Cari Blog Ini

Shahih Al-Bukhari hadits nomor 122

٤٥ - بَابُ مَا يُسۡتَحَبُّ لِلۡعَالِمِ إِذَا سُئِلَ: أَىُّ النَّاسِ أَعۡلَمُ؟ فَيَكِلُ الۡعِلۡمَ إِلَى اللهِ
45. Bab yang disunahkan bagi seorang yang alim apabila ditanya: Siapa orang yang paling berilmu? Agar dia memasrahkan ilmu kepada Allah 


١٢٢ - حَدَّثَنَا عَبۡدُ اللهِ بۡنُ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ قَالَ: حَدَّثَنَا عَمۡرٌو قَالَ: أَخۡبَرَنِي سَعِيدُ بۡنُ جُبَيۡرٍ قَالَ: قُلۡتُ لِابۡنِ عَبَّاسٍ: إِنَّ نَوۡفًا الۡبِكَالِيَّ يَزۡعُمُ أَنَّ مُوسَى لَيۡسَ بِمُوسَى بَنِي إِسۡرَائِيلَ إِنَّمَا هُوَ مُوسَى آخَرُ؟ فَقَالَ كَذَبَ عَدُوُّ اللهِ، حَدَّثَنَا أُبَىُّ بۡنُ كَعۡبٍ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: (قَامَ مُوسَى النَّبِيُّ خَطِيبًا فِي بَنِي إِسۡرَائِيلَ، فَسُئِلَ أَىُّ النَّاسِ أَعۡلَمُ؟ فَقَالَ: أَنَا أَعۡلَمُ، فَعَتَبَ اللهُ عَلَيۡهِ، إِذۡ لَمۡ يَرُدَّ الۡعِلۡمَ إِلَيۡهِ، فَأَوۡحَى اللهُ إِلَيۡهِ أَنَّ عَبۡدًا مِنۡ عِبَادِي بِمَجۡمَعِ الۡبَحۡرَيۡنِ هُوَ أَعۡلَمُ مِنۡكَ. 

122. ‘Abdullah bin Muhammad telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Sufyan menceritakan kepada kami. Beliau berkata: ‘Amr menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Sa’id bin Jubair mengabarkan kepadaku. Beliau berkata: 

Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas: Sesungguhnya Nauf Al-Bikali menyatakan bahwa Musa (yang bertemu Al-Khadhir) bukanlah Nabi Musa bani Israil. Dia hanyalah Musa yang lain. 

Ibnu ‘Abbas berkata: Musuh Allah itu telah berdusta. Ubai bin Ka’b menceritakan kepada kami dari Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—: 

Nabi Musa berdiri sebagai khatib di hadapan bani Israil. Lalu beliau ditanya, “Siapa orang yang paling berilmu?” 

Nabi Musa menjawab, “Aku yang paling berilmu.” 

Allah menegur beliau karena beliau tidak mengembalikan ilmu kepada-Nya. Allah mewahyukan kepada beliau, “Ada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku di tempat pertemuan dua lautan yang lebih berilmu daripada engkau.” 

قَالَ: يَا رَبِّ وَكَيۡفَ بِهِ؟ فَقِيلَ لَهُ: احۡمِلۡ حُوتًا فِي مِكۡتَلٍ، فَإِذَا فَقَدۡتَهُ، فَهۡوَ ثَمَّ، فَانۡطَلَقَ وَانۡطَلَقَ بِفَتَاهُ يُوشَعَ بۡنِ نُونٍ وَحَمَلَا حُوتًا فِي مِكۡتَلٍ، حَتَّى كَانَا عِنۡدَ الصَّخۡرَةِ وَضَعَا رُءُوسَهُمَا وَنَامَا، فَانۡسَلَّ الۡحُوتُ مِنَ الۡمِكۡتَلِ، فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الۡبَحۡرِ سَرَبًا، وَكَانَ لِمُوسَى وَفَتَاهُ عَجَبًا، فَانۡطَلَقَا بَقِيَّةَ لَيۡلَتِهِمَا وَيَوۡمِهِمَا، فَلَمَّا أَصۡبَحَ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ: ﴿ءَاتِنَا غَدَآءَنَا لَقَدۡ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَـٰذَا نَصَبًا﴾ [الكهف: ٦٢] وَلَمۡ يَجِدۡ مُوسَى مَسًّا مِنَ النَّصَبِ حَتَّى جَاوَزَ الۡمَكَانَ الَّذِي أُمِرَ بِهِ. فَقَالَ لَهُ فَتَاهُ: ﴿أَرَءَيۡتَ إِذۡ أَوَيۡنَآ إِلَى ٱلصَّخۡرَةِ فَإِنِّى نَسِيتُ ٱلۡحُوتَ﴾ [الكهف: ٦٣] قَالَ مُوسَى: ﴿ذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبۡغِ ۚ فَٱرۡتَدَّا عَلَىٰٓ ءَاثَارِهِمَا قَصَصًا﴾ [الكهف: ٦٤] فَلَمَّا انۡتَهَيَا إِلَى الصَّخۡرَةِ، إِذَا رَجُلٌ مُسَجًّى بِثَوۡبٍ، أَوۡ قَالَ: تَسَجَّى بِثَوۡبِهِ، 

Musa bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana cara menemuinya?” 

