 
فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِى شَىۡءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡءَاخِرِ ۚ ذَ‌ٰلِكَ خَيۡرٌ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا 
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa`: 59). 

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam Ar-Risalah At-Tabukiyyah ketika memberi komentar terhadap ayat yang lalu, “… ayat ini menunjukkan bahwa taat kepada Allah, taat kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai hakim merupakan sebab kebahagiaan yang segera dan yang nanti. Siapa saja yang merenungi alam dan kejelekan-kejelekan yang terjadi di dalamnya, dia akan mengetahui bahwa setiap kejelekan di alam ini, sebabnya adalah menyelisihi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluar dari ketaatan kepadanya. Dan setiap kebaikan di alam ini, sebabnya adalah taat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula kejelekan di akhirat, kepedihan, dan siksanya, itu hanyalah akibat dari menyelisihi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Maka, kejelekan dunia dan akhirat kembali kepada sikap penyelisihan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan segala hal yang mengantarkan padanya. Andai semua manusia taat kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sebenar-benarnya, niscaya tidak akan ada kejelekan di bumi sama sekali. Hal ini sebagaimana diketahui tentang kejelekan yang sifatnya menyeluruh dan musibah-musibah yang terjadi di bumi. Demikian pula dalam kejelekan, penyakit, dan kesedihan yang menimpa individu seorang hamba, hal itu hanyalah karena penyelisihan terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bahwa taat kepada beliau merupakan benteng bagi siapa saja yang masuk ke dalamnya, maka dia termasuk orang-orang yang aman, gua bagi siapa saja yang berlindung di dalamnya, maka dia termasuk orang-orang yang selamat. Jadi, diketahui bahwa berbagai kejelekan di dunia dan akhirat, sebabnya hanyalah kebodohan terhadap agama yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluar dari ajaran agama itu. Ini adalah bukti yang pasti bahwa tidak ada keselamatan dan kebahagiaan bagi seorang hamba kecuali dengan bersungguh-sungguh untuk mengetahui ilmu agama yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersungguh-sungguh untuk mengamalkannya. 


[1] (2/nomor 1017). 
[2] (7/104).

'Umdatul Ahkam - Kitab Siam - Bab lailatulkadar

٣٥ - بَابُ لَيۡلَةِ الۡقَدۡرِ 
35. Bab lailatulkadar 


٢١١ - عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا، أَنَّ رِجَالًا مِنۡ أَصۡحَابِ النَّبِيِّ ﷺ أُرُوا لَيۡلَةَ الۡقَدۡرِ فِي الۡمَنَامِ، فِي السَّبۡعِ الۡأَوَاخِرِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (أَرَى رُؤۡيَاكُمۡ قَدۡ تَوَاطَأَتۡ فِي السَّبۡعِ الۡأَوَاخِرِ، فَمَنۡ كَانَ مِنۡكُمۡ مُتَحَرِّيهَا فَلۡيَتَحَرَّهَا فِي السَّبۡعِ الۡأَوَاخِرِ). 

211. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ada beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam mimpi lailatulkadar berada di tujuh malam terakhir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku mengetahui mimpi kalian telah saling bersepakat dalam tujuh malam terakhir, maka siapa saja yang berusaha untuk mendapatkannya, maka hendaknya ia bersungguh-sungguh mendapatkannya pada tujuh malam terakhir.”[1]

٢١٢ - عَنۡ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (تَحَرُّوۡا لَيۡلَةَ الۡقَدۡرِ فِي الۡوِتۡرِ مِنَ الۡعَشۡرِ الۡأَوَاخِرِ). 

212. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Carilah lailatulkadar di malam ganjil sepuluh malam terakhir.[2]

٢١٣ - عَنۡ أَبِي سَعِيدٍ الۡخُدۡرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ، كَانَ يَعۡتَكِفُ فِي الۡعَشۡرِ الۡأَوۡسَطِ مِنۡ رَمَضَانَ، فَاعۡتَكَفَ عَامًا، حَتَّى إذَا كَانَتۡ لَيۡلَةُ إحۡدَى وَعِشۡرِينَ - وَهِيَ اللَّيۡلَةُ الَّتِي يَخۡرُجُ مِنۡ صَبِيحَتِهَا مِنِ اعۡتِكَافِهِ - قَالَ: (مَنِ اعۡتَكَفَ مَعِي فَلۡيَعۡتَكِفۡ فِي الۡعَشۡرِ الۡأَوَاخِرِ، فَقَدۡ أُرِيتُ هَٰذِهِ اللَّيۡلَةَ، ثُمَّ أُنۡسِيتُهَا، وَقَدۡ رَأَيۡتُنِي أَسۡجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ مِنۡ صَبِيحَتِهَا، فَالۡتَمِسُوهَا فِي الۡعَشۡرِ الۡأَوَاخِرِ، وَالۡتَمِسُوهَا فِي كُلِّ وِتۡرٍ)، قَالَ: فَمَطَرَتِ السَّمَاءُ تِلۡكَ اللَّيۡلَةَ، وَكَانَ الۡمَسۡجِدُ عَلَى عَرِيشٍ، فَوَكَفَ الۡمَسۡجِدُ، فَأَبۡصَرَتۡ عَيۡنَايَ رَسُولَ اللهِ ﷺ عَلَى جَبۡهَتِهِ أَثَرُ الۡمَاءِ وَالطِّينِ مِنۡ صُبۡحِ إحۡدَى وَعِشۡرِينَ. 

213. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu iktikaf di sepuluh hari pertengahan bulan Ramadan. Beliau beriktikaf pada suatu tahun (di bulan Ramadan), sampai ketika pada malam dua puluh satu, yaitu malam yang esok harinya beliau keluar dari iktikaf beliau, beliau bersabda, “Siapa saja yang telah iktikaf bersamaku, maka hendaknya ia iktikaf lagi di sepuluh hari terakhir. Aku telah diperlihatkan tentang malam lailatulkadar ini kemudian aku dibuat lupa tentangnya. Aku telah melihat (dalam mimpi) bahwa aku sujud di air dan tanah pada esok hari lailatulkadar. Jadi, carilah lailatulkadar di sepuluh hari terakhir dan carilah di setiap malam ganjil.” Hujan pun turun di malam itu dan masjid ketika itu hanya beratap (pelepah kurma) sehingga masjid pun bocor. Kedua mataku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada bekas air dan tanah di dahi beliau. Itu terjadi di waktu subuh tanggal dua puluh satu.[3]


Doa yang Terkabul

Era tabiin salah satu dari tiga kurun generasi terbaik umat ini atas rekomendasi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada zaman itu sosok mulia nan istimewa masih banyak yang menginjakkan kakinya di atas bumi ini. Pernah ada di zaman itu seorang ulama tabiin yang wara’, pemberi petuah dengan doa yang terkabulkan. Terlahir dari istri seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Abdullah bin Sikhkhir. Dialah Mutharrif bin Abdillah bin Sikhkhir Al Harasyi Al ‘Amiri Al Bashri rahimahullah. Ada perbincangan ulama terkait dengan kepastian tahun kelahirannya. Adz Dzahabi rahimahullah menuturkan bahwa ada kemungkinan Mutharrif dilahirkan pada tahun terjadinya Perang Badar atau Perang Uhud.

Sejatinya Mutharrif nyaris mendapatkan kemuliaan sebagai seorang shahabat. Namun Allah subhanahu wa ta’ala belum menghendaki hal itu, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat tatkala Mutharrif masih kecil dan belum pernah bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya beliau tergolong sebagai tabiin senior dan masuk thabaqah yang kedua menurut sebagian ulama.

Ulama dengan kunyah Abu Abdillah ini telah terdidik sejak kecil dalam kebaikan bersama keluarganya. Memiliki ayah seorang shahabat adalah keistimewaan tersendiri baginya. Ia pun belajar dan menuntut ilmu serta meriwayatkan hadis dari ayahnya. Sebagaimana saudara laki-lakinya Yazid bin Abdillah bin Asy Syikhkhir yang sepuluh tahun lebih muda darinya yang juga tsiqah (dipercaya) oleh ulama di masanya. Dalam meriwayatkan hadis, ia juga belajar kepada pembesar para shahabat. Di antaranya adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, ‘Aisyah, Mu’awiyah, Abu Dzar, Imran bin Husain, Ammar bin Yasir, dan masih banyak yang lainnya.

UNTAIAN-UNTAIAN HIKMAHNYA


Nasihat dan petuah penuh hikmah acapkali terucap dari lisan Mutharrif dalam berbagai kesempatan. Hal tersebut terekam dengan baik dalam memori ulama yang bermajelis dengannya. Karena ulama yang meriwayatkan darinya sangat banyak, di antaranya adalah Yazid bin Abdillah, saudara kandungnya sendiri. Al Hasan Bashri, Qatadah bin Diamah, Ghailan bin Jarir, Muhammad bin Wasi’, Tsabit Al Bunani, dan yang lainnya.

Qotadah menuturkan bahwa Mutharrif berkata, “Keutamaan ilmu lebih aku sukai daripada keutamaan ibadah dan sebaik-baik agama kalian adalah sikap wara.” Ia juga berkata, “Aku tertidur di malam hari sehingga menyesal pada pagi harinya karena tidak salat malam lebih aku sukai daripada aku melakukan salat di malam hari namun pada pagi harinya berbangga dengan amalanku tersebut.”

Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya kematian itu bisa menghancurkan seluruh nikmat pemiliknya. Maka carilah kenikmatan yang tidak tersentuh oleh kematian (yaitu surga).” “Tidak boleh bagi siapa pun untuk naik ke atas tempat yang tinggi lantas terjun dari ketinggian tersebut. Kemudian dia berdalih, ‘Allah telah menakdirkanku seperti ini.’ Akan tetapi dia harus selalu waspada, bersungguh-sungguh dalam kebaikan dan bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan apabila dia tertimpa suatu musibah maka tidaklah hal itu menimpanya melainkan dengan takdir Allah.” Demikian nasihat Mutharrif bagi seseorang yang bermaksiat dan berargumen dengan takdir.

Ia pun berkata, “Aku diberi kenikmatan lalu bersyukur lebih aku sukai daripada aku diberi ujian lalu bersabar.” Tentang kematian, ia juga menyatakan, “Andaikan aku mengetahui kapan ajalku akan tiba maka aku khawatir akalku akan hilang. Namun Allah memberikan kelalaian dari kematian dan seandainya tidaknada kelalaian, pasti manusia tidak akan bisa menikmati hidup ini dan tidak ada pasar di tengah-tengah manusia.”

Suatu ketika putranya yang bernama Abdullah meninggal, lalu Mutharrif keluar menuju orang-orang dengan mengenakan pakaian yang bagus dan minyak wangi. Mereka pun marah dan berkata, “Putramu meninggal namun kenapa engkau justru keluar dengan mengenakan pakaian sebagus ini dan minyak wangi?” Mutharrif menjawab, “Bagaimana aku tidak tenang sementara Rabbku telah menjanjikan kepadaku 3 perkara yang mana tiap perkara itu lebih aku cintai daripada dunia dan seisinya.” Lantas ia membawakan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتۡهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيۡهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيۡهِمۡ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الۡمُهۡتَدُونَ
Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. (Sesungguhnya kita milik Allah dan hanya kepada Allah kita akan kembali). Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan shalawat dari Rabb mereka dan rahmat, merekalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” [Q.S. Al Baqarah: 156-157].

Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Mutharrif adalah, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku sebagai pelajaran bagi orang lain (karena perbuatan burukku) dan janganlah Engkau jadikan orang lain lebih berbahagia daripada diriku dengan ilmu yang telah Engkau ajarkan kepadaku.”

ULAMA YANG WARA’ DAN DOA YANG MUSTAJAB


Mutharrif adalah sosok pribadi yang sangat wara’ lagi bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala meskipun tergolong orang yang berharta. Terutama dalam menghadapi berbagai fitnah yang bermunculan di zamannya. Simak penuturan Al ‘Ijli berikut ini, “Mutharrif adalah pribadi yang tsiqah (tepercaya). Tidak ada seorang pun yang selamat dari fitnah Ibnul Asyats di Bashrah kecuali dia dan Muhammad bin Sirin.”

Peristiwa berdarah yang memakan korban berjatuhan di tengah kaum muslimin dalam upaya pemberontakan Ibnul Asyats untuk menggulingkan kekuasaan Al Hajjaj bin Yusuf yang bengis lagi zalim. Fitnah begitu dahsyat yang melibatkan sebagian ahli fikih yang mulia saat itu. Namun lihatlah bagaimana ketegaran Mutharrif dalam menghadapi fitnah tersebut. Pernah suatu saat orang-orang datang menemui Mutharrif dan mengajaknya untuk memerangi al Hajjaj bin Yusuf. Tatkala desakan dan manuver semakin banyak, ia pun berkata kepada mereka, “Kalian mengajakku untuk melakukan apa? Inikah jihad fi sabilillah?” Mereka menjawab, “Bukan (jihad fi sabilillah).” “Kalau begitu aku tidak akan mempertaruhkan jiwaku di antara kebinasaan atau keutamaan yang bisa kuraih.”

Pernah orang-orang bertanya kepada saudara laki-lakinya, Yazid bin Abdillah Asy Syikhkhir, “Apa yang dilakukan Mutharrif tatkala kaum muslimin bergejolak karena dilanda fitnah?” Maka ia menjawab, “Dia senantiasa berdiam di rumahnya dan tidak mendekati mereka hingga fitnah tersebut mereda.”

Tentang fitnah, Mutharrif mengatakan, “Sesungguhnya fitnah tidaklah datang untuk memberi petunjuk namun untuk menggoncangkan jiwa seorang mukmin.” Ia pun menyatakan, “Aku hidup di masa-masa fitnah Ibnu Zubair selama tujuh atau sembilan tahun. Selama itu pula aku tidak pernah sama sekali menyampaikan berita tentang fitnah itu dan tidak pula mencari berita tentangnya.”

Tidak diragukan lagi bahwa Mutharrif adalah ulama sunnah yang membela kebenaran. Pernah suatu ketika datang orang-orang Khawarij kepadanya untuk mengajaknya agar berpemahaman khawarij. Maka ia berkata, “Wahai kalian orang-orang khawarij, andaikan aku memiliki dua jiwa lantas aku membaiat kalian dengan salah satu dari jiwa itu tanpa melibatkan jiwa yang lainnya. Maka kalau seandainya apa yang kalian serukan itu merupakan sebuah petunjuk pasti aku telah perintahkan jiwa yang lain agar mengikuti ucapan kalian. Namun jika ternyata apa yang kalian ucapkan adalah kesesatan, maka binasalah salah satu jiwaku dan selamatlah jiwa yang lain. Namun realitanya aku hanya memiliki satu jiwa dan aku tidak ingin membinasakan jiwaku (dengan mengikuti kalian).”

Satu lagi keistimewaan Mutharrif adalah doanya yang mustajab. Ghailan bin Jarir berkisah bahwa Mutharrif pernah terlibat dalam sebuah perselisihan dengan seorang lelaki. Ternyata lelaki tersebut telah berdusta kepadanya hingga Mutharrif mengatakan, “Ya Allah jika lelaki ini adalah seorang pendusta, maka matikanlah dia.” Tiba-tiba lelaki itu jatuh tersungkur dan meninggal seketika. Sebagian orang mengatakan kepada Mutharrif, “Engkau telah membunuhnya.” “Tidak, kebetulan saja doaku bertepatan dengan waktu kematiannya,” jawab Mutharrif. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa ia tergolong ulama besar generasi tabiin. Salah seorang muridnya adalah Imran bin Hushain yang juga doanya terkabulkan.

Mutharrif rahimahullah meninggal di masa kekuasaan Al Hajjaj bin Yusuf di Irak setelah terjadinya Thaun (wabah) yang melanda manusia. Wabah penyakit yang melanda kaum muslimin itu terjadi pada tahun 87 H. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan rahmat dan membalas semua jasa serta kebaikannya. Allahu A’lam.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 67 vol.06 1440 H rubrik Biografi. Pemateri: Al Ustadz Abu Hafy Abdullah.

Mariyah Al Qibtiyah

Menjadi salah satu di antara wanita yang hidup dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walau berstatus sebagai budak wanita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu tidak menjadikan beliau sebagai wanita yang berkedudukan rendah dalam Islam. Beliaulah Ummu Walad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (budak wanita yang melahirkan putra tuannya). Beliau melahirkan Ibrahim bin Muhammad, putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Nama beliau adalah Mariyah binti Syam’un Al Qibtiyah. Seorang wanita yang berasal dari Mesir. Terlahir di sebuah desa bernama Hifn. Beliau beserta sepupu beliau yang bernama Al Khusyi Al Ma’buri dan saudari beliau yang bernama Sirin datang ke Madinah sebagai budak yang dihadiahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari penguasa Negeri Mesir dan Iskandariyah, Muqaoqis. Ini terjadi pada tahun ke delapan Hijriyyah. Dalam perjalanan ke Negeri Madinah, mereka ditawari Islam oleh Hatib bin Abi Baltaah radhiyallahu ‘anhu, shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan surat beliau kepada Muqaoqis. Maka Mariyah dan saudarinya pun menyambut tawaran tersebut dan datang dalam keadaan Islam. Adapun Khusyi ia tetap berada dalam agama sebelumnya, hingga sampainya ke Negeri Madinah lalu memeluk Islam. Mariyah pertama kali sampai di Madinah di tempat yang bernama Al Aliyah, dan di sanalah nantinya beliau tinggal, di sana pula beliau melahirkan putra beliau Ibrahim. 

Disebutkan oleh Al Bulaadziri bahwa ibu Mariyah adalah wanita yang berasal dari bangsa Romawi. Sehingga, darah romawi mengalir pada beliau. Disebutkan pula bahwa Mariyah adalah wanita yang elok rupawan, berkulit putih serta berambut ikal. Kecantikan Mariyah ini dipersaksikan oleh ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengatakan, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man Al Anshari, lalu ia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering kali di sana siang dan malam sehingga kami merasa cemburu. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memindahkannya ke Al Aliyah, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu.” 

Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruniai anak seorang pun.”

IBU DARI PUTRA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM 


Dari beberapa istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya Ummul Mukminin Khadijah sajalah yang melahirkan putra dan putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendapat putra dari istri-istri beliau yang lain, selain dari Mariyah Al Qibtiyah. Lahir dari rahim Mariyah Ibrahim, putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah di antara sebab kecemburuan para istri Rasul terhadap Mariyah. 

