Musuh itu masuk ke rumah-rumah korbannya dengan mudah. Bahkan ada sebagian tuan rumah yang mempersilahkan atau justru mengundangnya. Tanpa halangan, sang musuh beraksi, pelan namun pasti. Satu per satu korban pun berjatuhan. Setelah memakan banyak korban, masih saja ia mendapatkan tempat di rumah korbannya. Hingga ia pun bisa terus menjalankan misinya.
Pembaca, musuh itu adalah game. Baik game dalam komputer PC, tablet, Play Station, atau smartphone dengan beraneka jenisnya. Sudah tak terhitung anak-anak kaun muslimin yang menjadi korban, kecanduan dengan game.
Awalnya mungkin orang tua ingin memberikan hiburan bagi anak. Agar si anak bisa santai dan rileks dari padatnya kegiatan di sekolah. Ada pula yang menjadikan game sebagai pengalihan anaknya dari salah pergaulan kurang bagus di luar rumah. Nongkrong di warnet juga sangat rawan dengan berbagai dampak negatif internet. Karenanya, sebagian orang tua berinisiatif memasukkan perangkat game ke dalam rumah. Tipe orang tua yang tidak mau capek, berpandangan biar saja anak main game daripada merepotkan. Sebagian lagi mendidik anak dengan game, agar anaknya tidak gaptek dan kuper. Menurutnya, jago bermain game dengan tingkat kesulitan yang tinggi menunjukkan kecerdasan anak. Ada juga tipe orang tua yang beralasan daripada anak kenal game dari temannya sehingga tidak terkontrol, lebih baik dipilihkan game-game tertentu. Katanya, toh nanti kalau bosan anak akan meninggalkan game dengan sendirinya. Laa ilaha illallah! Berspekulasi risiko tingkat tinggi terhadap masa depan buah hati.
Padahal, mayoritas game dapat membuat seseorang kecanduan, layaknya narkotika dan judi. Awalnya mungkin sekadar hiburan pengusir penat dan bosan dari aktivitas harian yang padat dan meletihkan. Namun, dapat berkembang menjadi arena kompetisi dan persaingan. Perasaan senang dan puas yang muncul setelah menaklukkan tantangan membuat pemain game ingin terus mengulang. Menang dalam satu level, mendorong untuk naik ke level atasnya, pada tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Hingga akhirnya lupa waktu dan tempat karena terus konsentrasi pada permainannya. Pada tingkat kecanduan yang parah akan menyebabkan menyia-nyiakan kewajiban dan tugasnya, bahkan terhadap kebutuhan pokok pribadinya.
Dampak negatif game sangat banyak. Sebagian kecil yang akan kita sebutkan ini bisa dikelompokkan menjadi tiga; Madharat dari sisi agama, aspek psikologis, dan kesehatan badan.
Madharat dari sisi agama kurang lebih sebagaimana yang disebutkan dalam Telaah
Termasuk perkara sia-sia, membuang waktu, mubazir, judi, pada yang parah akan sampai melupakan kewajiban agama seperti salat. Game akan menghalangi dari ibadah. Belajar, baca Al Quran, dan perkara positif lainnya akan tersisihkan. Bahkan game bisa menjadi sebab konflik antara anggota keluarga. Kakak beradik berantem karena rebutan game adalah biasa. Kalau nilai agama sudah terkesampingkan, riak-riak konflik timbul tenggelam, di mana kedamaian keluarga? Nampaknya perlu didudukkan kembali makna permainan bagi anak. Bermain bagi anak tujuannya adalah menciptakan suasana positif, gembira, ceria, kolektivitas bersama teman-temannya, sehingga ada unsur pembelajaran kerja sama, memahami orang lain, dan seterusnya. Itu semua nihil dalam permainan game. Bahkan sebaliknya, muncul berbagai dampak negatif yang tidak remeh.