Maka dikatakan kepada beliau, “Bawalah seekor ikan di dalam keranjang. Apabila engkau kehilangan ikan itu, maka di sanalah tempatnya.” 

Musa berangkat bersama Yusya’ bin Nun. Keduanya membawa seekor ikan di dalam keranjang, hingga ketika keduanya berada di dekat sebuah batu, keduanya menyandarkan kepala dan tidur. Ikan tadi menyelinap keluar dari keranjang, lalu diam-diam mengambil jalan di laut itu. Kejadian tersebut nantinya membuat Musa dan muridnya takjub. Keduanya lalu melanjutkan perjalanan di sisa malam dan siang hari. 

Ketika telah masuk waktu subuh, Musa berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (QS. Al-Kahfi: 62). 

Musa tidak merasakan keletihan hingga beliau telah melewati tempat yang diperintahkan. 

Lalu muridnya berkata kepada beliau, “Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu.” (QS. Al-Kahfi: 63). 

Musa berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (QS. Al-Kahfi: 64). 

Ketika keduanya sudah sampai ke batu tadi, ternyata ada seseorang yang berselimutkan selembar kain. 

فَسَلَّمَ مُوسَى، فَقَالَ الۡخَضِرُ: وَأَنَّى بِأَرۡضِكَ السَّلَامُ؟ فَقَالَ: أَنَا مُوسَى، فَقَالَ: مُوسَى بَنِي إِسۡرَائِيلَ؟ قَالَ: نَعَمۡ، قَالَ مُوسَى: ﴿هَلۡ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدًا قَالَ إِنَّكَ لَن تَسۡتَطِيعَ مَعِىَ صَبۡرًا﴾ [الكهف: ٦٦-٦٧] يَا مُوسَى، إِنِّي عَلَى عِلۡمٍ مِنۡ عِلۡمِ اللهِ عَلَّمَنِيهِ لَا تَعۡلَمُهُ أَنۡتَ، وَأَنۡتَ عَلَى عِلۡمٍ عَلَّمَكَهُ لَا أَعۡلَمُهُ. 

Musa mengucapkan salam. 

Al-Khadhir berkata, “Bagaimana ada salam ini di bumimu?” 

Musa berkata, “Aku adalah Musa.” 

Al-Khadhir bertanya, “Musa-nya bani Israil?” 

Musa menjawab, “Iya.” Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” 

Al-Khadhir berkata, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. (QS. Al-Kahfi: 66-67). Wahai Musa, sesungguhnya aku berada di atas suatu ilmu di antara ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadaku dan tidak engkau ketahui. Engkau pun berada di atas suatu ilmu yang Allah ajarkan kepadamu dan tidak aku ketahui.” 

﴿قَالَ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ صَابِرًا وَلَآ أَعۡصِى لَكَ أَمۡرًا﴾ [الكهف: ٦٩] فَانۡطَلَقَا يَمۡشِيَانِ عَلَى سَاحِلِ الۡبَحۡرِ، لَيۡسَ لَهُمَا سَفِينَةٌ، فَمَرَّتۡ بِهِمَا سَفِينَةٌ، فَكَلَّمُوهُمۡ أَنۡ يَحۡمِلُوهُمَا، فَعُرِفَ الۡخَضِرُ، فَحَمَلُوهُمَا بِغَيۡرِ نَوۡلٍ، فَجَاءَ عُصۡفُورٌ فَوَقَعَ عَلَى حَرۡفِ السَّفِينَةِ، فَنَقَرَ نَقۡرَةً أَوۡ نَقۡرَتَيۡنِ فِي الۡبَحۡرِ، فَقَالَ الۡخَضِرُ: يَا مُوسَى مَا نَقَصَ عِلۡمِي وَعِلۡمُكَ مِنۡ عِلۡمِ اللهِ إِلَّا كَنَقۡرَةِ هَٰذَا الۡعُصۡفُورِ فِي الۡبَحۡرِ، فَعَمَدَ الۡخَضِرُ إِلَى لَوۡحٍ مِنۡ أَلۡوَاحِ السَّفِينَةِ فَنَزَعَهُ، فَقَالَ مُوسَى: قَوۡمٌ حَمَلُونَا بِغَيۡرِ نَوۡلٍ، عَمَدۡتَ إِلَى سَفِينَتِهِمۡ فَخَرَقۡتَهَا لِتُغۡرِقَ أَهۡلَهَا؟ ﴿قَالَ أَلَمۡ أَقُلۡ إِنَّكَ لَن تَسۡتَطِيعَ مَعِىَ صَبۡرًا ۞ قَالَ لَا تُؤَاخِذۡنِى بِمَا نَسِيتُ﴾ [الكهف: ٧٢-٧٣]؛ 

Musa berkata, “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun.” (QS. Al-Kahfi: 69). 

