﷽
الۡحَمۡدُ لِلهِ رَبِّ الۡعَالَمِينَ، وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى
نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحۡبِهِ أَجۡمَعِينَ.
Segala puji bagi Allah Rabb alam semesta. Selawat, salam, dan keberkahan
semoga Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para
sahabatnya semua.
قَالَ الشَّيۡخُ الۡإِسۡلَامُ الشَّيۡخُ مُحَمَّدُ بۡنُ عَبۡدِ الۡوَهَّابِ
رَحِمَهُ اللهُ وَعَفَا عَنۡهُ... آمِين: تَأَمَّلۡ رَحِمَكَ اللهُ سِتَّةَ
مَوَاضِعَ مِنَ السِّيرَةِ، وَافۡهَمۡهَا فَهۡمًا حَسَنًا.
Syekh Islam Syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab—semoga Allah merahmati dan
memaafkannya, amin—berkata: Perhatikanlah—semoga Allah merahmatimu—enam
peristiwa penting dari sejarah perjalanan hidup Rasulullah dan pahamilah
dengan pemahaman yang baik.[1]
لَعَلَّ اللهَ أَنۡ يُفۡهِمَكَ دِينَ الۡأَنۡبِيَاءِ لِتَتۡبَعَهُ، وَدِينَ
الۡمُشۡرِكِينَ لِتَتۡرُكَهُ.
Dengan begitu, bisa jadi Allah akan memberimu pemahaman tentang agama para
nabi sehingga engkau bisa mengikutinya dan tentang agama orang-orang musyrik sehingga
engkau bisa meninggalkannya.[2]
فَإِنَّ أَكۡثَرَ مَنۡ يَدَّعِي الدِّينَ وَيَدَّعِي أَنَّهُ مِنَ
الۡمُوَحِّدِينَ لَا يَفۡهَمُ السِّتَّةَ كَمَا يَنۡبَغِي.
Karena, sungguh banyak orang yang mengaku memiliki agama dan mengaku termasuk
golongan orang yang bertauhid, namun tidak memahami enam peristiwa ini
sebagaimana mestinya.[3]
Syekh Shalih bin Fauzan bin 'Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah di dalam Syarh Sittah Mawadhi' min As-Sirah berkata:
[1]
﷽
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
قَالَ الشَّيۡخُ رَحِمَهُ اللهُ: (تَأَمَّلۡ رَحِمَكَ اللهُ سِتَّةَ مَوَاضِعَ
مِنَ السِّيرَةِ، وَافۡهَمۡهَا فَهۡمًا حَسَنًا) السِّيرَةُ: الۡمُرَادُ بِهَا
سِيرَةُ الرَّسُولِ ﷺ، وَهِيَ الطَّرِيقَةُ الَّتِي كَانَ يَسِيرُ عَلَيۡهَا
الرَّسُولُ ﷺ مُنۡذُ بِعۡثَتِهِ إِلَى أَنۡ تَوَفَّاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي
الۡعِبَادَةِ، وَفِي الۡمُعَامَلَاتِ، وَفِي الدَّعۡوَةِ إِلَى اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ، وَفِي الۡجِهَادِ وَالۡهِجۡرَةِ، وَفِي التَّعۡلِيمِ، فَكُلُّ
أَفۡعَالِهِ وَأَقۡوَالِهِ وَتَصَرُّفَاتِهِ ﷺ هِيَ سِيرَتُهُ –عَلَيۡهِ
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ-، وَهَٰذَا أَمۡرٌ مُهِمٌّ أَنَّ الۡمُسۡلِمَ يَدۡرُسُ
سِيرَةَ الرَّسُولِ ﷺ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ يَقۡتَدِيَ بِهِ؛ لِأَنَّ اللهَ –جَلَّ
وَعَلَا- قَدۡ جَعَلَهُ قُدۡوَةً لَنَا.
Syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab—rahimahullah—berkata, “Perhatikanlah—semoga
Allah merahmatimu—enam peristiwa penting dari sirah dan pahamilah dengan
pemahaman yang baik.”