Pada kenyataannyapun permainan game itu tidaklah murah. Game online membutuhkan biaya rental komputer di warnet. Harus membeli gold, poin, voucher, karakter, atau apa saja namanya. Di rumah pun harus menyiapkan fasilitas koneksi internet, atau perangkat komputer dengan spesifikasi tertentu untuk menunjang permainan. Pada game offline minimalnya butuh alat elektronik, gadget, atau semacamnya. Seandainya berlebihan mengeluarkan uang hanya untuk game saja, maka terjatuh dalam perkara sia-sia bahkan bisa jadi dosa. Karena ini adalah pemborosan. Tinjauan sisi keagamaan tentang game sangatlah luas, bukan hanya sebatas yang disebutkan ini saja.
Adapun aspek psikologis, seorang anak yang maniak game akan kesulitan bergaul dengan orang lain. Pemain game bahkan hampir tidak butuh dengan orang lain atau orang di sekitarnya, kecuali ada masalah dengan permainannya. Akhirnya jiwa sosialnya akan tumpul, tidak akan peka. Ia kurang bisa memahami orang lain. Empatinya akan terkikis, sebanding dengan terpicunya sikap agresivitas. Terutama apabila bermain game jenis kekerasan atau peperangan.
Para maniak game seringnya emosional dan mudah marah. Gampang berucap kasar dan kotor, apalagi ketika gagal mengalahkan lawan di layar monitor, atau game berhenti mendadak di saat permainan. Dari sudut pandang psikologi, sering emosional dan mudah marah tidak baik bagi perkembangan seorang anak.
Mudarat yang lain, pecandu game akan susah mengendalikan diri. Ia akan mendapati kesenangan dalam permainan, dan kehilangan rasa itu saat berhenti. Sehingga ia akan selalu ingin lebih lama bermain. Makanya tidak heran ketika mendengar ada pecandu game yang asyik bermain game seharian tanpa henti, bahkan lewat satu hari, berhari-hari di depan layar monitor. Ya, ia telah asyik dengan alamnya sendiri. Kenapa seperti itu? Di dunia game, orang yang bukan siapa-siapa bisa menjadi siapa-siapa. Misalnya seorang anak yang biasa saja, atau bahkan di lingkungannya bermasalah, prestasi di sekolah jelek, ia bisa memainkan peran sebagai penolong kebaikan, seorang jagoan yang dihargai. Bahkan ia bisa menjadi raja yang memiliki kekayaan dan kekuasaan, dituruti perintahnya. Ia akan senang dan menikmati penghargaan dan penerimaan itu, padahal hal itu sangat bertolak belakang dengan alam nyata. Bahaya game dari aspek psikologis ini belum mencakup semuanya.
Sementara sisi negatif ditinjau dari kesehatan badan pun sangat banyak. Tentu ini juga tergantung dari tingkat kecanduan terhadap game itu sendiri. Semua penyakit itu secara sebab bermula dari seringnya mengabaikan istirahat dan kebutuhan pribadi. Pola makan dan tidur menjadi tidak teratur. Sehingga akan bermasalah pada sistem pencernaan. Permainan ini juga sangat minim aktivitas fisik. Padahal, jika otot terlalu lama tidak melakukan aktivitas fisik akan berakibat berkurangnya metabolisme tubuh. Kemampuan motorik anak pun akan terganggu. Risikonya, anak sangat rawan terserang obesitas dan pertumbuhan tinggi badan yang tidak maksimal. Dalam masa yang panjang juga akan berakibat massa otot menurun, sakit pinggang, menurunnya sistem imunitas sehingga gampang terkena penyakit.
Mata yang dipaksa menatap satu obyek secara konstan akan cepat lelah. Apalagi digunakan secara intens dalam waktu cukup lama. Biasanya, para maniak game di samping menatap monitor terus menerus, mata juga sering lupa berkedip. Ini pun akan menambah lelah mata. Tidak hanya mata, otak juga akan terpengaruhi. Permainan yang terus menerus dilakukan menjadi pengalaman baru, seperti proses belajar dan mengingat. Pengalaman baru yang menyenangkan akan dapat memberi motivasi bagi otak untuk terus melakukannya. Akhirnya menimbulkan perubahan pada struktur dendrit sel-sel otak. Perubahan tersebut mengakibatkan masalah pada anak dalam mengontrol perilaku sehari-hari. Perubahan struktur otak akibat kecanduan game bisa dilihat melalui pemeriksaan MRI (Magnetic Resonansi Imaging). Allahu a’lam.
