Cari Blog Ini

10 Sebab Tertolaknya Doa

مَوَانِعُ الإِجَابَةِ الْعَشْرَةُ 

10 Sebab Tertolaknya Doa 

قاَلَ شَقِيقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ : مَرَّ إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَدْهَم فِي أَسْوَاقِ الْبَصْرَةِ فَاجْتَمَعَ النَّاسُ إِلَيْهِ فَقَالُوا لَهُ : يَا أَبَا إِسْحَاقَ، إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ: ( ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ) – غافر ٦٠- وَنَحْنُ نَدْعُوهُ مُنْذُ دَهْرٍ فَلاَ يَسْتَجِيبُ لَنَا . فَقَالَ إِبْرَاهِيمُ : يَا أَهْلَ الْبَصْرَةِ مَاتَتْ قُلُوبُكُمْ فِي عَشْرةِ أَشْيَاءَ.
Syaqiq bin Ibrahim rahimahullah berkisah. Suatu ketika Ibrahim bin Adham rahimahullah masuk salah satu pasar di kota Bashrah. Orang-orang berkata, “Wahai Abu Ishaq (panggilan Ibrahim), Allah telah berfirman dalam kitabNya yang artinya, ‘Berdoalah kalian kepadaKu pasti Aku akan mengijabahinya.’ [QS. Ghafir: 60], kami telah berdoa kepadaNya semenjak waktu yang lama. Mengapa kami tidak diijabahi?”
الأَوَّلُ: عَرَفْتُمُ اللهَ وَلَمْ تُؤْدُوا حَقَّهُ.
Pertama, kalian mengenal Allah, tetapi kalian tidak menunaikan hakNya.
وَالثَّانِي: قَرَأْتُمْ كِتَابَ اللهِ وَلَمْ تَعْمَلُوا بِهِ.
Kedua, kalian membaca Kitabullah, tetapi kalian tidak mengamalkannya.
وَالثَّالِثُ: ادَّعَيْتُمْ حُبَّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَرَكْتُمْ سُنَّتَهُ.
Ketiga, kalian mengaku cinta kepada Rasul, tetapi kalian tinggalkan sunnahnya.
وَالرَّابِعُ: اِدَّعَيْتُمْ عَدَاوَةَ الشَّيْطَانِ وَوَافَقْتُمُوهُ.
Keempat, kalian mengaku bermusuhan dengan syaithan, namun kalian malah bersepakat dengannya.
وَالْخَامِسُ: قُلْتُمْ نُحِبُّ الْجَنَّةَ وَلَمْ تَعْمَلُوا لَهَا.
Kelima, kalian mengaku cinta surga, tetapi kalian tidak mau beramal untuk mendapatkannya.
وَالسَّادِسُ: قُلْتُمْ نَخَافُ النَّارَ وَرَهِنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ لَهَا.
Keenam, kalian mengatakan, “Kami takut neraka.”, tetapi kalian menggadaikan diri-diri kalian untuk neraka.
وَالسَّابِعُ: قُلْتُمْ إِنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ وَلَمْ تَسْتَعِدُّوا لَهُ.
Ketujuh, kalian mengatakan, “Sesungguhnya kematian itu benar.”, tetapi kalian tidak bersiap-siap menjemputnya.
وَالثَّامِنُ: اِشْتَغَلْتُمْ بِعُيُوبِ إِخْوَانِكُمْ وَنَبَذْتُمْ عُيُوبَكُمْ.
Kedelapan, kalian sibuk dengan aib-aib saudara kalian dan mencampakkan aib-aib kalian.
وَالتَّاسِعُ: أَكَلْتُمْ نِعْمَةَ رَبِّكُمْ وَلَمْ تَشْكُرُوهَا.
Kesembilan, kalian memakan rezeki dari Allah dan kalian tidak mensyukurinya.
وَالْعَاشِرُ: دَفَنْتُمْ مَوْتَاكُمْ وَلَمْ تَعْتَبِرُوا بِهِمْ.
Kesepuluh, kalian menguburkan jenazah-jenazah kaum muslimin, namun kalian tidak mengambil pelajaran darinya.
(كتاب حلية الأولياء – 8/15)
[Kitab Hilyatul Auliya`]

Manhajus Salikin - Kitab Shalat (2)


