Cari Blog Ini

Al Mundzir bin Amr radhiyallahu ‘anhu

Al Mundzir bin Amr adalah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama dari kalangan Anshar. Nama lengkap beliau adalah Al Mundzir bin Amr bin Khunais bin Haritsah bin Ludzan bin Abdi wadin bin Zaid bin Tsa’labah Al Anshari Al Khazraji As Sa’idi. Beliau merupakan salah seorang sahabat yang mengikuti Baiat Aqabah kedua. Saat itu, bersama sekitar tujuh puluh orang Yatsrib, beliau menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan haji, satu tahun setelah peristiwa Baiat Aqabah pertama. Mereka berjanji untuk selalu setia dalam membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama-Nya, melindungi beliau sebagaimana mereka melindungi anak dan istri mereka. Di antara tujuh puluh orang yang hadir dalam Baiat Aqabah kedua ini, dipilihlah dua belas orang yang menjadi wakil qabilah. Beliau adalah salah seorang di antara mereka. Beliau juga seorang sahabat mulia nan cerdas yang dapat membaca dan menulis arab sebelum datangnya Islam. Demikian peran beliau di awal munculnya Islam.

Ibunya adalah Hindun bintu Mundzir bin Jamuh bin Zaid bin Haram bin Kaab bin Gunm bin Kaab bin Salamah. Sedangkan istri beliau adalah Ummu Jamil bintu Al Hubbaab bin Al Mundzir bin Al Jamuh bin Zaid bin Haram Al Khazrajiyah salah seorang wanita yang berbaiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al Mundzir berjuluk a’taqa li mautin atau berjuluk al mu’niqu li yamut yang maknanya adalah seorang yang bersegera menyambut kematian, ini menunjukkan keberanian beliau radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah salah seorang Qurra di kalangan sahabat. Saat itu, seorang yang menjadi qurra’ artinya ia memiliki ketinggian ilmu agama dan pengetahuan lebih tentang agama ini.

KEUTAMAAN


Keutamaan beliau sangatlah banyak. Beliau termasuk As sabiqunal awwalun minal anshar, sahabat Anshar yang awal-awal masuk Islam. Allah berfirman tentang keutamaan mereka:
وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّـٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذَ‌ٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [Q.S. At-Taubah: 100]

Beliau juga termasuk “aqabi” sahabat yang mengikuti Baiat Aqabah, “nuqaba’” wakil dari qabilah saat terjadi Baiat Aqabah, “Qurra’” salah seorang sahabat yang memiliki ketinggian derajat dengan sebab hafal Al Quran serta paham ilmunya. Sahabat yang menjadi qurra’ memiliki keistimewaan lebih dibanding sahabat lainnya. Beliau juga seorang “badriyun” sahabat yang ikut perang Badar, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan tentang mereka saat Jibril ‘alaihis salam datang kepada beliau dan bertanya, “Bagaimana kalian memandang orang-orang yang ikut serta dalam perang Badar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka termasuk kaum Muslimin yang terbaik.” Atau kalimat yang seperti itu. Jibril ‘alaihis salam mengatakan, “Begitu juga para malaikat yang ikut dalam Perang Badar.” [H.R. Al Bukhari, Kitabul Maghazi, 9/56]. Juga sabda beliau tentang mereka dalam riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang sesuai dengan syarat Imam Muslim dari hadis Jabir, ditegaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَنۡ يَدۡخُلَ النَّارَ أَحَدٌ شَهِدَ بَدۡرًا
“Yang ikut serta dalam Perang Badar tidak akan masuk neraka.”

Beliau juga Ashabul Uhud sahabat yang ikut perang Uhud. Demikian berbagai keutamaan yang beliau miliki. Selain keutamaan-keutamaan tersebut, beliau juga sahabat yang cerdas sekaligus pemberani. Radhiyallahu anhu.