Keduanya berangkat berjalan menyusuri tepi laut. Mereka berdua tidak memiliki perahu. Lalu ada sebuah perahu melewati keduanya. Mereka berbicara kepada orang-orang yang di perahu agar mau untuk mengangkut mereka. Al-Khadhir dikenal oleh mereka, sehingga mereka mengangkut mereka dengan tanpa upah. Kemudian seekor burung datang dan hinggap di tepi perahu. Dia mematuk satu atau dua patukan di lautan. 

Al-Khadhir berkata, “Wahai Musa, tidaklah ilmuku dan ilmumu mengurangi ilmu Allah kecuali seperti patukan burung ini di lautan.” 

Lalu Al-Khadhir bangkit menuju salah satu kulit kapal, kemudian mencabutnya. 

Musa berkata, “Ada orang-orang yang mau mengangkut kita tanpa upah, lalu engkau malah sengaja melubanginya sehingga menenggelamkan penumpangnya?” 

Khidir berkata, “Bukankah aku telah berkata: Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.” 

Musa berkata, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku.” (QS. Al-Kahfi: 72-73). 

فَكَانَتِ الۡأُولَى مِنۡ مُوسَى نِسۡيَانًا فَانۡطَلَقَا فَإِذَا غُلَامٌ يَلۡعَبُ مَعَ الۡغِلۡمَانِ، فَأَخَذَ الۡخَضِرُ بِرَأۡسِهِ مِنۡ أَعۡلَاهُ فَاقۡتَلَعَ رَأۡسَهُ بِيَدِهِ، فَقَالَ مُوسَى: ﴿أَقَتَلۡتَ نَفۡسًا زَكِيَّةًۢ بِغَيۡرِ نَفۡسٍ﴾ [الكهف: ٧٤] ﴿قَالَ أَلَمۡ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسۡتَطِيعَ مَعِىَ صَبۡرًا﴾ [الكهف: ٧٥]. 

Kejadian itu adalah kelupaan pertama dari Musa. Keduanya berangkat melanjutkan perjalanan, ternyata ada seorang anak sedang bermain bersama anak-anak lain. Lalu Al-Khadhir memegang kepalanya dari arah atas kemudian menarik keluar kepalanya dengan tangannya. 

Musa berkata, “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?” (QS. Al-Kahfi: 74). 

Al-Khadhir berkata, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” (QS. Al-Kahfi: 75). 

قَالَ ابۡنُ عُيَيۡنَةَ: وَهَٰذَا أَوۡكَدُ ﴿فَٱنطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَيَآ أَهۡلَ قَرۡيَةٍ ٱسۡتَطۡعَمَآ أَهۡلَهَا فَأَبَوۡا۟ أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُۥ﴾ [الكهف: ٧٧] قَالَ الۡخَضِرُ بِيَدِهِ، فَأَقَامَهُ، فَقَالَ لَهُ مُوسَى: ﴿لَوۡ شِئۡتَ لَتَّخَذۡتَ عَلَيۡهِ أَجۡرًا ۞ قَالَ هَـٰذَا فِرَاقُ بَيۡنِى وَبَيۡنِكَ﴾ [الكهف: ٧٧-٧٨]، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: (يَرۡحَمُ اللهُ مُوسَى، لَوَدِدۡنَا لَوۡ صَبَرَ حَتَّى يُقَصَّ عَلَيۡنَا مِنۡ أَمۡرِهِمَا). [طرفه في: ٧٤]. 

Ibnu ‘Uyainah berkata: Kali ini Al-Khadhir lebih memberi penekanan. 

“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Al-Khadhir menegakkan dinding itu.” (QS. Al-Kahfi: 77). Al-Khadhir memberi isyarat dengan tangannya lalu menegakkan dinding itu. 

Musa berkata kepadanya, “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” 

Al-Khadhir berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu.” (QS. Al-Kahfi: 77-78). 

Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Semoga Allah merahmati Musa, kami sangat ingin andai beliau sabar sehingga akan dikisahkan kepada kami urusan beliau berdua.”