Dengan sebab Mariyah Al Qibtiyah ini pulalah turun awal-awal surat At Tahrim: 
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ ۖ تَبۡتَغِي مَرۡضَاتَ أَزۡوَاجِكَ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ قَدۡ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمۡ تَحِلَّةَ أَيۡمَانِكُمۡ ۚ وَاللَّهُ مَوۡلَاكُمۡ ۖ وَهُوَ الۡعَلِيمُ الۡحَكِيمُ 
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Q.S. At Tahrim: 1-2

Disebutkan dalam Shahih Al Bukhari dan Muslim bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengharamkan untuk diri beliau dari Mariyah atau dari minum madu untuk menyenangkan hati istri-istrinya. Maka turunlah ayat teguran ini kepada Nabi.

KEUTAMAAN MARIYAH AL QIBTIYAH 


Beliau tergolong shahabiyah, dan merupakan Ummul walad bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula, beliau adalah wanita yang menjadi sebab turunnya ayat-ayat permulaan surat At Tahrim yang faedahnya dapat dipetik oleh seluruh muslimin hingga hari kiamat. Telah meriwayatkan tentang kisah Mariyah, banyak ulama semisal Muslim, Al Bazzar, At Thahawi dan Abu Nuaim.

TUDUHAN DUSTA ATAS MARIYAH 


Pernah datang sebuah kabar dusta di Madinah mengenai diri Mariyah. Bahwa ada seseorang yang dituduh melakukan zina dengan Ummu Ibrahim Mariyah. Orang itu adalah sepupu Mariyah yang sama-sama dihadiahkan Muqaoqis untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu untuk memburu dan menghukum laki-laki tersebut. Tatkala laki-laki tersebut ditemukan dan hendak dihukum, ternyata diketahui bahwa laki-laki tersebut adalah seorang yang majbuub, tidak memiliki kemaluan. Dengan ini diketahuilah bahwa tuduhan tersebut adalah dusta adanya. Tuduhan yang dihembuskan oleh para munafikin terhadap keluarga atau orang-orang dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam demi untuk menyakiti beliau. Peristiwa ini mengingatkan kita terhadap tuduhan dusta kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang juga berasal dari mereka kaum munafikin.

KEMATIAN 


Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Mariyah menjadi wanita merdeka. Kehidupan Mariyah ditanggung negara, ini berlangsung di masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu hingga beliau meninggal kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Mariyah meninggal pada masa khilafah Umar bin Al Khaththab, pada bulan Muharam di tahun 16 Hijriyah, lima tahun setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Madinah. Maka Umar menghasung manusia untuk datang menyalati jenazah Mariyah radhiyallahu ‘anha. Selaku imam yang memimpin salat jenazah adalah beliau sendiri. Jenazah beliau pun dimakamkan di Baqi’, di sisi kubur putra beliau dan kubur para wanita ahlu bait Nabi.

FAEDAH 


Apakah budak-budak wanita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tergolong sebagai ummahatul mukminin ataukah tidak? 

Disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zaadul Maad bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki 4 budak wanita, mereka adalah Mariyah Al Qibtiyyah yang melahirkan Ibrahim bin Muhammad, Raihanah bintu Amr Al Quradhiyah, seorang budak wanita yang beliau dapatkan dalam tawanan perang, dan budak wanita milik Zainab bintu Jahsyn yang dihadiahkan kepada beliau. Apakah kedudukan sebagai Ummahatul mukminin mereka dapatkan ataukah hanya diperoleh oleh para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Jawabannya adalah bahwa gelar Ummahatul mukminin khusus bagi para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan zhahir ayat Al Quran yaitu pada firman-Nya. Selain itu, tidak ada riwayat yang menyebutkan gelar tersebut untuk para budak wanita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Bahkan telah diriwayatkan dalam kitab shahih bahwa tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih Shafiyah binti Huyay, para shahabat mengatakan, “Perhatikanlah, apabila Rasulullah mengenakan hijab kepadanya maka ia termasuk ummahatul mukminin, namun kalau tidak maka ia adalah termasuk budak beliau.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim]. Inilah pula yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 15/448-449. Wallahu a’lam
[Ustadz Hammam]. 


Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 86 vol.08 1440H-2019M rubrik Figur.

Sunan Abu Dawud hadits nomor 1385

٣٢٢ - بَابُ مَنۡ رَوَى فِي السَّبۡعِ الۡأَوَاخِرِ 
322. Bab siapa yang meriwayatkan lailatulkadar berada di tujuh malam terakhir 


١٣٨٥ – (صحيح) حَدَّثَنَا الۡقَعۡنَبِيُّ، عَنۡ مَالِكٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ دِينَارٍ، عَنِ ابۡنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (تَحَرَّوۡا لَيۡلَةَ الۡقَدۡرِ فِي السَّبۡعِ الۡأَوَاخِرِ). [ق]. 

1385. [Sahih] Al-Qa’nabi teah menceritakan kepada kami dari Malik, dari ‘Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Carilah lailatulkadar di tujuh malam terakhir.”

Pembela Sunnah dari Negeri Timur

Adalah sunnah para nabi dan Rasul rihlah untuk mencari dan menyebarkan ilmu. Sunnah ini dilanjutkan oleh para pewaris mulia para ulama pembela agama Allah. Pada tahun 161 H di negeri timur, lahirlah anak laki-laki dalam keadaan kedua daun telinganya berlubang. 

Sang ayah merasa aneh dengan pemandangan ini, dia pun bergegas menemui seseorang yang bernama Al Fadhl bin Musa untuk menanyakan kejadian itu. Al Fadhl menafsirkan bahwa anak itu akan menjadi tokoh. Bisa jadi tokoh kebaikan atau tokoh kejahatan. 

Namun Allah menentukan kebaikan untuk anak ini. Pada tahun 184 H pada usianya yang ke 23 dia keluar ke negeri Irak untuk menuntut ilmu. Dan terus berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Dari Khurasan, Irak, Hijaz, Yaman, hingga negeri Syam. 

Beliau mengambil ilmu dari banyak ulama besar di masa itu. Di antara guru-guru beliau adalah Imam Abdurrahman bin Mahdi, Imam Waki’ bin Al Jarrah, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Abdu Razaq, dan masih banyak lagi. 

Beliau dianugerahi kecerdasan dan kekuatan hafalan yang luar biasa. Imam Ibnu Khuzaimah berkata, “Seandainya beliau hidup di masa tabiin, mereka akan mengakui bagaimana kekuatan hafalan beliau, keilmuan, dan fikihnya.” 

Beliau pernah berkata, “Tidaklah aku mendengar sesuatu melainkan aku langsung menghafalnya. Dan (ketika aku menyampaikan hadis) seakan-akan aku melihat lebih dari tujuh puluh ribu hadis dalam kitabku.” 

Beliau juga pernah berkata, “Tidaklah aku mendengar sesuatu melainkan aku langsung menghafalnya. Bila aku sudah menghafalnya aku tidak pernah melupakannya.” 

Berkata Abu Dawud Al Khaffaaf rahimahullah, “Beliau pernah mendiktekan sebelas ribu hadis kepada kami dari hafalannya. Kemudian beliau membacakannya lagi kepada kami. Tidak ada yang berubah dari semua hadis itu walaupun satu huruf.” 

Sang Amir Abdullah bin Thahir pernah bertanya kepada beliau tentang hafalannya, dia berkata, “Aku mendengar kalau engkau suka makan buah Balaadzur untuk memperkuat hafalan?” (Balaadzur adalah buah yang di dalamnya terdapat sesuatu mirip darah, bagian itulah yang dimakan.pen) Beliau menjawab, “Aku tidak memakannya, tapi aku mendapat resep dari Mu’tamir bin Sulaiman rahimahullah beliau membawakan sanad sampai Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata, “Ambillah seukuran satu setengah dirham kundur (getah sebuah pohon, seperti karet) dan ambillah gula dengan takaran yang sama. Campurlah keduanya lumatlah dengan liurmu. Karena itu bagus untuk hafalan dan masalah kencing.” Mendengar resep ini Abdullah bin Thahir minta diambilkan kertas, kemudian dia menulis resep ini. 

Berkata Ibrahim bin Abi Thalib Al Hafizh rahimahullah, “Terluput dariku satu majelis bersama beliau pada materi musnad. Beliau biasa menyampaikan musnadnya dari hafalan. Aku beberapa kali menemui beliau agar mau mengulangi kajian majelis tersebut untukku. Beliau minta udzur belum bisa memenuhi permintaanku. Suatu hari aku kembali menemui beliau seperti biasa untuk diulang. Ketika itu aku membawa biji gandum dari rustaq. Beliau pun berkata, “Pergilah, timbanglah berapa berat biji gandum ini. Bila selesai datanglah. Aku akan mengulang kajian pertemuan itu untukmu.” Aku pun menurutinya. Setelah itu aku datang. Beliau bertanya kepadaku hadis pertama yang beliau baca pada majelis tersebut. Kemudian beliau bersandar pada salah satu kusen pintu. Beliau pun mengulangi semua kajian pada majelis tersebut dari hafalannya. Dan beliau mendiktekan semua kitab musnadnya dari hafalan. Subhanallah, hafalan yang sangat menakjubkan. Karunia dari Allah bagi hamba yang dikehendakiNya. 