Sirah maksudnya adalah sirah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—. Yaitu
jalan hidup yang dilalui oleh Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—semenjak diutusnya beliau hingga Allah—‘azza wa jalla—wafatkan beliau,
dalam hal ibadah, muamalah, dakwah kepada Allah—‘azza wa jalla—, jihad,
hijrah, dan taklim. Jadi seluruh perbuatan, ucapan, dan sepak terjang
beliau—shallallahu ‘alaihi wa sallam—adalah sirah beliau—‘alaihish shalatu was
salam—.
Ini adalah perkara yang penting, yaitu bahwa seorang muslim belajar sirah
Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—untuk bisa meneladaninya, karena
Allah—jalla wa ‘ala—telah menjadikan beliau sebagai teladan untuk kita.
قَالَ سُبۡحَانَهُ وَتَعَالَى: ﴿لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ
أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرۡجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡءَاخِرَ
وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا﴾ [الأحزاب: ٢١] فَهُوَ قُدۡوَتُنَا –عَلَيۡهِ
الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ-، فَلۡنَدۡرُسۡ سِيرَتَهُ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ نَقۡتَدِيَ
بِهِ فِي ذٰلِكَ، وَهَٰذَا هُوَ الۡمَطۡلُوبُ مِنۡ دِرَاسَةِ السِّيرَةِ
وَالتَّفَقُّهِ فِيهَا، لَيۡسَ الۡمَقۡصُودُ أَنَّ السِّيرَةَ تُقۡرَأُ فِي
مُنَاسَبَةٍ مُبۡتَدَعَةٍ مِثۡلِ مَنُاسَبَةِ الۡمَوۡلِدِ، فَإِنَّ هَٰذِهِ
الۡقِرَاءَةَ لَا تُسۡمِنُ وَلَا تُغۡنِي مِنۡ جُوعٍ؛ لِأَنَّهَا لَيۡسَتۡ
لِلتَّفَقُّهِ فِيهَا؛ وَإِنَّمَا هِيَ لِلتَّبَرُّكِ جَرۡيًا عَلَى الۡعَادَةِ
فَقَطۡ، فَلَا تُفِيدُ شَيۡئًا؛ لِأَنَّ تَخۡصِيصَهَا بِوَقۡتٍ مُعَيَّنٍ ثُمَّ
تُطۡوَى، هَٰذَا الۡأَمۡرُ لَا يَنۡفَعُ وَلَا يُفِيدُ، السِّيرَةُ مَطۡلُوبٌ
دِرَاسَتُهَا دَائِمًا، وَلَا نَقۡصُدُ بِالدِّرَاسَةِ مُجَرَّد أَنَّنَا
نَقۡرَؤُهَا مِنۡ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا وَنَقُولُ: قَرَأۡنَا السِّيرَةَ،
لَا، لَا بُدَّ أَنۡ نَتَفَقَّهَ فِيهَا وَنَقۡتَدِيَ بِالرَّسُولِ ﷺ فِي
أَفۡعَالِهِ وَأَقۡوَالِهِ، هَٰذَا هُوَ الۡمَقۡصُودُ.
Allah—subhanahu wa ta’ala—berfirman yang artinya, “Sungguh telah ada teladan
yang baik untuk kalian pada diri Rasulullah, bagi siapa saja yang mengharap
(rahmat) Allah dan hari kiamat dan dia sering mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab:
21).
Jadi beliau adalah teladan kita—‘alaihimush shalatu was salam—, sehingga kita
mempelajari sirah beliau agar kita bisa meneladani beliau. Inilah tujuan
mempelajari sirah dan mendalaminya. Bukanlah maksudnya agar sirah beliau
dibaca di acara yang diada-adakan seperti acara maulid. Karena membaca sirah
dengan cara ini ‘tidak dapat menggemukkan dan tidak bisa menghilangkan rasa
lapar’. Hal itu karena tujuannya bukan untuk mendalaminya, tetapi hanya untuk
tabaruk dalam rangka menjalankan kebiasaan semata sehingga tidak berfaedah
sedikit pun.
Mengkhususkan membaca sirah di suatu waktu tertentu lalu setelah itu dilipat
begitu saja merupakan perkara yang tidak bermanfaat dan tidak berfaedah. Sirah
itu dituntut untuk senantiasa dipelajari. Kita tidak memaksudkan hanya
dipelajari dengan kita baca dari awal sampai akhir lalu kita katakan, “Kita
telah membaca sirah.” Tidak demikian. Harus kita dalami dan kita teladani
Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dalam perbuatan-perbuatan dan
ucapan-ucapan beliau. Inilah maksud mempelajari sirah.
