Banyak dan bahkan berulang-ulang, Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan kebinasaan umat terdahulu, kaum yang menentang rasul-rasul-Nya. Semua adalah kisah nyata yang sarat dengan ibrah, sejarah yang memuat ancaman bagi umat akhir zaman yang bertingkah seperti mereka, cerita yang menyiratkan seruan bagi siapapun yang mendengar dan membacanya untuk kembali meniti jalan lurus. Menapaki jalan yang menyelamatkan dari kebinasaan dunia dan akhirat.
“Ashabur Rass” Penduduk Rass adalah salah satu dari sekian kaum yang luluh lantak hancur binasa. Hanya tersebut dua kali tentang mereka dalam Al Qur’an. Tanpa dirinci, apa dan bagaimana kebejatan mereka.
Yang jelas, mereka disinggung sederet dengan Fir’aun dan kaumnya yang mengakhiri ajal dengan ditenggelamkan di Laut Merah. Juga umat Nabi Nuh ‘alaihis salam yang dihanyutkan dalam air bah yang meluap-luap. Lalu bangsa ‘Aad dan Tsamud yang juga tumbang bak pangkal pohon kurma yang lapuk. Serta umat-umat lain yang tidak lagi tersisa. Semua menentang rasul, tidak takut kepada Allah.
Siapakah Ashhabur Rass? Di manakah mereka berasal? Banyak pendapat dari ahli tafsir dan sejarawan berusaha mengungkap jatidiri mereka. Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah menyebutkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, mereka adalah penduduk salah satu kampung dari perkampungan bangsa Tsamud.
Meski menyebut riwayat Ibnu ‘Abbas, namun Ibnu Jarir sendiri berpandangan lain, bahwa mereka adalah “Ashabul Ukhdud” yang disebutkan kisahnya dalam surat Al Buruj. Penduduk sebuah negeri yang kafir kepada Allah. Namun di negeri tersebut terdapat beberapa gelintir orang-orang beriman. Kaum mukminin dipaksa murtad dan mengikuti kekufuran mereka. Karena menolak, mereka diceburkan ke dalam parit api.
Namun menurut Ibnu Katsir rahimahullah, pendapat Ibnu Jarir ini kurang tepat karena dalam surat Al Buruj mereka hanya diancam dengan azab pedih di akhirat. Bahkan Allah menyeru mereka untuk bertobat kepada-Nya walaupun berbuat zalim terhadap para wali-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Al Buruj ayat 4-10, yang artinya,
“Terlaknatlah orang-orang yang membuat parit. (Parit) yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar. Ketika mereka duduk di sekitarnya. Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.”
Sedangkan Ashhabur Rass telah jelas dan pasti kabar kebinasaan dan kehancuran mereka di dunia. Seperti yang Allah firmankan:
وَعَادًا وَثَمُودَا۟ وَأَصْحَـٰبَ ٱلرَّسِّ وَقُرُونًۢا بَيْنَ ذَٰلِكَ كَثِيرًا وَكُلًّا ضَرَبْنَا لَهُ ٱلْأَمْثَـٰلَ ۖ وَكُلًّا تَبَّرْنَا تَتْبِيرًا
“Dan (Kami binasakan) kaum ‘Aad dan Tsamud dan penduduk Rass dan banyak (lagi) generasi-generasi di antara kaum-kaum tersebut. Dan Kami jadikan bagi masing-masing mereka perumpamaan dan masing-masing mereka itu benar-benar telah Kami binasakan dengan sehancur-hancurnya.” [Q.S. Al Furqan: 38-39]
Lain lagi dengan riwayat dari Muhammad bin Ka’ab Al Quradhy yang menyebutkan perkataan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun riwayat ini juga mursal (terputus sanadnya), beliau bersabda yang artinya,
“Sesungguhnya manusia pertama yang masuk ke dalam surga adalah seorang hamba sahaya berkulit hitam.”
Pada suatu masa, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang Nabi ke sebuah negeri. Dan telah menjadi sunnatullah yang tidak akan berubah, tatkala Allah mengutus seorang Nabi dan Rasul kepada suatu kampung maka ia akan didustakan dan disakiti.
Tidak ada satu jiwa pun yang beriman kepada Nabi utusan Allah ini. Keangkuhan jiwa, kerasnya kalbu, dan kehilangan rasa takut kepada Allah telah mendorong mereka untuk merancang pembunuhan atas Nabi yang Allah utus untuk kebahagiaan mereka.
Penduduk bahu membahu menggali sumur kering. Tanpa belas kasihan mereka membuang Sang Nabi ke dalam ‘lubang buaya’ itu. Bagian atas sumur mereka sumbat dengan batu yang mustahil digeser. Mereka memenjarakannya dan sengaja tidak memberikan makan dan minum agar mati kelaparan.
Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki, ada satu orang dari mereka yang beriman kepada Nabi tersebut. Dia adalah seorang budak berkulit hitam yang bekerja mengumpulkan kayu bakar. Mungkin ia merahasiakan keimanannya sehingga tidak mendapat siksaan dari orang-orang kafir.
Iman yang bersinar dalam kalbunya, sungguh telah melahirkan kecintaan mendalam kepada Rasul. Lebih dari cintanya kepada siapapun dari manusia. Tentu seorang yang beriman akan membelanya, tidak akan membiarkan kekasihnya tersakiti.
Oleh sebab itu budak hitam ini bertekad kuat menolong Rasul. Entah bagaimana caranya, makanan dan minuman harus bisa sampai kepada beliau. Dijual olehnya kayu-kayu bakar di pasar, ditukar dengan makanan dan minuman lalu ia menuju sumur kering, tempat dibuangnya Sang Nabi.
Secara perhitungan, batu tak mungkin bergeser dan terangkat dengan tenaga seorang. Namun Allah ‘azza wa jalla menolong budak ini sehingga batu yang begitu besarnya bisa diangkat. Ia pun bisa menurunkan hidangan untuk Sang Nabi. Setelah itu batu besar dikembalikan seperti semula.
Pekerjaan itu ia jalani tanpa diketahui penduduk Rass. Hingga pada suatu hari, ketika budak hitam itu mencari kayu, dia terserang kantuk berat. Kali ini ia tak mampu mengusir rasa itu, sehingga terpaksa membaringkan badan sebelum menjual hasil jerih payahnya.
Tentu ia hanya ingin tidur sejenak. Ia tidak ingin Nabi menunggu lama menahan rasa lapar dan hausnya. Namun Allah berkehendak lain. Budak hitam itu rupanya tidur sangat pulas. Sehari belum bangun. Hingga hari berikutnya juga masih tidur. Berbulan-bulan bahkan hingga hitungan hari genap mencapai 7 tahun ia masih saja tertidur dengan kehendak penjagaan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Pada tahun ke-7 ia bangun sesaat untuk mengubah posisi tidur. Lalu tidur lagi hingga 7 tahun berikutnya. Saat sadar, segera ia panggul kayu-kayu bakarnya yang masih utuh teronggok di sebelahnya. Dengan penuh semangat, dijual di kampung dan ditukar dengan makanan dan minuman.
Budak hitam itu mengira, dirinya hanya tidur beberapa saat saja di siang itu. Sehingga ketika menuju sumur dengan membawa makanan dan minuman, ia terkejut karena orang yang paling dicintainya tidak lagi ditemukan.
Barulah ia tahu bahwa saat Allah menutup pendengarannya dan menidurkannya 14 tahun lamanya, penduduk Rass ditampakkan kebenaran, sehingga mereka pun beriman dan mengeluarkan Nabi dari penjara bawah tanah. Setelah keluar, Nabi menanyakan perihal budak hitam yang setiap hari membawakan hidangan. Namun tidak ada yang tahu keberadaannya.
Waktu berjalan, masa berlalu, zaman pun berganti. Nabi yang Allah utus kemudian meninggal beberapa saat sebelum sang budak hitam yang mukmin itu bangun. Budak itulah yang dikatakan dalam riwayat,
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يَدۡخُلُ الۡجَنَّةَ يَوۡمَ الۡقِيَامَةِ الۡعَبۡدُ الۡأَسۡوَدُ وَذٰلِكَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى بَعَثَ نَبِيًّا إِلَى أَهۡلِ قَرۡيَةٍ فَلَمۡ يُؤۡمِنۡ بِهِ مِنۡ أَهۡلِهَا إِلَّا ذٰلِكَ الۡأَسۡوَدُ.
“Sesungguhnya manusia yang pertama masuk jannah pada hari kiamat adalah seorang hamba sahaya berkulit hitam. Yang demikian dikarenakan Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang nabi kepada penduduk suatu negeri dan tidak ada yang beriman kepadanya melainkan budak hitam itu.”
Kisah ini, kata para ahli tarikh adalah kisah yang terputus sanadnya sampai Muhammad bin Ka’ab. Kemungkinan besar keterangan tentang kisah ini adalah dari beliau dan bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi dalam kisah ini disebutkan bahwa penduduk Rass beriman kepada Allah. Sedangkan Allah telah menyebutkan kehancuran mereka.
Bila keterangan Muhammad bin Ka’ab benar, maka bisa jadi penduduk Rass yang disebutkan oleh beliau berbeda dengan yang disebutkan dalam Al Quran. Kemungkinan lainnya, mereka adalah generasi penduduk Rass yang masih hidup dan beriman setelah kehancuran nenek moyang mereka terdahulu.
Versi lain tentang penduduk Rass adalah yang disebutkan oleh Abu Bakr Muhammad bin Al Hasan bin An Nuqqasy bahwa penduduk Rass dahulu memiliki sumur telaga yang airnya sangat mencukupi kebutuhan minum dan pengairan pertanian mereka. Mereka dipimpin oleh seorang raja yang adil dan sangat baik perangainya. Ketika raja tersebut mati mereka demikian kehilangan.
Beberapa hari setelah kematiannya, ternyata raja menampakkan diri di tengah rakyatnya. Ia mengaku bahwa selama ini ia tidak mati, namun ia sengaja menghilang dari mereka agar melihat gerak-gerik mereka sepeninggalnya.
Mereka sangat gembira dengan hal ini, dan tidak ada yang menyadari sesungguhnya dia adalah setan yang menjelma. Setan tersebut lalu menyuruh dibuatkan hijab atau semacam ruang tertutup agar bisa tetap berdialog tanpa dilihat secara langsung.
Banyak yang terfitnah dan menjadi sesat karena ulah setan ini. Maka Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang Nabi yang bernama Hanzhalah bin Shafwan, memberitahukan bahwa suara itu adalah suara setan yang berubah rupa menjadi raja. Hanzhalah melarang mereka dari penyembahan kepada selain Allah, dan mengajak mereka untuk beribadah hanya kepada Allah semata.
Mereka menentang dakwah Nabi Hanzhalah. Bahkan Hanzhalah dibunuh lalu mayatnya diceburkan ke dalam telaga. Allah subhanahu wa ta’ala kemudian mendatangkan azab kepada penduduk Rass dengan keringnya air telaga. Mereka kehausan, pohon-pohon menjadi kering tak lagi berbuah. Runtuhlah negeri mereka. Ketenangan sirna berubah menjadi sengsara, mereka tercerai berai setelah teguh dalam cinta dan kebersamaan.
Rumah-rumah ditinggalkan penghuninya, diambil alih oleh jin-jin jahat dan binatang-binatang buas. Tak terdengar lagi riuh rendah bocah-bocah dan gelak tawa mereka. Berubah menjadi lolongan serigala, auman singa, dan jeritan jin gentayangan. Allahu a’lam.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 34 vol.03 1437 H/ 2015 M rubrik Samawi. Pemateri: Ustadz Abu Humaid Fauzi Isnaini.