Beliau juga dikenal dengan keteguhan membela prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan mendakwahkannya. Manshur bin Thalhah rahimahullah pernah bertanya kepada beliau, “Wahai Abu Ya’qub! Engkau berkata bahwa Allah turun ke langit dunia setiap malam?” Beliau menjawab dengan tegas, “Kita mengimaninya. Bila engkau tidak beriman bahwa di atas langit ada Allah maka engkau tidak usah bertanya kepadaku tentang hal ini!” 

Berkata Muhammad bin Ahmad bin Baaluwaih rahimahullah, aku mendengar beliau bercerita, “Aku menemui Ibnu Thahir rahimahullah. Di samping beliau ada Ibrahim bin Abi Shalih. Ibnu Thahir bertanya kepada Ibrahim, “Bagaimana pendapatmu orang yang mencuci bajunya?” Dia menjawab, “Wajib.” Ibnu Thahir bertanya, “Apa dalilnya?” Dia menjawab, “Allah berfirman, “Dan bajumu sucikanlah.” [Q.S. Al Mudatsir: 4]. Seakan-akan Ibnu Thahir menganggap baik jawaban ini. 

Maka aku berkata, “Semoga Allah memuliakan Sang Amir (yakni Ibnu Thahir). Jawaban itu salah. Telah memberitakan kepadaku Waki’ dari Israil dari Simaak dari ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Firman Allah (dan bajumu sucikanlah) maknanya bersihkanlah hatimu.” Dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu juga berkata, “Barang siapa yang berkata mengenai Al Quran tanpa ilmu, siapkanlah tempat duduk di neraka.” Maka Ibnu Thahir berkata, “Wahai Ibrahim, hati-hati jangan engkau berbicara tentang Al Quran tanpa ilmu.” 

Banyak para ulama terkemuka di zaman itu yang memuji keilmuan beliau. Berkata Imam Al Hakim, “Beliau adalah imam di masanya, panutan pada hafalan dan fatwa.” Berkata Nu’aim bin Hammad, “Apabila engkau melihat orang Khurasaan mencela beliau, maka curigailah agamanya.” 

Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang kedudukan beliau dalam ilmu. Maka Imam Ahmad berkata, “Seperti beliau masih dipertanyakan?! Beliau adalah imam kita.” Berkata Abu Hatim rahimahullah setelah mendengar bagaimana hafalan beliau, “Hafalan yang sangat menakjubkan. Kuat dan tidak ada kesalahan.” Beliau adalah Imam Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad, dikenal dengan sebutan Ibnu Rahawaih rahimahullah

Suatu hari putra beliau yang bernama Muhammad menemui Imam Ahmad. Imam Ahmad pun bertanya, “Engkau putra Abu Ya’qub?” (Abu Ya’qub adalah kunyah Imam Ibnu Rahawaih). Dia menjawab, “Betul.” Imam Ahmad berkata, “Duhai kiranya engkau bermajelis dengan ayahmu. Itu lebih berfaedah untukmu. Karena engkau tidak akan mendapati seperti beliau.” 

MasyaAllah berbagai macam pujian menghiasi keilmuan beliau. Sungguh kenikmatan yang luar biasa Allah menciptakan beliau untuk mengkhidmat terhadap Islam. 

Al Amir ‘Abdullah bin Thahir pernah bertanya kepada beliau, mengapa beliau dikenal dengan sebutan Ibnu Rahawaih (putra Rahawaih)? Apakah beliau tidak marah dipanggil dengan sebutan itu? Beliau berkata, “Wahai amir, sesungguhnya ayahku lahir di jalan Mekkah. Ada yang memanggilnya, Si Rahawaih. Karena beliau lahir di jalan. Beliau tidak suka dipanggil dengan panggilan itu. Tapi aku tidak membencinya.” 

Beliau meninggal pada malam nishfu sya’baan tahun 238 H pada usia yang ke 77 tahun. Berkata ‘Ali bin Salamah Al Karabiisy rahimahullah orang saleh di masa itu, “Pada malam meninggalnya Imam Ishaq aku melihat (dalam mimpi) rembulan naik dari bumi ke langit tepat di atas tempat liang lahad Ishaq. Kemudian rembulan itu turun, jatuh tepat di tempat yang akan dijadikan liang lahad kuburan Imam Ishaq. Ketika itu aku belum sadar bila Imam Ishaq meninggal. Keesokan harinya aku melihat penggali kuburan sedang menggali liang lahad kuburan Ishaq di tempat di mana aku melihat rembulan malam itu jatuh di atasnya.” 

Semoga Allah merahmati beliau dan semoga menempatkan beliau di surga firdaus yang mulia. Berkata Wahb bin Jarir rahimahullah, “Semoga Allah membalas Imam Ishaq, Imam Shadaqah bin Al Fadhl, dan Imam Ya’mur dengan kebaikan atas jasa mereka yang sangat besar untuk Islam. Mereka telah menghidupkan sunnah di negeri timur.” Wallahu a’lam

Disadur dari kitab Siyar A’laamun Nubalaa’ karya Imam Dzahabi rahimahullah

Sumber: Majalah Qudwah edisi 67 vol.06 1440 H rubrik Ulama. Pemateri: Al Ustadz Abu Amr As Sidawi.

'Umdatul Ahkam - Kitab Saum - Bab puasa yang paling afdal dan selainnya

٣٤ - بَابُ أَفۡضَلِ الصِّيَامِ وَغَيۡرِهِ 
34. Bab puasa yang paling afdal dan selainnya 


٢٠٣ - عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَمۡرِو بۡنِ الۡعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا قَالَ: أُخۡبِرَ النَّبِيُّ ﷺ أَنِّي أَقُولُ: وَاللهِ لَأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلَأَقُومَنَّ اللَّيۡلَ مَا عِشۡتُ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (أَنۡتَ الَّذِي قُلۡتَ ذٰلِكَ؟) فَقُلۡتُ لَهُ: قَدۡ قُلۡتُهُ، بِأَبِي أَنۡتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: (فَإِنَّكَ لَا تَسۡتَطِيعُ ذٰلِكَ، فَصُمۡ وَأَفۡطِرۡ، وَقُمۡ وَنَمۡ، وَصُمۡ مِنَ الشَّهۡرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنَّ الۡحَسَنَةَ بِعَشۡرِ أَمۡثَالِهَا، وَذٰلِكَ مِثۡلُ صِيَامِ الدَّهۡرِ) قُلۡتُ: إِنِّي لَأُطِيقُ أَفۡضَلَ مِنۡ ذٰلِكَ، قَالَ: (فَصُمۡ يَوۡمًا وَأَفۡطِرۡ يَوۡمَيۡنِ) قُلۡتُ: إِنِّي لَأُطِيقُ أَفۡضَلَ مِنۡ ذٰلِكَ، قَالَ: (فَصُمۡ يَوۡمًا وَأَفۡطِرۡ يَوۡمًا، فَذٰلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيۡهِ السَّلَامُ، وَهُوَ أَفۡضَلُ الصِّيَامِ) قُلۡتُ: إِنِّي لَأُطِيقُ أَفۡضَلَ مِنۡ ذٰلِكَ، فَقَالَ: (لَا أَفۡضَلَ مِنۡ ذٰلِكَ). 

وَفِي رِوَايَةٍ: قَالَ: (لَا صَوۡمَ فَوۡقَ صَوۡمِ أَخِي دَاوُدَ عَلَيۡهِ السَّلَامُ - شَطۡرَ الدَّهۡرِ - صُمۡ يَوۡمًا وَأَفۡطِرۡ يَوۡمًا). 

203. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikabari bahwa aku mengatakan: Demi Allah, aku benar-benar akan selalu puasa sepanjang siang dan salat semalam suntuk selama aku masih hidup. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau yang mengatakannya?” 

Aku berkata kepada beliau, “Sungguh aku telah mengatakannya, engkau aku tebus dengan bapak dan ibuku, wahai Rasulullah.” 

Rasulullah bersabda, “Sungguh engkau tidak akan sanggup melakukannya. Puasalah dan tidak berpuasalah, salat malamlah dan tidurlah. Berpuasalah tiga hari dalam satu bulan karena satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan sehingga itu seperti puasa sepanjang tahun.” 

Aku mengatakan, “Sungguh aku mampu lebih daripada itu.” 

Nabi bersabda, “Berpuasalah sehari dan tidak berpuasalah dua hari.” 

Aku mengatakan, “Aku sungguh mampu lebih daripada itu.” 

Nabi bersabda, “Berpuasalah satu hari dan tidak berpuasalah satu hari. Itu adalah puasa Dawud ‘alaihis salam dan itu adalah puasa yang paling afdal.” 

Aku mengatakan, “Sesungguhnya aku mampu yang lebih afdal daripada itu.” 

Rasulullah bersabda, “Tidak ada puasa yang lebih afdal daripada itu.”[1]

Di dalam riwayat lain, “Tidak ada puasa di atas puasa saudaraku Dawud ‘alaihis salam, yaitu setengah tahun. Berpuasalah satu hari dan tidak berpuasalah satu hari.”[2]

٢٠٤ - عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ عَمۡرِو بۡنِ الۡعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (إنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إلَى اللهِ، صِيَامُ دَاوُدَ عَلَيۡهِ السَّلَامُ، وَأَحَبَّ الصَّلَاةِ إلَى اللهِ صَلَاةُ دَاوُدَ عَلَيۡهِ السَّلَامُ، كَانَ يَنَامُ نِصۡفَ اللَّيۡلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ، وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يَصُومُ يَوۡمًا، وَيُفۡطِرُ يَوۡمًا). 

204. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya siam yang paling Allah cintai adalah siam Dawud ‘alaihis salam dan salat yang paling Allah cintai adalah salat Dawud ‘alaihis salam. Dahulu, beliau tidur separuh malam, bangun salat sepertiganya, dan tidur seperenamnya. Beliau berpuasa satu hari dan tidak berpuasa satu hari.”[3]

٢٠٥ - عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: (أَوۡصَانِي خَلِيلِي رَسُولُ اللهِ ﷺ بِثَلَاثٍ: صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنۡ كُلِّ شَهۡرٍ، وَرَكۡعَتَيِ الضُّحَى، وَأَنۡ أُوتِرَ قَبۡلَ أَنۡ أَنَامَ). 

205. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Khalilku, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mewasiatkan kepadaku dengan tiga hal: Puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat salat duha, dan agar aku salat witir sebelum tidur.”[4]

٢٠٦ - عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ عَبَّادِ بۡنِ جَعۡفَرٍ قَالَ: سَأَلۡتُ جَابِرَ بۡنَ عَبۡدِ اللهِ، أَنَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنۡ صَوۡمِ يَوۡمِ الۡجُمُعَةِ؟ قَالَ: نَعَمۡ. 

206. Dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja’far, beliau berkata: Aku bertanya kepada Jabir bin ‘Abdullah: Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari puasa hari Jumat? Beliau menjawab: Iya.[5]

٢٠٧ - عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: سَمِعۡتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: (لَا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمۡ يَوۡمَ الۡجُمُعَةِ، إِلَّا أَنۡ يَصُومَ يَوۡمًا قَبۡلَهُ أَوۡ بَعۡدَهُ). 

207. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sekali-kali salah seorang kalian puasa hari Jumat kecuali dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.”[6]

٢٠٨ - عَنۡ أَبِي عُبَيۡدٍ مَوۡلَى ابۡنِ أَزۡهَرَ - وَاسۡمُهُ سَعۡدُ بۡنُ عُبَيۡدٍ - قَالَ: (شَهِدۡتُ الۡعِيدَ مَعَ عُمَرَ بۡنِ الۡخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ، فَقَالَ: هَٰذَانِ يَوۡمَانِ نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنۡ صِيَامِهِمَا: يَوۡمُ فِطۡرِكُمۡ مِنۡ صِيَامِكُمۡ، وَالۡيَوۡمُ الۡآخَرُ: تَأۡكُلُونَ مِنۡ نُسُكِكُمۡ). 

208. Dari Abu ‘Ubaid maula Ibnu Azhar—dan namanya adalah Sa’d bin ‘Ubaid—. Beliau berkata: Aku mengikuti hari raya bersama ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, lalu beliau mengatakan: Ini adalah dua hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang puasa pada hari itu. Yaitu hari kalian selesai dari puasa kalian dan satu hari lain ketika kalian makan dari sembelihan kurban kalian.[7]

٢٠٩ - عَنۡ أَبِي سَعِيدٍ الۡخُدۡرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: (نَهَى رَسُولُ اللهِ ﷺ عَنۡ صَوۡمِ يَوۡمَيۡنِ: النَّحۡرِ، وَالۡفِطۡرِ. وَعَنِ اشۡتِمَالِ الصَّمَّاءِ، وَأَنۡ يَحۡتَبِيَ الرَّجُلُ فِي ثَوۡبٍ وَاحِدٍ، وَعَنِ الصَّلَاةِ بَعۡدَ الصُّبۡحِ وَالۡعَصۡرِ). 

أَخۡرَجَهُ مُسۡلِمٌ بِتَمَامِهِ. وَأَخۡرَجَ الۡبُخَارِيُّ الصَّوۡمَ فَقَطۡ. 

209. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari puasa dua hari, yaitu hari nahar dan Idulfitri; melarang dari isytimal ash-shamma` (menyelimutkan pakaian tanpa ada satu sisinya yang terangkat sehingga tidak ada celah untuk mengeluarkan tangannya) dan melarang dari duduk ihtiba` (duduk di atas pantat dan menegakkan kedua betis dengan melingkarkan kain pada punggung dan kedua betisnya) dengan memakai satu pakaian (sehingga menampakkan kemaluannya ke arah langit); dan melarang dari salat setelah subuh dan asar.[8]

Muslim meriwayatkannya secara lengkap, adapun Al-Bukhari hanya meriwayatkan puasa saja. 

٢١٠ - عَنۡ أَبِي سَعِيدٍ الۡخُدۡرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (مَنۡ صَامَ يَوۡمًا فِي سَبِيلِ اللهِ بَعَّدَ اللهُ وَجۡهَهُ عَنِ النَّارِ سَبۡعِينَ خَرِيفًا).

210. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang berpuasa satu hari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh musim gugur.”[9]


[8] HR. Al-Bukhari nomor 1991 dan 1992. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud nomor 2417 dan diriwayatkan oleh Muslim secara ringkas nomor 827

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 6219

٦٢١٩ - حَدَّثَنَا أَبُو الۡيَمَانِ: أَخۡبَرَنَا شُعَيۡبٌ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ. ح. وَحَدَّثَنَا إِسۡمَاعِيلُ قَالَ: حَدَّثَنِي أَخِي، عَنۡ سُلَيۡمَانَ، عَنۡ مُحَمَّدِ بۡنِ أَبِي عَتِيقٍ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ عَلِيِّ بۡنِ الۡحُسَيۡنِ: أَنَّ صَفِيَّةَ بِنۡتَ حُيَيٍّ زَوۡجَ النَّبِيِّ ﷺ أَخۡبَرَتۡهُ: أَنَّهَا جَاءَتۡ رَسُولَ اللهِ ﷺ تَزُورُهُ، وَهُوَ مُعۡتَكِفٌ فِي الۡمَسۡجِدِ، فِي الۡعَشۡرِ الۡغَوَابِرِ مِنۡ رَمَضَانَ، فَتَحَدَّثَتۡ عِنۡدَهُ سَاعَةً مِنَ الۡعِشَاءِ، ثُمَّ قَامَتۡ تَنۡقَلِبُ، فَقَامَ مَعَهَا النَّبِيُّ ﷺ يَقۡلِبُهَا، حَتَّى إِذَا بَلَغَتۡ بَابَ الۡمَسۡجِدِ، الَّذِي عِنۡدَ مَسۡكَنِ أُمِّ سَلَمَةَ زَوۡجِ النَّبِيِّ ﷺ، مَرَّ بِهِمَا رَجُلَانِ مِنَ الۡأَنۡصَارِ، فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ ثُمَّ نَفَذَا، فَقَالَ لَهُمَا رَسُولُ اللهِ ﷺ: (عَلَى رِسۡلِكُمَا، إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنۡتُ حُيَيٍّ). قَالَا: سُبۡحَانَ اللهِ يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَبُرَ عَلَيۡهِمَا، قَالَ: (إِنَّ الشَّيۡطَانَ يَجۡرِي مِنَ ابۡنِ آدَمَ مَبۡلَغَ الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنۡ يَقۡذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا). 

[الحديث ٦٢١٩ – أطرافه في: ٢٠٣٨، ٢٠٣٩، ٣١٠١، ٣٢٨١، ٧١٧١]. 

6219. Abu Al-Yaman telah menceritakan kepada kami: Syu’aib mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri. (Dalam riwayat lain) Isma’il telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Saudaraku menceritakan kepadaku dari Sulaiman, dari Muhammad bin Abu ‘Atiq, dari Ibnu Syihab, dari ‘Ali bin Al-Husain: Bahwa Shafiyyah binti Huyayy istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada beliau: 

Bahwa dia pernah datang mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang iktikaf di masjid di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Dia berbincang-bincang di tempat beliau sebentar di waktu Isya. Kemudian beliau bangkit untuk kembali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit bersamanya untuk mengantar pulang, hingga ketika tiba di pintu masjid yang berada di dekat tempat tingal Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada dua orang ansar melewati beliau berdua. Keduanya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan langsung pergi. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada keduanya, “Pelan saja, dia ini Shafiyyah binti Huyayy.” 

Dua orang tadi berkata, “Mahasuci Allah wahai Rasulullah.” Keduanya menganggap hal itu serius. 

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setan berjalan pada diri anak Adam pada tempat yang dilalui darah dan aku sungguh khawatir setan akan membisikkan sesuatu di hati kalian berdua.”

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 3281

٣٢٨١ - حَدَّثَنِي مَحۡمُودُ بۡنُ غَيۡلَانَ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ: أَخۡبَرَنَا مَعۡمَرٌ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ عَلِيِّ بۡنِ حُسَيۡنٍ، عَنۡ صَفِيَّةَ ابۡنَةِ حُيَيٍّ قَالَتۡ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مُعۡتَكِفًا فَأَتَيۡتُهُ أَزُورُهُ لَيۡلًا، فَحَدَّثۡتُهُ ثُمَّ قُمۡتُ فَانۡقَلَبۡتُ، فَقَامَ مَعِي لِيَقۡلِبَنِي، وَكَانَ مَسۡكَنُهَا فِي دَارِ أُسَامَةَ بۡنِ زَيۡدٍ، فَمَرَّ رَجُلَانِ مِنَ الۡأَنۡصَارِ، فَلَمَّا رَأَيَا النَّبِيَّ ﷺ أَسۡرَعَا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (عَلَى رِسۡلِكُمَا، إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنۡتُ حُيَيٍّ). فَقَالَا: سُبۡحَانَ اللهِ يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: (إِنَّ الشَّيۡطَانَ يَجۡرِي مِنَ الۡإِنۡسَانِ مَجۡرَى الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنۡ يَقۡذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا سُوءًا، أَوۡ قَالَ: شَيۡئًا). [طرفه في: ٢٠٣٥]. 