وَقَدۡ كَتَبَ الۡإِمَامُ ابۡنُ الۡقَيِّمِ رَحِمَهُ اللهُ كِتَابًا عَظِيمًا فِي
فِقۡهِ السِّيرَةِ وَهُوَ: (زَادُ الۡمَعَادِ فِي هَدۡيِ خَيۡرِ الۡعِبَادِ)
وَكَتَبَ بَعۡضُ الۡمُعَاصِرِينَ كِتَابَاتٍ مِنۡهَا مَا هُوَ صَحِيحٌ، وَمِنۡهَا
مَا هُوَ سَيِّءٌ، وَمِنۡهُمۡ مَنۡ انۡحَرَفَ وَجَاءَ بِالشِّرۡكِيَّاتِ، وَحَثَّ
عَلَى التَّبَرُّكِ بِالۡآثَارِ، وَجَعَلَ هَٰذَا هُوَ الۡمَقۡصُودُ مِنۡ
قِرَاءَةِ السِّيرَةِ، وَلَٰكِنۡ هَٰذَا لَا عِبۡرَةَ بِهِ؛ لِأَنَّ كُلًّ
يُنۡفِقُ مِمَّا عِنۡدَهُ، الَّذِي عِنۡدَهُ شَيۡءٌ جَيِّدٌ يُنۡفِقُ شَيۡئًا
جَيِّدًا، وَالَّذِي عِنۡدَهُ شَيۡءٌ رَدِيءٌ يُنۡفِقُ رَدِيئًا، وَالۡحَمۡدُ
لِلّٰهِ، نَسۡأَلُ اللهَ أَنۡ يَهۡدِيَنَا وَإِيَّاكُمۡ، وَيَهۡدِيَ هَٰؤُلَاءِ
إِلَى سَوَاءِ السَّبِيلِ، وَأَنۡ يَرُدَّهُمۡ إِلَى الۡحَقِّ، وَنَحۡنُ لَا
نَتَنَدَّرُ بِهِمۡ؛ لِئَلَّا يُصِيبُنَا مَا أَصَابَهُمۡ، وَلَٰكِنۡ نَسۡأَلُ
اللهَ الۡعَافِيَةَ، نَسۡأَلُ اللهَ أَنۡ يَهۡدِيَهُمۡ وَأَنۡ يَرُدَّهُمۡ إِلَى
الصَّوَابِ.
Imam Ibnu Al-Qayyim—rahimahullah—telah menulis suatu kitab yang agung tentang
fikih sirah, yaitu Zaad Al-Ma’ad fi Hadyi Khairi Al-‘Ibad. Sebagian penulis
masa kini juga membuat tulisan-tulisan. Di antaranya ada yang sahih dan di
antaranya ada yang jelek. Di antara mereka ada yang menyimpang dan membawa
hal-hal yang berbau kesyirikan serta menganjurkan untuk tabaruk dengan
benda-benda peninggalan Nabi. Dia menjadikan ini sebagai maksud membaca sirah.
Akan tetapi ini tidak usah dianggap. Karena setiap orang akan membelanjakan
apa yang dia miliki. Orang yang memiliki sesuatu yang baik, akan membelanjakan
sesuatu yang baik. Orang yang memiliki sesuatu yang buruk, akan membelanjakan
yang buruk.
Alhamdulillah. Kita meminta kepada Allah agar menunjuki kita dan kalian, agar
Allah menunjuki mereka kepada jalan yang lurus dan mengembalikan mereka kepada
kebenaran. Kita tidak mengejek mereka agar jangan sampai apa yang menimpa
mereka akan menimpa kita. Akan tetapi kita meminta penjagaan kepada Allah.
Kita meminta kepada Allah agar menunjuki mereka dan mengembalikan mereka
kepada kebenaran.
فَالۡمَقۡصُودُ مِنۡ دِرَاسَةِ سِيرَةِ الرَّسُولِ ﷺ: هُوَ الۡاعۡتِبَارُ
وَالۡعَمَلُ، وَالۡاقِتِدَاءُ بِالرَّسُولِ ﷺ، وَأَخۡذُ الۡأَحۡكَامِ مِنۡهَا،
هَٰذَا هُوَ الۡمَطۡلُوبُ؛ لِأَنَّ حَيَاتِهِ ﷺ كُلَّهَا خَيۡرٌ، وَكُلَّهَا
عِلۡمٌ، وَكُلَّهَا عَمَلٌ صَالِحٌ، كُلَّهَا جِهَادٌ، وَكُلَّهَا دَعۡوَةٌ،
وَكُلَّهَا تَعۡلِيمٌ.