Dari sebagian dampak negatif ini mungkin cukup bagi kita untuk berfikir seribu kali untuk memberikan kesempatan dan fasilitas game pada anak. Semua orang tua tentu tidak mau anaknya nakal, tidak berbakti, sering membuat masalah, kurang menjaga batasan agama. Padahal game akan membentuk anak bertabiat seperti itu. Sehingga tidak ada jalan lain kecuali menjauhkan anak dari game dengan segala bentuknya.
Pembaca, anak adalah amanah. Dibutuhkan perjuangan, pengorbanan, dan kesabaran dalam mendidiknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَـٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [Q.S. At Tahrim: 6]. Menjaga diri dan keluarga dari api neraka ditafsirkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Ajarkan adab kepada mereka. Ajarkan ilmu Islam kepada mereka.” Adapun Mujahid rahimahullah mengatakan, “Bertakwalah kalian kepada Allah, wasiatkanlah ketakwaan kepada keluarga kalian.” Sementara Qatadah rahimahullah menerangkan, “Memerintahkan anggota keluarga untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah, sekaligus melarang mereka dari berbagai maksiat kepada-Nya. Menegakkan agama Allah atas mereka, membimbing dan membantu mereka untuk mewujudkan hal itu. Apabila melihat kemaksiatan pada mereka, cegah dan hentikan mereka darinya.” Dinukilkan secara makna dari kitab Tafsir Ibnu Katsir.
Demikianlah kewajiban besar orang tua terhadap anak mereka. Tolong orang yang beralasan macam-macam untuk memberikan kesempatan kepada anaknya bermain game untuk menjawab pertanyaan ini; ‘Apakah ia sebagai orang tua telah memenuhi kewajiban dalam ayat di atas?’ Mohon dijawab dengan jujur!
Mengalihkan anak dari perkara negatif harus kepada perkara yang positif. Bukan lari dari mulut harimau namun masuk mulut buaya. Itu bukan solusi. Kalau seperti itu, hakikatnya menghindari suatu masalah menuju masalah baru. Diskusikan dengan orang yang memiliki kapasitas ilmu agama. Sehingga jalan keluar tersebut bisa dipastikan menjadi solusi tepat manfaat.
Alasan bahwa dikhawatirkan anak akan mengenal game kurang bagus dari orang lain sehingga sengaja dipilihkan, ini pun tidak benar. Karena, sekali lagi, game apapun akan membuat ketagihan. Itu secara keumuman. Sangat jarang, kalau tidak dikatakan tidak ada, seorang anak bosan dari game kemudian tidak main game sama sekali. Yang ada adalah bosan dari satu game beralih kepada game yang lain. Sehingga menempuh keputusan ini sangat berisiko besar. Apalagi setelah merenungi penjelasan para ulama di atas tentang tanggung jawab besar kepala keluarga.
Pembaca, masa depan anak terlalu berharga untuk dipertaruhkan. Sementara, ketakwaan itu tidak akan muncul dengan sendirinya. Harus ada usaha yang jujur, kerja nyata maupun doa. Tidak boleh coba-coba dalam mendidik dan mengarahkan anak. Apalagi main-main. Berbagai dampak negatif game yang disinggung di atas kiranya cukup sebagai gambaran bagi kita tentang bahaya game. Kita pun mungkin pernah mendengar, melihat, dan menyaksikan orang yang kecanduan game. Bagaimana hidup mereka tidak teratur dan terarah. Semoga hal itu bisa menjadi pelajaran bagi kita, untuk berusaha jauh dari game. Kita dan orang-orang terdekat kita. Allahu a’lam. [Ustadz Farhan]
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 51 vol. 05 1436 H/2015 M, rubrik Telaah.