Allah adalah Sang Maha Pencipta segala sesuatu. Setiap muslim pasti meyakini hal itu. Sayangnya keyakinan tersebut mayoritasnya tidak diiringi dengan pengenalan yang baik terhadap Allah subhanahu wa taala. Dampak dari buruknya pengenalan seseorang terhadap Allah subhanahu wa taala akan tampak terlihat dari cara pandang, peribadatan, dan pendekatan diri seseorang kepada-Nya. Oleh karenanya, terkadang kita melihat seseorang melakukan peribadatan dan pendekatan diri kepada Allah justru dengan jalan yang tidak Allah sukai, bahkan Allah membencinya. Salah satu dari contoh perkara tersebut adalah apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin di hadapan makam-makam orang-orang saleh dan para wali mereka. Mereka berdoa kepada para wali karena menginginkan pertolongan para wali tersebut di sisi Allah. Mereka berdoa kepada orang-orang saleh dalam rangka untuk mendekatkan diri-diri mereka kepada Allah subhanahu wa taala.
Mereka menyangka Allah menyukai apa yang mereka lakukan. Mereka menyangka orang-orang saleh itupun menyukai apa yang mereka lakukan. Mereka tidak mengetahui bahwa Allah membenci perbuatan tersebut. Bahkan Allah telah memperingatkan perkara tersebut di dalam kitab-Nya yang mulia, ketika Allah membantah orang-orang jahiliyah yang menyekutukan Allah dengan para wali di dalam peribadatan mereka. Allah subhanahu wa taala berfirman di dalam Q.S. Yunus: 18
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـٰٓؤُلَآءِ شُفَعَـٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّـُٔونَ ٱللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَلَا فِى ٱلْأَرْضِ ۚ سُبْحَـٰنَهُۥ وَتَعَـٰلَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dan mereka beribadah kepada selain Allah, kepada sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata, “Mereka (sesembahan) adalah para penolong kami di sisi Allah.” Katakanlah (kepada mereka), “Apakah kalian hendak mengabarkan kepada Allah apa yang tidak Allah ketahui baik di langit maupun di bumi? Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka sekutukan.”
Lihatlah! Bagaimana pengingkaran Allah terhadap apa yang mereka perbuat. Dengan perbuatannya, mereka secara tidak langsung telah berburuk sangka kepada Allah. Seakan mereka menyangka bahwa Allah tidak mengetahui apa yang terjadi di langit maupun di bumi. Seakan mereka menyangka bahwa Allah sebagaimana seorang penguasa yang zalim, yang tidak akan mau mendengar dan memperhatikan para hamba-Nya kecuali jika melalui perantara orang-orang tertentu saja. Maha Suci Allah dari semua yang mereka persangkakan.
Maka kisah niswah kali ini akan membuka pandangan kita bahwa Allah subhanahu wa taala sebenarnya telah memberikan sebuah pelajaran besar bagi kaum muslimin tentang perkara ini dalam sepenggal kisah kehidupan seorang sahabiyah mulia. Dia adalah Khaulah binti Tsa’labah radhiyallahu ‘anha.
Nama beliau adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahr bin Tsa’labah bin Ghanam bin Auf - radhiyallahu ‘anha. Beliau adalah seorang wanita yang memiliki kebagusan pemahaman dan kefasihan bahasa. Ia menikah dengan salah seorang anak pamannya yaitu Aus bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat yang mengikuti Perang Badr, Uhud, Khandaq, dan peperangan lainnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aus bin Shamit radhiyallahu ‘anhu adalah saudara dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat yang memiliki peranan besar dalam pembebasan daerah Mesir. Jadilah Khaulah binti Tsa’labah bersuamikan seorang laki-laki yang memiliki jiwa kepahlawanan yang tegas dan keras.
Suatu ketika, terjadi satu pembicaraan antara Khaulah dengan suaminya. Tanpa terduga ada perkataan Khaulah yang akhirnya membuat marah sang suami. Karena dikuasai emosi yang meledak, tanpa pikir panjang Aus bin Shamit mengeluarkan sebuah perkataan yang sebenarnya biasa dikatakan oleh Bangsa Arab pada masa jahiliyah apabila hendak menghukum istrinya. Dia berkata kepada Khaulah: “Engkau di sisiku bagaikan punggung ibuku!” Beliau bermaksud mengharamkan istrinya untuk dirinya. Setelah mengeluarkan perkataan tersebut Aus bin Shamit radhiyallahu ‘anhu meninggalkan rumahnya dan bercengkerama bersama kaumnya.
