Mengapa harus putus asa? Sebab, putus asa bukan sebuah pilihan. Bukan pilihan pertama, kedua, ketiga, bahkan menjadi pilihan terakhir pun tidak. Jangan sampai, setelah berusaha sekuat tenaga, kemudian tidak mendapatkan apa-apa, akhirnya putus asa. Ujung-ujungnya kecewa. Jangan! Itu bukan sikap dan watak seorang muslim. Bukan karakter seorang mukmin. Seorang mukmin itu selalu optimis. Optimis yang realistis. Setelah berusaha sekuat tenaga, ia serahkan hasilnya kepada Yang Maha Kuasa. Apapun hasilnya, ia yakin itulah yang terbaik baginya.
Keyakinan bahwa segala sesuatu yang Allah subhanahu wa ta’ala tentukan adalah yang terbaik, walaupun terlihat pahit, merupakan pilar keimanan terhadap takdir. Hal tersebut adalah rukun kelima dari enam rukun iman. Dengan demikian, dia selalu berbaik sangka kepada Allah dalam setiap takdir yang ditentukan untuknya. Ia percaya bahwa setiap takdir memiliki hikmah indah di baliknya. Kadang, hikmah tersebut diketahui, kadang pula tidak diketahui.
***
Sementara itu, uban rambut telah merata. Warna hitam tidak lagi seberapa, bisa dibilang tidak ada. Putihnya uban itu bagaikan cahaya yang menyala di atas kepala. Walaupun di kegelapan malam, warna itu tetap kentara. Gelapnya tabir malam tak mampu menutupi. Ia masih terlihat putih, seputih salju kutub utara. Inilah gambaran Nabi Zakariya ‘alaihis salam pada usia tua. Umur 77 tahun bisa dibilang senja. Badan tidak lagi seperti saat muda. Namun begitu, semangat ibadah dan bermunajat tetap membara.
Lihat saja! Di malam itu, saat kebanyakan orang lelap dalam mimpi, Nabi Zakariya ‘alaihis salam berdiri menyendiri. Nabi Zakariya hanyut dalam lautan ibadah suci, menyelami bahtera ubudiyah ilahi. Rentanya badan tidak menghalangi. Fisik lemah tidak menjadi berarti. Di malam tersebut, dan juga malam-malam yang lain, Nabi Zakariya terus beribadah dan berdoa. Karena di usia tua, ia belum dikaruniai putra. Ia tua, ditambah istrinya mandul juga. Berdoa tanpa henti dan tidak kenal menyerah. Memangnya kenapa harus putus asa? Ingat, putus asa itu bukan pilihan.
Sebagai manusia, nestapa memang datang mengusik kehidupannya. Itu biasa. Bahkan, nestapa itu akan semakin besar seiring besarnya keimanan dalam dada. Yang terpenting adalah terus berdoa dan berusaha. Buang jauh rasa kecewa. Hilangkan putus asa dalam mengulang doa. Sadarlah, ketika Allah subhanahu wa ta’ala menunda ijabah doa, Allah jugalah yang menjamin ijabah itu sesuai hikmah-Nya. Yakinlah doa itu pasti diijabahi kelak pada waktu yang tepat.
Ketika Anda berdoa, yakinilah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Tidaklah seorang muslim berdoa kepada Allah, melainkan ia akan mendapatkan salah satu dari tiga kemungkinan. Pertama, doanya akan dikabulkan ketika di dunia. Kedua, ijabah doa tersebut akan disimpan sebagai kebaikan ketika di akhirat. Ketiga, Allah akan mengganti pengabulan doa tersebut dengan dijaga dari kejelekan yang setimpal dengan isi doa itu.” [H.R. Ahmad dari sahabat Abu Said Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib]
***
Pembaca, kisah kita kali ini tentang Nabi Zakariya. Kisah tersebut banyak diceritakan dalam Al Quran. Bahkan, dalam Al Quran nama Zakariya disebut tiga belas kali. Nama lengkapnya Zakaria bin Dan bin Muslim dari keturunan Rahbam bin Sulaiman. Sejak beistri Hanna, saudari dari ibu Maryam, Nabi Zakariya ‘alaihis salam begitu mendambakan putra yang kelak akan menjadi pewaris dakwah.