Bab Sifat Shalat

Disunnahkan untuk mendatangi shalat dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Ketika memasuki masjid, dia mengatakan,
بِسْمِ اللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
“Dengan nama Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukakan untukku pintu-pintu rahmatMu.” Mendahulukan kaki kanan untuk masuk masjid dan kaki kiri untuk keluar dari masjid sambil mengucapkan dzikir tadi. Bedanya dia mengatakan,
وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ
“Dan bukakan untukku pintu-pintu karuniaMu.” Sebagaimana telah tersebut di dalam hadits.
Jika dia telah berdiri untuk shalat, dia berkata:
اللهُ أَكْبَرُ
“Allahu Akbar.” Sambil mengangkat kedua tangannya di depan kedua pundaknya atau sampai dua cuping telinganya. Mengangkat dua tangan ada di empat tempat: ketika takbiratul ihram, ruku’, bangkit dari ruku’, dan berdiri dari tasyahhud awal. Sebagaimana telah shahih hadits-hadits tentang hal tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, di bawah atau di atas pusar, atau di atas dada. Lalu mengatakan,
سُبْحَانَكَ اللّٰهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلٰهَ غَيْرُكَ
“Maha suci Engkau ya Allah dan aku memujiMu. Maha suci namaMu, maha tinggi kemuliaanMu, dan tidak ada sesembahan selain Engkau.” Atau membaca bacaan istiftah yang lain yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian membaca ta’awwudz dan basmalah. Lalu membaca Al-Fatihah dan diikuti membaca satu surat pada 2 raka’at awal dari shalat yang berjumlah 4 atau 3 raka’at. Surat pada shalat fajr/subuh dari thiwaal al-mufashshal (surat Qaaf sampai An-Naba` -penerj.), pada shalat maghrib dari qishaar al-mufashshal (surat Adh-Dhuha sampai selesai -penerj.), shalat lain dari awsaath al-mufashshal (surat An-Naba` sampai Adh-Dhuha -penerj.). Qira`ah dikeraskan pada malam dan dilirihkan pada siang. Kecuali shalat Jum’at, dua ‘Ied, kusuf, dan istisqa`, pada shalat-shalat tersebut bacaan dikeraskan.
Kemudian bertakbir untuk ruku’. Meletakkan dua tangan di atas dua lutut dan menjadikan kepalanya di depan punggungnya. Lalu mengucapkan,
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ
“Maha suci Rabbku yang Maha agung.” dan mengulang-ulangnya. Jika dia mengucapkan ketika ruku’ dan sujud bacaan,
سُبْحَانَكَ اللّٰهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Maha suci Engkau ya Allah Rabb kami, dan aku memujiMu. Ya Allah, ampunilah aku.” maka ini baik. Kemudian dia mengangkat kepalanya seraya berkata,
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
“Allah Maha mendengar orang-orang yang memujiNya.” baik dia menjadi imam atau shalat sendiri. Dan juga mengucapkan,
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ مِلْءَ السَّمَاءِ وَمِلْءَ الأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
“Wahai Rabb kami, hanya untukMu segala pujian yang banyak yang baik yang diberkahi, sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau inginkan setelah itu.” Kemudian sujud di atas anggota tubuh sujud yang tujuh. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ -وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى أَنْفِهِ- وَالْكَفَّيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintah untuk sujud di atas tujuh tulang: di atas dahi -beliau mengisyaratkan dengan tangannya kepada hidungnya-, dua telapak tangan dan dua lutut, dan ujung kedua telapak kaki.” (Muttafaqun ‘alaih). Lalu mengucapkan,
سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى
“Maha suci Rabbku yang Maha tinggi.” Lalu bertakbir, dan duduk di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan -yaitu duduk iftirasy-. Seluruh duduk di dalam shalat adalah duduk iftirasy, kecuali pada tasyahhud akhir dengan duduk tawarruk. Yaitu duduk di atas tanah, dan mengeluarkan kaki kiri dari belakang kaki kanan. Pada duduk di antara dua sujud mengucapkan,
رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي وَاجْبُرْنِي وَعَافِنِي
“Wahai Rabbku, ampunilah aku, kasihilah aku, tunjukilah aku, berilah rizki kepadaku, cukupilah aku, dan berilah aku kesehatan.” Lalu sujud yang kedua seperti sujud pertama, kemudian bangkit dengan bertakbir bertumpu pada dua telapak kakinya. Lalu shalat raka’at kedua seperti raka’at pertama. Kemudian duduk untuk tasyahhud awal, bacaannya:
التَّحِيَّاتُ للهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“Segala penghormatan hanya bagi Allah. Begitu pula seluruh pengagungan dan kebaikan. Semoga keselamatan atas engkau wahai Nabi, begitu pula rahmat Allah dan barakahNya. Semoga keselamatan atas kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu hamba dan RasulNya.” Kemudian berdiri menyelesaikan sisa raka’atnya, mencukupkan setelah tasyahhud awal tadi dengan bacaan Al-Fatihah. Kemudian tasyahhud pada duduk yang akhir, dengan bacaan yang telah disebutkan, ditambah dengan mengucapkan:
اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. أَعُوذُ بِاللهِ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau yang Maha Terpuji dan Maha Agung. Dan berilah berkah kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberkahi keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Aku berlindung kepada Allah dari adzab Jahannam, adzab kubur, fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.” Dan berdoa dengan apa yang disukai, kemudian salam ke kanan dan ke kiri:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
“Semoga keselamatan dan rahmat Allah atas kalian.”

Manhajus Salikin - Kitab Shalat (1)

Telah berlalu bahwasanya bersuci termasuk dari syarat-syarat shalat.
Termasuk syarat-syarat shalat lainnya: masuknya waktu. Hukum asal hal ini adalah hadits Jibril:
أَنَّهُ أَمَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَوَّلِ الْوَقْتِ وَآخِرِهِ، وَقاَلَ: يَا مُحَمَّدُ الصَّلاَةُ مَا بَيْنَ هٰذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ
“Sesungguhnya Jibril mengimami Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal waktu dan di akhir waktu, lalu berkata: Wahai Muhammad, shalat itu di antara dua waktu ini.” (HR. Ahmad, An-Nasai, dan At-Tirmidzi).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَالَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَالَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَالَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ
“Waktu zhuhur: ketika matahari tergelincir sampai ketika bayangan seseorang sama dengan tingginya, selama belum masuk waktu ‘ashr. Waktu ‘ashr: selama matahari belum menguning. Waktu shalat maghrib: selama cahaya merah belum hilang. Waktu shalat ‘isya: sampai separuh malam. Waktu shalat shubuh dari terbitnya fajar sampai matahari belum terbit.” (HR. Muslim[1]).
Waktu shalat dapat diperoleh dengan memperoleh satu raka’at, berdasar sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
“Barangsiapa yang memperoleh satu raka’at shalat, maka dia mendapatkan shalat.” (Muttafaqun ‘alaih[2]).
Tidak boleh mengakhirkan shalat, atau mengakhirkan sebagiannya dari waktunya karena ‘udzur atau selainnya. Kecuali, jika dia mengakhirkannya untuk mengumpulkan shalat dengan shalat lainnya. Hal ini boleh karena ada ‘udzur, seperti safar, hujan, sakit, dan semisalnya.
Namun yang lebih utama, mengawalkan shalat di awal waktu. Kecuali ‘isya` jika tidak memberatkan dan zhuhur ketika cuaca sangat panas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا عَنِ الصَّلاَةِ فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ

“Jika hari sangat panas, maka tunda shalat hingga mendingin. Karena panas yang sangat itu dari panasnya Jahannam.” (Muttafaqun ‘alaih[3]).

Barangsiapa luput dari shalat, wajib bagi dia untuk bersegera menqadha`nya secara berurutan. Jika dia lupa atau tidak mengerti urutan atau khawatir luput waktu shalat, maka tidak harus urut.

Termasuk syarat shalat adalah menutup aurat dengan pakaian yang mubah tidak membentuk tubuh. Aurat ada tiga macam. Aurat mughallazhah, yaitu aurat wanita merdeka yang sudah baligh. Yaitu seluruh tubuhnya aurat ketika shalat, kecuali wajahnya. Aurat mukhaffafah, yaitu aurat anak laki-laki umur tujuh sampai sepuluh tahun, yakni kedua kemaluannya. Aurat mutawassithah, yaitu aurat selain dua golongan tersebut, dari pusar sampai lutut. Allah ta’ala berfirman,

يَـٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Wahai anak Adam, pakailah pakaian kalian yang indah setiap masuk masjid.” (QS. Al-A’raaf: 31).

Termasuk syarat shalat adalah menghadap kiblat. Allah ta’ala berfirman,

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ وَإِنَّهُۥ لَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَمَا ٱللهُ بِغَـٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (١٤٩) وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ 

“Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Rabbmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 149, 150). Jika dia tidak mampu untuk menghadap kiblat, karena sakit atau selainnya, maka tidak mengapa. Sebagaimana kewajiban-kewajiban lain gugur karena sebab tidak mampu melakukannya. Allah ta’ala berfirman,

فَٱتَّقُوا۟ ٱللهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ

“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16). Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat nafilah ketika safar di atas kendaraannya ke mana pun kendaraannya menghadap (Muttafaqun ‘alaih[4]). Di dalam sebuah lafazh, “Beliau tidak shalat wajib di atas kendaraannya.”

Termasuk syarat shalat adalah niat.

Shalat sah di semua tempat, kecuali di tempat yang najis, di tempat maghshub (tempat yang diambil secara paksa dan zhalim), di kuburan, di WC, atau di kandang unta. Di dalam Sunan At-Tirmidzi secara marfu’,
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةُ وَالْحَمَّامُ

“Bumi itu seluruhnya masjid, kecuali kuburan dan WC.”

[1] Nomor 612.
[2] HR. Al-Bukhari (580) dan Muslim (607) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[3] HR. Al-Bukhari (534) dan Muslim (615) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[4] HR. Al-Bukhari (1000) dan Muslim (700) dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.