Nama lengkap beliau adalah Al-Ahnaf bin Qais bin Mu’awiyah bin Hushain As-Sa’dy At-Tamimi Abu Bahr. Beliau adalah pemimpin Bani Tamim dan salah satu tokoh yang berilmu lagi fasih bahasanya serta pemberani dalam peperangan. Seorang figur yang dijadikan suri teladan oleh orang-orang di masanya dalam hal kesantunan dan kepemimpinan yang bijak. Sesungguhnya nama asli beliau adalah Dhahhak atau dalam riwayat lain bahwa namanya adalah Shakhr. Namun beliau lebih dikenal dengan nama Ahnaf yang artinya kaki bengkok. Sehingga, julukan tersebut seolah-olah telah menjadi nama aslinya. Namun demikian, kekurangan tersebut tidaklah menghalanginya untuk menjadi tokoh yang dihormati karena keilmuan dan kepemimpinannya.
Ahnaf dilahirkan di Bashrah tepatnya di sebelah barat Yamamah dan menjumpai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, beliau belum pernah melihatnya. Dalam sejarah tercatat beliau pernah bertemu dengan para shahabat yang mulia seperti Umar, Utsman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzar dan yang lainnya radhiyallahu ‘anhum.
Begitu banyak kisah beliau bersama Umar radhiyallahu ‘anhu secara khusus yang sarat dengan berbagai pelajaran berharga terutama bagi para pemimpin. Asy-Sya’bi mengisahkan bahwa awal pertemuan Umar dengan Ahnaf terjadi ketika Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu mengirim serombongan utusan Bashrah untuk menghadap Umar. Di antara rombongan tersebut terdapat seorang pemuda bernama Ahnaf bin Qais. Setibanya di sana, Umar menyambut baik mereka dan bertanya tentang kebutuhan-kebutuhan pribadi dan seluruh penduduk Bashrah. Maka setiap utusan hanya menyampaikan kebutuhan pribadinya yang dibutuhkan kepada Umar. Mereka menganggap Umar sebagai amirul mukminin lebih mengetahui kebutuhan penduduk Bashrah secara umum. Saat itu, Ahnaf mendapat giliran terakhir untuk angkat bicara tentang permasalahan ini. Beliau pun memuji Allah dan menyanjung-Nya lantas berkata, “Wahai amirul mukminin sesungguhnya penduduk Mesir tinggal di tempat-tempat bagus peninggalan Fir’aun dan para pengikutnya. Demikian pula penduduk Syam tinggal di istana-istana peninggalan kaisar dan bala tentaranya. Penduduk Kufah juga tinggal di tempat persinggahan Persia, bangunan-bangunan mereka di sungai dan taman. Mereka tinggal di wilayah yang subur dan banyak buah-buahan. Sementara penduduk Bashrah tinggal di wilayah yang tandus dan tepinya dibatasi oleh laut asin serta padang tandus. Maka hilangkanlah kesusahan mereka, perbaikilah kondisi mereka dan perintahkanlah bawahan Anda di Bashrah supaya membuat aliran sungai sehingga kami bisa merasakan segarnya air tawar.”
Mendengar penuturan Ahnaf, Umar pun sangat kagum dan berkata kepada rombongan, “Tidakkah kalian mampu untuk menjadi seperti pemuda ini? Demi Allah dia (Ahnaf) adalah seorang pemimpin.” Setelah memenuhi kebutuhan rombongan, Umar mengizinkan kepada mereka untuk kembali ke Bashrah. Namun Ahnaf tidak diperkenankan untuk kembali bersama mereka dan diminta supaya tinggal bersamanya selama satu tahun. Umar melihat bahwa Ahnaf adalah seorang pemuda yang cerdas, fasih bicaranya, berilmu, dan memiliki karakter kuat sebagai pemimpin.
Seorang shahabat dari kaum muhajirin berkata, “Sesungguhnya orang ini (yaitu Ahnaf) yang telah mencegah penyerangan Bani Murrah terhadap kami ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami untuk mengambil zakat mereka. Sungguh, saat itu mereka telah bertekad untuk melakukannya terhadap kami.”
Maka semakin kuat tekad Umar untuk menahan pemuda ini supaya tinggal bersamanya. Selama itu pula Umar selalu datang mengunjungi Ahnaf di setiap malam dan siang. Suatu ketika, Umar memanggilnya lantas bertanya, “Wahai Ahnaf tahukah engkau kenapa aku menahanmu supaya tetap tinggal bersamaku?”
Ia menjawab, “Tidak wahai amirul mukminin.”
Umar berkata, “Sesungguhnya Rasulullah telah memperingatkan kami dari bahaya setiap orang munafik yang berilmu. Aku takut engkau termasuk golongan mereka, maka bersyukurlah kepada Allah wahai Ahnaf.”
