Mengaku beriman, tidaklah dianggap benar sampai mau merealisasikan konsekuensi-konsekuensi keimanan itu. Bila iman sekadar hiasan lisan belakan tanpa tuntutan amalan, sungguh banyak manusia yang lulus dalam pengakuan mereka. Tapi tidak, sungguh hanya orang-orang yang jujur dalam pengakuan merekalah yang akan lulus darinya. Hanya mereka yang mampu menanggung beban keimanan yang berat sajalah yang akan memanen hasil iman kelak di akhirat nanti.
Salah satu figur teladan keimanan kali ini adalah seorang sahabat pilihan. Seorang sahabat Nabi yang memiliki kedekatan nasab dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaulah Ubaidah bin Al Harits bin Al-Muththalib bin 'Abdu Manaf bin Qushay Al Qurasyi Al Muththalib. Beliau adalah putra paman Rasulullah –Al Harits bin Abdul Muththalib- sehingga nasab beliau dekat dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau ber-kuniah Abul Harits atau Abu Mu’awiyah.
Dari sisi umur, beliau berusia lebih tua sepuluh tahun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang yang tampan wajahnya dan berbadan bidang serta dimuliakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk keluarga Bani Hasyim yang masuk Islam dan menjadi Assabiqunal Awwalun (sahabat yang pertama masuk Islam), karena beliau masuk Islam di saat Rasulullah belum masuk ke Darul Arqam sebagai tempat beliau berdakwah. Anak-anak beliau adalah Muhammad, ‘Aun, Al Harits, Ibrahim, Shafiyyah, Khadijah, Sukhailah (Istri dari Amr bin Umayyah Ad Dhamri) dan lainnya. Semuanya adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana sahabat lainnya yang berada di Makkah, saat diizinkan dan diperintahkan ke negeri Yatsrib, Madinah, beliau pun tunduk memenuhi seruan tersebut. Beliau berhijrah ke negeri Yatsrib bersama-sama dengan dua orang saudaranya yang juga telah ber-Islam, At Thufail bin Al Harits dan Al Hushain bin Al Harits bin Al Muththalib. Turut bersama rombongan ini Misthah bin Utsatsah bin Ubad bin Al Muththalib. Sesampai di tujuan, mereka singgah di rumah Abdullah bin Salamah Al Ajlaani.
Sebagaimana para Muhajirin lainnya yang dipersaudarakan dengan kaum Anshar, beliau pun dipersaudarakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Umair bin Al Humam bin Al Jamuh bin Zaid bin Haram Al Anshari. Kelak kedua saudara seiman ini akan bersama-sama menjemput kesyahidan dalam perang Badar Al Kubra.
Ubaidah bin Al Harits adalah seorang pemimpin pasukan yang pertama diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pasukan kecil ini berjumlah berkisar enam puluh sampai delapan puluh orang, Pasukan berkuda ini terdiri dari kaum Muhajirin. Pasukan ini adalah pasukan pertama dalam Islam yang diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Rabiul Awwal di tahun kedua hijriah ke daerah pantai di wilayah Hijaz dekat dengan Tsaniatul Murrah. Di daerah tersebut, pasukan ini bertemu dengan serombongan musyrikin Quraisy, namun tidak terjadi peperangan antara mereka. Hanya saja, Saad bin Malik sempat melempar anak panah kepada musyrikin namun mereka tidak membalasnya. Inilah anak panah pertama dalam Islam yang dilemparkan kepada musuh-musuh Allah.
Di tahun kedua hijriah, terjadilah perang Badar Kubra. Dalam perang ini, Ubaidah bin Al Harits adalah anggota pasukan yang umurnya paling tua. Mulailah masing-masing pasukan menempati posisinya masing-masing. Sebelum meletus pertempuran hebat dalam perang Badar Kubra ini, terjadilah duel pembuka antara kedua pasukan. Kaum muslimin diwakili oleh Ali bin Abi Thalib, Hamzah bin Abdil Muththalib dan Ubaidah bin Al Harits. Sedang pihak musyrikin Quraisy diwakili oleh Syaibah bin Rabiah, Utbah bin Rabiah dan Al Walid bin Utbah.
Sebelum ini, mereka adalah kerabat-kerabat dekat. Namun, tiada berguna kekerabatan tanpa ada ikatan keimanan. Selamanya tauhid tidak akan berkompromi dan sepakat dengan kesyirikan, begitu pula para penganutnya.
Duel pun tak mungkin terelakkan. Adapun Ali dan Hamzah, maka keduanya mampu membunuh lawannya, namun berbeda dengan Ubaidah bin Al Harits. Beliau harus bertempur habis-habisan dengan lawannya sehingga mengakibatkan kaki beliau putus tersabet senjata lawan. Sebagian pendapat menyatakan bahwa kaki beliau tertebas oleh Utbah bin Rabiah, sebagian lain berpendapat bahwa yang memotong kaki beliau adalah Syaibah bin Rabiah.
Dengan ini beliau pun terluka hingga akhirnya meninggal dunia sebagai syahid di tahun kedua hijriah di daerah Ash Shafra’ di malam setelah peristiwa perang Badar. Saat itu, beliau berumur lebih dari enam puluh tahun. Mengenai pertempuran antara kubu Ubaidah di pihak Islam dan kubu Utbah bin Rabiah di pihak musyrikin inilah, turun ayat Al Quran:
هَـٰذَانِ خَصْمَانِ ٱخْتَصَمُوا۟ فِى رَبِّهِمْ ۖ فَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِّن نَّارٍ يُصَبُّ مِن فَوْقِ رُءُوسِهِمُ ٱلْحَمِيمُ ١٩ يُصْهَرُ بِهِۦ مَا فِى بُطُونِهِمْ وَٱلْجُلُودُ ٢٠ وَلَهُم مَّقَـٰمِعُ مِنْ حَدِيدٍ ٢١ كُلَّمَآ أَرَادُوٓا۟ أَن يَخْرُجُوا۟ مِنْهَا مِنْ غَمٍّ أُعِيدُوا۟ فِيهَا وَذُوقُوا۟ عَذَابَ ٱلْحَرِيقِ ٢٢ إِنَّ ٱللَّهَ يُدْخِلُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ جَنَّـٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِن ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا ۖ وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ ٢٣ وَهُدُوٓا۟ إِلَى ٱلطَّيِّبِ مِنَ ٱلْقَوْلِ وَهُدُوٓا۟ إِلَىٰ صِرَٰطِ ٱلْحَمِيدِ
“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan kafir) yang bertengkar, mereka bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka bagi orang kafir akan dibuatkan pakaian-pakaian dari api (neraka) untuk mereka. Ke atas kepala mereka akan disiramkan air yang mendidih. Dengan (air mendidih) itu akan dihancurluluhkan apa yang ada dalam perut dan kulit (mereka). Dan (azab) untuk mereka cambuk-cambuk dari besi. Setiap kali mereka hendak keluar darinya (neraka) karena tersiksa, mereka dikembalikan lagi ke dalamnya. (Kepada mereka dikatakan), “Rasakanlah azab yang membakar ini. Sungguh, Allah akan memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Di sana mereka diberi perhiasan gelang-gelang emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera. Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan diberi petunjuk (pula) kepada jalan yang terpuji.” [Q.S. Al Hajj: 19-24] [Ustadz Hammam]
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 58 vol.05 1437H-2016M rubrik Figur.