الۡأَصۡلُ الۡأَوَّلُ: إِخۡلَاصُ الدِّينِ لِلهِ تَعَالَى وَحۡدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ.
Pondasi pertama: Mengikhlaskan agama untuk Allah ta’ala semata, tidak ada sekutu bagiNya.
الشَّرۡحُ - الۡأَصۡلُ الۡأَوَّلُ مِنۡ هٰذِهِ الۡأُصُولِ السِّتَّةِ: (إِخۡلَاصُ الدِّينِ لِلهِ وَحۡدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ) هٰذَا أَصۡلُ الۡأُصُولِ وَقَاعِدَةُ الدِّينِ، وَهٰذَا هُوَ الۡمُعۡتَرَكُ بَيۡنَ الۡأَنۡبِيَاءِ وَبَيۡنَ الۡأُمَمِ، فَالۡأَنۡبِيَاءُ يُرِيدُونَ أَنۡ يُصَحِّحُوا هٰذَا الۡأَصۡلَ الَّذِي خَلَقَ اللهُ الۡخَلۡقَ مِنۡ أَجۡلِهِ وَرَبَطَ سَعَادَتَهُمۡ بِهِ.
Penjelasan: Pondasi pertama dari enam pondasi ini adalah mengikhlaskan agama untuk Allah semata tidak ada sekutu bagiNya. Ini adalah pondasi yang paling dasar dan asas agama. Dan inilah medan pertempuran antara para nabi dengan umatnya. Para nabi menghendaki agar umatnya memperbaiki pondasi ini. Pondasi yang Allah telah menciptakan makhluk untuk tujuan ini dan mengaitkan kebahagiaan mereka dengannya.
فَلَيۡسَ الۡمُهِمُّ أَنَّ الۡإِنۡسَانَ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيُكۡثِرُ مِنَ الۡعِبَادَاتِ، الۡمُهِمُّ الۡإِخۡلَاصُ، فَقَلِيلٌ مَعَ الۡإِخۡلَاصِ خَيۡرٌ مِنۡ كَثِيرٍ مَعَ عَدَمِ الۡإِخۡلَاصِ، فَلَوۡ أَنَّ الۡإِنۡسَانَ يُصَلِّي اللَّيۡلَ وَالنَّهَارَ، وَيَتَصَدَّقُ بِالۡأَمۡوَالِ، وَيَعۡمَلُ الۡأَعۡمَالَ لَكِنۡ بِدُونِ إِخۡلَاصٍ فَلَا فَائِدَةَ فِي عَمَلِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا بُدَّ مِنَ الۡإِخۡلَاصِ.
Sehingga, bukan hal yang paling penting bahwa manusia itu puasa, shalat, dan memperbanyak ibadah. Namun yang terpenting adalah ikhlas. Karena ibadah yang sedikit disertai keikhlasan lebih baik daripada ibadah yang banyak tanpa keikhlasan. Sekiranya manusia shalat di malam dan siang, bersedekah dengan harta-harta mereka, mengerjakan amalan ibadah, namun tidak disertai keikhlasan, maka tidak ada faidah pada amalannya. Karena amal ibadah itu harus disertai ikhlas.
وَالۡإِخۡلَاصُ مَعۡنَاهُ: تَرۡكُ الشِّرۡكِ وَإِفۡرَادُ اللهِ -جَلَّ وَعَلَا- بِالۡعِبَادَةِ، وَلَا أَحَدٌ يَسۡتَحِقُّ الۡعِبَادَةَ مَهۡمَا بَلَغَ مِنَ الۡكَمَالِ وَمِنَ الۡفَضۡلِ إِلَّا الله، لَا الۡمَلَائِكَةُ الۡمُقَرَّبُونَ، وَلَا الۡأَنۡبِيَاءُ وَالرُّسُلُ، وَلَا الۡأَوۡلِيَاءُ وَالصَّالِحُونَ، هٰذَا هُوَ الۡأَصۡلُ، وَلَا يَتَحَقَّقُ هٰذَا الۡأًصۡلُ إِلَّا بِتَرۡكِ الشِّرۡكِ، أَمَّا مَنۡ يخلط بَيۡنَ الۡعِبَادَةِ لِلهِ وَبَيۡنَ الشِّرۡكِ بِغَيۡرِهِ، فَهٰذَا عَمَلُهُ حَابِطٌ.
Ikhlas maknanya adalah meninggalkan kesyirikan dan mengesakan Allah jalla wa ‘ala dalam beribadah. Dan tidak ada sesuatu pun yang berhak diibadahi, bagaimanapun sempurna dan mulianya ia, kecuali Allah. Tidaklah berhak diibadahi malaikat yang didekatkan, para nabi dan rasul, para wali dan orang-orang shalih. Inilah pondasi tersebut. Dan pondasi ini tidak bisa terwujud kecuali dengan meninggalkan kesyirikan. Adapun orang yang mencampuradukkan antara ibadah kepada Allah dengan menyekutukan dengan selainNya, maka amalannya batal.
