مَوَاضِعُ الۡفَتۡحَةِ:
Tempat-tempat harakat fatah:
قَوۡلُهُ: (فَأَمَّا الۡفَتۡحَةُ فَتَكُونُ عَلَامَةً لِلنَّصۡبِ فِي ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ فِي: الۡاسۡمِ الۡمُفۡرَدِ، وَجَمۡعِ التَّكۡسِيرِ، وَالۡفِعۡلِ الۡمُضَارِعِ إِذَا دَخَلَ عَلَيۡهِ نَاصِبٌ وَلَمۡ يَتَّصِلۡ بِآخِرِهِ شَيۡءٌ).
Ucapan mualif, “Adapun harakat fatah menjadi tanda untuk nashb pada tiga tempat, yaitu: isim mufrad, jamak taksir, dan fiil mudhari’ jika diawali oleh huruf yang me-nashb-kan serta tidak disambung oleh apapun pada akhir kata.”
الۡاسۡمُ الۡمُفۡرَدُ يُرۡفَعُ بِالضَّمَّةِ؛ وَيُنۡصَبُ بِالۡفَتۡحَةِ، وَالۡاسۡمُ الۡمُفۡرَدُ هُوَ مَا دَلَّ عَلَى وَاحِدٍ أَوۡ وَاحِدَةٍ.
مِثَالُهُ: (مُحَمَّدٌ، زَيۡنَبُ، بَيۡتٌ، دَارٌ، شَاةٌ، بَعِيرٌ، سَمَاءٌ، أَرۡضٌ).
Isim mufrad di-rafa’ dengan harakat damah dan di-nashb dengan harakat fatah. Isim mufrad adalah kata yang menunjukkan satu baik muzakar atau muanas.
Contoh, “مُحَمَّدٌ (Muhammad), زَيۡنَبُ (Zainab), بَيۡتٌ (sebuah rumah), دَارٌ (sebuah kampung), شَاةٌ (seekor kambing), بَعِيرٌ (seekor unta), سَمَاءٌ (langit), أَرۡضٌ (bumi).”
تَقُولُ مَثَلًا: (اشۡتَرَيۡتُ بَعِيرًا)، وَلَوۡ قُلۡتَ: (اشۡتَرَيۡتُ بَعِيرٌ) قُلۡنَا: خَطَأٌ، وَلَوۡ قُلۡتَ: (اشۡتَرَيۡتُ بَعِيرٍ) قُلۡنَا: خَطَأٌ، لَا بُدَّ أَنۡ تَقُولَ: (اشۡتَرَيۡتُ بَعِيرًا) لِأَنَّهُ مَنۡصُوبٌ، وَهُوَ اسۡمٌ مُفۡرَدٌ، فَيُنۡصَبُ بِالۡفَتۡحَةِ.
تَقُولُ: (قَرَأۡتُ كِتَابًا)، وَلَوۡ قُلۡتَ: (قَرَأۡتُ كِتَابٍ) أَوۡ: (قَرَأۡتُ كِتَابٌ) لَكَانَ خَطَأً.
تَقُولُ: (صِدۡتُ حَمَامَةً)، وَلَوۡ قُلۡتَ: (صِدۡتُ حَمَامَةٍ) أَوۡ: (صِدۡتُ حَمَامَةٌ) لَكَانَ خَطَأً؛ لِأَنَّهَا مَنۡصُوبَةٌ، وَهِيَ اسۡمٌ مُفۡرَدٌ، فَتُنۡصَبُ بِالۡفَتۡحَةِ.
تَقُولُ: (سَكَنۡتُ بَيۡتًا)، (اشۡتَرَيۡتُ سَيَّارَةً)، وَقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿وَقُلۡنَا يَا آدَمُ اسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ الۡجَنَّةَ﴾ [البقرة: ٣٥].
Misalnya engkau katakan, “اشۡتَرَيۡتُ بَعِيرًا (Aku telah membeli seekor unta).” Kalau engkau katakan, “اشۡتَرَيۡتُ بَعِيرٌ”, kami katakan: keliru. Kalau engkau katakan, “اشۡتَرَيۡتُ بَعِيرٍ”, kami katakan: keliru. Engkau harus katakan, “اشۡتَرَيۡتُ بَعِيرًا” karena di-nashb dan merupakan isim mufrad, jadi di-nashb dengan harakat fatah.