3281. Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepadaku: ‘Abdurrazzaq menceritakan kepada kami: Ma’mar mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri, dari ‘Ali bin Husain, dari Shafiyyah binti Huyayy. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah beriktikaf. Lalu aku datang mengunjungi beliau di malam hari. Aku berbincang dengan beliau. Kemudian aku bangkit untuk kembali. Rasulullah ikut bangkit bersamaku untuk mengantarku pulang. Ketika itu tempat tinggal Shafiyyah berada di rumah Usamah bin Zaid. 

Ada dua orang ansar lewat. Ketika keduanya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka mempercepat langkah. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pelan saja, sesungguhnya dia ini Shafiyyah binti Huyayy.” 

Keduanya berkata, “Mahasuci Allah wahai Rasulullah.” 

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setan berjalan pada diri manusia di tempat aliran darah dan sungguh aku khawatir setan akan membisikkan suatu kejelekan pada hati kalian berdua.” Atau beliau bersabda, “(membisikkan) sesuatu.”

Sunan At-Tirmidzi hadits nomor 1623

١٦٢٣ – (صحيح) حَدَّثَنَا سَعِيدُ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ الۡمَخۡزُومِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ الۡوَلِيدِ الۡعَدَنِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ الثَّوۡرِيُّ. (ح) وَحَدَّثَنَا مَحۡمُودُ بۡنُ غَيۡلَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُبَيۡدُ اللهِ بۡنُ مُوسَى، عَنۡ سُفۡيَانَ، عَنۡ سُهَيۡلِ بۡنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنِ النُّعۡمَانِ بۡنِ أَبِي عَيَّاشٍ الزُّرَقِيِّ، عَنۡ أَبِي سَعِيدٍ الۡخُدۡرِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (لَا يَصُومُ عَبۡدٌ يَوۡمًا فِي سَبِيلِ اللهِ إِلَّا بَاعَدَ ذٰلِكَ الۡيَوۡمُ النَّارَ عَنۡ وَجۡهِهِ سَبۡعِينَ خَرِيفًا). هَٰذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ. [(ابن ماجه)(١٧١٧): ق]. 

1623. Sa’id bin ‘Abdurrahman Al-Makhzumi telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: ‘Abdullah bin Al-Walid Al-‘Adani menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Sufyan Ats-Tsauri menceritakan kepada kami. (Dalam riwayat lain) Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: ‘Ubaidullah bin Musa menceritakan kepada kami dari Sufyan, dari Suhail bin Abu Shalih, dari An-Nu’man bin Abu ‘Ayyasy Az-Zuraqi, dari Abu Sa’id Al-Khudri. Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba pun yang berpuasa di jalan Allah kecuali hari itu menjauhkan neraka dari wajahnya sejauh tujuh puluh musim gugur.” Ini adalah hadis hasan sahih.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 3101

٣١٠١ - حَدَّثَنَا سَعِيدُ بۡنُ عُفَيۡرٍ قَالَ: حَدَّثَنِي اللَّيۡثُ قَالَ: حَدَّثَنِي عَبۡدُ الرَّحۡمَٰنِ بۡنُ خَالِدٍ، عَنِ ابۡنِ شِهَابٍ، عَنۡ عَلِيِّ بۡنِ حُسَيۡنٍ: أَنَّ صَفِيَّةَ زَوۡجَ النَّبِيِّ ﷺ أَخۡبَرَتۡهُ: أَنَّهَا جَاءَتۡ رَسُولَ اللهِ ﷺ تَزُورُهُ، وَهُوَ مُعۡتَكِفٌ فِي الۡمَسۡجِدِ، فِي الۡعَشۡرِ الۡأَوَاخِرِ مِنۡ رَمَضَانَ، ثُمَّ قَامَتۡ تَنۡقَلِبُ، فَقَامَ مَعَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ، حَتَّى إِذَا بَلَغَ قَرِيبًا مِنۡ بَابِ الۡمَسۡجِدِ عِنۡدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ زَوۡجِ النَّبِيِّ ﷺ مَرَّ بِهِمَا رَجُلَانِ مِنَ الۡأَنۡصَارِ، فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ ثُمَّ نَفَذَا، فَقَالَ لَهُمَا رَسُولُ اللهِ ﷺ، (عَلَى رِسۡلِكُمَا). قَالَا: سُبۡحَانَ اللهِ يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَبُرَ عَلَيۡهِمَا ذٰلِكَ، فَقَالَ: (إِنَّ الشَّيۡطَانَ يَبۡلُغُ مِنَ الۡإِنۡسَانِ مَبۡلَغَ الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنۡ يَقۡذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيۡئًا). 

[الحديث ٣١٠١ – أطرافه في: ٢٠٣٨، ٣٠٣٩، ٣٢٨١، ٦٢١٩، ٧١٧١]. 

3101. Sa’id bin ‘Ufair telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Al-Laits menceritakan kepadaku. Beliau berkata: ‘Abdurrahman bin Khalid menceritakan kepadaku dari Ibnu Syihab, dari ‘Ali bin Husain: Bahwa Shafiyyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada beliau: 

Bahwa dia datang mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang iktikaf di masjid di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Shafiyyah lalu bangkit hendak kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bangkit bersamanya. Sampai ketika sampai dekat pintu masjid di dekat pintu Ummu Salamah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada dua pria ansar melewati beliau berdua. Keduanya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian pergi. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada keduanya, “Pelan-pelan saja!” 

Keduanya berkata, “Mahasuci Allah, wahai Rasulullah.” Hal itu mereka anggap serius. 

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setan bisa merasuk pada diri manusia di tempat yang dilalui darah dan sungguh aku khawatir setan akan membisikkan sesuatu di hati kalian berdua.”

Shahih Muslim hadits nomor 2175

٢٤ - (٢١٧٥) - وَحَدَّثَنَا إِسۡحَاقُ بۡنُ إِبۡرَاهِيمَ وَعَبۡدُ بۡنُ حُمَيۡدٍ، وَتَقَارَبَا فِي اللَّفۡظِ، قَالَا: أَخۡبَرَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ: أَخۡبَرَنَا مَعۡمَرٌ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ، عَنۡ عَلِيِّ بۡنِ حُسَيۡنٍ، عَنۡ صَفِيَّةَ بِنۡتِ حُيَيٍّ. قَالَتۡ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ مُعۡتَكِفًا، فَأَتَيۡتُهُ أَزُورُهُ لَيۡلًا، فَحَدَّثۡتُهُ. ثُمَّ قُمۡتُ لِأَنۡقَلِبَ. فَقَامَ مَعِيَ لِيَقۡلِبَنِي، وَكَانَ مَسۡكَنُهَا فِي دَارِ أُسَامَةَ بۡنِ زَيۡدٍ، فَمَرَّ رَجُلَانِ مِنَ الۡأَنۡصَارِ، فَلَمَّا رَأَيَا النَّبِيَّ ﷺ أَسۡرَعَا. فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (عَلَىٰ رِسۡلِكُمَا، إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنۡتُ حُيَيٍّ)، فَقَالَا: سُبۡحَانَ اللهِ، يَا رَسُولَ اللهِ! قَالَ: (إِنَّ الشَّيۡطَانَ يَجۡرِي مِنَ الۡإِنۡسَانِ مَجۡرَى الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنۡ يَقۡذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَرًّا)، أَوۡ قَالَ: (شَيۡئًا). 


24. (2175). Ishaq bin Ibrahim dan ‘Abd bin Humaid telah menceritakan kepada kami. Redaksinya mirip. Keduanya berkata: ‘Abdurrazzaq mengabarkan kepada kami: Ma’mar mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri, dari ‘Ali bin Husain, dari Shafiyyah binti Huyayy. Beliau mengatakan: 

Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah iktikaf. Aku datang mengunjungi beliau di malam hari lalu aku berbincang-bincang dengan beliau. Kemudian aku bangkit hendak pulang. Nabi bangkit bersamaku untuk mengantar aku pulang. 

Tempat tinggal Shafiyyah ketika itu berada di rumah Usamah bin Zaid. 

Lalu ada dua orang ansar lewat. Ketika keduanya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keduanya mempercepat jalannya. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pelan-pelan saja! Wanita ini adalah Shafiyyah binti Huyayy.” 

Keduanya berkata, “Mahasuci Allah, wahai Rasulullah.” 

Nabi bersabda, “Sesungguhnya setan berjalan dalam diri manusia pada tempat aliran darah dan sungguh aku khawatir setan akan meletakkan kejelekan di dalam hati kalian berdua.” Atau beliau bersabda, “(meletakkan) sesuatu.” 

