Cari Blog Ini

Taisirul 'Allam - Hadits ke-65

الۡحَدِيثُ الۡخَامِسُ وَالسِّتُّونَ

٦٥ – عَنۡ عَبۡد اللهِ بۡنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ كَانَ يُسَبِّحُ عَلَى ظَهۡرِ رَاحِلَتِهِ حَيۡثُ كَانَ وَجۡهُهُ، يُومِئُ بِرَأۡسِهِ، وَكَانَ ابۡنُ عُمَرَ يَفۡعَلُهُ[1].
وَفِي رِوَايَةٍ: كَانَ يُوتِرُ عَلَى بَعِيرِهِ. وَلِـ(مُسۡلِمٍ): غَيۡرَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّي عَلَيۡهَا الۡمَكۡتُوبَةَ[2]. وَلِلۡبُخَارِيِّ (إِلَّا الۡفَرَائِضَ)[3].
65. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu pernah shalat nafilah di atas punggung tunggangannya ke arah mana saja tunggangannya menghadap. Beliau memberi isyarat dengan kepala. Dan Ibnu ‘Umar dahulu juga biasa mengerjakannya.
Dalam riwayat lain: Beliau pernah shalat witir di atas untanya. Dan dalam riwayat Muslim: Hanya saja beliau tidak shalat wajib di atas tunggangannya. Dan dalam riwayat Al-Bukhari, “Kecuali shalat wajib.”

غَرِيبُ الۡحَدِيثِ:

١ – يُسَبِّحُ عَلَى ظَهۡرِ رَاحِلَتِهِ- التَّسۡبِيحُ هُنَا، يُرَادُ بِهِ صَلَاةُ النَّافِلَةِ، مِنۡ تَسۡمِيَةِ الۡكُلِّ بِاسۡمِ الۡبَعۡضِ. وَقَدۡ خُصَّتۡ النَّافِلَةُ بِاسۡمِ التَّسۡبِيحِ، قَالَ ابۡنُ حَجَرٍ: وَذٰلِكَ عُرۡفٌ شَرۡعِيٌّ.
٢ – الۡمَكۡتُوبَة: يَعۡنِي الصَّلَوَاتِ الۡخَمۡسَ الۡمَفۡرُوضَاتِ.
٣ – الرَّاحِلَة: النَّاقَةُ الَّتِي تَصۡلُحُ لِأَنۡ تُرَحَّلَ.

Kosa kata asing dalam hadits:

  1. يُسَبِّحُ عَلَى ظَهۡرِ رَاحِلَتِهِ, at-tasbih di sini maksudnya adalah shalat nafilah. Ini termasuk penamaan keseluruhan dengan nama sebagiannya. Dan penamaan at-tasbih ini dikhususkan untuk shalat nafilah saja. Ibnu Hajar berkata: Itu adalah ‘urf yang syar’i.
  2. Al-Maktubah adalah shalat wajib lima waktu.
  3. Ar-Rahilah adalah unta betina yang bisa ditunggangi.

الۡمَعۡنَى الۡإِجۡمَالِي:

الۡغَالِبُ فِي الشَّرِيعَةِ أَنَّ صَلَاةَ الۡفَرِيضَةِ وَصَلَاةَ النَّافِلَةِ تَشۡتَرِكَانِ فِي الۡأَحۡكَامِ، وَهَٰذَا هُوَ الۡأَصۡلُ فِيهِمَا. فَمَا وَرَدَ مِنۡ إِحۡدَاهُمَا مِنۡ حُكۡمٍ، فَهُوَ لَهُمَا سَوَاءٌ.
وَلَكِنَّهُ يُوجَدُ بَعۡضُ الۡأَدِلَّةِ الَّتِي تَخُصُّ إِحۡدَاهُمَا بِحُكۡمٍ دُونَ الۡأُخۡرَى.
وَالۡغَالِبُ عَلَى هَٰذِهِ الۡفُرُوقِ بَيۡنَهُمَا، تَخۡفِيفُ الۡأَحۡكَامِ فِي النَّافِلَةِ دُونَ الۡفَرِيضَةِ، وَمِنۡ ذٰلِكَ، هَٰذَ الۡحَدِيثُ الَّذِي مَعَنَا.
فَإِنَّهُ لَمَّا كَانَ الۡمَطۡلُوبُ تَكۡثِيرَ نَوَافِلِ الصَّلَاةِ وَالۡاشۡتِغَالَ بِهَا خُفِّفَ فِيهَا.
فَكَانَ ﷺ يُصَلِّيهَا فِي السَّفَرِ عَلَى ظَهۡرِ رَاحِلَتِهِ حَيۡثُ تَوَجَّهَتۡ بِهِ وَلَوۡ لَمۡ تَكُنۡ تُجَاهَ الۡقِبَلَةِ وَيُومِئُ بِرَأۡسِهِ إِشَارَةً إِلَى الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ.
وَلَا فَرۡقَ بَيۡنَ أَنۡ تَكُونَ نفلًا مُطۡلَقًا، أَوۡ مِنَ الرَّوَاتِبِ أَوۡ مِنَ الصَّلَوَاتِ ذَوَاتِ الۡأَسۡبَابِ.
لِهَٰذَا كَانَ يُصَلِّي عَلَى الرَّاحِلَةِ آكَدَ النَّوَافِلِ وَهُوَ الۡوِتۡرُ.
أَمَّا الصَّلَوَاتُ الۡخَمۡسُ الۡمَكۡتُوبَةُ فَوُقُوعُهَا قَلِيلٌ لَا يَشۡغُلُ الۡمُسَافِرُ فِيهَا، وَيَجِبُ الۡاعۡتِنَاءُ بِهَا وَتَكميلُهَا، فَلِذَا لَا تَصِحُّ عَلَى الرَّاحِلَةِ إِلَّا عِنۡدَ الضَّرُورَةِ.

Makna secara umum:

Dalam syariat ini, seringnya, shalat wajib dan shalat nafilah sama hukumnya. Dan ini adalah asal hukumnya. Sehingga, setiap ada hukum yang mengatur salah satunya, maka berlaku sama untuk kedua-duanya. Akan tetapi didapati sebagian dalil-dalil yang mengkhususkan hukum untuk salah satunya saja. Dan perbedaan hukum antara kedua jenis shalat ini seringnya berupa keringanan hukum untuk shalat nafilah. Dan termasuk kasus tersebut adalah hadits yang bersama kita ini.
Karena perkara yang dituntut adalah memperbanyak shalat nafilah dan menyibukkan diri dengannya, maka diringankanlah hukum-hukumnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu biasa shalat nafilah ketika safar di atas punggung tunggangan beliau, menghadap ke mana saja tunggangannya menghadap, meskipun tidak menghadap kiblat. Beliau menggerakkan kepala beliau sebagai isyarat ruku’ dan sujud. Tidak ada perbedaan apakah itu shalat sunnah mutlak, rawatib, atau shalat-shalat yang memiliki sebab. Oleh karena itu, beliau shalat nafilah yang paling ditekankan di atas tunggangan beliau, yaitu shalat witir.
Adapun shalat wajib lima waktu, tidak sering dilakukan sehingga musafir tidak tersibukkan darinya. Dan shalat lima waktu ini wajib untuk diperhatikan dan disempurnakan. Oleh karena itu, shalat wajib tidak sah di atas kendaraan kecuali saat darurat.