Engkau katakan, “قَرَأۡتُ كِتَابًا (Aku telah membaca sebuah kitab).” Kalau engkau katakan, “قَرَأۡتُ كِتَابٍ”, atau, “قَرَأۡتُ كِتَابٌ”, tentu keliru.
Engkau katakan, “صِدۡتُ حَمَامَةً (Aku telah berburu seekor merpati).” Kalau engkau katakan, “صِدۡتُ حَمَامَةٍ”, atau “صِدۡتُ حَمَامَةٌ”, tentu keliru karena di-nashb dan merupakan isim mufrad. Jadi di-nashb dengan harakat fatah.
Engkau katakan, “سَكَنۡتُ بَيۡتًا (Aku menempati sebuah rumah)”, “اشۡتَرَيۡتُ سَيَّارَةً (Aku telah membeli sebuah mobil)”, dan Allah taala berfirman, “وَقُلۡنَا يَا آدَمُ اسۡكُنۡ أَنتَ وَزَوۡجُكَ الۡجَنَّةَ (Dan Kami berfirman: Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini).” (QS. Al-Baqarah: 35).
وَقَوۡلُهُ: (وَجَمۡعِ التَّكۡسِيرِ): جَمۡعُ التَّكۡسِيرِ يُنۡصَبُ بِالۡفَتۡحَةِ، وَسَبَقَ أَنَّهُ يُرۡفَعُ بِالضَّمَّةِ، وَجَمۡعُ التَّكۡسِيرِ هُوَ مَا دَلَّ عَلَى ثَلَاثَةٍ فَأَكۡثَرَ مَعَ تَغَيُّرِ بِنَاءِ مُفۡرَدِهِ، مِثۡلُ: (الرِّجَالُ)، (الۡأَعۡرَابُ)، (الۡمَسَاجِدُ)، (الدُّورُ)، (هُنُودٌ)، (الۡأَيَامَى) وَأَشۡيَاءُ كَثِيرَةٌ.
Ucapan mualif, “Jamak taksir”: Jamak taksir di-nashb dengan harakat fatah. Telah lewat bahwa jamak taksir di-rafa’ dengan harakat damah. Jamak taksir adalah kata yang menunjukkan bilangan tiga atau lebih disertai perubahan susunan mufradnya. Contoh, “الرِّجَالُ (Para pria)”, “الۡأَعۡرَابُ (orang-orang Arab badui)”, “الۡمَسَاجِدُ (masjid-masjid)”, “الدُّورُ (kampung-kampung)”, “هُنُودٌ (Hindun-Hindun)”, “الۡأَيَامَى (para bujang)”, dan masih banyak lagi.
وَقَوۡلُهُ: (وَالۡفِعۡلِ الۡمُضَارِعِ إِذَا دَخَلَ عَلَيۡهِ نَاصِبٌ وَلَمۡ يَتَّصِلۡ بِآخِرِهِ شَيۡءٌ): وَمَا الَّذِي فَقَدۡنَاهُ مِنَ الَّذِي يُرۡفَعُ بِالضَّمَّةِ؟ جَمۡعُ الۡمُؤَنَّثِ السَّالِمُ، وَالۡفِعۡلُ الۡمُضَارِعُ الَّذِي لَمۡ يَتَّصِلۡ بِآخِرِهِ شَيۡءٌ؛ لِأَنَّ جَمۡعَ الۡمُؤَنَّثِ السَّالِمَ سَيَأۡتِي أَنَّهُ يُنۡصَبُ بِالۡكَسۡرَةِ.
Ucapan mualif, “Dan fiil mudhari’ jika didahului oleh huruf yang me-nashb-kan dan tidak disambung oleh apapun pada akhir kata”: Apa yang kita luput dari kata yang di-rafa’ dengan harakat damah? Jamak muanas salim dan fiil mudhari’ yang tidak disambung oleh apapun pada akhir kata. Jamak muanas salim akan datang pembahasannya karena di-nashb dengan harakat kasrah.