Ketika amarah telah mereda dan telah hilang kekesalan yang dirasakan kepada istrinya, Aus bin Shamit kembali ke rumah. Dia mendekati Khaulah dan menginginkan istri melayaninya. Akan tetapi Khaulah binti Tsa’labah radhiyallahu ‘anha, dengan kebagusan pemahamannya memahami bahwa kebiasaan jahiliyah belum tentu sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Maka jiwanya bangkit, ia ingin segala apa yang diperbuat dirinya dan suaminya setelah berislam haruslah disesuaikan dengan syariat Islam.
Dengan alasan tersebut ia menolak memenuhi ajakan suaminya hingga jelas perkara yang terjadi antara dia dan suaminya. Ia berkata kepada suaminya, “Sekali-kali tidak, demi Dzat yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, janganlah engkau mendekatiku dalam keadaan engkau telah berkata dengan apa yang telah engkau katakan, sampai Allah dan Rasul-Nya menetapkan apa yang terjadi pada kita dengan hukum-Nya.”
Subhanallah… demikianlah para pendahulu kita yang saleh. Mereka mengutamakan tegaknya syariat Islam dalam setiap sisi kehidupan mereka. Mereka tak segan untuk mencari bimbingan di saat ada perkara yang belum jelas pengetahuan mereka tentangnya. Semua itu mereka lakukan karena Allah, kemudian dalam rangka menjaga diri-diri mereka lari terjerumus ke dalam kesalahan.
Maka Khaulah bergegas mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan perkara tersebut. Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Khaulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan apa yang beliau ketahui memberikan bimbingan. Beliau bersabda (yang artinya), “Aku tidak mengetahui sesuatu tentang perkaramu ini kecuali sungguh engkau telah haram atasnya.”
Mendengar jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Khaulah sangatlah bersedih. Bukan kehendak hatinya ingin menentang apa yang Rasulullah perintahkan. Akan tetapi ia merasa sangat berat apabila harus berpisah dengan suami dan anaknya. Ia pun mengerti bahwa akan demikian pula yang dirasakan Aus bin Shamit, suaminya. Suaminya memang mungkin seorang laki-laki yang mudah terbakar emosi, tetapi ia sama sekali tidak mengingkari kebaikan dan kebahagiaan hidup bersama suaminya selama ini, sekalipun padanya ada beberapa kekurangan sifat dan tabiat. Khaulah berusaha menjelaskan keadaan dirinya dan anaknya jika hal tersebut terjadi, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap berpendapat demikian.
Maka dengan bimbingan Allah subhanahu wa taala, kemudian karena pengenalannya yang baik terhadap Allah, serta keyakinannya yang mantap bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, Khaulah bermunajat kepada Allah. Ia mengadukan perkaranya tersebut langsung kepada Allah. Ia menengadahkan kepala ke atas langit, mengangkat kedua tangan dengan berurai air mata ia berkata, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu apa yang telah terjadi kepadaku.” Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyaksikan kejadian tersebut menuturkan, “Ketika Khaulah menangis, maka menangislah orang-orang yang ada di kediaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kasihan dan prihatin kepadanya.”
Belumlah tuntas doa yang dipanjatkan Khaulah, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jatuh pingsan sebagaimana keadaan beliau apabila turun wahyu. Ketika beliau sadar, beliau tersenyum dan bersabda Khaulah (yang artinya), “Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan kepadamu (Al Quran).” Kemudian beliau membacakan Al Quran Surat Al Mujaadalah ayat 1-4
قَدْ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوْلَ ٱلَّتِى تُجَـٰدِلُكَ فِى زَوْجِهَا وَتَشْتَكِىٓ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَآ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌۢ بَصِيرٌ ١ ٱلَّذِينَ يُظَـٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَـٰتِهِمْ ۖ إِنْ أُمَّهَـٰتُهُمْ إِلَّا ٱلَّـٰٓـِٔى وَلَدْنَهُمْ ۚ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنكَرًا مِّنَ ٱلْقَوْلِ وَزُورًا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ ٢ وَٱلَّذِينَ يُظَـٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا۟ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَآسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِۦ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ٣ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَآسَّا ۖ فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ۚ ذَٰلِكَ لِتُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۗ وَلِلْكَـٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang perkara suaminya dan mengadukannya kepada Allah. Dan Allah mendengar tanya jawab di antara kalian berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang mendzihar istrinya di antara kalian (yaitu menganggap istrinya bagaikan ibunya), tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu mereka adalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Pengampun. Dan orang-orang yang mendzihar istri-istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Megetahui apa yang kalian kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan budak maka wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum mereka berdua bercampur, maka barangsiapa tidak mampu (berpuasa, wajib baginya) memberi makan enam puluh orang miskin. Yang demikian itu agar kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir azab yang pedih.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa ia bisa berkumpul kembali bersama suaminya jika kafarah dziharnya ditunaikan. Beliau bersabda kepada Khaulah (yang artinya), “Perintahkan suamimu memerdekakan budak.” Khaulah berkata, “Wahai Rasulullah, dia tidak memiliki budak yang dapat ia merdekakan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan, “Jika demikian, maka hendaknya ia berpuasa dua bulan berturut-turut.” “Demi Allah dia adalah seorang laki-laki yang telah tua dan tidak mampu untuk berpuasa” ujar Khaulah. “Jika demikian hendaknya ia memberi makan 60 fakir miskin dengan kurma.” “Demi Allah wahai Rasulullah, yang demikianpun tidaklah ia miliki.” kata Khaulah.