٢٥ - (...) - وَحَدَّثَنِيهِ عَبۡدُ اللهِ بۡنُ عَبۡدِ الرَّحۡمَٰنِ الدَّارِمِيُّ: أَخۡبَرَنَا أَبُو الۡيَمَانِ: أَخۡبَرَنَا شُعَيۡبٌ، عَنِ الزُّهۡرِيِّ: أَخۡبَرَنَا عَلِيُّ بۡنُ حُسَيۡنٍ، أَنَّ صَفِيَّةَ زَوۡجَ النَّبِيِّ ﷺ أَخۡبَرَتۡهُ، أَنَّهَا جَاءَتۡ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ تَزُورُهُ، فِي اعۡتِكَافِهِ فِي الۡمَسۡجِدِ، فِي الۡعَشۡرِ الۡأَوَاخِرِ مِنۡ رَمَضَانَ. فَتَحَدَّثَتۡ عِنۡدَهُ سَاعَةً، ثُمَّ قَامَتۡ تَنۡقَلِبُ. وَقَامَ النَّبِيُّ ﷺ يَقۡلِبُهَا... ثُمَّ ذَكَرَ بِمَعۡنَىٰ حَدِيثِ مَعۡمَرٍ. 

غَيۡرَ أَنَّهُ قَالَ: فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (إِنَّ الشَّيۡطَانَ يَبۡلُغُ مِنَ الۡإِنۡسَانِ مَبۡلَغَ الدَّمِ)، وَلَمۡ يَقُلۡ: (يَجۡرِي). 

25. ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Ad-Darimi telah menceritakannya kepadaku: Abu Al-Yaman mengabarkan kepada kami: Syu’aib mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri: ‘Ali bin Husain mengabarkan kepada kami bahwa Shafiyyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadanya bahwa beliau pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mengunjungi beliau ketika beliau iktikaf di dalam masjid, di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Shafiyyah berbicang-bincang di tempat beliau sebentar, kemudian beliau bangkit hendak kembali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bangkit untuk mengantarnya pulang… Kemudian beliau menyebutkan semakna hadis Ma’mar. 

Hanya saja beliau berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan merasuki manusia pada tempat yang bisa dicapai oleh darah.” Dan beliau tidak mengatakan, “berjalan.”

Shahih Muslim hadits nomor 721

٨٥ - (٧٢١) - حَدَّثَنَا شَيۡبَانُ بۡنُ فَرُّوخَ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الۡوَارِثِ: حَدَّثَنَا أَبُو التَّيَّاحِ: حَدَّثَنِي أَبُو عُثۡمَانَ النَّهۡدِيُّ، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ؛ قَالَ: أَوۡصَانِي خَلِيلِي ﷺ بِثَلَاثٍ: بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنۡ كُلِّ شَهۡرٍ، وَرَكۡعَتَيِ الضُّحَىٰ، وَأَنۡ أُوتِرَ قَبۡلَ أَنۡ أَرۡقُدَ. 


85. (721). Syaiban bin Farrukh telah menceritakan kepada kami: ‘Abdul Warits menceritakan kepada kami: Abu At-Tayyah menceritakan kepada kami: Abu ‘Utsman An-Nahdi menceritakan kepadaku dari Abu Hurairah; Beliau mengatakan: Khalilku, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mewasiatkan kepadaku tiga perkara: puasa tiga hari setiap bulan, dua rakaat salat duha, dan agar aku salat witir sebelum tidur. 

(...) - وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ الۡمُثَنَّىٰ وَابۡنُ بَشَّارٍ. قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ جَعۡفَرٍ: حَدَّثَنَا شُعۡبَةُ، عَنۡ عَبَّاسٍ الۡجُرَيۡرِيِّ وَأَبِي شِمۡرٍ الضُّبَعِيِّ. قَالَا: سَمِعۡنَا أَبَا عُثۡمَانَ النَّهۡدِيَّ يُحَدِّثُ عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ... بِمِثۡلِهِ. 

Muhammad bin Al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar telah menceritakan kepada kami. Keduanya berkata: Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami: Syu’bah menceritakan kepada kami dari ‘Abbas Al-Jurairi dan Abu Syimr Adh-Dhuba’i. Keduanya berkata: Kami mendengar Abu ‘Utsman An-Nahdi menceritakan dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semisal hadis tersebut. 

(...) - وَحَدَّثَنِي سُلَيۡمَانُ بۡنُ مَعۡبَدٍ: حَدَّثَنَا مُعَلَّى بۡنُ أَسَدٍ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الۡعَزِيزِ بۡنُ مُخۡتَارٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ الدَّانَاجِ. قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو رَافِعٍ الصَّائِغُ. قَالَ: سَمِعۡتُ أَبَا هُرَيۡرَةَ قَالَ: أَوۡصَانِي خَلِيلِي أَبُو الۡقَاسِمِ ﷺ بِثَلَاثٍ... فَذَكَرَ مِثۡلَ حَدِيثِ أَبِي عُثۡمَانَ عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ. 

Sulaiman bin Ma’bad telah menceritakan kepadaku: Mu’alla bin Asad menceritakan kepada kami: ‘Abdul ‘Aziz bin Mukhtar menceritakan kepada kami dari ‘Abdullah Ad-Danaj. Beliau berkata: Abu Rafi’ Ash-Sha`igh menceritakan kepadaku. Beliau berkata: Aku mendengar Abu Hurairah mengatakan: Khalilku, yaitu Abu Al-Qasim shallallahu ‘alaihi wa sallam, memberi wasiat tiga perkara kepadaku… Lalu beliau menyebutkan semisal hadis Abu ‘Utsman dari Abu Hurairah.

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 2840

٣٦ - بَابُ فَضۡلِ الصَّوۡمِ فِي سَبِيلِ اللهِ 
36. Bab keutamaan puasa di jalan Allah 


٢٨٤٠ - حَدَّثَنَا إِسۡحَاقُ بۡنُ نَصۡرٍ: حَدَّثَنَا عَبۡدُ الرَّزَّاقِ: أَخۡبَرَنَا ابۡنُ جُرَيۡجٍ قَالَ: أَخۡبَرَنِي يَحۡيَى بۡنُ سَعِيدٍ وَسُهَيۡلُ بۡنُ أَبِي صَالِحٍ: أَنَّهُمَا سَمِعَا النُّعۡمَانَ بۡنَ أَبِي عَيَّاشٍ: عَنۡ أَبِي سَعِيدٍ الۡخُدۡرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ قَالَ: سَمِعۡتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: (مَنۡ صَامَ يَوۡمًا فِي سَبِيلِ اللهِ، بَعَّدَ اللهُ وَجۡهَهُ عَنِ النَّارِ سَبۡعِينَ خَرِيفًا). 

2840. Ishaq bin Nashr telah menceritakan kepada kami: ‘Abdurrazzaq menceritakan kepada kami: Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami. Beliau berkata: Yahya bin Sa’id dan Suhail bin Abu Shalih mengabarkan kepadaku bahwa keduanya mendengar An-Nu’man bin Abu ‘Ayyasy dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang berpuasa satu hari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh musim gugur.”

Sunan Abu Dawud hadits nomor 1432

٣٤٢ - بَابٌ فِي الۡوِتۡرِ قَبۡلَ النَّوۡمِ 
342. Bab tentang witir sebelum tidur 


١٤٣٢ – (صحيح دون قوله: في سفر ولا حضر) حَدَّثَنَا ابۡنُ الۡمُثَنَّى، نا أَبُو دَاوُدَ، حَدَّثَنَا أَبَانُ بۡنُ يَزِيدَ، عَنۡ قَتَادَةَ، عَنۡ أَبِي سَعِيدٍ - مِنۡ أَزۡدِ شَنُوءَةَ -، عَنۡ أَبِي هُرَيۡرَةَ قَالَ: أَوۡصَانِي خَلِيلِي ﷺ بِثَلَاثٍ لَا أَدَعُهُنَّ [فِي سَفَرٍ وَلَا حَضَرٍ:] رَكۡعَتَيِ الضُّحَى، وَصَوۡمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهۡرِ، وَأَنۡ لَا أَنَامَ إِلَّا عَلَى وِتۡرٍ. [ق]. 

1432. [Sahih selain ucapan: baik ketika safar maupun mukim] Ibnu Al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami: Abu Dawud menceritakan kepada kami: Aban bin Yazid menceritakan kepada kami dari Qatadah, dari Abu Sa’id—dari kabilah Azdi Syanu`ah—,dari Abu Hurairah. Beliau mengatakan: Khalilku (yaitu Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi wasiat tiga perkara kepadaku yang tidak akan aku tinggalkan baik ketika safar maupun mukim: dua rakaat salat duha, puasa tiga hari setiap bulan, dan agar aku tidak tidur malam kecuali sudah salat witir.

Hathib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu

Nama beliau adalah Abu Muhammad Hatib bin Abi Balta’ah Amru bin Umair bin Salamah bin Amr Al Lahmi. Sebagian berpendapat bahwa nama kuniah beliau adalah Abu Abdillah. Beliau adalah sekutu dari Bani Asad bin Abdil Uzza. Beliau berasal dari Negeri Yaman. Di antara putranya yang termasuk jajaran shahabat adalah Abu Yahya Abdurrahman bin Hatib bin Abi Balta’ah. Dan, di antara maula beliau yang juga seorang shahabat Nabi bahkan ikut serta dalam perang Badar dan Uhud adalah seorang yang bernama Saad bin Khauli. Saad bin Khauli ini adalah seorang shahabat yang berasal dari Mudzhij, daerah di wilayah Persia. Saad masuk Islam, ikut serta berhijrah dan ikut serta pula dalam perang Badar dan Uhud, lalu terbunuh dalam perang Uhud tersebut. 