هُنَا يَقُولُ الۡمُؤَلِّفُ –رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى-: وَالۡفِعۡلُ الۡمُضَارِعُ إِذَا دَخَلَ عَلَيۡهِ نَاصِبٌ، وَلَمۡ يَتَّصِلۡ بِآخِرِهِ شَيۡءٌ. اشۡتَرَطَ الۡمُؤَلِّفُ شَرۡطَيۡنِ:
الۡأَوَّلُ: إِذَا دَخَلَ عَلَيۡهِ نَاصِبٌ، وَهَٰذَا الشَّرۡطُ لَا بُدَّ مِنۡهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يُمۡكِنُ أَنۡ يُنۡصَبَ إِلَّا إِذَا دَخَلَ عَلَيۡهِ نَاصِبٌ.
الثَّانِي: وَلَمۡ يَتَّصِلۡ بِآخِرِهِ شَيۡءٌ، وَيُرِيدُ بِالشَّيۡءِ: نُونَيِ التَّوۡكِيدِ وَالنِّسۡوَةِ، فَإِنِ اتَّصَلَ بِآخِرِهِ نُونُ تَوۡكِيدٍ، أَوۡ نُونُ النِّسۡوَةِ لَمۡ يُنۡصَبۡ بِالۡفَتۡحَةِ.
Di sini, mualif –semoga Allah taala merahmatinya- berkata: Dan fiil mudhari’ jika didahului oleh huruf yang me-nashb-kan dan tidak disambung oleh apapun pada akhir kata. Mualif memberikan dua syarat:
Pertama: didahului oleh huruf yang me-nashb-kan. Syarat ini merupakan keharusan karena tidak mungkin di-nashb kecuali jika diawali oleh huruf yang me-nashb-kan.
Kedua: tidak disambung oleh apapun pada akhir kata. Yang beliau inginkan dengan “apapun” adalah dua huruf nun taukid dan niswah. Jika disambung di akhir kata oleh nun taukid atau nun niswah, maka tidak di-nashb dengan harakat fatah.
مِثَالُ ذٰلِكَ: (يَقُومُ) وَلۡيَكُنۡ حَرۡفُنَا حَرۡفَ النَّاصِبِ (لَنۡ)، فَتَقُولُ مَثَلًا: (يَقُومُ الرَّجُلُ).
(يَقُومُ): فِعۡلٌ مُضَارِعٌ مَرۡفُوعٌ بِالضَّمَّةِ؛ لِأَنَّهُ لَمۡ يَدۡخُلۡ عَلَيۡهِ نَاصِبٌ وَلَا جَازِمٌ، وَلَمۡ يَتَّصِلۡ بِآخِرِهِ شَيۡءٌ.
(الرَّجُلُ): فَاعِلٌ مَرۡفُوعٌ بِالضَّمَّةِ؛ لِأَنَّهُ مُفۡرَدٌ.
فَإِذَا أَرَدۡتَ أَنۡ تَنۡصِبَ هَٰذَا الۡفِعۡلَ تَقُولُ: (لَنۡ يَقُومَ الرَّجُلُ) وَلَا يَجُوزُ أَنۡ تَقُولَ؛ (لَنۡ يَقُومُ الرَّجُلُ)؛ بَلۡ يَجِبُ أَنۡ تَقُولَ: (لَنۡ يَقُومَ الرَّجُلُ) فَتَنۡصِبَ بِالۡفَتۡحَةِ؛ لِأَنَّهُ فِعۡلٌ مُضَارِعٌ لَمۡ يَتَّصِلۡ بِآخِرِهِ شَيۡءٌ، وَدَخَلَ عَلَيۡهِ نَاصِبٌ.
Contohnya: “يَقُومُ (berdiri)” dan huruf yang me-nashb adalah “لَنۡ”. Misal engkau katakan, “يَقُومُ الرَّجُلُ (Pria itu sedang berdiri).”
يَقُومُ adalah fiil mudhari’ di-rafa’ dengan harakat damah karena tidak diawali oleh huruf yang me-nashb dan yang men-jazm serta tidak disambung apapun pada akhir kata.
الرَّجُلُ fa’il yang di-rafa’ dengan damah karena isim mufrad.
