Cari Blog Ini

Arsy Allah Bergetar dengan Wafatnya Sa’ad bin Mu’adz

Hidayah Allah subhanahu wa ta’ala sungguh di luar sangka manusia. Allah berikan kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Boleh jadi yang semula membenci iman, kini begitu mencintainya. Hidayah itu tak melulu bagi golongan miskin papa, tak pula khusus bagi para dermawan yang berharta. Bila hidayah telah menetap kuat dalam dada, seribu rintangan tak berarti dalam derap langkahnya.

Tersebutlah kisah yang masyhur tentang seorang sahabat yang begitu mulia, Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu. Beliau merupakan tokoh dari Bani Asyhal dan memiliki pengaruh yang sangat besar untuk kaumnya. Saat Islam mulai terbit di Negeri Yatsrib (Madinah), agama ini begitu mengganggunya. Tampak jelas ketidaksukaan Sa’ad kepada ajaran baru nan asing, yang dibawa oleh seorang yang asing pula di negerinya.

Pepatah mengatakan “tak kenal maka tak sayang”. Begitulah gambaran Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu terhadap ajaran Islam yang begitu indah di awal kemunculannya. Walau begitu, Sa’ad terkenal sebagai seorang pemimpin yang bijak, dalam menentukan setiap langkah yang akan diambil. Dia tak sembarangan dalam memutuskan sikap.

“Bagaimana kiranya kalau Anda duduk dan mendengar (apa yang hendak aku sampaikan)? Jika Anda suka dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya Anda membencinya, maka aku akan pergi.”

Sebuah tawaran yang bijak dari sang juru dakwah. Sebab, setiap keputusan bisa tepat bila telah mengetahui hakikat masalahnya.

“Ya, yang demikian itu lebih bijak.” Ucap Sa’ad.

Sang juru dakwah ini pun mulai menjelaskan kepada Sa’ad apa itu Islam. Dia membacakannya ayat-ayat Al Quran kepada beliau. Betapa indahnya ayat-ayat tersebut, tak mungkin merupakan kebohongan yang dibuat-buat manusia. Sungguh ini bersumber dari Zat Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana. Sungguh, fitrah yang masih suci dan lurus tiada akan menolak indahnya Islam yang ditawarkan. Memang Islam senantiasa sesuai dengan fitrah yang lurus. Tanpa bersikap ragu, Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu begitu cepat dalam menerima ajaran Islam. Inilah ajaran yang begitu mulia, yang sesuai dengan hati dan fitrah beliau. Tanpa ragu, sahabat yang jago menunggang kuda dan pemberani ini pun memutuskan untuk hijrah dari agama kekufuran kepada Islam yang mengajarkan arti peribadahan yang sebenarnya. Tak hanya itu, beliau pun bersegera memerintahkan kaumnya, Bani Asyhal untuk tunduk, dan turut serta bersama beliau memeluk indahnya Islam.

“Haram bagi laki-laki dan perempuan di antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!” Tegas beliau mengucapkannya.

Sungguh bukan ridha manusia yang menjadi tujuannya, bukan pula takut hilangnya kedudukan membuatnya bersikap lemah. Bahkan dengan lantang beliau ucapkan kata-kata ini. Siapakah sekarang pemimpin yang begitu berani dan teguh memegang prinsip kebenaran? Ah, pasti sulit untuk menemukannya. Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman kecuali seorang yang bernama Ushairim, ia menunda keimanan sampai saat tiba Perang Uhud, ia masuk Islam dan syahid di jalan Allah subhanahu wa ta’ala dalam perang tersebut. Ya, Sa’ad radhiyallahu ‘anhu memang seorang pemimpin yang memberi berkah bagi kaumnya walau saat itu usia beliau baru menginjak 31 tahun, umur yang begitu muda untuk seorang pemimpin yang bijak.

Nama lengkap beliau adalah Abu Amr Sa’ad bin Mu’adz bin An Nu’man bin Imriil Qais bin Zaid Abdil Asyhal bin Jasym bin Al Harits bin Al Khazraj bin An Nabit bin Malik bin Aus Al Anshari. Seorang tokoh muda dalam kabilah Aus. Ibunya bernama Kabsyah binti Rafi’. Beliau masuk Islam setahun sebelum Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah. Maka saat itu dimulailah lembaran baru perjalanan Islam.

Sebagaimana para pembela Islam lainnya, beliau pun mengikuti Perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Seluruh jiwa raga dipertaruhkan demi membela kemuliaan Islam. Pada perang yang terakhir, tepatnya di perang Khandaq, beliau radhiyallahu ‘anhu terkena lemparan panah. Terlukalah beliau di bagian urat nadi, tempat jalan darah yang begitu vital dalam menyokong kehidupan. Dengan sebab luka ini, beliau hanya mampu bertahan hidup sebulan lamanya kemudian meninggal dunia. Sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu mengisahkan tentang beliau, “Sa’ad bin Mu’adz terkena lemparan anak panah yang menyebabkan urat nadinya terputus.”

