Cari Blog Ini

Syarh Al-Ajurrumiyyah - Pengertian I'rab

بَابُ الۡإِعۡرَابِ

Bab I’rab

الۡإِعۡرَابُ: هُوَ تَغۡيِيرُ أَوَاخِرِ الۡكَلِمِ؛ لِاخۡتِلَافِ الۡعَوَامِلِ الدَّاخِلَةِ عَلَيۡهَا، لَفۡظًا أَوۡ تَقۡدِيرًا.
وَأَقۡسَامُهُ أَرۡبَعَةٌ: (رَفۡعٌ، وَنَصۡبٌ، وَخَفۡضٌ، وَجَزۡمٌ)، فَلِلۡأَسۡمَاءِ مِنۡ ذٰلِكَ: الرَّفۡعُ، وَالنَّصۡبُ، وَالۡخَفۡضُ، وَلَا جَزۡمَ فِيهَا، وَلِلۡأَفۡعَالِ مِنۡ ذٰلِكَ: الرَّفۡعُ، وَالنَّصۡبُ، وَالۡجَزۡمُ، وَلَا خَفۡضَ فِيهَا.
I’rab adalah perubahan akhir kata karena perbedaan ‘amil-‘amil yang masuk kepadanya, baik secara lafal atau taqdir (tidak tampak).
Pembagiannya ada empat, yaitu: rafa’, nashab, khafdh, dan jazm. Dari empat itu, isim memiliki tiga keadaan saja, yaitu: rafa’, nashab, dan khafdh. Tidak ada jazm pada isim. Dari empat itu, fiil memiliki tiga keadaan juga, yaitu: rafa’, nashab, dan jazm. Tidak ada khafdh pada fiil.
الشرح
Syarah
قَوۡلُهُ: (الۡإِعۡرَابُ)؛ أَعۡرَبَ عَنِ الشَّيۡءِ بِمَعۡنَى: أَفۡصَحَ عَنۡهُ، وَتَقُولُ: أَعۡرَبۡتُ عَمَّا فِي نَفۡسِي، أَيۡ: أَفۡصَحۡتُ.
فَالۡإِعۡرَابُ فِي اللُّغَةِ: الۡإِفۡصَاحُ عَنِ الشَّيۡءِ، لٰكِنَّهُ فِي الۡاصۡطِلَاحِ: (تَغۡيِيرُ أَوَاخِرِ الۡكَلِمِ)، فَلَا بُدَّ أَنَّ هُنَاكَ تَغۡيِيرًا، مِنۡ ضَمٍّ، إِلَى نَصۡبٍ، إِلَى خَفۡضٍ، إِلَى سُكُونٍ.
Ucapan mualif, “I’rab”; Meng-i’rab sesuatu semakna dengan mengungkapkannya. Engkau katakan, “أَعۡرَبۡتُ عَمَّا فِي نَفۡسِي” artinya aku mengungkapkan apa yang ada di dalam jiwaku.
Jadi i’rab secara bahasa adalah mengungkapkan sesuatu. Akan tetapi secara istilah, i’rab adalah perubahan akhir kata. Sehingga i’rab itu mesti ada perubahan di sana, dari damah menjadi nashab, menjadi khafdh, menjadi sukun. 
وَقَوۡلُهُ: (أَوَاخِرِ الۡكَلِمِ)؛ (أَوَاخِرُ) جَمۡعُ آخِرٍ، فَالۡإِعۡرَابُ إِذَنۡ يَتَعَلَّقُ بِأَوَاخِرِ الۡكَلِمِ، لَا بِأَوَّلِهَا، وَلَا بِأَوۡسَطِهَا، فَالۡكَلِمَاتُ لَهَا حَرَكَاتٌ فِي أَوَّلِهَا، وَوَسَطِهَا، وَآخِرِهَا، لٰكِنَّ الَّذِي يَخۡتَصُّ بِهِ الۡإِعۡرَابُ هُوَ آخِرُ الۡكَلِمَةِ، أَمَّا أَوَّلُهَا وَأَوۡسَطُهَا فَهَٰذَا لِأَهۡلِ الصَّرۡفِ، لَا لِأَهۡلِ النَّحۡوِ.
