Cari Blog Ini

Al Aqidah Ath Thahawiyah

Ilmu akidah merupakan ilmu yang termulia. Sebab, kemuliaan ilmu tergantung dari kemuliaan yang diilmui. Ilmu mengenai keyakinan yang benar inilah yang disebut sebagian ulama sebagai fikih terbesar, dibandingkan dengan ilmu fikih, yang membahas mengenai hukum-hukum lahiriah. Karena itulah, Imam Abu Hanifah rahimahullah menyebut sekumpulan masalah akidah yang beliau tulis pada beberapa lembar kertas dengan judul “Al Fiqh Al Akbar”. 

Di samping itu, kebutuhan hamba terhadap ilmu akidah ini di atas kebutuhan lainnya. Sebab, kalbu tidak akan hidup, tidak akan tenteram, dan tidak akan tenang kecuali jika kalbu mengetahui Rabbnya, sesembahannya, dan penciptanya. Selain itu, mengetahui pula nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya. Dengan mengetahui hal-hal tersebut, seorang hamba akan mencintai-Nya lebih dari selain-Nya. Serta, dia hanya berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya, tidak kepada selain-Nya. 

Demikianlah sekelumit pentingnya mempelajari akidah yang sahih. Karena itulah, para ulama banyak menuliskan karya-karya yang menjelaskan akidah yang benar. Imam Muhaddits Hujjatul Islam, Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah (wafat 321 H) merupakan salah satu ulama yang menulis dalam bab ini. Beliau menuliskan pokok-pokok keyakinan dalam beberapa kalimat yang ringkas yang sering dikenal dengan Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah

Akidah ini beliau tulis berdasarkan keyakinan yang dianut oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Abu Abdillah Muhammad Asy Syaibani rahimahullah—para ulama terkemuka mazhab Hanafi—sebagaimana beliau sampaikan sendiri dalam mukadimah risalah. Beliau mengatakan, “Ini adalah penyebutan akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berdasarkan keyakinan fuqaha agama Islam: Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit Al Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al Anshari, dan Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, semoga Allah meridai mereka semua. Inilah yang mereka yakini dari ushulud din (pokok agama) dan mereka yakini sebagai agama kepada Allah Rabbul ‘alamin.” 

Akidah ini mayoritasnya sesuai dengan keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Akidah ini tidak hanya akidah untuk penganut mazhab Hanafi saja, para pengikut mazhab yang empat rida terhadap akidah ini. Sebab, risalah ini mencakup pokok akidah yang disepakati oleh para ulama, secara globalnya. Hal ini menegaskan kepada kita bahwa para ulama keempat mazhab tidak berbeda dalam hal akidah. Sebab, tidak ada khilaf dalam permasalahan akidah. Perbedaan mazhab antara mereka hanya berkisar pada bidang fikih saja. 

SEDIKIT MENGENAI PENULIS 


Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah merupakan salah satu ulama hadis yang masyhur. Selain mendalami hadis, beliau juga seorang ahli fikih. Lahir pada tahun 239 H di desa Thaha, sebuah desa di dataran tinggi Mesir. 

Awalnya, beliau belajar pada paman beliau di Mesir. Sang paman adalah seorang tokoh besar ulama mazhab Syafi’iyah, Al Muzani rahimahullah. Akan tetapi, beliau kemudian berpindah kepada mazhab Abu Hanifah rahimahullah

Meskipun Imam Abu Ja’far Ath Thahawi bermazhab Hanafi, beliau tidaklah taklid buta terhadap pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah. Apabila ada pendapat Imam Abu Hanifah yang tidak sesuai dengan dalil, maka beliau pun tidak segan untuk mengikuti dalil. Demikianlah perbuatan para ulama besar, meskipun mereka menganut mazhab tertentu dalam fikih, mereka tetap berpijak kepada dalil. Imam Abu Hanifah pernah mengatakan, “Jika aku berpendapat sesuatu dan Kitabullah menyelisihinya, maka tinggalkanlah pendapatku karena Kitabullah.” Dikatakan, “Jika sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihinya?” Beliau menjawab, “Tinggalkanlah pendapatku karena hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ada yang mengatakan, “Jika ucapan shahabat menyelisihinya?” Beliau menjawab, “Tinggalkanlah pendapatku karena ucapan shahabat.” 

Maka, demikian pula Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah, beliau siap meninggalkan pendapat Abu Hanifah rahimahullah jika memang menyelisihi kebenaran yang diyakininya. Suatu saat, beliau berdialog dengan seorang hakim dari mazhab Hanafi. Saat ditanya tentang suatu masalah, maka beliau menjawab bukan dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Hakim itu pun mengatakan, “Bukan ini pendapat Abu Hanifah.” Beliau menjawab, “Apakah setiap pendapat Abu Hanifah harus menjadi pendapatku?” “Saya sangka Anda muqallid (orang yang taklid).” Abu Ja’far pun menjawab, “Tidak ada yang berbuat taklid kecuali orang yang fanatik.” Hakim itu menimpali, “Atau orang yang dungu.” Ucapan Abu Ja’far ini pun menjadi terkenal dan tersebar di Mesir. 

Beliau memiliki banyak hasil karya yang menunjukkan luasnya ilmu yang beliau miliki. Di antara karya beliau yang monumental adalah kitab ‘Ma’ani Al Atsar’. Kitab ini memaparkan pembahasan fikih disertai dengan dalil-dalilnya. Beliau juga menyebutkan perbedaan pandangan para ulama dalam masalah-masalah tersebut disertai dalil dari masing-masing pendapat, lalu beliau menguatkan pendapat yang beliau anggap benar. 