Pembaca, tahukah Anda bahwa Sa’ad radhiyallahu ‘anhu adalah sahabat yang begitu setia terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Simaklah ucapan beliau saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat beliau, “Demi Zat yang telah memuliakan dan menurunkan kitab kepada Anda, jika Anda menempuh suatu tempat yang belum kami ketahui, hingga menuju Barku al-Ghumad di arah Yaman, pasti akan kami tempuh bersama Anda. Kami tidak akan menjadi sebagian dari orang-orang Bani Israil yang berkata kepada Nabi Musa,
فَٱذۡهَبۡ أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَـٰتِلَآ إِنَّا هَـٰهُنَا قَـٰعِدُونَ
“Pergilah engkau bersama Rabbmu, berperanglah, sesungguhnya kami di sini duduk-duduk saja.” [Q.S. Al-Maidah: 24] Kami akan mengatakan, ‘Pergilah Anda bersama Rabb Anda, dan berperanglah, sesungguhnya kami mengikuti.’”

Tahukah Anda bahwa beliau adalah seorang sahabat yang mendapat jaminan surga? Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi sebuah jubah dari sutra yang halus, beliau menolaknya dengan berkata:
وَالَّذِي نَفۡسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَمَنَادِيلُ سَعۡدِ بۡنِ مُعَاذٍ فِي الۡجَنَّةِ أَحۡسَنُ مِنۡ هَٰذَا
“Demi Zat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh saputangan Sa’ad bin Mu’adz di surga lebih baik dari ini.”

Subhanallah, siapakah di antara kita yang tak ingin mendapakan janji mulia itu? Siapa tidak mau jaminan utusan Allah? Inilah Sa’ad, seorang pemuda yang berpostur tinggi-besar dan tampan, berkulit putih dan berjanggut rapi, telah mendapat jaminan surga dari lisan Ar Rasul Al Amin.

Inilah Sa’ad, seorang pemimpin Aus yang memutuskan hukum atas pengkhianatan Yahudi Quraizhah pada perang Khandaq. Beliau memutuskan sesuai dengan keputusan Allah, demikian yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan. Yakni, hukum mati bagi kaum lelaki dan ditawan untuk para wanita dan anak-anak. Padahal, Aus dahulu adalah sekutu bagi Yahudi Quraizhah. Tidak ada lagi sikap loyalitas, tiada lagi tolong menolong bagi kaum yang berkhianat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan muslimin. Keputusan yang sungguh tepat, menepati apa yang diputuskan oleh Ar Rahman subhanahu wa ta’ala.

Wafatnya


Di saat-saat terakhir kehidupan Sa’ad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya, lalu beliau meletakkan kepala Sa’ad di pangkuan beliau sambil bersabda, “Ya Allah, Sa’ad telah berjihad di jalan-Mu, membenarkan Rasul-Mu, dan telah memenuhi kewajibannya. Maka terimalah ruhnya dengan sebaik-baiknya cara Engkau menerima ruh.”

Doa yang dipanjatkan Nabi pun mendatangkan kesejukan kepada ruh Sa’ad yang hendak pergi. Saat itu Sa’ad mencoba dengan susah payah mengangkat kelopak matanya dan mengarahkan pandangannya ke wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat ia cintai. Kiranya, inilah perjumpaan terakhirnya dengan beliau di dunia ini. Sa’ad mengatakan, “Salam atasmu wahai Rasulullah, ketahuilah bahwa aku beriman bahwa Anda adalah utusan Allah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kebahagiaan atasmu wahai Abu Amr.”

Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu pun mengembuskan nafas terakhirnya, ia wafat di pangkuan orang yang paling ia cintai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika memakamkan jenazahnya,
اهۡتَزَّ عَرۡشُ الرَّحۡمٰنِ لِمَوۡتِ سَعۡدِ بۡنِ مُعَاذٍ
“Arsy Ar-Rahman bergetar dengan berpulangnya Sa’ad bin Mu’adz.” [H.R. Bukhari dan Muslim]. Lihatlah, betapa mulianya Sa’ad radhiyallahu ‘anhu hingga Arsy Allah pun bergetar saat kepergiannya.

Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku adalah salah seorang yang menggali makam untuk Sa’ad, dan setiap kami menggali satu lapisan tanah, tercium oleh kami wangi kesturi.”

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Saat kami membawa jenazah Sa’ad bin Mu’adz, kaum munafikin mengatakan betapa ringannya jenazahnya, (padahal Sa’ad adalah) seorang yang tinggi besar. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Sungguh para malaikatlah yang menggotongnya.’”

Disebutkan dalam hadis Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh ada 70.000 malaikat yang turun saat kematian Sa’ad bin Mu’adz. Mereka belum pernah turun ke bumi sebelum ini.”

Sungguh para penduduk bumi dan penduduk langit telah mengakui akan keutamaan Sa’ad. Beliau wafat pada tahun ke-5 H, ketika itu usia beliau 37 tahun, dan dimakamkan di pemakaman Baqi’ di Madinah.

Sa’ad, semoga Allah meridhaimu. [Hammam]

Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 47 vol. 04 1436H-2015M, rubrik Figur.