فَمَثَلًا (نَصۡرٌ) فَتۡحُ (النُّونِ) نَعۡرِفُهُ مِنَ الصَّرۡفِ، وَسُكُونُ (الصَّادِ) نَعۡرِفُهُ مِنَ الصَّرۡفِ، وَتَحۡرِيكُ (الرَّاءِ) هَٰذَا مِنَ النَّحۡوِ، وَهُوَ الَّذِي يَتَغَيَّرُ، أَمَّا أَوَّلُ الۡكَلِمَةِ وَوَسَطُهَا؛ فَهُوَ عَلَى مَا هُوَ عَلَيۡهِ لَا يَتَغَيَّرُ، وَلِهَٰذَا تَقُولُ: (نَصۡرًا، وَنَصۡرٌ، وَنَصۡرٍ)، فَالَّذِي يَتَغَيَّرُ عِنۡدَ النُّحَاةِ هُوَ أَوَاخِرُ الۡكَلِمَاتِ، أَمَّا التَّغۡيِيرُ فِي أَوَائِلِ الۡكَلِمَاتِ وَأَوَاسِطِهَا؛ فَمَكَانُهُ عِلۡمُ الصَّرۡفِ.
Ucapan mualif, “akhir kata.” أَوَاخِرُ adalah jamak dari آخِر. Jadi i’rab berkaitan dengan akhir-akhir kata. Bukan dengan awal kata, bukan pula dengan tengah kata. Kata memiliki harakat di awal, di tengah, dan di akhirnya. Akan tetapi, yang dikhususkan dengan i’rab adalah (harakat) akhir kata. Adapun awal dan tengah kata, maka ini adalah bagian untuk ahli ilmu saraf bukan bagian untuk ahli ilmu nahu.
Contoh, “نَصۡرٌ.” Fatahnya nun kita ketahui dari ilmu saraf. Sukunnya huruf sad juga kita ketahui dari ilmu saraf. Adapun pemberian harakat untuk huruf ra ini adalah bagian ilmu nahu dan huruf inilah yang berubah. Adapun awal dan tengah kata, maka akan tetap selalu demikian, tidak berubah. Sehingga kita katakan, “نَصۡرًا, نَصۡرٌ, dan نَصۡرٍ.” Yang berubah menurut ahli ilmu nahu adalah akhir kata. Adapun perubahan awal dan tengah kata, maka tempatnya adalah ilmu saraf.
قَالَ: (لِاخۡتِلَافِ الۡعَوَامِلِ الدَّاخِلَةِ عَلَيۡهَا) الۡجَارُّ وَالۡمَجۡرُورُ مُتَعَلِّقٌ بِالتَّغۡيِيرِ، يَعۡنِي: تَتَغَيَّرُ بِاخۡتِلَافِ الۡعَوَامِلِ؛ لِأَنَّ تَغۡيِيرَ أَوَاخِرِ الۡكَلِمِ قَدۡ لَا يَكُونُ لِاخۡتِلَافِ الۡعَوَامِلِ، قَدۡ يَكُونُ لِاخۡتِلَافِ لُغَاتِ الۡعَرَبِ، مَثَلًا: (حَيۡثُ)، بَعۡضُ الۡعَرَبِ يَقُولُ: (حَيۡثُ)، وَبَعۡضُ الۡعَرَبِ يَقُولُ: (حَيۡثِ)، وَبَعۡضُ الۡعَرَبِ يَقُولُ: (حَيۡثَ)، وَبَعۡضُ الۡعَرَبِ يَقُولُ: (حَوۡثُ)، فَالۡاخۡتِلَافُ هُنَا لِاخۡتِلَافِ اللُّغَاتِ، فَالۡعِبۡرَةُ بِاخۡتِلَافِ أَوَاخِرِ الۡكَلِمِ مِنۡ أَجۡلِ اخۡتِلَافِ الۡعَوَامِلِ.
Mualif berkata, “karena perbedaan ‘amil-‘amil (faktor-faktor) yang masuk padanya.” Jarr dan majrur dalam potongan kalimat ini berkaitan dengan perubahan. Yakni, berubah dengan perbedaan ‘amil-‘amil karena perubahan akhir kata kadang bisa karena perbedaan faktor-faktor dan kadang bisa karena perbedaan pengucapan orang Arab. Contoh, “حَيۡثُ.” Sebagian orang Arab berkata, “حَيۡثُ,” sebagian yang lain berkata, “حَيۡثِ,” sebagian yang lain berkata, “حَيۡثَ,” dan sebagian yang lain berkata, “حَوۡثُ.” Jadi perbedaan di sini karena perselisihan cara pengucapan. Sehingga yang dijadikan patokan dengan perbedaan akhir kata adalah yang disebabkan perbedaan ‘amil-‘amil.
