الۡحَدِيثُ التِّسۡعُونَ
٩٠ – عَنۡ أَبِي مَسۡلَمَةَ –سَعِيدِ بۡنِ يَزِيدَ –قَالَ: سَأَلۡتُ أَنَسَ بۡنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ: أَكَانَ النَّبِيُّ ﷺ يُصَلِّي فِي نَعۡلَيۡهِ؟ قَالَ: نَعَمۡ[1].
90. Dari Abu Maslamah Sa’id bin Yazid, beliau mengatakan: Aku bertanya kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu: Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah salat memakai sandal? Anas menjawab: Ya, pernah.
الۡمَعۡنَى الۡإِجۡمَالِي:
سَأَلَ سَعِيدُ بۡنُ يَزِيدَ أَنَسَ بۡنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنۡهُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: أَكَانَ يُصَلِّي فِي نَعۡلَيۡهِ لِيَكُونَ لَهُ قُدۡوَةٌ فِيهِ؟ فَأَجَابَهُ أَنَسٌ: نَعَمۡ، كَانَ يُصَلِّي فِي نَعۡلَيۡهِ، وَأَنَّ ذٰلِكَ مِنۡ سُنَّتِهِ الۡمُطَهَّرَةِ.
Makna secara umum:
Sa’id bin Yazid bertanya kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengenai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah beliau pernah salat memakai sandal sehingga bisa dijadikan teladan? Anas menjawab: Ya, beliau pernah salat memakai sandalnya dan bahwa itu termasuk sunahnya yang suci.
مَا يُؤۡخَذُ مِنَ الۡحَدِيثِ:
١ – اسۡتِحۡبَابُ الصَّلَاةِ فِي النَّعۡلَيۡنِ، حَيۡثُ كَانَ مِنۡ فِعۡلِ النَّبِيِّ ﷺ.
٢ – جَوَازُ دُخُولِ الۡمَسۡجِدِ بِهِمَا، بَعۡدَ تَنۡظِيفِهِمَا مِنَ الۡأَقۡذَارِ وَالۡأَنۡجَاسِ.
٣ – أَنَّ غَلَبَةَ الظَّنِّ فِي نَجَاسَتِهِمَا لَا تُخۡرِجُهُمَا عَنۡ أَصۡلِ الطَّهَارَةِ فِيهِمَا.
Faedah yang diambil dari hadits ini:
- Disukainya salat memakai sandal dari sisi bahwa ia merupakan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Bolehnya memasuki masjid memakai sandal setelah dibersihkan dari kotoran dan najis.
- Bahwa dugaan kuat mengenai najisnya sandal tidak dapat mengeluarkannya dari asal kesucian sandal itu.
فَائِدَةٌ:
الصَّلَاةُ فِي النِّعَالِ وَدُخُولُ الۡمَسۡجِدِ فِيهِمَا، أَصۡبَحَتۡ مَسۡأَلَةً مُشۡكِلَةً.
فَسُنَّةُ النَّبِيِّ ﷺ صَرِيحَةٌ بِجَوَازِ ذٰلِكَ بَلۡ بِاسۡتِحۡبَابِهِ، وَأَنَّهُ مِنَ السُّنَّةِ الَّتِي يَنۡبَغِي الۡمُحَافَظَةُ عَلَيۡهَا. فَقَدۡ قَالَ ﷺ فِيمَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ عَنۡ شَدَّادِ بۡنِ أَوۡسٍ: (خَالِفُوا الۡيَهُودَ، فَإِنَّهُمۡ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمۡ وَلَا خِفَافِهِمۡ).
قَالَ ﷺ فِيمَا أَخۡرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ أَيۡضًا، عَنۡ أَبِي سَعِيدٍ الۡخُدۡرِيِّ: (إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الۡمَسۡجِدَ فَلۡيَنۡظُرۡ، فَإِنۡ رَأَي فِي نَعۡلَيۡهِ قَذَرًا أَوۡ أَذًى فَلۡيَمۡسَحۡهُ وَلۡيُصَلِّ فِيهِمَا) إِلَى غَيۡرِ ذٰلِكَ مِنَ النُّصُوصِ الصَّحِيحَةِ الصَّرِيحَةِ، فِي مَشۡرُوعِيَّةِ الصَّلَاةِ فِيهِمَا بَعۡدَ تَنۡظِيفِهِمَا مِنَ الۡأَنۡجَاسِ وَالۡأَقۡذَارِ.
أَمَّا الۡعَامَّةُ وَبَعۡضُ الۡمُتَعَصِّبِينَ مِنۡ طَلَبَةِ الۡعِلۡمِ، فَيُجَادِلُونَكَ فِي ذٰلِكَ، وَيَرَوۡنَ أَنَّ إِحۡيَاءَ هَٰذِهِ السُّنَّةِ مِنَ الۡكَبَائِرِ، الَّتِي لَا يَسۡكُتُ عَلَيۡهَا.
وَإِذَا أَوۡرَدۡتَ عَلَيۡهِمۡ هَٰذِهِ النُّصُوصَ قَالُوا: هَٰذَا فِي وَقۡتٍ دُونَ وَقۡتٍ، وَزَمَنٍ دُونَ زَمَنٍ.
كَأَنَّ شَرِيعَةَ مُحَمَّدٍ ﷺ أَتَي بَعۡدَهَا مِنۡ نُسۡخِهَا وَبَدَلِهَا.
وَمَا دَرَوۡا أَنَّهَا شَرِيعَةُ اللهِ إِلَى أَنۡ يَرِثَ اللهُ الۡأَرۡضَ وَمَنۡ عَلَيۡهَا.
وَالۡمُنَاسِبُ: أَنَّ مَنۡ أَرَادَ اتِّبَاعَ السُّنَّةِ فِي ذٰلِكَ وَفِي غَيۡرِهِ، مِمَّا تَرۡكُهُ أَوۡ فِعۡلُهُ، لَا يَمَسُّ جَوۡهَرَ الۡإِسۡلَامِ أَنۡ يُنۡظَرَ، فَإِنۡ كَانَ فِعۡلُهُ أَوۡ تَرۡكُهُ يُسَبِّبُ فِتۡنَةً وَشَرًّا أَكۡبَرَ مِنۡ مَصۡلَحَتِهِ فَلۡيُرَاع الۡمَصَالِحَ، فَإِنَّ الشَّرۡعَ يَكُونُ حَيۡثُ تُوجَدُ الۡمَصۡلَحَةُ الۡخَالِصَةُ، أَوِ الرَّاجِحَةُ عَلَى الۡمَفۡسَدَةِ.
Faedah lain:
Salat dan masuk masjid memakai sandal sekarang menjadi dilema. Sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jelas menerangkan kebolehan hal tersebut, bahkan disukai. Dan ia termasuk sunah yang sepantasnya untuk dilestarikan. Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam riwayat Abu Dawud dari Syaddad bin Aus, “Selisihilah Yahudi! Mereka itu tidak salat dengan memakai sandal-sandal dan sepatu-sepatu mereka.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam riwayat Abu Dawud pula, dari Abu Sa’id Al-Khudri, “Apabila salah seorang kalian datang ke masjid, hendaklah ia melihat. Apabila di kedua sandalnya ada kotoran, hendaknya ia menggosoknya lalu ia bisa tetap salat memakainya.” Demikian pula nas-nas yang sahih lagi jelas selain itu yang menjelaskan disyariatkan salat memakai sandal setelah dibersihkan dari najis dan kotoran.
Namun, di sisi lain, keumuman umat dan sebagian penuntut ilmu yang fanatik, mereka mendebat engkau mengenai disyariatkannya hal tersebut. Mereka berpendapat bahwa menghidupkan sunah ini termasuk dosa besar yang tidak bisa didiamkan. Apabila engkau membawakan nas-nas di atas kepada mereka, mereka akan mengatakan: Ini hanya cocok di waktu dan zaman tertentu saja. Seakan-akan syariat yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu setelahnya ada yang menghapusnya dan menggantinya. Mereka tidak mengetahui bahwa syariat Allah itu berlaku sampai Allah mewarisi bumi dan segala apa yang di atasnya (hari kiamat).
Yang sepantasnya dilakukan: bahwa siapa saja yang ingin mengikuti sunah dalam hal ini dan selainnya baik ia meninggalkan atau melakukannya, hendaknya ia tidak merusak citra Islam. Apabila dengan melakukan atau meninggalkan sunah tersebut menyebabkan ujian yang lebih besar kejelekannya daripada maslahatnya, maka hendaknya ia mementingkan maslahat-maslahatnya. Karena syariat itu ada ketika didapatkan maslahat yang murni atau maslahat yang lebih kuat daripada mafsadahnya.
[1] رَوَاهُ الۡبُخَارِيُّ (٣٨٦) فِي الصَّلَاةِ، وَمُسۡلِمٌ (٥٥٥) فِي الۡمَسَاجِدِ، وَرَوَاهُ أَيۡضًا التِّرۡمِذِيُّ (٤٠٠) فِي الصَّلَاةِ، وَالنَّسَائِيُّ (٢/٧٤) فِي الۡقِبۡلَةِ، وَالدَّارِمِيُّ (١/ ٣٢٠) فِي الصَّلَاةِ، وَأَحۡمَدُ فِي (الۡمُسۡنَدِ) (٣/ ١٠٠، ١٦٦).