Kisah ini bermula dari keluarga Imran. Sebuah keluarga yang dipilih oleh Allah. Keluarga tersebut belum dikaruniai putra. Istri Imran adalah seorang wanita mandul yang tidak bisa hamil. Pada suatu hari, ia melihat seekor induk burung memberi makan anaknya. Dengan paruhnya, induk burung tersebut begitu telaten memasukkan makanan ke mulut anaknya yang masih kecil.
Melihat pemandangan tersebut, istri Imran takjub. Ia berharap suatu hari nanti Allah memberikan putra untuk dirinya. Ia pun selalu berdoa kepada Allah. Tak henti-hentinya ia panjatkan permintaannya. Begitu mengandung, wanita salehah itu menazarkan anak yang ada dalam kandungannya. Kata istri Imran, “Rabbi, kepada-Mu aku menazarkan anak yang ada dalam kandunganku. Agar ia menjadi hamba saleh dan berkhidmat di Baitul Maqdis.”
***
Wanita salehah itu menginginkan anak laki-laki. Berharap, kelak anak laki-laki tersebut selalu beribadah kepada Allah. “Terimalah nazarku ini! Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” kata istri Imran melengkapi nazarnya. Namun, ketika melahirkan, bayi tersebut tidak seperti yang diharapkan. Ternyata, jenis kelamin bayi mungil itu wanita.
Tentunya, anak laki-laki tidak sama dengan wanita. Secara umum, laki-laki lebih kuat daripada wanita. Secara kecerdasan dan ibadah, laki-laki juga lebih diharapkan dari wanita. Sebab, wanita itu kurang akal lagi kurang agama, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun begitu, istri Imran tidak kecewa. Ia yakin apa yang Allah pilihkan adalah yang terbaik. Allah subhanahu wa ta’ala lebih tahu semua rahasia di balik setiap peristiwa.
Nama Maryam dipilih untuk si bayi wanita. Sayang, Imran meninggal sebelum bayi itu lahir. Anak itu melihat dunia tanpa menyaksikan kehadiran sang ayah. Bayi itu telah menjadi yatim. Tentunya, di balik ini ada hikmah besar yang Allah persiapkan. Akhirnya, pengasuhan Maryam kecil diserahkan kepada Nabi Zakariya ‘alaihis salam. Dalam riwayat lain, sebab pengasuhan diserahkan kepada Zakariya adalah karena saat itu musim paceklik.
***
Rupa-rupanya Allah menerima nazar ibu Maryam. Gadis yang mulai tumbuh remaja itu menjadi wanita salehah lagi rajin beribadah. Itulah rahasia kenapa Allah memilih Zakariya sebagai pengasuh Maryam kecil. Sebab, dari Nabi Zakariya anak yatim itu belajar ilmu agama. Darinya pula Maryam terdidik untuk mengabdikan diri kepada Allah. Maka dari itu, pilihkanlah pengasuh terbaik untuk putra-putri Anda. Jangan yang lain! Sebab, dialah yang akan mewarnai kehidupan mereka.
Dengan sabar, Zakariya ‘alaihis salam mengasuh Maryam. Ia menjaga keponakannya layaknya menjaga putrinya sendiri. Zakariya sendiri belum diberi keturunan. Musim paceklik tidak menjadikan nabi pilihan ini mengeluh. Ia tetap bersabar dengan segala kekurangannya. Nabi Zakariya bekerja sebagai tukang kayu. Ia bekerja dengan tangannya dan makan dari hasil jerih payahnya. Keturunan Nabi Sulaiman ini tidak mengharapkan pemberian orang.
***
Sesuai dengan nazar sang ibu, Maryam akhirnya diserahkan ke Baitul Maqdis. Di sana ia mengabdi kepada Allah. Zakariya menempatkannya di sebuah kamar khusus. Gadis remaja itu menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah. Lisannya selalu basah dengan zikir, mulai dari tasbih, tahmid, takbir maupun tahlil. Setiap hari, Zakariya mengunjunginya, memastikan keselamatan dan kesehatannya. Di dalam mihrab itu ia menemukan karamah yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang saleh.
Setiap kali Zakariya ‘alaihis salam masuk ke mihrab, seperti biasa Maryam sedang tenggelam dalam ibadah, hanyut dalam ubudiyah. Ajaibnya, berbagai aneka buah-buahan lezat musim panas ada di hadapan Maryam. Padahal, saat itu adalah musim dingin. Sebaliknya, ketika di musim panas, aneka buah-buahan nikmat musim dingin juga tersedia. Melihat kejadian ini Zakariya merasa heran. Dari manakah asal buah-buahan tersebut? Bukankah tidak ada orang lain yang boleh masuk ke mihrab Maryam?
Zakariya lalu bertanya kepada Maryam, “Wahai Maryam, dari manakah datangnya buah-buahan itu?” Dengan lembut dan penuh sopan-santun, Maryam menjawab, “Makanan ini dari Allah. Setiap pagi dan sore, Allah mengirimnya untukku, tanpa diminta. Janganlah Anda terperanjat, bukankah Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki?” Zakariya terdiam dan semakin sayang kepada gadis kecil itu. Dalam hatinya tertanam keyakinan kuat bahwa suatu hari gadis tersebut akan menjadi seseorang yang luar biasa.
Jawaban Maryam, “Mengapa paman merasa heran dan takjub? Bukankah Allah berkuasa memberikan rezekinya kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan?” begitu melekat pada Zakariya. Jawaban tersebut seakan memberikan kekuatan batin kepadanya. Darinya pula ia semakin yakin bahwa Allah selalu mendengar doa hamba-Nya. Memberi buah-buahan dari lain musim saja bisa, kenapa yang lain tidak? Sekali lagi, karamah yang ada pada diri Maryam mendorong Zakariya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
***
Melihat tanda kebesaran Allah pada diri Maryam, semakin besarlah kepercayaan Nabi Zakaria ‘alaihis salam untuk memperoleh keturunan. Karena itu, dengan sabar ia tidak henti-hentinya memanjatkan doa. Zakaria lalu menengadahkan kedua tangannya, berdoa dengan segenap jiwa raga, “Ya Allah! Jangan Engkau biarkan aku seorang diri lagi sebatang kara. Sungguh, Engkau sebaik-baik pemberi keturunan. Rabbi, telah lemah tulang belulangku dan telah penuh uban di kepalaku! Aku cemas terhadap keluarga yang akan kutinggalkan. Beri jualah kepadaku karunia-Mu seorang yang akan menjadi penggantiku!”
Bagi Zakariya ‘alaihis salam hidup terus berputar. Di dunia, semuanya serba sementara. Ada kalanya bahagia, ada waktunya menderita. Ada saatnya susah, akan datang masanya gelisah. Yang pasti, tidak ada kesedihan yang bertahan selamanya. Saat kepedihan dirasa, beberapa saat kemudian kebahagiaan pasti tiba. Usai sudah masa-masa penantian Nabi Zakariya. Kini usianya 90-an tahun. Saatnya Allah memperkenankan doanya. Di tengah keheningan malam, di dalam mihrab, saat syahdu dalam doa, Jibril memanggil Zakariya.
Seruan Jibril ‘alaihis salam memecah sunyi, sekaligus memecah kemustahilan dalam hitungan manusia. Dengan kuasa Allah, pencipta alam semesta, segalanya bisa. Saat ilmu kedokteran berteori bahwa kondisi Zakariya dan istrinya tak mungkin berputra, di waktu yang sama kuasa Allah memberi fakta. Istri Nabi Zakariya mengandung. Lalu, lahirlah Yahya. Sebuah nama dari Allah, dari atas langit sana. Kelak, bayi luar biasa ini akan menjadi nabi yang luar biasa pula.[1]
***
Itulah mukjizat Nabi Zakariya ‘alaihis salam. Kepadanya, mari kita berkaca! Hitunglah kesabaran Zakariya dalam menanti putra. Bandingkan rentang waktu itu dengan waktu penantian kita. Ternyata, terlalu sedikit masa penantian kita dibandingkan penantian Zakariya. Artinya, terlalu kecil kesabaran kita dibanding kesabaran ayahanda Yahya ‘alaihis salam. Sabar dalam menanti doa! Tidak tergesa-gesa dalam meminta! Apapun isi doa tersebut! Entah meminta putra, ataukah meminta selainnya. Seharusnya kita malu terhadap Nabi Zakariya.