Jadi, maksud belajar sirah Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—adalah
mengambil pelajaran, mengamalkan, dan meneladani Rasulullah—shallallahu
‘alaihi wa sallam—. Serta mengambil hukum-hukum darinya. Inilah tujuannya.
Karena kehidupan beliau seluruhnya adalah kebaikan, seluruhnya adalah ilmu,
seluruhnya amal saleh, seluruhnya jihad, seluruhnya dakwah, dan seluruhnya
adalah taklim.
حَيَاتُهُ ﷺ فَائِضَةٌ بِالۡخَيۡرِ الۡعَظِيمِ مِنۡ جَمِيعِ النَّوَاحِي،
كُلُّهَا عِبَادَةٌ.
Kehidupan beliau berlimpah kebaikan yang agung dari segala sisi. Seluruhnya
adalah ibadah.
فَعَلَيۡنَا أَنۡ نَعۡتَنِيَ بِسِيرَتِهِ ﷺ، وَالشَّيۡخُ أَخَذَ مِنۡهَا سِتَّةَ
مَوَاضِعَ مُهِمَّةٍ وَالۡبَقِيَّةُ مَوۡجُودَةٌ فِي سِيرَتِهِ ﷺ، لَٰكِنۡ
هَٰذِهِ الۡمَوَاضِعُ تَتَعَلَّقُ بِالۡعَقِيدَةِ.
Sehingga kita wajib untuk memperhatikan sirah beliau—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—. Syekh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab mengambil enam peristiwa yang
penting dari sirah beliau. Adapun yang selain itu tetap ada dalam perjalanan
hidup beliau, namun keenam peristiwa ini berkaitan erat dengan akidah.
[2]
هَٰذَا الۡمَقۡصُودُ مِنۡ دِرَاسَةِ السِّيرَةِ، أَنَّكَ تَفۡهَمُ دِينَ
الۡأَنۡبِيَاءِ -عَلَيۡهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ-، تَفۡهَمُ التَّوۡحِيدَ
لِتَتَّبِعَهُ، وَتَفۡهَمُ الشِّرۡكَ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ تَجۡتَنِبَهُ، فَلَا
يَكۡفِي أَنَّ الۡإِنۡسَانَ يَعۡرِفُ الۡحَقَّ فَقَطۡ بَلۡ لَابُدَّ أَنۡ
يَعۡرِفَ الۡحَقَّ وَيَعۡرِفَ الۡبَاطِلَ، يَعۡرِفُ الۡحَقَّ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ
يَعۡمَلَ بِهِ، وَيَعۡرِفَ الۡبَاطِلَ مِنۡ أَجۡلِ أَنۡ يَتَجَنَّبَهُ؛ لِأَنَّهُ
إِذَا لَمۡ يَعۡرِفِ الۡبَاطِلَ وَقَعَ فِيهِ وَهُوَ لَا يَدۡرِي.
Inilah maksud dari mempelajari sirah, yaitu agar engkau memahami agama para
nabi—‘alaihimush shalatu was salam—, agar engkau memahami tauhid untuk
mengikutinya, dan agar engkau memahami syirik untuk menjauhinya. Maka tidak
cukup seseorang mengetahui kebenaran saja, tetapi dia harus mengetahui
kebenaran dan mengetahui kebatilan. Dia mengetahui kebenaran untuk
mengamalkannya dan mengetahui kebatilan untuk menjauhinya. Karena jika dia
tidak mengetahui kebatilan, dia akan terjerumus padanya dalam keadaan tidak
mengetahui.