أَحۡكَامُ الۡحَدِيثِ:

١ – جَوَازُ صَلَاةِ النَّافِلَةِ فِي السَّفَرِ عَلَى الرَّاحِلَةِ وَفِعۡلُ ابۡنِ عُمَرَ لَهُ أَقۡوَى مِنۡ مُجَرَّدِ الرِّوَايَةِ.
٢ – ذَهَبَ الۡإِمَامُ أَحۡمَدُ وَأَبُو ثَوۡرٍ إِلَى اسۡتِقۡبَالِ الۡقِبۡلَةِ حَالَ ابۡتِدَاءِ الصَّلَاةِ، وَذٰلِكَ لِحَدِيثِ أَنَسٍ مِنۡ أَنَّهُ كَانَ ﷺ إِذَا أَرَادَ أَنۡ يَتَطَوَّعَ فِي السَّفَرِ اسۡتَقۡبَلَ بِنَاقَتِهِ الۡقِبۡلَةَ، ثُمَّ صَلَّى حَيۡثُ وَجَّهَهُ رِكَابُهُ وَظَاهِرُ الۡحَدِيثِ الۡعُمُومُ.
٣ – عَدَمُ جَوَازِ الۡفَرِيضَةِ عَلَى الرَّاحِلَةِ بِلَا ضَرُورَةٍ. قَالَ الۡعُلَمَاءُ: لِئَلَّا يَفُوتُهُ الۡاسۡتِقۡبَالُ، فَإِنَّهُ يَفُوتُهُ ذٰلِكَ وَهُوَ رَاكِبٌ.
أَمَّا عِنۡدَ الضَّرُورَةِ مِنۡ خَوۡفٍ أَوۡ سَيۡلٍ، فَيَصِحُّ، كَمَا صَحَّتۡ بِهِ الۡأَحَادِيثُ.
٤ – أَنَّ الۡإِيمَاءَ هُنَا: يَقُومُ مَقَامَ الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ.
٥ – أَنَّ قِبۡلَةَ الۡمتنفلِ عَلَى الرَّاحِلَةِ، هِيَ الۡوِجۡهَةُ الَّتِي هُوَ مُتُوَجِّهٌ إِلَيۡهَا.
٦ – أَنَّ الۡوِتۡرَ لَيۡسَ بِوَاجِبٍ، حَيۡثُ صَلَّاهُ عَلَيۡهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ، عَلَى الرَّاحِلَةِ.
٧ – أَنَّهُ كُلَّمَا احۡتِيجَ إِلَى شَيۡءٍ دَخَلَهُ التَّيۡسِيرُ وَالتَّسۡهِيلُ.
وَهَٰذَا مِنۡ بَعۡضِ أَلۡطَافِ اللهِ الۡمُتُوَالِيَةِ عَلَى عِبَادِهِ.
٨ – سَمَاحَةُ هَٰذِهِ الشَّرِيعَةِ، وَتَرۡغَيبُ الۡعِبَادِ فِي الۡازۡدِيَادِ مِنَ الطَّاعَاتِ، بِتَسۡهِيلِ سُبُلِهَا. فَلِلهِ الۡحَمۡدُ وَالۡمِنَّةُ.
٩ – ذَكَرَ الصَّنۡعَانِيُّ أَنَّ أَلۡفَاظَ الۡحَدِيثِ مَجۡمُوعَةٌ مِنۡ عِدَّةِ رِوَايَاتٍ فِي الۡبُخَارِيِّ وَمُسۡلِمٍ، وَأَنَّهُ لَيۡسَ فِي الصَّحِيحَيۡنِ رِوَايَةُ هَٰكَذَا لَفۡظُهَا.
١٠ – لَا يُسۡتَدَلُّ بِهَٰذَا الۡحَدِيثِ عَلَى أَنَّ الۡخَفۡضَ فِي السُّجُودِ أَكۡثَرَ مِنَ الرُّكُوعِ وَإِنَّمَا ذٰلِكَ فِي حَدِيثِ جَابِرٍ حَيۡثُ يَقُولُ: (جِئۡتُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحۡوَ الۡمَشۡرِقِ وَالسُّجُودُ أَخۡفَضَ مِنَ الرُّكُوعِ) وَقَدۡ أَخۡرَجَهُ التِّرۡمِذِيُّ وَأَبُو دَاوُدَ.
١١ – ذَهَبَ جُمۡهُورُ الۡعُلَمَاءِ إِلَى جَوَازِ تَرۡكِ الۡاسۡتِقۡبَالِ فِي السَّفَرِ الطَّوِيلِ وَالۡقَصِيرِ إِلَّا مَالِكًا فَقَدۡ خَصَّهُ بِالسَّفَرِ الَّذِي تُقَصَّرُ فِيهِ الصَّلَاةُ وَلَمۡ يُوَافِقۡهُ أَحَدٌ عَلَى ذٰلِكَ.

