Abu Lubabah Basyir bin Abdil Mundzir bin Zubair bin Zaid bin Malik bin Auf bin Amr, sebagian ulama menyebut bahwa nama beliau adalah Rifa’ah. Beliau termasuk As Sabiqunal Awwalun minal Anshar, orang-orang yang pertama masuk Islam dari kalangan Anshar. Beliau bahkan ikut hadir dalam Baiat Aqabah. Beliau termasuk kaum Anshar dari suku Aus. Istrinya adalah Khansa binti Khandam Al-Anshariyah dari kabilah Aus. Pernikahan antara keduanya mendapat karunia seorang anak perempuan bernama Lubabah. Kelak Lubabah akan diperistri oleh Zaid bin Al Khatthab, saudara Umar bin Al Khatthab.
Abu Lubabah termasuk orang pertama yang masuk Islam, dengan perantara dakwah Mush’ab bin Umair yang diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Tercatat sepak terjang beliau dalam mengikuti Perang Badar, Perang Uhud, dan perang-perang setelahnya. Beliau juga sebagai pemegang panji milik Bani Amr bin Auf saat peristiwa Fathu Makkah. Pernah juga beliau ditugasi menjadi pengganti Rasulullah dalam memimpin penduduk Madinah saat terjadi perang Suwaiq.
Ada kisah yang menarik tentang beliau. Kisah yang menggambarkan kejujuran hati, kesabaran, dan ketundukan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Beliau pernah mengikat dirinya pada sebuah tiang dalam masjid dengan rantai yang memberatkan diri beliau sampai belasan malam lamanya sehingga hampir kehilangan pendengaran serta penglihatan beliau. Anak perempuannyalah yang melepas ikatan tersebut bila datang waktu salat atau ingin menunaikan hajat. Hal ini beliau lakukan sebagai bentuk penyesalan karena merasa bersalah telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang hal ini, “Andai ia mau datang kepadaku tentu aku akan maafkan dia.”
Para ulama berbeda pendapat tentang sebab beliau mengikat diri beliau di salah satu tiang masjid. Az Zuhri mengatakan bahwa Abu Lubabah tidak bergabung mengikuti dalam perang Tabuk tanpa alasan syar’i. Tentu ini adalah ketergelinciran karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin secara umum untuk mengikuti perang tersebut. Sehingga beliau pun merasa bersalah karena melanggar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau ikatkan diri beliau di salah satu tiang masjid dan mengatakan, “Demi Allah aku tidak akan melepaskan diri dan aku tidak akan memakan makanan dan meminum minuman.” Hal ini berlangsung beberapa hari hingga membuat beliau pingsan. Akhirnya, Allah pun mengampuni beliau. Saat para sahabat hendak melepas ikatan itu, beliau menolak dan tetap bersikeras dalam ikatan tersebut hingga Rasul sendiri yang melepas ikatan tersebut. Maka, di waktu subuh Rasul pun membuka ikatan tersebut. Abu Lubabah selanjutnya mengatakan, “Wahai Rasulullah, sungguh sebagai bentuk tobatku, aku akan meninggalkan negeri kaumku, tempat aku melakukan maksiat itu dan aku akan menyedekahkan seluruh hartaku untuk Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah pun menjawab, “Cukup sepertiganya saja wahai Abu Lubabah.”
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ayat,
وَءَاخَرُونَ ٱعْتَرَفُوا۟ بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا۟ عَمَلًا صَـٰلِحًا وَءَاخَرَ سَيِّئًا عَسَى ٱللَّهُ أَن يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan (ada pula) orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Q.S. At-Taubah: 102]
Ayat ini yang turun berkenaan dengan Abu Lubabah dan beberapa sahabat yang juga tidak mengikuti perang tersebut bersamanya.
Ada pula yang berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi saat pengepungan beberapa lama atas Bani Quraizhah. Bani Quraizhah adalah salah satu kabilah Yahudi yang berkhianat. Dahulu, Abu Lubabah termasuk orang yang dekat dengan Bani Quraizhah. Harta serta anaknya pun bersama Bani Quraizhah.
Maka Bani Quraizhah pun meminta Abu Lubabah untuk datang. Dalam kesempatan itu, beliau memberitahukan kepada mereka dengan isyarat tangan ke arah leher (yakni isyarat pancung) untuk Bani Quraizhah bila keputusan hukum itu diserahkan kepada Sa’ad bin Muadz. Maka pada peristiwa tersebut turunlah firman-Nya [Q.S. Al Anfal: 27]
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.” [Q.S. Al Anfal: 27]
Seketika itu beliau menyadari bahwa isyarat ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Maka, beliau pun menghukum dirinya seperti yang telah disebutkan di depan.
Beliau termasuk sahabat yang dikenal meriwayatkan hadis Nabi. Adapun yang mengambil riwayat hadis dari beliau adalah kedua anak beliau As Saib dan Abdurrahman. Selain mereka adalah Abdullah bin Umar, Salim bin Abdillah bin Umar, Nafi’ maula Abdullah bin Umar, Abdullah bin Kaab bin Malik, Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dan Ubaidullah bin Abi Yazid. Beliau meninggal di saat kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Semoga Allah meridhainya. [Ustadz Hammam]
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 61 volume 06 1437 H / 2016 M rubrik Figur.