Cari Blog Ini

AL MAQDISI RAHIMAHULLAH

NAMA DAN KELAHIRANNYA


Nama lengkapnya adalah Syaikh Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur bin Rafi’ bin Hasan bin Ja’far Al Jamma’ili Al Maqdisi Al Hanbali. Beliau dilahirkan pada tahun 541 H di Jummail yaitu sebuah daerah pegunungan Nablus yang merupakan bagian dari Palestina dekat Baitul Maqdis. Disebutkan dalam biografinya bahwa beliau dilahirkan pada bulan Rabiul Akhir. Lebih tua empat bulan daripada Al Muwaffaq Ibnu Qudamah karena ia dilahirkan pada bulan Sya’ban. Secara usia beliau sezaman dengan Al Muwaffaq Ibnu Qudamah bahkan keduanya sempat meluangkan waktu bersama dalam menuntut ilmu. Ibnu Qudamah adalah penulis kitab fikih yang sangat terkenal yaitu Al Mughni. Namun Ibnu Qudamah lebih cenderung kepada ilmu fikih dan sedangkan Al Maqdisi lebih terfokus kepada ilmu hadis.

PERJALANAN ILMIAH MENUNTUT ILMU


Kedua ulama ini pernah melakukan rihlah (perjalanan) bersama-sama ke Baghdad untuk mencari ilmu agama. Bahkan beliau pernah melakukan rihlah ke Baghdad sebanyak dua kali. Di kota itu, keduanya bertemu dengan para ulama yang terkemuka dan mengambil ilmu dari mereka seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani, Nashr bin Fatyan Al Manni dan yang lainnya. Keduanya tinggal di Baghdad selama kurang lebih empat tahun.

Awal pertama kali menginjakkan kaki di Baghdad, keduanya singgah di Syaikh Abdul Qadir dan di tempat itu keduanya dimuliakan serta diperlakukan dengan baik. Namun perjumpaan mereka tidak lama karena Syaikh Abdul Qadir meninggal lima puluh malam setelah kedatangan mereka berdua.

Selanjutnya keduanya melanjutkan perjalanan ilmiahnya menuju Abul Fath Ibnul Manni dan belajar fikih serta masalah khilaf. Keduanya juga mendengarkan hadis dari Abul Fath bin Al Buthi, Ahmad bin Al Maghribi Al Karkhi, dan selain keduanya.

Kemudian Al Hafizh Al Maqdisi melanjutkan perjalanannya ke Mesir dan Iskandariyah. Selama tinggal di Mesir, beliau mendengar dari Abu Muhammad bin Bari An Nahwi, Muhammad bin Ali Ar Rahabi dan yang lainnya. Adapun di Iskandariyah dari Al Hafizh As Silafi lantas melanjutkan perjalanan ke Hamadzan dan Ashbahan.

Adapun murid-murid beliau juga cukup banyak, di antaranya adalah kedua putranya yaitu Abul Fath dan Abu Musa Abdullah, ‘Izzudin Muhammad, Abdul Qadir Ar-Rahawi, Muwaffaq Ibnu Qudamah, Al Hafizh Adh Dhiya’, Ibnu Khalil, Al Faqih Al Yunini, Ahmad bin Abdul Daim, Ahmad bin Muhalhal Al Husaini, Ahmad bin Abul Khair Salamah Al Haddad, Abul Hajjaj bin Khalil, Utsman bin Makki Asy Syari’i, dan yang lainnya.

PUJIAN PARA ULAMA


Dalam kitab Thabaqatul Hanabilah, Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan sanjungan-sanjungan para ulama terhadap beliau. Di antara pujian tersebut diarahkan kepada hafalan beliau terhadap matan-matan hadis sekaligus sanadnya. Hingga akhirnya beliau diberi gelar sebagai Amirul Mukminin dalam ilmu hadis sebagaimana dinyatakan oleh Dhiyauddin.

Beliau juga disebut-sebut sebagai seorang ahli ibadah, wara’, dengan akidah yang baik karena komitmennya dalam meniti jejak para salafus shalih. Al Muwaffaq Ibnu Qudamah mengatakan bahwa beliau adalah teman dalam beribadah dan mengatakan, “Tidaklah kami berlomba-lomba dalam kebaikan melainkan ia pasti mendahuluiku kecuali pada sedikit perkara.”

Beliau juga seorang figur ulama yang gigih dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar dengan lisan dan tangannya. Beliau tidak mempedulikan celaan orang-orang yang membenci dan menentangnya. Bahkan hal ini dilakukan juga terhadap para penguasa, hakim, dan para ahli bid’ah. Tidak mengherankan jika beliau menghadapi berbagai penentangan dan gangguan dari ahli bid’ah. Demikianlah memang konsekuensi yang pasti dihadapi oleh para juru dakwah yang menyampaikan kebenaran.

Beliau juga dikenal sebagai pribadi yang dermawan dan senang berbuat baik kepada kaum muslimin. Sifat tawadhu’ dan budi pekerti baik yang menghiasi kehidupannya. Namun demikian beliau mempunyai wibawa yang tinggi di hadapan kaum muslimin. Adz Dzahabi mengatakan dalam biografinya bahwa beliau adalah seorang Imam, alim (orang yang berilmu), hafizh (penghafal) yang besar, jujur, panutan, ahli ibadah, pengikut sunnah, ulamanya para penghafal.