***
Yahya semakin tumbuh dewasa. Keduanya berdakwah di tengah-tengah kaumnya. Berdakwah di hadapan Bani Israil yang berlaku kejam kepada para nabi mereka. Orang-orang Yahudi begitu keras permusuhannya terhadap para nabi. Penolakan dakwah, sikap keras, penyiksaan hingga pembunuhan adalah hal biasa. Nasib yang tidak jauh berbeda juga dialami Zakariya dan Yahya. Singkat kata, Nabi Yahya ‘alaihis salam akhirnya dibunuh oleh Bani Israil, kaum yang durhaka.
Kematian Yahya membuat Nabi Zakariya sangat bersedih hati. Bersedih yang sewajarnya. Kesedihan manusiawi, layaknya seorang ayah kehilangan putranya. Bukan kesedihan yang keluar dari bingkai rida ilahi. Tidak ada yang bisa dilakukan Zakariya ‘alaihis salam selain berdoa kepada Allah. Selain menyerahkan segala urusan kepada pengaturnya. Tak lama kemudian Zakariya mendengar tentara Herodes juga akan membunuhnya. Dengan sisa-sisa tenaga, Zakariya melarikan diri. Usia lanjut menyebabkan dia tidak bisa berlari jauh.
Di sebuah pohon besar, Zakariya ‘alaihis salam bersembunyi. Pohon besar tersebut terletak di sebuah kebun dekat Kota Yerusalem. Konon, saat masuk ke dalam kebun, pohon besar tersebut membuka batangnya dan mempersilakan Zakariya masuk ke dalamnya. Tentara Herodes mengepung rapat kebun tersebut. Mereka mencari-cari pohon yang digunakan Zakariya untuk bersembunyi. Setelah lama mencari, Zakariya tidak ditemukan.
***
Tentara Herodes kembali dengan tangan hampa. “Zakariya hilang di kebun dekat Yerusalem,” lapor tentang kepada Raja. Raja Herodes segera memanggil para pendeta Yahudi. Ia menyampaikan kejadian tersebut. Untuk mencari persembunyian Zakariya, para pendeta Yahudi meminta tolong iblis melalui ritual khusus. Melalui berita dari iblis inilah, tentara Herodes mengetahui keberadaan Zakariya. “Ia bersembunyi di pohon yang paling besar,” ungkap Iblis.
Para tentara segera kembali ke kebun. Pohon yang paling besar segera dituju. Lalu, sebuah gergaji diangkat ke arah pohon itu. Mereka membelahnya menjadi bagian-bagian kecil. Gergaji itu mengenai tubuh Zakariya ‘alaihis salam. Ayah Nabi Yahya pun menemui ajal dengan kondisi yang amat mengenaskan. Kisah Israiliyat terbunuhnya Nabi Zakariya ini begitu terkenal, namun wallahu a’lam kebenarannya. Ada pula yang menyatakan bahwa orang yang terbelah di dalam pohon itu adalah Sya’ya. Adapun Nabi Zakariya meninggal secara wajar. Wallahu a’lam.
***
Sebagai penutup, kita yakin, Allah Mahakuasa untuk menolong para nabi-Nya. Allah Mahakuasa untuk menyelamatkan para utusan-Nya dari kezaliman kaum mereka. Kita juga percaya Allah subhanahu wa ta’ala mempunyai rahasia dan hikmah dalam setiap peristiwa di dunia ini termasuk kisah akhir hidup kedua nabi tersebut. Sebab, hikmah Allah itu kadang tidak tampak secara kasat mata. Allah lebih mengetahui bagaimana cara menolong hamba-Nya. Kalau tidak di dunia, pertolongan dan kemenangan itu pasti akan didapatkan di akhirat. Lalu, kenapa kita harus putus asa? Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 40 vol.04 2016 rubrik Anbiya’. Pemateri: Al Ustadz Abu Abdillah Al Majdy.
[1] Simak kembali kisah indah rangkaian doa Nabi Zakariya dan perjalanan nabi Yahya dalam Qudwah edisi 25 vol. 3 1436 H/2015 M.