وَأَمَّا الَّذِي يُخۡلِصُ عَمَلَهُ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهٰذَا هُوَ السَّعِيدُ، وَلَوۡ كَانَ عَمَلُهُ قَلِيلًا، فَقَلِيلٌ مِنَ الۡعَمَلِ مَعَ الۡإِخۡلَاصِ، فِيهِ الۡخَيۡرُ، وَفِيهِ النَّجَاةُ؛ وَحَدِيثُ الۡبِطَاقَةِ لَا يَخۡفَى: (رَجُلٌ يُبۡعَثُ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ تُعۡرَضُ عَلَيۡهِ أَعۡمَالُهُ مَكۡتُوبَةً فِي سِجِلَّاتٍ، كُلُّ سِجِلٍّ مِنۡهَا مَدَّ الۡبَصَرِ، مَمۡلُوءَةً بِالسَّيِّئَاتِ، تُوضَعُ هٰذِهِ السِّجِلَّاتُ فِي كِفَّةٍ، وَتُوضَعُ هٰذِهِ الۡبِطَاقَةُ الَّتِي فِيهَا (لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ) قَالَهَا هٰذَا الرَّجُلُ مِنۡ قَلۡبِهِ بِإِخۡلَاصٍ وَيَقِينٍ وَإِيمَانٍ؛ فَرَجَحَتۡ هٰذِهِ الۡكَلِمَةُ بِحَمِيعِ السِّجِلَّاتِ، وَطَاشَتۡ بِجَمِيعِ السِّجِلَّاتِ).
Adapun yang memurnikan amal ibadahnya untuk Allah ‘azza wa jalla, maka inilah kebahagiaan. Meskipun amalnya sedikit. Karena amal yang sedikit dibarengi dengan ikhlas, maka padanya ada kebaikan dan keselamatan. Dan hadits bithaqah (kartu) yang sudah tidak asing lagi, artinya: “Seseorang dibangkitkan pada hari kiamat, lalu ditampakkan amalannya tertulis di lembaran-lembaran catatan. Setiap lembar panjangnya sejauh mata memandang dipenuhi dengan kejelekan-kejelekan. Lalu lembaran catatan ini diletakkan di satu daun timbangan dan diletakkan kartu yang padanya ada laa ilaaha illallah yang orang ini ucapkan dengan ikhlas, yakin, dan iman. Ternyata, kata ini lebih berat dibanding seluruh lembaran catatan kejelekan tersebut dan lembaran catatan kejelekan menjadi ringan.”
هٰذَا هُوَ الۡإِخۡلَاصُ فَهُوَ مَا قَالَهَا مُجَرَّدَ لَفۡظٍ، وَإِنَّمَا قَالَهَا عَارِفًا بِمَعۡنَاهَا، مُعۡتَقِدًا بِمَا دَلَّتۡ عَلَيۡهِ، لَكِنَّهُ مَاتَ قَبۡلَ أَنۡ يَتَمَكَّنَ مِنَ الۡعَمَلِ، فَكَيۡفَ بِالَّذِي عِنۡدَهُ أَعۡمَالٌ كَثِيرَةٌ صَالِحَةٌ وَخَالِصَةٌ لِوَجۡهِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ؟!
Inilah keikhlasan. Orang ini tidak mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah semata-mata lafazhnya. Namun ia mengucapkannya dengan mengetahui maknanya dan meyakini kandungannya, akan tetapi ia meninggal sebelum mampu beramal. Lalu bagaimana dengan yang memiliki amalan yang banyak, baik, dan ikhlas mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla?!
هٰذَا فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الۡإِخۡلَاصَ وَإِنۡ كَانَ قَلِيلًا فَقَدۡ يُنۡجِي اللهُ بِهِ صَاحِبَهُ، وَيُكَفِّرُ عَنۡهُ جَمِيعَ الذُّنُوبِ وَالسَّيِّئَاتِ، وَأَنَّهُ إِذَا فَقَدَ الۡإِخۡلَاصَ فَلَا فَائِدَةَ مِنۡ كَثۡرَةِ الۡأَعۡمَالِ.
Pada hadits ini ada dalil bahwa ikhlas meskipun sedikit dapat menjadi sebab Allah menyelamatkan pelakunya dan menghapus seluruh dosa dan kejelekannya. Dan bahwa jika amalan kosong dari keikhlasan, maka amal yang banyak tidak ada faidahnya.