فَأَنۡتَ عِنۡدَمَا تَسِيرُ فِي طَرِيقٍ وَأَنۡتَ لَا تَعۡرِفُ هَٰذَا
الطَّرِيقَ، وَفِيهِ حُفۡرٌ وَفِيهِ مَهَالِكٌ، رُبَّمَا تَهۡلِكُ وَأَنۡتَ لَا
تَدۡرِي، تَقَعُ فِي الۡحُفۡرِ وَأَنۡتَ مَا دَرَيۡتَ ، لَكِنَّكَ إِذَا دَرَسۡتَ
الطَّرِيقَ، فَعَرَفۡتَ مَا فِيهِ مِنَ الۡمَسَالِكِ، وَمَا فِيهِ مِنَ
الۡأَخۡطَارِ، فَإِنَّكَ تَكُونُ عَلَى بَيِّنَةٍ، تَتَجَنَّبُ الۡمَهَالِكَ
الَّتِي فِي الطَّرِيقِ.
Ketika engkau hendak menyusuri sebuah jalan dalam keadaan engkau tidak
mengetahui jalan itu, padahal di situ ada lubang dan tempat-tempat yang
mencelakakan, bisa jadi engkau akan celaka dalam keadaan tidak mengetahui.
Engkau akan jatuh ke dalam lubang dalam keadaan engkau tadinya tidak tahu.
Akan tetapi apabila engkau sudah mempelajari jalan itu, maka engkau akan tahu
lika-liku jalan itu, bahaya-bahaya yang ada padanya, sehingga engkau sudah
memiliki pengetahuan untuk bisa menjauhi tempat-tempat yang mencelakakan yang
ada di jalan itu.
هَٰذَا فِي الۡأُمُورِ الۡحِسِّيَّةِ، كَذٰلِكَ فِي الۡأُمُورِ الۡعَقۡدِيَّةِ
مِنۡ بَابِ أَوۡلَى، فَلَا بُدَّ أَنۡ تَعۡرِفَ الۡبَاطِلَ، تَعۡرِفَ الشِّرۡكَ،
وَمَا هِيَ أَنۡوَاعُهُ وَمَا هِيَ أَسۡبَابُهُ، وَمَا هِيَ الۡوَسَائِلُ الَّتِي
تُوصِلُ إِلَيۡهِ حَتَّى تَتَجَنَّبَهَا. يَقُولُ الشَّاعِرُ:
عَرَفۡتُ الشَّرَّ لَا لِلشَّرِّ لَٰكِنۡ لِتَوَقِّيهِ وَمَنۡ لَا يَعۡرِفِ
الشَّرَّ مِنَ الۡخَيۡرِ يَقَعۡ فِيهِ
Ini dalam perkara-perkara indrawi. Demikian pula dalam perkara-perkara
keyakinan, tentu lebih utama. Maka engkau harus mengetahui kebatilan, engkau
mengetahui kesyirikan, apa macam-macamnya, apa sebab-sebabnya, apa
wasilah-wasilah yang mengantarkan kepada kesyirikan hingga engkau bisa
menjauhinya. Penyair berkata, “Aku mengetahui kejelekan bukan untuk
melakukannya, tetapi untuk menjauhinya. Siapa saja yang tidak mengetahui
kejelekan dari kebaikan, dia bisa terjerumus padanya.”
حُذَيۡفَةُ بۡنُ الۡيَمَانِ -رَضِيَ اللهُ تَعَالَی عَنۡهُ- الصَّحَابِيُّ
الۡجَلِيلُ يَقُولُ: كَانَ النَّاسُ يَسۡأَلُونَ النَّبِيَّ ﷺ عَنِ الۡخَيۡرِ
وَكُنۡتُ أَسۡأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنۡ أَقَعَ فِيهِ.
Hudzaifah bin Al-Yaman—radhiyallahu ta’ala ‘anhu—seorang sahabat yang mulia
mengatakan, “Dahulu orang-orang bertanya kepada Nabi—shallallahu ‘alaihi wa
sallam—tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang
kejelekan karena takut terjerumus padanya.” (HR.
Al-Bukhari nomor 3606,
7084,
Muslim nomor 1847, Ahmad nomor 23282, dan
Ibnu Majah nomor 3979).
فَلَا بُدَّ مِنۡ مَعۡرِفَةِ الۡخَيۡرِ وَمَعۡرِفَةِ الشَّرِّ، وَالۡبَعۡضُ
الۡيَوۡمَ يَقُولُ: تَعۡرِفُ الۡحَقَّ، وَلَيۡسَ مِنَ الضَّرُورِيِّ أَنۡ
تَعۡرِفَ مَا يُضَادُّهُ.