Al Hafizh Adh Dhiya’ mengatakan, “Tidaklah Al Hafizh Al Maqdisi ditanya tentang sebuah hadis melainkan pasti beliau menyebutkannya lalu menjelaskan keshahihan dan kelemahan hadis tersebut. Tidaklah beliau ditanya tentang seseorang melainkan pasti menjawab bahwa dia adalah Fulan bin Fulan Al Fulani (beliau menjelaskan nasabnya).”

Dikisahkan ada seorang lelaki datang menemui Al Hafizh Abdul Ghani Al Maqdisi lantas mengatakan dan bersumpah akan menceraikan istrinya jika beliau hafal seratus ribu hadis. Maka beliau mengatakan, “Seandainya dia mengatakan bahwa aku hafal lebih dari itu niscaya ucapannya benar.” At Taj Al Kindi berkata, “Tidak ada setelah Daruquthni seorang ulama seperti Al Hafizh Abdul Ghani.” Dalam kesempatan lain ia berkata, “Al-Hafizh (Abdul Ghani) tidak ada orang yang semisal dengannya.

AKTIVITAS BELIAU SEHARI-HARI


Dikisahkan dalam biografinya bahwa Al Hafizh Abdul Ghani Al Maqdisi tidak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang tidak berfaedah. Karena beliau senantiasa mengerjakan salat, mentalkin Al Qur’an, terkadang pula beliau membacakan hadis secara talkin. Ibadah puasa juga tidak ketinggalan beliau laksanakan secara kontinyu. Demikian halnya di malam hari beliau menghabiskan sebagian besar waktu untuk mengajar, berdakwah, atau salat malam.

TULISAN-TULISANNYA


Karya tulis beliau cukup banyak dan bisa dirasakan manfaatnya oleh kaum muslimin hingga saat ini. Salah satu karya tulis beliau yang fenomenal dan begitu populer di tengah kaum muslimin adalah Umdatul Ahkam. Tercatat dalam sejarah bahwa tulisan ilmiah beliau lebih dari empat puluh kitab. Semua karya tulis tersebut meliputi berbagai bidang ilmu seperti hadis, fikih, nasihat, akhlak, sirah, dan yang lainnya. Di antara karya beliau adalah sebagai berikut: Al Misbah fi ‘Uyunil Ahadits Ash Shihah, Al Atsar Al Mardhiyyah fi Fadhailil Khairil Bariyyah, Al Jami’us Shaghir Li Ahkamil Basyir wa Nadzir, As Shifat, Al Arba’in min Kalami Rabbil ‘Alamin, Tuhfatut Thalibin fil Jihad wal Mujahidin, Mihnatul Imam Ahmad, Umdatul Ahkam, Al Kamal fi Asmair Rijal, dan lainnya. Kitab yang terakhir ini berisi tentang nama-nama perawi hadis dalam Kutubus Sittah yaitu Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At Tirmidzi, An Nasai, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.

AKHIR HAYATNYA


Sepanjang hidupnya beliau tersibukkan dengan mencari ilmu, mendengarkan hadis, membuat karya tulis, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, melakukan berbagai ibadah, berpuasa, salat tahajud, berdakwah, menyebarkan ilmu hingga akhir hayatnya. Beliau meninggal pada hari Senin tanggal 23 Rabiul Awwal tahun 600 H. Putra beliau Abu Musa menuturkan, “Ayahku sakit parah pada bulan Rabiul Awwal sehingga sulit untuk berbicara dan berdiri. Kondisi ini berlangsung selama enam bulan dan saat itu aku sering menunggu serta menemani beliau. Saat itu aku selalu bertanya kepada ayahanda, “Apa yang anda inginkan?” Namun beliau hanya menjawab, “Aku ingin surga, aku ingin rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.”

Sebagaimana biasanya, aku datang menemui beliau pada hari Senin. Kebiasaanku adalah meminta supaya ada yang datang dengan membawa air panas dari kamar mandi untuk beliau. Air tersebut digunakan untuk mencuci kuku jari jemari beliau. Tatkala seseorang datang dengan membawa air tersebut sebagaimana biasanya, ayahku pun membentangkan kedua tangannya. Aku tahu bahwa ayahku ingin berwudhu. Lantas beliau berwudhu saat waktu fajar telah tiba. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, “Wahai Abdullah, berdirilah lalu salatlah bersama kami dan ringankan salatnya.” Aku pun bangkit dan salat bersama jamaah sedangkan beliau salat sambil duduk bersama kami. Tatkala orang-orang selesai dari salat Subuh, kami pun berbincang-bincang sebentar. Aku bertanya kepada beliau, “Tidakkah engkau ridha kepadaku.” Beliau menjawab, “Bahkan demi Allah aku ridha kepadamu dan saudara-saudaramu.”

Selang beberapa waktu, akhirnya beliau pun wafat pada hari Senin tanggal tiga belas Rabiul Awwal tahun 600 H. Kemudian beliau dimakamkan pada keesokan harinya pada hari Selasa di Qarafah bersebelahan dengan makam Syaikh Abu Amr bin Marzuq. Di situ pulalah dimakamkan sekian ulama, penguasa, dan yang lainnya. Saat itu kaum muslimin berduka karena kehilangan seorang ulama besar di masanya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas segala jasa dan kebaikan beliau terhadap Islam serta kaum muslimin. Aamiin Ya Mujibas Sailin.

Sumber: Majalah Qudwah edisi 34 vol. 3 1437 H/ 2015 M, rubrik Biografi. Pemateri: Ustadz Abu Hafiy Abdullah.