Cari Blog Ini

Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha

Namanya terukir indah dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan Islam. Beliau adalah pelipur duka dan lara penghulu umat manusia dunia dan akhirat, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sang kekasih Allah.

Ia adalah Khadijah bintu Khuwailid, ibunda kaum mukminin. Allah karuniakan kepadanya anugerah agung menjadi pendamping dan pendukung sebaik-baik manusia. Dia adalah wanita pertama yang membenarkan kenabian Muhammad di saat manusia mendustakannya. Ia adalah pelindung bagi beliau saat manusia memeranginya. Kepadanya secara khusus Allah menyampaikan salam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Khadijah, sesungguhnya Jibril menyampaikan salam dari Rabbmu.” Khadijah menjawab, “Allah Dialah As Salam, dari-Nya pula salam keselamatan, semoga Allah melimpahkan salam atas Jibril.”

Masya Allah

Ia adalah Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushay Al Qurasyiyah Al Asadiyah. Pada masa jahiliah, ia dikenal dengan kemuliaan, kecantikan, dan kekayaannya. Ia adalah wanita yang suci, wanita yang menjaga kehormatannya sehingga Ath Thahirah (yang suci), julukan ini melekat kepadanya.

Di saat ia menjanda dari suami pertama yaitu Abu Halah bin An-Nabasyi bin Zurarah At-Tamimi, kemudian dari suami yang kedua ‘Atiq bin ‘Aidz bin Abdullah bin Amr Al-Makhzumy, seluruh pemuka Quraisy berharap bisa bersanding dengannya. Semuanya ia tolak karena Allah berkehendak untuk menikahkannya dengan seorang terbaik di muka bumi.

Sebagaimana mayoritas orang Quraisy yang lain, Khadijah yang berkuniyah Ummu Hindun adalah pedagang yang mengirimkan dagangannya ke Syam. Ia mempekerjakan orang untuk menjalankan usaha ini. Ketika Rasulullah yang terkenal dengan julukan Al Amin (yang amanah), menginjak umur 25 tahun, Khadijah meminta beliau untuk membawa dagangan ke Syam bersama budaknya yang bernama Maisarah. Rasulullah membawa dagangannya ke pasar Bushra, dan kembali dengan membawa keuntungan yang berlipat-lipat dari biasanya. Khadijah yang hatinya sudah tertambat kepada beliau semakin menaruh perhatian. Ia banyak bertanya kepada budaknya mengenai pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maisarah pun menceritakan keluhuran budi pekerti yang ia ketahui semenjak bersama Rasulullah dalam perjalanan dagang tersebut, terutama sifat amanah dan kejujuran beliau dalam menjalankan usahanya. Hati Khadijah semakin terpaut dengan Rasulullah dan ingin menikah dengan beliau. Diutuslah Nafisah binti Umayyah, saudara perempuan Ya’la bin Umayyah At-Tamimi untuk menyampaikan hajatnya kepada Rasulullah. Nafisah mengatakan kepada Rasulullah, “Kenapa engkau tidak menikah?” Beliau menjawab, “Aku tidak memiliki apa-apa.” Nafisah mengatakan, “Apabila engkau dicukupi, menikah dengan orang yang memiliki harta, kecantikan, dan kemuliaan, apakah engkau bersedia?” Beliau bertanya, “Siapa?” Dijawab, “Khadijah.” Beliau pun menyanggupinya. Beliau dinikahkan oleh paman Khadijah yaitu ‘Amr bin Asad bin Abdul ‘Uzza Al-Qurasyi Al-Asadi.