وَهَٰذَا بَاطِلٌ؛ لِأَنَّكَ إِذَا لَمۡ تَعۡرِفِ الۡبَاطِلَ يَظِلُّ خَافِيًا
فَتَضِلُّ عَنِ الۡحَقِّ، لَا سِيَّمَا وَدُعَاةُ السُّوءِ وَدُعَاةُ الضَّلَالِ
عَلَى اسۡتِعۡدَادٍ لِإِضۡلَالِ النَّاسِ.
Jadi harus mengetahui kebaikan dan mengetahui kejelekan. Sebagian orang di
hari-hari ini mengatakan,”Engkau mengetahui kebaikan, adapun mengetahui
lawannya bukanlah merupakan hal yang pokok.”
Ini batil, karena apabila engkau tidak mengetahui kebatilan, maka kebatilan
akan menjadi samar sehingga engkau bisa tersesat dari kebenaran. Terlebih lagi
para penyeru keburukan dan penyeru kesesatan sudah bersiap-siap untuk
menyesatkan manusia.
[3]
الۡمُشۡرِكُونَ يَتَقَرَّبُونَ إِلَى اللهِ بِالشِّرۡكِ يَظُنُّونَ أَنَّهُ
خَيۡرٌ؛ لِأَنَّهُمۡ لَا يَعۡرِفُونَ الشِّرۡكَ، فَصَارُوا يَتَقَرَّبُونَ بِهِ
إِلَى اللهِ!!
Kaum musyrikin mendekatkan diri kepada Allah dengan kesyirikan yang mereka
kira sebagai kebaikan. Hal itu karena mereka tidak mengenal kesyirikan.
Akibatnya mereka mendekatkan diri kepada Allah dengannya.
فَهُمۡ يَذۡبَحُونَ لِلۡأَوۡلِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ، وَيَتَبَرَّكُونَ
بِقُبُورِهِمۡ وَيَسۡتَغِيثُونَ بِهِمۡ، وَيَقُولُونَ: نَحۡنُ نَعۡلَمُ أَنَّهُمۡ
لَيۡسَ لَهُمۡ مِنَ الۡأَمۡرِ شَيۡءٌ، وَأَنَّهُمۡ لَا يَنۡفَعُونَ وَلَا
يَضُرُّونَ، لَٰكِنۡ هُمۡ صَالِحُونَ نُرِيدُ مِنۡهُمۡ أَنۡ يَتَوَسَّطُوا لَنَا
عِنۡدَ اللهِ سُبۡحَانَهُ، كَمَا قَالَ اللهُ عَنۡ أَسۡلَافِهِمۡ: ﴿وَيَعۡبُدُونَ
مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡ﴾ هُمۡ يَعۡتَرِفُونَ
أَنَّهُمۡ لَا يَضُرُّونَهُمۡ وَلَا يَنۡفَعُونَهُمۡ ﴿مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا
يَنفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ﴾ [يونس:
۱۸]. اتَّخَذُوهُمۡ شُفَعَاءَ فَقَطۡ، وَفِي الۡأُخۡرَى: ﴿وَإِنَّهُمۡ
لَيَصُدُّونَهُمۡ عَنِ ٱلسَّبِيلِ وَيَحۡسَبُونَ أَنَّهُم مُّهۡتَدُونَ﴾ [الزخرف:
۳۷]. لَمۡ يَتَعَلَّمُوا، فَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّ هَٰذَا خَيۡرٌ.
Jadi mereka menyembelih untuk para wali dan orang saleh, tabaruk dengan
kuburan-kuburan mereka, memohon pertolongan kepada mereka, dan mereka berkata,
“Kami tahu bahwa mereka tidak memiliki urusan sedikit pun. Mereka tidak bisa
memberi manfaat dan mudarat. Akan tetapi mereka adalah orang-orang saleh. Kami
menginginkan agar mereka menjadi perantara untuk kami di sisi Allah.”
Sebagaimana Allah berfirman tentang para pendahulu mereka, “Mereka menyembah
selain Allah yang tidak bisa mendatangkan mudarat dan tidak pula
manfaat.”
Mereka mengakui bahwa sesembahan selain Allah itu tidak bisa mendatangkan
mudarat dan manfaat untuk mereka. “Yang tidak bisa mendatangkan mudarat dan
tidak pula manfaat. Mereka berkata: Mereka ini pemberi syafaat kepada kami di
sisi Allah.” (QS. Yunus: 18).