Saat beliau berhijrah dan menjadi salah satu muhajirin, Rasulullah mempersaudarakan beliau dengan ‘Uwaim bin Saa’idah. Seorang dari suku Anshar yang memiliki banyak keistimewaan. Rasul mengatakan tentang Uwaim, “Sebaik-baik laki-laki penduduk surga adalah Uwaim bin Saaidah.” Uwaim bin Saaidah adalah seorang yang ikut serta dalam berbagai peristiwa penting seperti baiat Aqabah, perang Badar, Uhud, Al Khandaq. Sungguh dua shahabat yang beruntung karena persaudaraan iman tersebut. Di antara hadis yang diriwayatkan oleh beliau adalah 
مَنۡ رَآنِي بَعۡدَ مَوۡتِي فَكَأَنَّمَا رَآنِي فِي حَيَاتِي وَمَنۡ مَاتَ فِي أَحَدِ الۡحَرَمَيۡنِ بُعِثَ فِي الۡآمِنِينَ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ 
Barang siapa melihatku (dalam mimpinya) setelah kematianku, maka seakan ia melihatku saat kehidupanku. Dan barang siapa yang meninggal di salah satu negeri Haramain, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam golongan orang-orang yang mendapatkan keamanan.” [H.R.

SALAH SATU UTUSAN NABI YANG MULIA 


Beliau adalah salah satu shahabat yang dikirim Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan yang membawa surat beliau kepada Al Muqauqis, seorang raja di wilayah Al Iskandariyah dan Mesir ketika itu. Ini terjadi di tahun 6 Hijriyah. Beliau pun disambut dan didudukkan dengan kedudukan yang mulia oleh Muqauqis. Saat kepulangannya beliau diserahi untuk membawa hadiah-hadiah teruntuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara hadiah-hadiah tersebut adalah Mariyah Al Qibtiyah Ummu Ibrahim bin Muhammad dan saudari beliau Siirin yang dihadiahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Al Hasan bin Tsabit. Selain itu diserahkan pula beberapa macam hadiah untuk beliau. Di masa kepemimpinan khalifah pertama, khalifah Abu Bakar, beliau kembali diutus kepada Muqauqis untuk melakukan kesepakatan damai, sehingga tidak terjadi peperangan antara muslimin dengan para penguasa Mesir. Saat itu, Mesir adalah bagian dari wilayah jajahan Romawi yang sebagian wilayahnya telah terjadi pertempuran dengan kaum muslimin dan dapat direbut oleh muslimin. Hingga datang masa Umar bin Al Khaththab, beliau mengutus Amr bin Al Ash untuk menyudahi kesepakatan damai tersebut. Umar bin Al Khaththab mengutus Amr bin Al Ash dengan sepasukan besar ke Negeri Mesir, demi menjadikan wilayah Mesir dan sekitarnya menjadi wilayah muslimin, dan tunduk dengan syariat Islam. Dan akhirnya, Mesir dapat ditundukkan oleh Islam di tahun ke 20 H.

KEUTAMAAN HATIB BIN ABI BALTA’AH 


Sebenarnya menjadi seorang shahabat sudah cukup menunjukkan kemuliaan seseorang. Abdullah bin Mubarak rahimahullah pernah ditanya tentang siapakah yang lebih utama, Mu’awiyah bin Abu Sufyan ataukah Umar bin Abdulaziz? Beliau menjawab, “Demi Allah, debu yang masuk di hidung Mu’awiyah saat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama seribu kali dibanding Umar (bin Abdulaziz).” Ya, sekadar hidup menjadi shahabat Rasulullah saja sungguh merupakan keutamaan yang besar. Bagaimanakah kiranya bila ia menjadi seorang shahabat, lalu ikut melakukan berbagai peristiwa penting bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan dalam setiap peristiwa tersebut terdapat keistimewaan-keistimewaan yang agung. Hatib bin Abi Balta’ah adalah di antara sekian shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki keutamaan-keutamaan dalam Islam. Beliau adalah seorang yang ikut dalam hijrah ke Negeri Madinah. Seorang muhajirin memiliki kedudukan mulia dalam Islam. Selain hal tersebut, beliau adalah salah satu shahabat ahli Badar dan Uhud, serta ikut dalam perjanjian Hudaibiyah. 

Perhatikanlah kejadian berikut ini. Suatu ketika ada salah satu budak Hatib yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengadukan tentang Hatib. Ia mengatakan: ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar Hatib akan masuk neraka’. Maka ucapan itu ditangkas Rasulullah dengan mengatakan: 
كَذَبۡتَ لَا يَدۡخُلُهَا، فَإِنَّهُ شَهِدَ بَدۡرًا وَالۡحُدَيۡبِيَّةَ 
Kamu dusta. Ia tidak akan memasukinya (neraka), sungguh dia adalah orang yang mengikuti perang Badar dan Hudaibiyah.” [H.R. Muslim

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Hatib bersikap keras terhadap budak-budaknya sehingga ada seorang budak yang mengadu kepada Rasulullah dan mengatakan, “Sungguh Hatib tidak akan masuk surga.” Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: 
لَا يَدۡخُلُ النَّارَ أَحَدٌ شَهِدَ بَدۡرًا وَالۡحُدَيۡبِيَّةَ 
Tidak akan masuk neraka seseorang yang mengikuti peristiwa perang Badar dan Al Hudaibiyah.

PERSAKSIAN ALLAH ATAS KEIMANANNYA 


Sungguh peristiwa-peristiwa yang menimpa seseorang adalah salah satu alat untuk mengukur keutamaan seseorang. Peristiwa berikut, akan menunjukkan kepada kita akan kedudukan Hatib di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad akan menaklukkan kota Mekkah, karena mereka merusak perjanjian yang telah disepakati, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk bersiap guna memerangi mereka. Beliau berdoa kepada Allah agar jangan sampai berita tentang persiapan ini sampai kepada mereka. Maka Hatib dengan sengaja menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada orang-orang Quraisy, lalu dikirimlah surat itu melalui seorang wanita yang bernama Ummu Sarah. Tujuannya ialah untuk memberitahukan kepada penduduk Mekah rencana yang akan dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia lakukan demikian itu agar dirinya mendapat jasa di kalangan mereka sehingga mereka akan memberikan perlindungan kepada sanak keluarga beliau yang masih tinggal di Makkah. Maka Allah memperlihatkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun mengirim beberapa orang shahabat untuk mengejar wanita tersebut, kemudian surat itu diambil dari si wanita. Maka ditanyakanlah perbuatan ini oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Hatib menjawab, “Jangan engkau tergesa-gesa mengambil keputusan terhadapku, sesungguhnya aku adalah seorang yang hidup menginduk kepada orang-orang Quraisy, dan aku bukanlah seseorang dari kalangan mereka. Sedangkan di antara kaum Muhajirin yang ada bersama engkau mempunyai kaum kerabat di Mekah yang dapat melindungi keluarganya yang tertinggal. Maka karena aku tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan mereka, aku bermaksud menggantinya dengan jasa kepada mereka. Dan tidaklah aku berbuat demikian karena kekafiran, bukan pula karena murtad dari agamaku, serta tidak pula rida dengan kekufuran sesudah aku masuk Islam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Dia berkata sebenarnya kepada kalian”. Umar bin Al Khaththab pun tidak bersabar dengan jawaban tersebut, karena kecintaan beliau terhadap agama ini beliau mengatakan, “Biarkanlah aku memenggal batang leher orang munafik ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Sesungguhnya dia telah ikut dalam Perang Badar, dan tahukah kamu, barangkali Allah menengok ahli Badar, lalu berfirman kepada mereka, “Berbuatlah menurut apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Aku telah memberikan ampunan bagimu.”. 

Pembaca, perhatikanlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, yang membela Hatib dan perhatikan pula ayat yang turun berkenaan dengan peristiwa ini, yang menunjukkan bahwa Allah mempersaksikan keimanan Hatib. Allah berfirman: 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمۡ أَوۡلِيَاءَ تُلۡقُونَ إِلَيۡهِم بِالۡمَوَدَّةِ وَقَدۡ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الۡحَقِّ يُخۡرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمۡ ۙ أَن تُؤۡمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمۡ إِن كُنتُمۡ خَرَجۡتُمۡ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابۡتِغَاءَ مَرۡضَاتِي ۚ تُسِرُّونَ إِلَيۡهِم بِالۡمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعۡلَمُ بِمَا أَخۡفَيۡتُمۡ وَمَا أَعۡلَنتُمۡ ۚ وَمَن يَفۡعَلۡهُ مِنكُمۡ فَقَدۡ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Rabbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” [Q.S. Al Mumtahanah: 1

Allah mempersaksikan dengannya keimanan pada Hatib. Siapakah yang akan menyangsikan persaksian Allah ini?

WAFAT 


Beliau meninggal pada tahun 30 hijriyyah, di Negeri Madinah pada umur 65 tahun di masa pemerintahan Utsman bin Affan. Khalifah Utsman adalah yang memimpin penyelenggaraan salat jenazah. [Ustadz Hammam] 


Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 85 vol.08 1440H/2019M rubrik Figur.