Dalam kesempatan yang lain Umar berkata, “Sungguh selama ini aku telah menguji dan mencobamu. Maka aku melihatmu adalah orang yang baik secara lahir. Dan berharap keadaan batinmu baik seperti keadaan lahirmu.” Umar sangat khawatir bila orang seperti Ahnaf tidak terbimbing di atas kebenaran akan menimbulkan kerugian dan petaka yang besar bagi kaum muslimin. Umar pun menulis sepucuk surat untuk Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu supaya menyertakan Ahnaf dalam musyawarah dan mendengar usulan-usulan Ahnaf serta menjadikannya sebagai pendamping dalam menyelesaikan berbagai urusan. Demikian pula sebaliknya, Ahnaf memandang pertemuannya dengan Umar ini sebagai kesempatan emas untuk belajar ilmu agama kepadanya. Sehingga ia rajin menghadiri majelis-majelis untuk menimba ilmu darinya, mendengar nasihat-nasihatnya sekaligus belajar akhlaknya secara langsung. Tidak mengherankan bila karakter Umar begitu mewarnai kepribadian Ahnaf sebagai pemimpin Bani Tamim. Sungguh untaian nasihat, khutbah, dan kisah Ahnaf bin Qais telah banyak menghiasi kitab-kitab sejarah dan adab.
Berikut kita simak kisah beliau yang sarat pelajaran dan berbagai mutiara nasihatnya. Ahnaf pernah ditanya kenapa ia memiliki kewibawaan dan sikap bijak sebagai pemimpin. Maka ia menjelaskan kiatnya dengan menukilkan mutiara nasihat sang guru, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu:
“Barang siapa bergurau akan hilang wibawanya
Barang siapa berlebih-lebihan pada suatu perkara, ia akan dikenal dengan kebiasaannya
Barang siapa banyak bicara, banyak pula kesalahannya
Barang siapa banyak salahnya, semakin lunturlah rasa malunya
Barang siapa luntur rasa malunya, berkurang pula sifat wara’nya
Dan barang siapa berkurang sifat wara’nya, maka matilah qalbunya.”
Pernah suatu ketika Ahnaf melihat ada seorang laki-laki yang membawa uang satu dirham. Beliau pun bertanya kepadanya, “Milik siapa uang dirham ini?”
Laki-laki itu menjawab, “Tentu milikku.”
Ahnaf berkata, “Sesungguhnya uang hanya akan menjadi milikmu jika engkau menginfakkannya untuk mengharap pahala atau sebagai wujud rasa syukur.” Lantas Ahnaf membacakan beberapa bait syair:
“Engkau akan dikuasai harta jika harta itu engkau tahan (tidak disedekahkan)
Namun jika engkau menginfakkannya, maka harta itu akan menjadi milikmu.”
Ahnaf adalah seorang pemimpin dan suri teladan di kalangan Bani Tamim. Beliau dikenal sangat rajin ibadahnya dan tetap menjaganya selama menjadi pemimpin. Ada seseorang bertanya kepada Ahnaf, “Sungguh, engkau telah lanjut usia dan puasa akan membuatmu lemah.”
Beliau menjawab, “Sungguh aku menyiapkan puasa ini untuk bekal perjalanan yang sangat jauh (kehidupan akhirat).”
Bila malam telah datang, beliau pun menghidupkannya dengan shalat sehingga mayoritas shalat yang dilakukan Ahnaf adalah pada malam hari. Yang demikian ini karena posisi beliau sebagai tokoh dan pemimpin di kaumnya. Waktunya di siang hari lebih banyak digunakan untuk mengurusi kepentingan kaum muslimin. Tidak jarang pula beliau menangis karena teringat azab dan hukuman Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan ketika teringat dosa-dosanya, Ahnaf meletakkan jarinya di atas sebuah lentera sehingga beliau pun mengaduh karena panas. Kemudian berkata, “Wahai Ahnaf, apa yang mendorongmu berbuat demikian pada hari ini dan itu! Jika engkau tidak tahan panasnya api lentera ini dan tidak bisa bersabar, lalu bagaimana mungkin engkau bisa tahan dan bersabar dengan panasnya api neraka?! Ya Allah, bila Engkau memberikan ampunan kepadaku, maka Engkaulah yang berhak melakukannya. Namun bila Engkau menghukumku, maka itu memang layak bagiku dan Engkaulah Yang Berkuasa akan hal ini!”
Sungguh indah perjalanan Ahnaf bin Qais yang dihiasi dengan ilmu dan amal, semoga Allah membalas kebaikan-kebaikannya dengan balasan yang terbaik. Allahu a’lam.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 14 vol.02 1435H/2014M, rubrik Ulama, pemateri Ustadz Abu Hafy Abdullah.