Kitab Musykilul Atsar karya beliau berisi kumpulan hadis-hadis yang dianggap bertentangan. Demikian pula, di antara karya beliau adalah kitab Ahkamul Qur’an, Syarhul Jami’il Kabir, Syarhul Jami’ish Shaghir, An Nawadirul Fiqhiyyah, Ar Radd ‘ala Abi ‘Ubaid, Ar Radd ‘ala ‘Isa ibn Aban, dan lain-lainnya. 

Pada tahun 321 H, beliau wafat. Di Mesir, tepatnya di daerah Qarrafah, jasad beliau dikebumikan, semoga Allah menerima amal beliau dan melipatgandakan balasan-Nya, amin.

SYARAH AT THAHAWIYAH KARYA IBNU ABIL ‘IZZ 


Al Aqidah Ath Thahawiyah menjadi salah satu karya yang banyak dirujuk dalam bidang akidah. Di antara alasan para ulama merujuk kepadanya adalah kitab syarah yang ditulis oleh Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah adalah murid Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah. Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah menjelaskan Aqidah Thahawiyah sesuai dengan manhaj salaf. Beliau mengikuti jalan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. 

Ada beberapa pihak lain yang menguraikan Aqidah Thahawiyah. Akan tetapi, syarah-syarah tersebut tidak sesuai dengan keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Para penulis syarah-syarah tersebut memiliki latar belakang akidah yang menyimpang. Karena itulah, syarah-syarah itu pun terisi dengan penyimpangan-penyimpangan sesuai dengan akidah yang dianut oleh pensyarah kitab ini.

KESALAHAN DALAM BAB IMAN 


Telah disebutkan di muka bahwa secara global, risalah Al Aqidah Ath Thahawiyah adalah keyakinan Ahlus Sunnah. Akan tetapi, di dalam risalah tersebut ada beberapa hal yang tidak sejalan dengan keyakinan Ahlus Sunnah. Yaitu mengenai pembahasan iman. Abu Ja’far Ath Thahawi menganut akidah Abu Hanifah rahimahullah mengenai masalah iman ini. Beliau mengatakan dalam masalah iman, “Iman adalah ucapan dengan lisan dan pembenaran dengan qalbu.” 

Keyakinan ini tidak sesuai dengan apa yang diyakini Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ahlus Sunnah meyakini bahwa iman tidak hanya ucapan lisan dan pembenaran qalbu. Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah, “Pengakuan dengan qalbu, pengucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan. Iman bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.” 

Kesalahan ini tidak hanya sekadar kesalahan dalam hal definisi yang sepele. Sebab, kesalahan definisi ini memiliki konsekuensi fatal. Di antara konsekuensinya adalah amal bukan bagian dari keimanan, namun hanya sebatas konsekuensi dari keimanan tersebut. Tentu ini adalah pendapat yang batil. Karena dalil-dalil yang ada menegaskan bahwa amal adalah bagian dari keimanan. 

Di antara sekian banyak dalil-dalil dari Al Quran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membantah definisi yang dikemukakan oleh Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَـٰنَكُمۡ ۚ 
Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu...” [Q.S. Al Baqarah:143] “Iman” yang dimaksud pada ayat ini adalah salat. Saat kiblat dipindah dari Baitul Maqdis menuju Baitul Haram, para shahabat merasa berat. Mereka mempertanyakan bagaimana dengan salat yang dilakukan oleh para shahabat yang meninggal sebelum perpindahan kiblat. Apakah salat mereka sia-sia? Maka, Allah subhanahu wa ta’ala pun menurunkan ayat ini. Sehingga, ayat ini menjadi dalil yang pasti mengenai masuknya amalan lahiriah dalam keimanan. 
قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ هُمۡ فِى صَلَاتِهِمۡ خَـٰشِعُونَ 
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam salatnya.” [Q.S. Al Mu’minun:1-2]. Ayat ini juga menjadi dalil bahwa amalan termasuk bagian dalam iman. Tentu masih banyak ayat lainnya yang menyebutkan bahwa amal lahiriah termasuk ke dalam definisi iman. 

Adapun dalil dari hadis, di antaranya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
الۡإِيمَانُ بِضۡعٌ وَسَبۡعُونَ أَوۡ بِضۡعٌ وَسِتُّونَ شُعۡبَةً فَأَفۡضَلُهَا قَوۡلُ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَدۡنَاهَا إِمَاطَةُ الۡأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالۡحَيَاءُ شُعۡبَةٌ مِنَ الۡإِيمَانِ 
“Iman ada tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Iman yang paling afdhal adalah ucapan ‘Laa ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Rasa malu juga termasuk salah satu cabang keimanan.” [H.R. Muslim]. 

Kesimpulannya, dalam permasalahan iman dan yang terkait dengan pembahasan ini, Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah terjatuh dalam kesalahan. Sehingga, yang ingin menelaah kitab tersebut, hendaknya merujuk kepada para ulama yang tepercaya keagamaannya. 

Imam Abu Ja’far rahimahullah sendiri—sebagaimana ulama lainnya—bukanlah seorang yang maksum. Beliau bisa saja terjatuh dalam kesalahan. Maka, kita pun tidak bertaklid kepada beliau dalam seluruh masalah. Pada perkara yang beliau keliru, kita pun tidak mengikutinya, dengan tetap menjaga adab dan mendoakan rahmat dan ampunan untuk beliau. Allahu a’lam bish shawab.


Sumber: Majalah Qudwah edisi 64 vol.06 1440 H rubrik Maktabah. Pemateri: Al Ustadz Abu Yusuf Abdurrahman.