Demikianlah Allah karuniakan anugerah indah ini kepada Khadijah, sang wanita suci. Inilah awal kemuliaannya. Kemudian keutamaan demi keutamaan pun diraih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Sebaik-baik wanita surga Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim.” Subhanallah…

Rasulullah ketika itu berumur 25 tahun, sedangkan Khadijah 40 tahun, keluarga harmonis yang dibangun oleh dua insan berakhlak mulia. Allah limpahkan berkah-Nya, sehingga terlahir dari pernikahan suci ini Al Qasim dan Abdullah yang keduanya meninggal pada usia kanak-kanak. Juga Fathimah, Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum, yang kemudian semua masuk Islam dan berhijrah ke Madinah. Khadijah sangat mencintai Rasulullah, segala upaya ditempuh untuk membahagiakan beliau, sampai ketika melihat Rasulullah senang terhadap Zaid bin Haritsah yang waktu itu sebagai budaknya, Khadijah pun menghadiahkan untuk beliau.

Menjelang pengangkatan sebagai Nabi, Rasulullah senang menyendiri di gua Hira, lari dari kebencian beliau terhadap kesesatan kaumnya menyembah berhala. Khadijah sang istri setia, terus memberikan dorongan kepada beliau. Ia menyiapkan bekal bagi beliau selama beberapa hari, dan dengan sabar menanti di rumah. Keadaan ini berlangsung sampai beberapa waktu, ketika bekal beliau habis, beliau pulang untuk mengambil bekal yang telah dipersiapkan oleh istri tercinta, dan kembali beribadah menyendiri di gua Hira.

Saat turun wahyu pertama, datanglah malaikat Jibril kepada beliau, Jibril mengatakan, “Bacalah!”

Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”

Lalu Jibril memeluk beliau dengan kuat hingga beliau sesak. Kemudian, Jibril melepaskan beliau dan mengatakan kembali, “Bacalah!”

Beliau pun menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”

Untuk yang kedua kalinya Jibril memeluk beliau hingga sesak kemudian melepaskan beliau dan mengatakan, “Bacalah!”

Beliau menjawab dengan jawaban yang sama. Kembali Jibril memeluknya sampai sesak untuk yang ketiga kalinya, kemudian melepaskan beliau dan mengatakan,

ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ ﴿١﴾ خَلَقَ ٱلْإِنسَـٰنَ مِنْ عَلَقٍ ﴿٢﴾ ٱقْرَأْ وَرَبُّكَ ٱلْأَكْرَمُ ﴿٣﴾ ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلْقَلَمِ ﴿٤﴾ عَلَّمَ ٱلْإِنسَـٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ﴿٥﴾

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” [Q.S. Al Alaq: 1-5]. Rasulullah pun segera bergegas pulang dengan hati bergoncang hebat. Sesampainya beliau di rumah, beliau langsung mengatakan kepada istri beliau, “Selimuti aku, selimuti aku!” Khadijah pun menyelimuti beliau hingga hilang rasa takut beliau. Kemudian beliau menceritakan semua kejadian yang dialami kepada Khadijah, beliau mengatakan, “Sungguh aku sangat khawatir atas diriku.” Yakni, beliau takut dirinya dirasuki syaithan sehingga melihat hal demikian itu. Segera, Khadijah membesarkan hati suaminya, “Sekali-kali tidak, bergembiralah, demi Allah, Allah tidak akan merendahkanmu selama-lamanya, sungguh engkau adalah orang yang menyambung silaturahmi, jujur dalam berbicara, senang memuliakan tamu, menanggung kesusahan orang lain, bersedekah kepada orang yang tidak punya dan menolong orang yang terzalimi.”

Kemudian Khadijah mengajak Rasulullah menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul ‘Uzza, paman Khadijah yang beragama Nasrani, seorang yang menulis Injil dengan bahasa Ibrani pada masa mudanya. Dia sudah tua dan buta. Rasulullah pun menceritakan apa yang beliau alami.

Waraqah mengatakan, “Ini adalah Namus yang datang menemui Musa.” Waraqah memaksudkan Jibril, kemudian berkata lagi, “Seandainya saya masih muda, seandainya saya masih hidup ketika kaummu mengusirmu.”

Rasulullah bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?”