وَالۡعَوَامِلُ كَلِمَاتٌ تَتَغَيَّرُ يُسَبِّبُ تَغۡيِيرُهَا تَغۡيِيرَ أَوَاخِرِ الۡكَلِمِ، تَقُولُ: (جَاءَ زَيۡدٌ) آخِرُهَا الدَّالُ مَضۡمُومَةٌ، وَتَقُولُ: (رَأَيۡتُ زَيۡدًا) الۡآنَ صَارَتۡ مَفۡتُوحَةً؛ لِأَنَّ الۡعَامِلَ الۡأَوَّلَ غَيۡرُ الۡعَامِلِ الثَّانِي، وَتَقُولُ: (مَرَرۡتُ بِزَيۡدٍ) خَفَضۡنَاهَا لِاخۡتِلَافِ الۡعَوَامِلِ.
إِذَنۡ: الۡأَوَاخِرُ تَخۡتَلِفُ بِاخۡتِلَافِ الۡعَوَامِلِ الدَّاخِلَةِ عَلَى الۡكَلِمَةِ، إِنۡ دَخَلَ عَلَيۡهَا عَامِلُ رَفۡعٍ رَفَعۡنَاهَا، أَوۡ عَامِلُ نَصۡبٍ نَصَبۡنَاهَا، أَوۡ عَامِلُ خَفۡضٍ خَفَضۡنَاهَا.
‘Amil-‘amil adalah kata-kata yang berubah-ubah yang perubahannya menyebabkan perubahan akhir kata. Engkau katakan, “جَاءَ زَيۡدٌ (Zaid telah datang).” Akhir katanya adalah huruf dal yang didamah. Engkau katakan, “رَأَيۡتُ زَيۡدًا (Aku telah melihat Zaid).” Sekarang huruf dal menjadi difatah karena ‘amil pertama berbeda dengan ‘amil kedua. Engkau katakan, “مَرَرۡتُ بِزَيۡدٍ (Aku telah melewati Zaid).” Kita khafdh-kan kata Zaid karena berbeda ‘amil-nya.
Jadi, akhir-akhir kata berbeda-beda dengan perbedaan ‘amil yang masuk pada kata itu. Jika ‘amil rafa’ masuk padanya, maka kita rafa’-kan, atau ‘amil nashab, maka kita nashab-kan, atau ‘amil khafdh, kita khafdh-kan.
وَقَوۡلُهُ: (لَفۡظًا أَوۡ تَقۡدِيرًا)؛ لَفۡظًا مُتَعَلِّقٌ بِالتَّغۡيِيرِ، يَعۡنِي: أَنَّ التَّغۡيِيرَ يَكُونُ أَحۡيَانًا لَفۡظًا، وَأَحۡيَانًا يَكُونُ تَقۡدِيرًا، فَإِنۡ كَانَ الۡحَرۡفُ الۡأَخِيرُ صَحِيحًا فَالتَّغۡيِيرُ لَفۡظِيٌّ، وَإِنۡ كَانَ مُعۡتَلًّا فَالتَّغۡيِيرُ تَقۡدِيرِيٌّ.
Ucapan mualif, “baik secara lafal (tampak) atau taqdir (tidak tampak).” Potongan kata “secara lafal” berkaitan dengan perubahan, yakni: Bahwa perubahan kadang-kadang bisa secara lafal (tampak) dan terkadang bisa secara taqdir (tidak tampak). Jika huruf akhirnya adalah huruf sahih (sehat), maka perubahannya secara lafal. Dan apabila huruf akhirnya adalah huruf ilat (sakit), maka perubahannya secara taqdir (tidak tampak).
وَحُرُوفُ الۡعِلَّةِ ثَلَاثَةٌ: (الۡأَلِفُ، وَالۡوَاوُ، وَالۡيَاءُ)، وَمَا عَدَاهَا فَحُرُوفُ صِحَّةٍ، وَالۡحُرُوفُ الَّتِي يَتَكَوَّنُ مِنۡهَا كَلَامُ الۡعَرَبِ ثَمَانِيَةٌ وَعِشۡرُونَ، مِنۡهَا ثَلَاثَةٌ حُرُوفُ عِلَّةٍ، وَيَتَبَقَّى خَمۡسَةٌ وَعِشۡرُونَ حَرۡفًا كُلُّهَا صَحِيحَةٌ.
إِذَنۡ: خَمۡسَةٌ وَعِشۡرُونَ حَرۡفًا تَتَغَيَّرُ بِاخۡتِلَافِ الۡعَوَامِلِ؛ لِأَنَّهَا حَرۡفٌ صَحِيحٌ، وَثَلَاثَةُ حُرُوفٍ لَا تَتَغَيَّرُ؛ لِأَنَّهَا حُرُوفُ عِلَّةٍ.