Jika engkau ingin me-nashb fiil ini, engkau katakan, “لَنۡ يَقُومَ الرَّجُلُ (Pria itu tidak akan berdiri).” Engkau tidak boleh katakan, “لَنۡ يَقُومُ الرَّجُلُ”, namun wajib engkau katakan, “لَنۡ يَقُومَ الرَّجُلُ”, jadi engkau nashb dengan harakat fatah karena fiil mudhari’ yang tidak disambung apapun pada akhir kata dan ada huruf yang me-nashb mendahuluinya.
(الرَّجُلَانِ لَنۡ يَقُومَانِ) لَا يَصِحُّ، لِأَنَّهُ فِعۡلٌ مُضَارِعٌ دَخَلَ عَلَيۡهِ أَلِفُ الۡاثۡنَيۡنِ، وَالۡمُؤَلِّفُ يَقُولُ: (لَمۡ يَتَّصِلۡ بِآخِرِهِ شَيۡءٌ).
(النِّسَاءُ لَنۡ يَقُمۡنَ)، (يَقُمۡنَ) لَا يُنۡصَبُ بِالۡفَتۡحَةِ؛ لِأَنَّهُ دَخَلَتۡ عَلَيۡهِ نُونُ النِّسۡوَةِ.
(وَاللهِ لَنۡ يَذۡهَبَنَّ) (يَذۡهَبَنَّ) لَا يُنۡصَبُ بِالۡفَتۡحَةِ؛ لِأَنَّهُ اتَّصَلَ بِآخِرِهِ نُونُ التَّوۡكِيدِ.
“الرَّجُلَانِ لَنۡ يَقُومَانِ” ini tidak sahih karena fiil mudhari’ dimasuki oleh huruf alif itsnain, sementara mualif mengatakan, “tidak disambung oleh apapun pada akhir kata.”
“النِّسَاءُ لَنۡ يَقُمۡنَ (Para wanita itu tidak sedang berdiri).” يَقُمۡنَ tidak di-nashb dengan harakat fatah karena dimasuki oleh nun niswah.
“وَاللهِ لَنۡ يَذۡهَبَنَّ (Demi Allah, dia benar-benar tidak boleh pergi).” يَذۡهَبَنَّ tidak di-nashb dengan harakat fatah karena disambung oleh huruf nun taukid pada akhir kata.
قَالَ اللهُ تَعَالَى: ﴿وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ الۡيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ﴾ [البقرة: ١٢٠]، (تَرۡضَى): مَنۡصُوبٌ بِالۡفَتۡحَةِ الۡمُقَدَّرَةِ.
(لَنۡ يَرۡمِيَ) (يَرۡمِيَ): مَنۡصُوبٌ بِالۡفَتۡحَةِ الظَّاهِرَةِ.
(لَنۡ يَغۡزُوَ) (يَغۡزُوَ): مَنۡصُوبٌ بِالۡفَتۡحَةِ.
Allah taala berfirman, “وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ الۡيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ (Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu).” (QS. Al-Baqarah: 120). تَرۡضَى di-nashb dengan harakat fatah yang tersembunyi.
“لَنۡ يَرۡمِيَ (Dia tidak akan melempar).” يَرۡمِيَ di-nashb dengan harakat fatah yang tampak.
“لَنۡ يَغۡزُوَ (Dia tidak akan berperang).” يَغۡزُوَ di-nashb dengan harakat fatah.
فَالۡحَاصِلُ أَنَّ الۡمُؤَلِّفَ –رَحِمَهُ اللهُ- اشۡتَرَطَ لِنَصۡبِ الۡفِعۡلِ بِالۡفَتۡحَةِ أَنۡ يَكُونَ مُضَارِعًا، وَأَنۡ يَدۡخُلَ عَلَيۡهِ نَاصِبٌ، وَأَلَّا يَتَّصِلَ بِآخِرِهِ شَيۡءٌ.
Kesimpulannya bahwa mualif –semoga Allah merahmatinya- memberi syarat untuk fiil di-nashb dengan harakat fatah adalah berupa fiil mudhari’, didahului oleh huruf nashb, dan tidak disambung dengan apapun pada akhir kata.