Waraqah menjawab, “Iya, tidaklah seorang pun datang dengan membawa apa yang engkau bawa, kecuali akan dimusuhi. Seandainya aku masih hidup saat itu, aku akan benar-benar menolongmu.”

Tidak berapa lama setelah itu, Waraqah meninggal. Wahyu juga tidak kunjung turun, beliau pun bertambah sedih. Di masa-masa sulit seperti inilah Khadijah banyak mengambil peran sebagai istri. Dia selalu menemani suami tercinta.

Demikianlah istri shalihah. Dia menjadi penghilang duka suami, penghibur hati yang sedih, selalu mendorong suami dalam kebaikan. Khadijah binti Khuwailid, orang pertama yang beriman kepada Rasulullah, mendukung dan menguatkan beliau, sehingga tidaklah Rasulullah mendengar ucapan yang membuat beliau sedih dari orang-orang musyrik, berupa pendustaan, penolakan dan yang lainnya kecuali Allah berikan jalan keluar melalui Khadijah. Ia selalu mengokohkan beliau, membenarkan, dan meringankan beban beliau. Karena inilah, kesan indah Khadijah sangat melekat pada beliau. Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan, bahwa tidaklah Rasulullah keluar dari rumah beliau, kecuali hampir selalu menyebutkan nama Khadijah dan memujinya. Aisyah berkata, “Beliau pun suatu hari menyebut namanya, dan hinggaplah kecemburuan pada diriku, aku pun mengatakan, ‘Bukankah Khadijah itu hanyalah seorang yang sudah tua, yang Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik untukmu.’ Maka Rasulullah pun sangat marah, beliau bersabda, ‘Tidak demi Allah, Allah tidak menggantikannya dengan yang lebih baik sama sekali. Ia beriman kepadaku di saat manusia mengkafiriku, ia membenarkanku saat manusia mendustakanku, ia mendukungku dengan hartanya saat manusia menahan hartanya dariku, Allah mengaruniakan kepadaku anak darinya saat wanita lainnya tidak.’” Aisyah pun mengatakan, “Aku berkata dalam diriku, ‘Aku tidak akan menjelekkannya selama-lamanya’.”

Pada suatu hari, pernah Khadijah keluar rumah untuk mencari Rasulullah di pegunungan Mekah dengan membawa bekal beliau. Dalam perjalanan Jibril menemui Khadijah dalam bentuk seorang lelaki, Jibril pura-pura menanyakan keberadaan Rasulullah, Khadijah tidak menyebutkannya karena khawatir orang tersebut menginginkan kejelekan pada beliau. Ketika Khadijah bertemu dengan Rasulullah, ia ceritakan hal tersebut. Rasulullah bersabda, “Ia adalah Jibril, ia memintaku untuk menyampaikan salam kepadamu, dan memberikan kabar gembira dengan sebuah rumah untukmu dari mutiara yang berlubang di surga, tidak ada keletihan di sana tidak ada pula kegaduhan.” Masya Allah

Pada tahun kesepuluh kenabian, tiga tahun sebelum hijrah, sebelum Rasulullah di-Mi’raj-kan ke Sidratul Muntaha, Khadijah binti Khuwailid wafat menghadap Allah Yang Maha Tinggi, wafat sebelum disyariatkan shalat jenazah. Ketika berumur 65 tahun, pada bulan Ramadhan, tiga hari setelah meninggalnya Abu Thalib. Rasulullah sendiri yang memakamkannya di daerah Hajun. Semoga Allah meridhainya… Allahu a’lam. (Farhan)


Sumber Bacaan: Al-Isti’ab karya Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr rahimahullah, Al-Ishabah karya Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, Thabaqat Ibnu Sa’d karya Muhammad bin Sa’d rahimahullah, dan Shahih As-Sirah An-Nabawiyyah karya Syaikh Al-Albani rahimahullah.

Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 03 vol.01 1432H-2011M, rubrik Figur.