Bagi yang pernah mempelajari, menghafal atau bahkan hanya membaca kitab At Tauhîd karya Syaikh Muhammad an Najdi, tepatnya pada bab “Man Haqqaqat Tauhîda Dakhalal Jannata bighairi Hisâbin wa Lâ ‘Adzâb” yang berarti Barang siapa yang Merealisasikan Tauhid Masuk Janah tanpa Hisab dan Azab, tentunya terlintas salah seorang sahabat yang bernama Ukkasyah bin Mihshan. Jika belum tahu atau lupa silakan membacanya lagi.
Beliau bernama lengkap Ukkasyah bin Mihshan bin Hurtsân bin Qais bin Murrah bin Bukair al Asadi dan memiliki kuniah Abû Mihshan. Diceritakan bahwa beliau termasuk pria tertampan. Beliau satu di antara as Sâbiqûn al Awwalûn[1] dan termasuk tokoh-tokoh para sahabat yang menyandang berbagai keistimewaan. Beliau juga ikut serta dalam pertempuran Badar yang menetapkan beliau untuk meraih keutamaan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَعَلَّ اللهَ اطَّلَعَ عَلَى أَهۡلِ بَدۡرٍ فَقَالَ: اعۡمَلُوا مَا شِئۡتُمۡ فَقَدۡ وَجَبَتۡ لَكُمُ الۡجَنَّةُ، وَفِي رِوَايَةٍ: فَقَدۡ غَفَرۡتُ لَكُمۡ
Boleh jadi Allah telah melihat kepada para ahli Badar lalu mengatakan, “Berbuatlah sekehendak kalian! Sungguh telah ditetapkan Janah untuk kalian.” Dalam sebuah riwayat yang lainnya “Sungguh aku telah mengampuni kalian.” [H.R. Al Bukhari dah Muslim].
Bahkan beliau mengikuti setiap peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadis dalam Kitabut Tauhîd yang disinggung di mula pun mengungkapkan suatu keutamaan lain yang Allah anugerahkan kepada beliau. Beliau dipastikan masuk ke dalam jannah, negeri yang penuh kenikmatan, tanpa melalui hisab amal perbuatan dan tanpa mengalami siksa lantaran dosa yang pernah diamalkan.
Alkisah, saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan kepada para sahabatnya bahwa telah diperlihatkan kepada beliau segolongan manusia dengan jumlah yang sangat besar dan mengatakan,
فَقِيلَ لِي: هٰذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمۡ سَبۡعُونَ أَلۡفًا يَدۡخُلُونَ الۡجَنَّةَ بِغَيۡرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ
Lalu dikatakanlah kepadaku, “Ini adalah umatmu. Bersama mereka ada 70.000 orang yang masuk janah tanpa hisab dan azab.”[2] Ukkasyah bangkit seraya mengatakan, “Mohonkanlah kepada Allah agar aku termasuk mereka wahai Rasulullah.” Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Ya.” Kemudian bangkit pula seorang yang lainnya dan ikut bertanya, “Apakah aku termasuk mereka?” Namun jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ
“Ukkasyah telah mendahuluimu.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim] Dan jawaban beliau ini menjadi pepatah bagi setiap orang yang ingin memperoleh sesuatu namun telah didahului oleh yang lain.
Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim sebuah satuan pasukan yang berjumlah empat puluh orang menuju Ghamrah, sebuah sumber mata air yang ada di Makkah[3]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amanatkan komando pasukan kepada Ukkasyah bin Mihshan. Setelah musuh mengetahui kedatangan pasukan tersebut, mereka pergi melarikan diri. Alhasil, pasukan Ukkasyah pun dapat menguasai sumber mata air mereka dengan leluasa tanpa perlawanan.
Lalu Ukkasyah mengirim beberapa mata-mata hingga menemukan lokasi hewan-hewan ternak mereka. Kemudian beliau menyerbu lokasi tersebut dan mendapati dua ratus ekor hewan ternak. Lantas beliau bawa ke Madinah.
Dalam pertempuran Badar, Allah subhanahu wa ta’ala menguji Ukkasyah dengan cobaan yang berat. Beliau beradu senjata dengan hebat hingga patahlah pedang yang ada di tangannya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya sebuah tandan pohon kurma atau tongkat. Saat Ukkasyah menggenggamnya dengan tangan, tandan atau tongkat tersebut berubah menjadi sebuah pedang mengilat yang kokoh. Pedang tersebut terus menyertai Ukkasyah di setiap pertempurannya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hingga pertempurannya yang terakhir yaitu perang Ar Riddah, ketika beliau gugur sebagai syahid. Pedang itu dikenal dengan nama Al Aun.
Ukkasyah bin Mihshan gugur saat berusia 45 tahun dalam peperangan melawan orang-orang yang murtad pada masa kepemimpinan Abû Bakar ash Shiddîq, satu tahun setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau dibunuh oleh Thulaihah bin Khuwailid al Asadi di Buzâkhah, sebuah tempat yang terdapat di sana sumber mata air milik Bani Asad.
Thulaihah sempat berislam di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi murtad dan mengaku diangkat menjadi nabi di akhir-akhir masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, perkara Thulaihah menjadi besar. Bani Asad dan kabilah Ghathafân bersekutu membelanya. Hal itu mendorong Abû Bakar untuk mengirim Khâlid bin Walîd beserta pasukannya. Khâlid menempatkan Ukkasyah di garis depan bersama Tsâbit bin Aqram al Anshâri dengan mengendarai kuda. Saat sampai di Buzâkhah, Thulaihah dan saudaranya menjumpai Ukkasyah dan Tsâbit lalu membunuh keduanya.
Para sejarawan Islam menyatakan bahwa Thulaihah setelah itu bertaubat dan kembali berislam serta baik keislamannya. Beliau juga terus berjuang bersama kaum muslimin di berbagai pertempuran melawan orang-orang kafir yang enggan berislam dan menghalangi manusia dari Islam, di antaranya adalah pertempuran al Qâdisiyyah yang terkenal, hingga beliau gugur dalam medan perang di daerah Nahâwand.
Semoga Allah meridai Ukkasyah, Thulaihah, dan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya. Wallâhu ta’âlâ a’lam. [Ustadz Harits Abu Haidar]
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 59 Vol.05 1437H-2016M rubrik Figur.
[1] Asy Syaikh Abdurrahman as Sa’di rahimahullah mengatakan, As Sâbiqûn adalah orang-orang yang mendahului dan mengawali umat ini untuk beriman, berhijrah, berjihad, dan menegakkan agama Allah. (Taisîr al Karîm ar Rahmân, al Baqarah: 100)
[2] Dalam hadis tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan sifat mereka:
(هُمُ الَّذِينَ لَا يَسۡتَرۡقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَكۡتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ)
“Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta diruqyah, tidak beranggapan sial dengan sesuatu yang tak nyata, tidak meminta berobat dengan terapi besi panas, dan hanya kepada Rabb merekalah mereka bertawakal.” [H.R. al Bukhari dan Muslim]
[3] Ada pula yang berpendapat bahwa Ghamrah termasuk bagian dari Madinah yang berada di jalur menuju Najd.