Huruf-huruf ilat ada tiga, yaitu huruf alif, wawu, dan ya. Adapun selain itu merupakan huruf sahih. Huruf-huruf yang membentuk ucapan orang Arab ada dua puluh delapan. Di antaranya ada tiga huruf ilat, sementara sisanya dua puluh lima huruf semuanya sahih.
Jadi, dua puluh lima huruf bisa berubah karena perbedaan ‘amil-‘amil karena merupakan huruf sahih dan tiga huruf tidak berubah karena merupakan huruf ilat.
نَقُولُ: (جَاءَ عَلِيٌّ وَعِيسَى) (عَلِيٌّ) مَضۡمُومٌ؛ لِأَنَّ آخِرَهُ حَرۡفٌ صَحِيحٌ، (عِيسَى) غَيۡرُ مَضۡمُومٍ؛ بَلۡ سَاكِنٌ؛ لِأَنَّ الۡأَلِفَ حَرۡفُ عِلَّةٍ.
(رَأَيۡتُ عَلِيًّا وَعِيسَى): (عَلِيًّا) تَغَيَّرَ، وَكَانَ مِنۡ قَبۡلُ مَرۡفُوعًا، وَالۡآنَ هُوَ مَنۡصُوبٌ؛ لِأَنَّ آخِرَهُ حَرۡفٌ صَحِيحٌ، (عِيسَى) لَمۡ يَتَغَيَّرۡ؛ لِأَنَّ آخِرَهُ حَرۡفُ عِلَّةٍ.
(مَرَرۡتُ بِعَلِيٍّ وَعِيسَى): (عَلِيٍّ) تَغَيَّرَ إِلَى الۡخَفۡضِ، (عِيسَى) لَمۡ يَتَغَيَّرۡ إِذَنۡ؛ (عَلِيّ) مُعۡرَبٌ؛ لِأَنَّهُ تَغَيَّرَ آخِرُهُ بِاخۡتِلَافِ الۡعَوَامِلِ، و(عِيسَى) مُعۡرَبٌ؛ لِأَنَّ يَتَغَيَّرُ آخِرُهُ تَقۡدِيرًا؛ وَلِهٰذَا قَالَ الۡمُؤَلِّفُ: (لَفۡظًا أَوۡ تَقۡدِيرًا).
Kita katakan, “جَاءَ عَلِيٌّ وَعِيسَى (‘Ali dan ‘Isa telah datang)” عَلِيٌّ didamah karena huruf akhirnya adalah huruf sahih, عِيسَى tidak didamah, namun disukun karena huruf alif merupakan huruf ilat.
“رَأَيۡتُ عَلِيًّا وَعِيسَى (Aku melihat ‘Ali dan ‘Isa)”: عَلِيًّا berubah, sebelumnya di-rafa’, sekarang di-nashab karena akhir katanya adalah huruf sahih. عِيسَى tidak berubah karena akhir katanya adalah huruf ilat.
“مَرَرۡتُ بِعَلِيٍّ وَعِيسَى (Aku melewati ‘Ali dan ‘Isa)”: عَلِيٍّ berubah menjadi khafdh. عِيسَى tidak berubah. Jadi عَلِي adalah kata yang bisa di-i’rab karena akhir kata tersebut bisa berubah dengan perbedaan ‘amil. Demikian pula عِيسَى adalah kata yang bisa di-i’rab karena akhir kata bisa berubah secara taqdir (tidak tampak). Atas dasar inilah, mualif mengatakan, “baik secara lafal atau taqdir (tidak tampak).”
إِذَنۡ: الۡإِعۡرَابُ تَغۡيِيرُ أَوَاخِرِ الۡكَلِمِ، فَخَرَجَ بِقَوۡلِهِ: (تَغۡيِيرُ) مَا لَا يَتَغَيَّرُ آخِرُهُ، لَا لِعِلَّةٍ، لٰكِنۡ لِبِنَاءٍ، وَخَرَجَ بِهِ أَوَائِلُهَا، وَأَوَاسِطُهَا، فَلَا مَبۡحَثَ فِيهِ فِي عِلۡمِ النَّحۡوِ؛ بَلۡ يُبۡحَثُ فِيهِ فِي عِلۡمِ الصَّرۡفِ.
Jadi, i’rab adalah perubahan akhir kata. Sehingga dengan ucapan mualif “perubahan”, maka mengeluarkan kata yang tidak bisa berubah huruf akhirnya, bukan karena ilat, namun karena bina`. Juga mengeluarkan (perubahan) awal kata dan tengah kata sehingga tidak ada pembahasan tentangnya di dalam ilmu nahu, namun hal itu dibahas di ilmu saraf.