Dulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan manasik haji kemudian mengatakan kepada orang-orang:
خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمۡ
“Kalian ambillah manasik haji kalian dariku.”[1]
Sehingga, haji yang paling sempurna adalah mencontoh haji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum.
Seandainya orang yang berhaji mencukupkan pada empat rukun, yaitu:
- berihram,
- wukuf di Arafah,
- tawaf, dan
- sai.
Dan mencukupkan pada kewajiban-kewajiban haji, yaitu:
- berihram dari mikat-mikat,
- wukuf di Arafah sampai matahari tenggelam,
- bermalam pada malam nahar (10 Zulhijah) di Muzdalifah dan malam-malam tasyrik di Mina,
- melempar jamrah-jamrah, dan
- menggundul atau memendekkan seluruh rambut.
Maka hal itu sudah mencukupinya.
Perbedaan antara meninggalkan rukun dengan meninggalkan kewajiban di dalam ibadah haji adalah jika meninggalkan rukun, maka hajinya tidak sah sampai dia mengerjakannya sesuai dengan tata cara yang disyariatkan. Adapun meninggalkan kewajiban, hajinya sah namun dia berdosa dan terkena dam karena meninggalkannya.
Orang yang hendak berihram boleh memilih antara haji tamatuk -ini yang paling utama-, kiran, atau ifrad.
- Tamatuk adalah seseorang berihram untuk 'umrah pada bulan-bulan haji, lalu selesai dari ihramnya, kemudian berihram lagi untuk haji pada tahun itu juga. Dia wajib membawa hadyu jika bukan penduduk Makkah.
- Ifrad adalah berihram hanya untuk haji dari miqat.
- Kiran adalah ihram untuk 'umrah dan haji sekaligus. Atau ihram untuk umrah lalu memasukkan haji ke dalamnya sebelum mulai thawaf. Orang yang niat tamatuk harus melakukan sifat haji qiran ini apabila khawatir luput wukuf di Arafah jika dia disibukkan oleh umrahnya, dan jika seorang wanita haid atau nifas dan dia tahu belum suci sebelum waktu wukuf di Arafah.
Haji kiran dan ifrad tata-caranya sama, hanya saja kiran wajib hadyu, ifrad tidak. Orang yang berihram menjauhi seluruh larangan ihram seperti: mencukur rambut, memotong kuku, mengenakan pakaian berjahit untuk pria, menutup kepala bagi pria, dan memakai wewangian baik pria maupun wanita.
Yang juga diharamkan bagi orang yang berihram: membunuh binatang buruan liar yang dimakan dagingnya, memberi isyarat, dan menolong untuk membunuh binatang tersebut
Larangan ihram yang paling agung adalah jimak, karena sangat diharamkan, merusak manasiknya, dan wajib untuk fidiah satu ekor unta.
Adapun fidiah adza, yaitu apabila menutup kepala, memakai pakaian berjahit, wanita menutup wajahnya, wanita memakai sarung tangan, atau menggunakan wewangian adalah diberi pilihan puasa tiga hari, memberi makan enam orang miskin, atau menyembelih seekor kambing.
Apabila membunuh binatang buruan, maka diberi pilihan antara:
- menyembelih yang sebanding -apabila ada binatang ternak yang semisal dengan binatang yang dibunuh-,
- menghitung harga yang senilai dengan binatang yang dibunuh lalu ia membeli makanan darinya, kemudian ia memberi makan setiap orang miskin satu mud gandum, atau setengah sha’ dari selain gandum, atau
- puasa dengan hitungan hari sejumlah orang miskin yang diberi makan (dengan cara di atas).
Adapun dam tamatuk dan kiran, wajib untuk menyembelih hewan yang memenuhi syarat hewan kurban. Apabila tidak mendapatkannya, maka berpuasa 10 hari: tiga hari ketika haji -boleh ia berpuasa pada hari tasyrik- dan tujuh hari ketika sudah pulang. Demikian pula hukum bagi orang yang meninggalkan kewajiban haji atau yang dikenai kewajiban fidiah akibat bermesraan dengan istri.
Setiap hadyu atau pemberian makan yang berkaitan dengan tanah haram atau ihram, maka untuk orang-orang miskin di tanah haram baik yang mukim atau pendatang kemudian menetap di sana.
Berpuasa di tempat manapun sudah sah.
Dam manasik haji -seperti tamatuk dan kiran- dan hadyu, maka sunah untuk ia makan sebagiannya, menghadiahkannya, dan menyedekahkannya.
Dam yang wajib karena melakukan larangan haji atau meninggalkan kewajiban -dinamakan dam jabran-, maka ia tidak boleh memakan sedikit pun, bahkan harus ia sedekahkan semuanya, karena ia berlaku seperti kafarat.
[1] Imam Muslim meriwayatkan riwayat semisal ini di nomor 1297 dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu.