Cari Blog Ini

Hukum Datang & Bertanya kepada Dukun

Pertanyaan:

Assaalamu'alaikum. Saya dan ayah pergi ke tukang pijat untuk berobat, tapi setelah dipijat saya baru tahu kalau dia juga dukun karena banyak orang yang meminta-minta. Apa boleh saya datang ke dia lagi untuk dipijat? (081570316***)

Jawaban:

Wa'alaikumussalaam warahmatullaah. Kalau memang terbukti orang tersebut dukun yaitu orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib (perkara yang tidak dapat diketahui dengan panca indera) maka kita tidak boleh mendatanginya dan bertanya kepadanya tentang perkara ghaib ataupun keperluan lainnya.

Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang mendatangi seorang dukun lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu (maka) tidak diterima shalatnya empat puluh hari." (HR. Muslim)

Beliau juga bersabda: "Barangsiapa mendatangi seorang dukun lalu membenarkan apa yang dia ucapkan maka sungguh dia telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam." (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah)

Berkata Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin: "Ucapannya: "lalu bertanya kepadanya; (maka) tidak diterima shalatnya empat puluh hari", zhahirnya hadits (mengindikasikan) bahwasanya semata-mata bertanya kepadanya mengharuskan tidak diterima shalatnya empat puluh hari, akan tetapi hal ini tidaklah secara mutlak. Maka bertanya kepada seorang dukun dan sejenisnya terbagi menjadi empat pembagian. Yang pertama, bertanya kepadanya semata-mata bertanya, maka ini haram berdasarkan sabda beliau di atas. Maka penetapan adanya hukuman atas pertanyaannya menunjukkan atas pengharamannya, karena tidak ada 'uquubah (hukuman) kecuali atas perbuatan yang haram. Kedua, bertanya kepadanya lalu membenarkannya dan menganggap ucapannya, maka ini adalah kekufuran karena pembenarannya dalam ilmu ghaib adalah pendustaan terhadap Al-Qur`an, yang mana Allah telah berfirman:
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِى ٱلسَّمَـٰوَ‌ٰتِ وَٱلْأَرْضِ ٱلْغَيْبَ إِلَّا ٱللَّهُ
"Katakanlah: Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah." (An-Naml:65)

Yang ketiga, bertanya kepadanya untuk mengujinya apakah dia benar atau dusta, bukan bertujuan untuk mengambil ucapannya, maka hal ini tidaklah mengapa dan tidak masuk dalam larangan hadits ini.

Bagian yang keempat, bertanya kepadanya untuk menampakkan kelemahannya dan kedustaannya lalu mengujinya dalam perkara-perkara yang akan jelas dengannya kedustaan dan kelemahannya, maka ini adalah sesuatu yang dituntut (disukai) dan kadang-kadang menjadi wajib." Wallaahu A'lam. (Diringkas dari kitab Al-Qaulul Mufiid 'alaa Kitaabit Tauhiid 1/330, tahqiq Hani Al-Haajj)

Sumber: Buletin Al-Wala` Wal-Bara` Edisi ke-27 Tahun ke-2 / 28 Mei 2004 M / 09 Rabi'uts Tsani 1425 H.