Rasulullah dengan kelembutan hatinya dan rasa sayangnya kepada umat, ingin memberikan kemudahan kepada umatnya maka beliau bersabda, “Sungguh kami akan membantunya dengan sekeranjang kurma.” “Wahai Rasulullah, aku juga akan membantunya dengan sekeranjang kurma lagi.” “Sungguh engkau telah benar dan tepat. Maka pergilah dan perintahkanlah ia (suamimu) bersedekah dengannya, kemudian wasiatkan kebaikan kepada anak pamanmu itu.” Dengan sabda Rasulullah tersebut, Khaulah bergegas mendatangi suaminya. Ia mengabarkan ayat tentang perkara tersebut dan mengajak suaminya mengambil pelajaran besar yang terjadi dalam kehidupan mereka untuk lebih berhati-hati dalam berucap, yaitu terutama ketika amarah menguasai jiwa.
Masya Allah… demikianlah seharusnya seorang muslim bersikap ketika menjumpai permasalahan. Maka segala sesuatu yang ada di bawah bimbingan syariat pasti akan membawa kebaikan dan kebahagiaan.
Kita juga dapat melihat betapa Allah membuktikan kepada kita semua bahwa siapapun dapat langsung mengadukan setiap permasalahannya kepada Allah. Allah subhanahu wa taala akan menjawab doa yang dipanjatkan dengan sepenuh hati kepada-Nya. Bahkan itulah yang Allah perintahkan kepada kita, hamba-Nya, sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat Ghafir (Al Mukmin) ayat 60.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan berkata Rabb kalian, ‘Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan menjawab kalian.’ Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”
Kalaulah doa yang dipanjatkan seseorang belum terjawabkan, sepantasnya ia tetap berbaik sangka kepada Allah dan berusaha untuk mengoreksi keadaan dirinya. Apakah ada sesuatu yang menyebabkan dirinya terhalang dari janji Allah dalam keadaan Allah adalah Dzat yang Maha menepati janji.
Demikianlah apa yang diinginkan oleh Rabb kita Azza wa Jalla. Agar kita berdoa hanya kepada Allah saja, tanpa perantara, dan berbaik sangka kepada Allah subhanahu wa taala. Bahkan Allah menganggap orang yang tidak mau berdoa kepada-Nya adalah orang-orang yang sombong dari beribadah kepada-Nya. Orang semacam itu layak untuk mendapatkan balasan berupa siksa jahannam yang pedih. Na’udzu billahi min dzalik.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang masih saja berdoa dan meminta kepada selain Allah, dalam keadaan penjelasan Allah begitu terang. Mereka membaca kitab Allah Al Quran akan tetapi mereka tidak mengetahui apa yang ada di dalamnya, apa yang Allah perintahkan dan yang Allah larang.
Mereka pun tidak mengetahui bahwa sejak zaman sahabat dahulu Allah telah memberikan pelajaran besar, bahwa Allahlah Dzat yang Maha Mendengar dan menjawab doa seorang hamba, siapapun dia. Maka kita dapat melihat bahwa minimnya pengenalan mereka kepada Allah, kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kepada syariat agama Islam akhirnya membuahkan kesalahan-kesalahan yang akibatnya dapat menjerumuskan kepada kebinasaan dunia dan akhirat.
Semoga kita dapat memetik pelajaran dari kisah-kisah pendahulu kita yang saleh, dan dimudahkan oleh Allah subhanahu wa taala mengikuti jejak mereka dalam iman dan amal. Amin.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 42 vol.04 2016 rubrik Niswah. Pemateri: Al Ustadzah Ummu Abdillah Shafa.