Hukum-hukum hadits:

  1. Bolehnya shalat nafilah ketika safar di atas kendaraan. Dan perbuatan Ibnu ‘Umar lebih kuat daripada sekadar riwayat semata.
  2. Imam Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat menghadap kiblat ketika memulai shalat. Hal itu berdasarkan hadits Anas bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila hendak shalat nafilah ketika safar, beliau menghadapkan untanya ke arah kiblat, kemudian beliau shalat ke arah mana saja tunggangannya menghadap. Namun, zhahir hadits ini menunjukkan keumuman.
  3. Tidak boleh shalat wajib di atas kendaraan tanpa alasan darurat. Para ulama berkata: Supaya bisa menghadap kiblat, karena kalau dalam keadaan mengendarai bisa jadi tidak menghadap kiblat. Adapun apabila darurat seperti takut atau banjir maka sah, sebagaimana disahkan dalam hadits-hadits.
  4. Bahwa isyarat di sini menempati kedudukan ruku’ dan sujud.
  5. Bahwa kiblat orang yang shalat nafilah di atas kendaraan adalah arah kendaraannya menghadap.
  6. Bahwa shalat witir tidak wajib karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat witir di atas kendaraan.
  7. Bahwa setiap ada kebutuhan terhadap sesuatu, akan ada kemudahan dan keringanan. Dan ini termasuk kelembutan Allah yang berkesinambungan kepada para hambaNya.
  8. Mudahnya syariat ini dan anjuran untuk para hamba untuk menambah ketaatan dengan adanya kemudahan cara-caranya. Hanya milik Allah saja segala pujian dan karunia.
  9. Ash-Shan’ani menyebutkan bahwa lafazh-lafazh hadits di atas terkumpul dari beberapa riwayat di dalam Al-Bukhari dan Muslim. Dan bahwa riwayat hadits dengan lafazh yang demikian tidak terdapat di dalam Ash-Shahihain.
  10. Dari hadits ini, tidak diambil dalil bahwa menunduk ketika sujud lebih rendah daripada ketika ruku’. Hal itu terdapat dalam hadits Jabir dimana beliau berkata: Aku datang dalam keadaan Nabi shalat di atas tunggangannya menghadap timur, dan sujudnya lebih rendah daripada ruku’nya. Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan Abu Dawud.
  11. Mayoritas ulama berpendapat bolehnya tidak menghadap kiblat keika safar baik yang jauh maupun yang dekat. Kecuali Imam Malik, beliau mengkhususkan hanya safar yang boleh diqashar shalat saja. Namun tidak ada seorang ulama pun yang sependapat dengan beliau dalam hal ini.

[1] رَوَاهُ الۡبُخَارِيُّ (١١٠٥) فِي تَقۡصِيرِ الصَّلَاةِ، وَمُسۡلِمٌ (٧٠٠)(٣٧) فِي صَلَاةِ الۡمُسَافِرِينَ، وَرَوَاهُ أَيۡضًا النَّسَائِيُّ (١/٢٤٤) فِي الصَّلَاةِ، وَالدَّارِمِيُّ (١/٣٦٥) فِي الصَّلَاةِ، وَأَحۡمَدُ فِي (الۡمُسۡنَدِ)(٢/١٣٢). 
[2] رَوَاهُ مُسۡلِمٌ (٧٠٠) وَ(٣٩) فِي صَلَاةِ الۡمُسَافِرِينَ. 
[3] رَوَاهُ الۡبُخَارِيُّ (١٠٩٧) فِي تَقۡصِيرِ الصَّلَاةِ.