Peristiwa Baiat Aqabah kedua merupakan tonggak awal munculnya kekuatan Islam di bumi Madinah/ Yatsrib. Kaum musyrikin semakin merasa terancam dengan keberadaan kaum muslimin. Selain letak Madinah yang berada dalam jalur dagang mereka menuju Syam, penduduk Madinah juga terkenal sebagai orang-orang yang mahir berperang. Mulailah mereka meningkatkan permusuhan dan gangguan kepada kaum muslimin. Allah pun mengizinkan kaum muslimin untuk hijrah bergabung dengan muslimin di Madinah, termasuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, hal pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid sebagai pusat dakwah, dan mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar. Al Mundzir pun dipersaudarakan dengan Tulaib bin Umair. Persaudaraan di atas keimanan dan agama, walau tidak ada kaitan dari sisi nasab dan garis keturunan.

PASUKAN QURRA DAN PERISTIWA BI’RU MA’UNAH


Sekira empat bulan setelah perang Uhud, di awal-awal tahun ke empat hijriyyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus satu pasukan kecil yang terdiri dari 70 sahabat pilihan. Seluruhnya adalah sahabat qurra’ yang ahli dalam Al Quran. Rasulullah menjadikan Al Mundzir sebagai pemimpin pasukan kecil ini. Peristiwa ini bermula saat Abu Bara’, Amir bin Malik bin Ja’far, datang menemui Rasulullah di Madinah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya masuk Islam dan mendakwahinya. Saat itu ia menolak namun ia mengatakan, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau engkau mengirimkan beberapa orang sahabatmu kepada penduduk Nejed untuk mengajak mereka kepada agamamu. Aku berharap mereka memenuhi ajakanmu. Rasulullah bersabda, “Aku khawatir penduduk Nejed akan mencelakakan sahabat-sahabatku.”

Abu Bara’ berkata, “Aku yang akan menjadi pelindung mereka, silakan engkau kirim mereka untuk mengajak manusia kepada agamamu.”

Kemudian Rasulullah mengirim Al Mundzir bin Amr bersama sahabat-sahabatnya yang merupakan orang-orang pilihan kaum muslimin. Di antara yang diutus Al Harits bin Ash-Shimmah, Haram bin Milhan, ‘Urwah bin Asma’, Nafi’ bin Budail bin Warqa’, Amir bin Fuhairah seorang bekas budak Abu Bakar ash-Shiddiq dan sahabat-sahabat pilihan lainnya. Mereka dikenal sebagai para sahabat yang ahli baca Al-Qur’an, rajin salat tahajjud serta suka bekerja keras lalu hasilnya diinfakkan untuk para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertempat tinggal di shuffah (serambi Masjid Nabawi) radhiyallahu ‘anhum. Al Mundzir pun ditugasi menjadi pemimpin rombongan mulia tersebut.

Para utusan lalu berjalan hingga tiba di Bi’r Ma’unah yang terletak di antara wilayah Bani Amir dan wilayah Bani Sulaim. Sesampainya di Bi’r Ma’unah, mereka mengutus Haram bin Milhan untuk mengantar surat Rasulullah kepada Amir bin Ath-Thufail sepupu dari Al Bara’. Ketika Haram tiba di tempat Amir bin Ath-Thufail, ia tidak membaca surat Rasulullah, bahkan memerintah pengikutnya untuk menikam Haram bin Milhan dari arah belakang. Amir bin ath-Thufail lalu mengajak kaumnya (Bani ‘Amir) menyerang para utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menolak memenuhi seruannya. Mereka berkata, “Kami tidak akan melanggar perjanjian Abu Bara’! Amir bin ath-Thufail tidak menyerah begitu saja. Ia menyeru dan mengajak kabilah-kabilah Bani Sulaim untuk menyerang utusan itu. Seruan ini pun disambut oleh kabilah ‘Ushaiyyah, Ri’lan, dan Dzakwan. Terbunuhlah seluruh pasukan kecuali Ka’ab bin Zaid dan Amr bin Umayyah. Adapun Ka’ab maka kabilah-kabilah tersebut membiarkannya hidup dalam keadaan terluka parah. Namun ia masih bertahan hidup dan gugur sebagai syahid dalam perang Khandaq, semoga Allah merahmati beliau. Sedangkan Amr, mereka tawan. Kemudian mereka bebaskan setelah meminta tebusan. Wallahu a’lam. [Ustadz Hammam]


Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 52 vol.04 1437H-2015M rubrik Figur.