Mereka menjadikannya sebagai pemberi syafaat saja. Di dalam ayat lain, “Dan
sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang
benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. Az-Zukhruf:
37).
Mereka tidak belajar sehingga mereka menyangka bahwa ini adalah
kebaikan.
وَهَٰذَا هُوَ وَاقَعَ غَالِبَ النَّاسِ الۡيَوۡمَ، الۡكَثِيرَ مِنَ
الۡمُنۡتَسِبِينَ إِلَى الۡإِسۡلَامِ هَٰذَا وَاقَعَهُمۡ، يَتَقَرَّبُونَ إِلَى
اللهِ بِالشِّرۡكِ، مِثۡلِ مَا تَقَرَّبَ الۡمُشۡرِكُونَ الۡأَوَّلُونَ،
يَذۡبَحُونَ لِلۡقُبُورِ وَيَنۡذُرُونَ لَهَا، وَيَطُوفُونَ بِهَا
وَيَتَبَرَّكُونَ بِهَا، وَيَقُولُونَ: مَا عَبَدۡنَا غَيۡرَ اللهِ، لَٰكِنۡ
هَٰؤُلَاءِ رِجَالٌ صَالِحُونَ، وَنَحۡنُ قَصَدۡنَا أَنۡ أَنَّهُمۡ
يَتَوَسَّطُونَ لَنَا عِنۡدَ اللهِ فَقَطۡ.
Ini yang terjadi pada kebanyakan manusia di hari-hari ini. Ini terjadi pada
banyak orang yang menyandarkan dirinya kepada Islam. Mereka mendekatkan diri
kepada Allah dengan kesyirikan semisal takarub yang dilakukan oleh kaum
musyrikin zaman dahulu. Mereka menyembelih untuk kuburan-kuburan, bernazar
untuknya, tawaf di situ, dan mencari berkah darinya. Lalu mereka berkata,
“Kami tidak menyembah selain Allah, namun mereka ini adalah orang-orang yang
saleh dan kami hanya memaksudkan agar mereka menjadi perantara untuk kami di
sisi Allah.”
وَاللهُ يَقُولُ: ﴿وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا
نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ﴾ [الزمر: ٣]، مَا
أَرَادُوا الشِّرۡكَ وَلَا قَصَدُوهُ، وَإِنَّمَا ظَنُّوا أَنَّهُمۡ يُؤَدُّونَ
عِبَادَةً وَقُرۡبَةً إِلَى اللهِ سُبۡحَانَهُ، يُقَرِّبُونَهُمۡ إِلَى اللهِ
زُلۡفَی، انۡظُرۡ كَيۡفَ يَأۡتِي الشَّيۡطَانُ إِلَى بَنِي آدَمَ، وَكَيۡفَ
يَأۡتِي شَيَاطِينُ الۡإِنۡسِ إِلَى بَنِي آدَمَ وَیُزَیِّنُونَ هَٰذِهِ
الۡأُمُورَ.
Dan Allah berfirman, “Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai
pelindung (mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’” (QS. Az-Zumar: 3).
Mereka tidak ingin berbuat kesyirikan dan tidak pula memaksudkannya. Mereka
hanya menyangka bahwa mereka melakukan ibadah dan pendekatan diri kepada
Allah—subhanahu—. (Mereka menyangka para pelindung selain Allah itu) dapat
mendekatkan diri mereka kepada Allah sedekat-dekatnya. Perhatikanlah bagaimana
setan mendatangi bani Adam dan bagaimana setan dari jenis manusia mendatangi
bani Adam dan menghias-hiasi perkara-perkara ini.
نَقُولُ لَهُمۡ: أَنۡتُمۡ مَا تَعۡبُدُونَ أَصۡنَامًا، أَنۡتُمۡ تَتَوَسَّطُونَ
بِالنَّاسِ الصَّالِحِينَ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَ اللهِ.
Kita katakan kepada mereka: Kalian memang tidak menyembah berhala-berhala.
Kalian menjadikan orang-orang saleh sebagai perantara antara kalian dengan
Allah.
وَاللهُ -جَلَّ وَعَلَا- اعۡتَبَرَ هَٰذَا شِرۡكًا فَقَالَ:
﴿وَيَعۡبُدُونَ﴾جَعَلَهُ عِبَادَةً ﴿وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا
يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ
ٱللَّهِ ۚ قُلۡ أَتُنَبِّـءُونَ ٱللَّهَ بِمَا لَا يَعۡلَمُ فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ
وَلَا فِى ٱلۡأَرۡضِ ۚ سُبۡحَـٰنَهُۥ وَتَعَـٰلَىٰ﴾ نَزَّهَ نَفۡسَهُ عَنۡ ذٰلِكَ
فَقَالَ: ﴿عَمَّا يُشۡرِكُونَ﴾ [يونس: ۱۸] فَسَمَّاهُ شِرۡكًا.
Sementara Allah—jalla wa ‘ala—menganggap ini sebagai kesyirikan. Allah
berfirman, “Dan mereka menyembah.” Allah menjadikannya termasuk ibadah.
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak bisa memberi mereka mudarat
dan tidak pula memberi manfaat. Dan mereka berkata: Mereka ini pemberi syafaat
kepada kami di sisi Allah. Katakanlah: Apakah kalian mengabarkan kepada Allah
apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak pula di bumi? Mahasuci
Dia dan Mahatinggi.” Allah mensucikan diri-Nya dari perbuatan mereka itu, lalu
Allah berfirman, “Dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Yunus: 18).
Jadi, Allah menamakan perbuatan mereka itu sebagai kesyirikan.
وَهُمۡ لَا يُسَمُّونَهُ شِرۡكًا، يُسَمُّونَهُ طَلَبَ الشَّفَاعَةِ، فَيَجِبُ
التَّنَبُّهُ لِهَٰذَا.
Namun mereka tidak menamakannya sebagai kesyirikan. Mereka menamakannya
permintaan syafaat, sehingga wajib untuk perhatian terhadap hal ini.
أَنۡتَ دَرَسۡتَ فِي الۡعَقِيدَةِ أَنَّ الشِّرۡكَ حَرَامٌ، وَأَنَّهُ أَكۡبَرُ
الۡكَبَائِرِ، وَأَنَّهُ لَا يُغۡفَرُ، لَٰكِنَّ فَهۡمَ الشِّرۡكِ أَيۡنَ هُوَ؟
لَابُدَّ أَنۡ تَعۡرِفَ مِنۡ أَعۡمَالِ النَّاسِ وَتَطۡبِيقَاتِهِمۡ مَا هُوَ
شِرۡكٌ وَمَا هُوَ تَوۡحِیدٌ.
Engkau telah mempelajari di dalam akidah bahwa kesyirikan adalah haram,
kesyirikan adalah dosa besar paling besar, kesyirikan tidak diampuni, akan
tetapi di mana pemahaman terhadap kesyirikan? Maka, engkau harus mengetahui di
antara amalan manusia dan praktek mereka, apa yang merupakan syirik dan apa
yang merupakan tauhid.
هُمۡ يَقُولُونَ: هَٰذَا مِنَ التَّوَسُّلِ بِالۡأَوۡلِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ،
وَهَٰذَا هُوَ التَّوۡحِيدُ، وَهَٰذَا يُحِبُّهُ اللهُ، وَأَنَّ هَٰؤُلَاءِ
عِبَادُهُ، وَأَنَّهُمۡ صَالِحُونَ، وَاللهُ يُحِبُّ هَٰذَا، فَيَتَقَرَّبُونَ
إِلَى اللهِ بِهَٰؤُلَاءِ، يُسَمُّونَهُ الدِّينَ وَيُسَمُّونَهُ التَّوۡحِيدَ،
يُسَمُّونَ الشِّرۡكَ تَوۡحِيدًا لِجَهۡلِهِمۡ وَعَمَى بَصَائِرِهِمۡ.
Mereka mengatakan, “Ini termasuk tawasul dengan para wali yang saleh. Inilah
tauhid. Ini dicintai Allah. Sesungguhnya mereka ini adalah para hamba-Nya dan
mereka orang-orang saleh. Allah mencintai ini.”
Lalu mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan orang-orang saleh tersebut.
Mereka melabelinya sebagai agama. Mereka menamakannya tauhid. Mereka menamakan
syirik sebagai tauhid karena kebodohan mereka dan butanya mata hati mereka.